Bismillahirrahmanirrahim
Sebuah epos di abad pertengahan. Kala dinar dirham masih
menyala. Kala bankir belum bernama. Konstantinopel adalah sebuah kota bak
surga. Ibukota Imperium Romawi. Didirikan oleh Byzas, orang Yunani, 324 SM.
Romawi punya sekuel panjang. Sebelumnya Roma pusat Romawi. Tapi abad 4, hancur
lebur. Terbelah menjadi kerajaan di Eropa. Arthur memimpin pemberontakan di Inggris.
Germana juga berdiri. Romawi pun bergeser ke Konstantinopel. Antara Roma dan
Konstantinopel banyak beda. Terlebih karena ajaran Nasrani yang era itu begitu
berjaya. Di Roma menganut Trinitas. Konstantinopel berpaham unitarian, satu
Tuhan. Keduanya kerap saling berperang. Abad 13, pasukan Roma yang semua hendak
berperang melawan pasukan Utsmaniyah, mendadak menyerbu Konstantinopel. Karena
mereka terkesima keindahaan kotanya.
Di dalamnya ada Gereja Katolik Santa Sophia yang melegenda. Di
sana banyak berdiri hipodrum yang megah. Istana kerajaan begitu banyak, yang
jumlahnya lebih banyak ketimbang jumlah hari dalam setahun. Kota itu berisikan
pualam dan kristal, emas tempaan dan mozaik indah. Orang barbar dari Eropa
sering datang dan terkesima. Bahkan ternganga kagum, karena Konstantinopel
adalah kota impian seluruh dunia. Fulcher dan Chartres, dua orang Eropa mampir
ke sana di abad 11, “betapa indah kota ini, betapa banyak biara, banyak istana
yang dibangun di jalan utama dan gangnya, berlimpah karya seninya. Sungguh
melelahkan menyebut semua hal bagus disini, emas dan perak, pakaian model terbaru,
dan relik-relik suci. Tak ada kebutuhan manusia yang tak dibawah ke sini,”
mereka bergumam. Keindahannya nyata. Bahkan Napoleon Bonaperte, kaisar Perancis
di abad 18, masih terkesima. “Seandainya seluruh dunia ini adalah sebuah
negara, yang layak jadi ibukotanya adalah Konstantinopel,” katanya.
Kala Islam datang, abad 7, Konstantinopel masih gagah.
Rasulullah Shallalahuallaihi Wassalam beroperasi di Makkah dan Madinah. Dua
kota itu tak seberapa luasnya. Romawi itulah imperiumnya. Tapi Konstantinopel
sudah dijanjikan bakal ditaklukkan umat Islam. Kala menjelang perang Qandaq,
muslimin tengah mempersiapkan parit sepanjang 8 kilometer di Madinah. Kala
itulah Rasulullah Shallahuallaihi wassalam bersabda, “Dari Abdullah bin Amru
Bin Ash ‘Bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah SAW untuk menulis, beliau
SAW ditanya tentang kota manakah yang akan futuh terlebih dahulu,
Konstantinopel atau Roma. Rasulullah menjawab, "Kota Heraklius terlebih dahulu
(maksudnya Konstantinopel).” Rasulullah Shallahuallaihi wassalam juga bilang, “Kalian pasti akan membebaskan
Konstantinopel, sehebat-hebat Amir (panglima perang) adalah
Amir-nya dan sekuat-kuatnya pasukan adalah pasukannya.”
Sabda adalah jaminan. Karena pasti terbukti. Tahun 674,
segerombolan pasukan Kekhalifahan Ummayah sudah menyerbu Konstantinopel.
Disitulah sahabat Rasulullah, Abu Ayyub al Anshari ikut serta. Dia memaksa
diri, walau telah renta. Alhasil dia meninggal di perjalanan. Abu Ayyub –semoga
Allah memberkatinya—minta dikebumikan di depan benteng kota itu. Tahun 717,
Maslamah bin Abdul Malik memimpin ekspedisi pengepungan. Kota itu masih belum
tertembus. 811, era Khalifah Harun Al Rasyid, pengepungan Konstaninopel kembali
dilakukan. Tapi masih gagal. Utsmaniyah berdiri. Beyazid I menjadi Sultan. Tahun
1396, dia memimpin pengepungan. Tapi masih gagal. Murad II menjadi Sultan
Utsmaniyah. Tahun 1422, dia mengomandani pengepungan Konstantinopel, tapi belum
berhasil.
Murad wafat. Romawi
kegirangan. Karena dikiranya Utsmaniyah melemah. Sebab Al Fatih menjabat
sebagai Sultan. Dia masih kecil. Usianya belia. Tapi Romawi lupa, dalam Islam
Sultan hanya pengeksekusi, bukan pembuat sistem. Utsmaniyah adalah sebuah
sistem Madinah al Munawarah yang berjalan. Siapapun sang Sultan, sejauh living
law masih merujuk pada Islam, tentu akan kuat.
