Rabu, 12 September 2007 lalu. Sore itu, jarum jam menunjukkan pukul 18.20 WIB. Lima mobil bergantian memasuki gerbang rumah Soeharto di Jalan Cendana No 8, Jakarta. Yang pertama datang adalah kendaraan yang ditunggangi pengacara OC Kaligis. Tak lama kemudian datang mobil lainnya. Keluar dari kendaraan itu sosok Prof. DR. Indriyanto Seno Adji. Selang sekitar lima menit, datang lagi mobil berikutnya milik Wimboyono Seno Adji. Saat bersamaan masuk meluncur tenang mobil Denny Kailimang. Yang terakhir datang tampak Juan Felix Tampubolon.
Sore itu serempak mereka berada di rumah mantan presiden Indonesia tersebut. Soalnya, ada panggilan dari Soeharto untuk segera menghadap. Tepat pukul 18.35 WIB, kelimanya sudah ada di hadapan Pak Harto. Sebenarnya ada satu pengacara lagi. Namanya M Assegaf yang sore itu juga diminta datang. Tetapi, lantaran mobilnya terjebak macet, dia tidak berhasil sampai di Cendana.
Mereka semua adalah para pengacara Soeharto. Sore itu, mereka diminta datang untuk menjelaskan seputar putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah TIME Asia. Saat itu, Indriyanto yang pertama kali bicara. Putera bekas ketua MA, Oemar Seno Adji, itu menjelaskan tentang pemberitaan media bahwa gugatan terhadap majalah TIME dimenangkan MA. Kemudian Kaligis ganti berbicara. Dia sekaligus memberi selamat kepada bekas Presiden Indonesia itu. Pak Harto tampak menyimak. Tak lama kemudian, Soeharto berkata-kata. Mulutnya terbata-bata mengatakan, “Terima kasih atas kerja kerasnya (tim kuasa hukum).”
Pak Harto menegaskan semula diberitahu oleh anak-anaknya setelah membaca di koran. Juan Felix kemudian menimpali. Pengacara Batak ini menjelaskan perihal teknis pelaksanaan eksekusi. Katanya, urusan eksekusi putusan ini masih panjang. Ia pun berujar, “Untuk bisa eksekusi diperlukan surat kuasa lagi.” Soeharto menjawab, “Iya, nanti saya berikan.” Pembicaraan pun berlanjut masih seputar persoalan itu. Setelah sekitar 20 menit bertemu, mereka membubarkan diri.
Memang, pertengahan September lalu, MA membeberkan kemenangan gugatan Soeharto atas TIME Asia. Pengumuman itu dilakukan Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi. “Gugatan Soeharto dikabulkan dengan ganti kerugian Rp1 triliun," katanya kepada Ombudsman. Sebelum dibacakan Nurhadi, putusan itu sudah diambil dalam rapat permusyawaratan hakim agung di MA. Yang melakukannya adalah tiga hakim agung yang ditunjuk sebagai majelisnya. Mereka adalah German Hoediarto, Muhammad Taufik dan M Bahaudin Qaudry. Pada 30 Agustus 2007, majelis mengambil putusan tersebut dengan suara bulat. Sidang itu sendiri tak dihadiri kedua pihak yang berperkara. Cuma para hakim agung itu saja yang ada. Dua pekan berselang baru Nurhadi mengumumkan hasil putusannya ke berbagai media.
Di situ dinyatakan gugatan Soeharto dikabulkan sebagian. Amar putusannya menjelaskan sebelas petitum, dari 12 yang diajukan, diamini majelis hakim. Para tergugat, TIME Inc Asia, Donald Marisson (editor), John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis dan Jason Tedjasukmana, dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Mereka dihukum secara tanggung renteng membayar kerugian immateril senilai Rp1 triliun.
Pangkal persoalannya sendiri bersumber dari pemberitaan di majalah TIME edisi 24 Mei 1999. Di situ, media berbahasa Inggris tersebut menyajikan berita dengan judul cover “Special Report, Suharto Inc. How Indonesia longtime boss built a family fortune.” Banner itu menjelaskan gambar Soeharto yang dibuat dengan ilustrasi dimana jenderal besar itu digambarkan tengah tersenyum dengan gaya khasnya. Lalu, mengenakan jas, berpeci dan mendekap beragam barang-barang seperti karung beras, piring porselen bergambar perempuan Jawa dan rumah mewah bergaya Eropa. Perempuan di piring porselen itu adalah Siti Hartinah alias Ibu Tien. Dengan seabrek barang itu, Soeharto dikesankan tidak bersedia melepasnya. Di bawah ilustrasi itu tertulis The smiling general. Di edisi itu, TIME menjadikan kisah harta Soeharto sebagai laporan utama. Beritanya terbentang dari halaman 16 hingga 28.
Isi liputan majalah itu, sesuai dengan judulnya, memang dramatik. TIME menggolongkan Soeharto sebagai diktator korup di Asia. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, kekayaan Keluarga Cendana ditaksir sekitar US$ 15 miliar. Kekayaan itu terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya.
Padahal, gaji Soeharto sendiri hanya sekitar Rp15 juta perak per bulan. Tak hanya itu, menurut TIME, kekayaan Soeharto tersimpan di bank di Swiss. Hasil penelusuran TIME menemukan kekayaan Keluarga Cendana tak hanya berupa deposito atau duit, tetapi juga benda berharga, tanah, dan properti. Tak hanya di Indonesia, tapi juga berserakan di sejumlah negara lain seperti Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.
Berita itulah yang membuat Soeharto dan keluarga besarnya gerah. Bahkan, Soeharto sempat nampang di stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), 6 September 1998, khusus membantah berita tersebut. Waktu itu, kala dirinya masih segar bugar dan TPI masih dimiliki anaknya, Soeharto mengatakan tak memiliki uang sepeser pun di luar negeri, termasuk seluruh kekayaan seperti yang ditulis TIME. Sejak itu Soeharto bertekad untuk menggugat TIME. Waktu sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan itu kandas. Begitu juga kala putusan banding Pengadilan Tinggi diputus. Soeharto kalah. Tetapi, ketika di MA, kemenangan berpihak padanya.
MA menyatakan TIME telah melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati dalam menulis berita tentang Soeharto. Yang disebut tidak hati-hati dan patut itu adalah ilustrasi rumah dan berita yang menyebut Soeharto mentransfer US$ 9 miliar (sekitar Rp108 triliun saat itu) dari bank di Swiss ke sebuah bank di Austria pada Juli 1998.
MA menghukum wartawan yang terlibat dalam penulisan laporan itu. Mereka adalah Donald Marrison (editor), John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tedjasukmana. Dua yang terakhir adalah warga Indonesia. Selain membayar secara tanggung renteng Rp1 triliun, mereka pun harus menyatakan permintaan maaf kepada Soeharto yang dimuat dalam lima koran dan majalah nasional plus majalah TIME edisi Asia, Eropa, dan Amerika selama tiga kali berturut-turut. Masih ada perintah lain: permintaan maaf itu disiarkan di lima televisi nasional selama tujuh hari berturut-turut.
Sontak, putusan itu membuat heboh. Yang paling kebakaran jenggot tentu kubu TIME sendiri. Lewat kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis, mereka memprotes mentah-mentah putusan kasasi tersebut. "Ini bagai petir di siang bolong, tidak ada hujan, tidak ada angin," tandas Todung kepada Ombudsman dengan gusar. Menurut Todung, pihaknya tidak akan menerima putusan tersebut, sebabnya tidak ada fakta dan dasar hukum yang kuat untuk menyalahkan kliennya. "Fungsi pers sebagai lembaga kontrol sosial sudah diakui oleh seluruh dunia," katanya lagi. Tak hanya itu, Todung bahkan berani menyatakan putusan MA itu menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers yang mulai dikembangkan. “Harusnya MA menjaga kebebasan pers, karena itu merupakan perintah konstitusi,” ujar Todung lagi.
Di pihak lain, pembela Soeharto pun tak mau tinggal diam. Denny Kailimang, misalnya, berani mengatakan tidak ada urusan dengan kebebasan pers dalam kasus ini. “Mereka panik karena kalah. Jangan seolah-olah mereka (pers) harus menang,” katanya kepada Ombudsman. Sebaliknya, menurut Kailimang, justru pihak majalah TIME yang tidak tunduk kepada aturan hukum pers. "Kita sebelumnya sudah somasi dua kali, tetapi tidak ditanggapi," terang Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) tersebut. Sejatinya, somasi itu berisikan bahwa majalah TIME mesti meralat beritanya.