Al Fatih punya
ambisi menaklukkan Konstantinopel. Sebelum mengepung, dia buat benteng di
Rumeli Hisari, yang berhadapan dengan benteng Anadolu Hisari. Kaisar Romawi
sempat protes. Tapi tak berdaya, karena Utsmaniyah tengah kuat-kuatnya. Kedua
benteng itu menghambat jalur di selat Bosphorus, pintu masuk menuju
Konstantinopel. Tanggal 6 April 1453, Sultan Al Fatih memimpin ribuan muslimin
mengepung kota itu. Pengepungan dari tiga titik, tembok Konstantinopel –yang
tak pernah tertembus--, Golden Horn dan Laut Marmara. Pasukan Utsmaniyah bak
lautan mengelilingi Konstantinopel. Tapi Romawi masih yakin, karena tembok
mereka tak pernah tertembus musuh sejak berdiri.
Al Fatih persiapkan
senjata ampuh. Meriam paling besar di era itu diciptakan. Dia menyewa arsitek
Romawi, yang rela dibayar siapapun. Senjata itu jadi andalan. 250 ribu pasukan
Islam mengepung. Tapi sebulan lebih, Konstantinopel tak runtuh juga.
Drama pengepungan
itu begitu mencekam, bagi kaum Romawi. Mereka bilang, pasukan Islam jika malam
menari-nari seperti orang gila, jika siang berperang bak orang tak takut mati.
Romawi tak paham siapa yang berperang. Tarian itu adalah hadrah yang dilakoni
para muslimin setiap malam. Beragam tareqah menyatuh dengan pasukan Al Fatih.
Hadrah itulah dzikir panjang dan mendalam menuju Allah semata. Selepas hadra,
terasa hati tenang siap untuk berperang. Kematian pun siap disambut, tanpa
perlu ditangisi.
Al Fatih lalu melakukan
langkah out of the box. Dia putar
arah. 72 kapal perangnya dipindah, melewati bukit dari Bosphorus menujut Selat
Tanduk. Itu dalam satu malam. Romawi keheranan. Mereka pasrah. 29 Mei 1453, Al
Fatih menyiapkan penyerangan puncak. Konstantinopel diserbu habis-habisan. Kota
itu pun jatuh di pukul 7 pagi. Al Fatih menjadikannya ibukota Utsmaniyah. Dia
merubah namanya: Istanbul. Konstantinopel berakhir kisah. Sabda Rasulullah
Shallahuallaihi wassalam terbukti. Istanbul tetap jadi idaman. Hagia Sophia
jadi masjid.
Di Spanyol, 1490,
Kesultanan Andalusia ambruk. Gerakan reconquesta (balas dendam) dilancarkan.
Eropa mulai keluar dari kegelapan. Mereka mencari jalan menuju nusantara dan
India, mencari rempah-rempah. Tapi mesti memutar lewat Cape Town, Afrika.
Karena jalur dari Istanbul dikuasai Utsmaniyah. Serbuan baru datang. Kesultanan
Islam melemah. Utsmaniyah dikudeta, tanpa militer, 1840. Tanzimat dilakukan.
Istanbul berubah. Hagia Sophia jadi museum sejarah. Bukan lagi Masjid atau
Gereja. Reconquesta membawa serta bankir dibelakangnya. Mereka meluluhlantakkan
Kesultanan, tanpa lewat perang.
Kini Istanbul hanya
kisah. Utsmaniyah tiada. Hukum Allah Subhanahuwataala tak hidup. Hanya tersisa
Makkah dan Madinah, kota suci yang jadi ajang rebutan orang beribadah, untuk
diri sendiri. Tak ada lagi Daulah, karena terkudeta oleh state.
Shaykh Abdal Qadir
as sufi memberikan jalur untuk kembali. Muslimin mesti merujuk lagi Amal Ahlul
Madinah. Jalurnya bisa dideteksi lewat Al Muwatta, kitab Imam Malik. Dari
situlah riba, sebagai dalang hancurnya Islam, bisa dideteksi. Mahdhab mesti
kembali dijalankan. Tareqah layak diikuti, agar bisa berperang bak pasukan
Utsmani yang tak takut mati. Muamalah adalah pintu masuk menuju tegaknya
Sultaniyya. Karena musuh Islam kini adalah sebuah sistem. Mengalahkannya bukan
dengan bom atau kekuatan militer. Sistem mesti dilawan dengan sistem. Sistem
Madinah, itulah modul kembali pada Sultaniyya. Istanbul layak direbut kembali.