“Somasi itu bukan hak jawab,” timpal Todung tak puas. Selain itu, Todung menuding Ketua MA Bagir Manan sengaja memilih German sebagai ketua majelis perkara tersebut. Sekadar informasi, German adalah Ketua Muda Bidang Hukum Militer di MA. Todung menganggap latar belakang German ikut “mempengaruhi” putusan. Namun, Bagir membantah tudingan tersbeut. “Saya sudah katakan berkali-kali, kita (MA) tidak menggunakan sistem kamar. Setiap hakim agung berkompeten untuk memeriksa perkara,” terang Bagir kepada Ombudsman di ruangan kerjanya, pertengahan bulan lalu.
****************************
Buah Kiprah Lawyer Cendana
Kemenangan Soeharto terhadap TIME Asia membuktikan ketanggguhan para ˜advokat cendana”. Dua kali Soeharto dibuat senang.
Law Office Kailimang & Pontoh mendadak riuh. Selasa itu, 11 September 2007, kesibukan di kantor hukum yang berada di Menara Kuningan, Jakarta, itu tampak lain. Tumpukan kardus berisi kertas-kertas mendadak dibongkar. Yang dicari adalah berkas perkara gugatan Soeharto melawan TIME Asia. Yang menyuruh mencarinya tentu saja Denny Kailimang yang termasuk salah satu kuasa hukum Soeharto. Denny memerlukan berkas perkara tersebut karena telepon selulernya terus dihubungi wartawan yang menanyakan tentang kasus tersebut. Terlebih setelah MA menyatakan mengabulkan gugatan kliennya.
“Saya mesti mencari dulu berkas perkara itu,” akunya kepada Ombudsman. Soalnya, sejak tahun 2001 berkas perkara itu sudah dikandangkan. Apalagi ia pun baru saja pindahan kantor. Maklum, sejak akhir 2006 lalu, Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) ini berpisah dengan partner lamanya, Rudhy A Lontoh. Kini Denny membentuk kantor sendiri dengan duet bersama Harry Pontoh. “Saya hampir lupa kasus itu ada,” tambahnya.
Pertengahan bulan lalu, upaya mereka berbuah. Gugatan terhadap majalah TIME Asia yang dinilai memfitnah Soeharto berhasil dimenangkan. Bahkan, Soeharto bakal ketiban uang Rp1 triliun sebagai uang ganti rugi dari TIME Asia. Harus diakui, dalam menangani kasus ini, para pengacara Soeharto memang tergolong lihai. Pasalnya, dalam dua persidangan di Pengadilan Negeri dan Tinggi, mereka justru kalah. Tetapi, kala di MA, kemenangan ada dipihak Soeharto. Buktinya, dalam putusan kasasi itu, majelis hakim kasasi banyak mengutip pendapat para lawyer tersebut.
Keberhasilan lawyers Cendana ternyata bukan di kasus ini saja. Dalam perkara pidana, mereka juga berhasil ˜menghentikan” persidangan lebih lanjut terhadap mantan Presiden Soeharto. Buktinya, pada 2006 lalu, Kejaksaan Agung dibuat mesti mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terhadap Soeharto. Alhasil, sang “Bapak Pembangunan” itu pun kini nyaman di rumahnya berkat kepiawaian para advokatnya.
Kini, memang serangan terhadap Soeharto sempat datang lagi. Bentuknya ketika Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata. Tapi, hingga kini, kelanjutannya masih belum jelas. Kedua pihak masih terlibat dalam proses mediasi. Di sini, kiprah para advokat Cendana kembali dipertontonkan. Buktinya, proses mediasi antara pihak Kejakgung dengan mereka sempat berjalan alot.
Komunitas lawyers Cendana sebenarnya tak sebatas menangani Soeharto semata. Medio April 2006, mereka sempat menjadi penjaga gawang kawanan hakim agung di MA. Tepatnya ketika 31 hakim agung mengajukan judicial review terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. T tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Uji materil itu dilakukan ke Mahkamah Konsitusi (MK) yang memutuskan kedua beleid tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Akibat Beleid yang Tak Komplit
Soeharto memilih jalur perdata ketika menggugat majalah TIME Asia. Pihak TIME mencak-mencak. UU Pers dituding sebagai biang keladi.
Kantor advokat Lubis, Santosa & Maulana mendadak ramai. Banyak wartawan yang tiba-tiba menuju ke sana. Selasa, 11 September 2007, kantor hukum yang ada di gedung Mayapada Tower, Jakarta, itu dipenuhi para kuli tinta. Mereka menemui sang empu-nya, Todung Mulya Lubis, yang juga kuasa hukum majalah TIME Asia. Di siang hari itu, Todung memang bermaksud menggelar jumpa pers seputar “kalahnya” klien pengacara itu akibat digugat Soeharto.
MA menghukum TIME Asia untuk membayar ganti rugi. Jumlahnya tak kepalang tanggung Rp1 triliun. Termasuk meminta maaf melalui sejumlah media nasional. Itu yang membuat kuping Todung memerah. Di depan para wartawan, Todung mengeluarkan protesnya atas putusan kasasi itu. “Putusan ini bukan saja kekalahan TIME, tetapi kekalahan pers kita,” katanya gusar.
Menurut Leo, kendati TIME media asing, namun denda sebesar itu tidak layak dikenakan di negara demokrasi seperti Indonesia. “Tapi justru akan lumrah di negara-negara diktator,” ujarnya. Yang harus ditekankan di sini, tegas Leo, semangat filosofinya. Bila TIME dianggap bersalah tentu sangat wajar jika didenda Rp200 juta saja. “Yang terpenting TIME mengaku mau bersalah kalau dia bersalah, bukan diukur dengan jumlah uang yang sangat besar seperti itu,” terangnya.
**************************
Prof. DR. Bagir Manan, SH, MCL, Ketua Mahkamah Agung RI :
“Saya Tidak Berbuat Apa-apa kok Terus Disalahkan”
Ketika Soeharto menang dalam gugatan terhadap majalah TIME Asia, Mahkamah Agung (MA) RI kembali menjadi sorotan. Lembaga ini dianggap melakukan kesengajaan agar mantan Presiden Republik Indonesia itu menorehkan kemenangan. Padahal, dalam perkara pers sebelumnya, MA justru memenangkan pers. Sorotan itu mengarah pada penetapan hakim agung yang berbasis hukum militer, bukan hukum perdata. Penetapan hakim agung dalam setiap perkara yang disidangkan di MA tentu dilakukan oleh Bagir Manan selaku ketua lembaga judikatif tertinggi tersebut. maka tak heran bila Bagir dianggap melakukan “kesengajaan” ketika memilih German Hoediarto sebagai ketua majelis hakim dalam perkara tersebut.
Dalam kasus majalah TIME Asia vs Soeharto, MA mengalahkan pers. Sementara di kasus sebelumnya, Anda sempat memenangkan pers. Mengapa terjadi putusan yang tidak sama?
Perjalanan (kasus tersebut) kan belum selesai. Masih ada Peninjauan Kembali (PK). Pihak TIME masih bisa melakukan upaya hukum luar biasa. Selain itu, ini gugatan perdata dengan dasar perbuatan melawan hukum (PMH). Jadi tidak ada hubungannya dengan Undang-Undang Pers. Sedangkan dalam perdata itu masalah hak individual. Nah, disini yang dituntut adalah apakah terbukti atau tidaknya perbuatan melawan hukum tersebut. Di negara manapun biasa seseorang menggugat pers dalam arti perbuatan melawan hukum. Jadi, jangan campur aduk. Bila pers tidak bisa digugat, maka (pers) akan menjadi kekuatan absolut. Itu berarti tidak bagus. Pers di alam demokrasi pun harus bisa dikontrol.
Apakah anda sengaja menunjuk German Hoediarto sebagai ketua majelis hakim dalam perkara tersebut. Padahal, beliau adalah ketua muda bidang militer MA (Kumdil)?
Saya sudah katakan berkali-kali bahwa kita tidak menggunakan sistem kamar. Setiap hakim agung berkompeten untuk memeriksa perkara. Pak German adalah hakim agung yang sudah lama (senior). Dia seorang sarjana hukum yang sudah lama, bahkan dia sudah memutus ribuan perkara perdata. Jadi, tidak ada yang istimewa. Ketika membagikan perkara, saya tidak melihat perkara jenis apa. Yang dilihat adalah nomor perkaranya saja. Tidak melihat siapa para pihaknya. Juga tidak melihat-lihat majelisnya yang mana. Maksudnya agar objektifitasnya terjaga. Bila segala sesuatu dijadikan dalil untuk menyalahkan saya ya tentu akan bisa. Pengalaman saya, sepertinya semua dijadikan purbasangka untuk menyalahkan pengadilan. Semua dijadikan purbasangka.
Ada kalangan pers menilai putusan ini akan menjadi momok bagi pers. Benarkah seperti itu?
Mengapa pers mesti takut. Sejauh pers tidak menghina orang ya tidak perlu takut. Pers tidak boleh beranggapan bahwa seolah-olah dia boleh menghina atau mencerca orang. Jadi tolong pers juga mempunyai kewajiban menjaga nama baik orang lain. Di Amerika Serikat juga biasa pers digugat oleh orang yang merasa dihina. Di sana mereka (pers) biasa saja. Kok kita sepertinya (pers) harus kebal hukum. Sampai menyalah-nyalahkan Mahkamah Agung seperti itu.
Bahkan, muncul yang komentar bahwa putusan perkara ini akan menjadi jurisprudensi untuk perkara pers?
Anda juga dikritik banyak kalangan soal kenaikan tunjangan Ketua MA. Bagaimana itu?
Nah, kan saya disalahkan lagi. Padahal, kenaikan itu untuk 33.000 pegawai pengadilan dan hakim di seluruh Indonesia. Kok Ketua MA saja yang disalahkan? Kenaikannya 100 persen atau 50 persen adalah untuk mereka (pegawai dan hakim). Jadi, hanya untuk mencari kesalahan Ketua MA, maka kenaikan untuk Ketua MA saja yang disoroti. Ini kan tidak benar. Terus terang saja, saya bingung kenapa Ketua MA begitu tidak disukai. Padahal, saya ini tidak pernah berbuat apa-apa. Presiden sendiri pernah mengatakan gaji Ketua MA yang terkecil di antara pejabat tinggi lainnya.
Siapa sebenarnya yang merancang kenaikan gaji itu?
Masak Ketua MA mengurusi hal-hal yang begitu. Itu hasil perundingan Menteri Keuangan, Menteri PAN, dan DPR. Berapa angka yang dicapai masak Ketua MA yang mengurusi. Tentu tidak logis. Lagi-lagi tuduhan itu sangat kejam. Apakah Presiden mengurusi masalah gajinya? Sama juga dengan Ketua MA. Tidak mungkin mengurusi hal-hal semacam itulah. Bahwa kita memperjuangkan kenaikan gaji hakim memang kita perjuangankan. Tapi, berapa jumlahnya, itu urusan DPR dengan pemerintah yang mengurusi anggaran. Bukan Ketua MA!
Memang pada 2005, sejak merebaknya kasus suap-menyuap Probosutedjo di MA, anda terus diserang oleh berbagai pihak, termasuk pers....
Itulah yang saya tidak mengerti. (Kasus) Probosutedjo saya jelas tidak terlibat. Kenapa saya terus disakiti seperti itu? Keluarga saya merasa dihina. Saya merasa yakin. Tolong dicatat, Allah SWT teman saya. Saya tidak berbuat apa-apa, tetapi mengapa saya difitnah terus-menerus? Ketika saya memutus perkara Manulife atau perkara besar lainnya, semisal kasus Neloe cs, mengapa tidak ada yang memberi komentar? Ironisnya saya tidak berbuat apa-apa kok terus disalahkan. Ketika IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) mengusul hakim agung berusia 70 tahun, saya katakan itu tidak berlaku bagi kami. Tapi kok saya yang diserang. Itu tidak berlaku bagi kami (hakim agung) yang sudah beranjak 65 tahun.
Jadi anda merasa korban trial by the press?
Ini bukan lagi trial. Tapi sudah merupakan pembunuhan terhadap hidup saya. Saya merasa terus disakiti. Saya sudah berkomitmen atas kebebasan pers, saya tetap tabah. Apapun yang dilakukan pers, meskipun menyakitkan, saya cukup diam saja. Karena saya tidak mau mengurangi komitmen saya untuk mengurangi kebebasan pers. Itulah sebabnya saya memutus TEMPO (kasus TEMPO vs Tommy Winata-red) seperti itu. Bukan karena dibuat-buat.
Apa karena bertepatan dengan hari kemerdekaan pers?
Hahaha... Hari kemerdekaan pers, saya tidak tahu hari itu. Saya tidak mengurusi hal-hal seperti itu. Komitmen mengusung kemerdekaan pers memang saya lakukan sejak mahasiswa dan kuliah di Amerika. Itu memang bagian dari kuliah saya. Jadi, bukan hal yang tumbuh sehari-dua hari. Selama ini saya tidak pernah ngomong, karena tidak ingin mengurangi komitmen saya terhadap kebebasan pers. Karena kebebasan pers itu sama dengan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Dia tidak bisa diintervensi pihak manapun. Itu komitmen saya.
Ketika Rakernas, MA mengeluarkan SK Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Anda bisa jelaskan?
1 comment:
saya seperti sedang membaca majalah online. Bagus sekali.....
Post a Comment