Sekarang, sebuah patung ternyata disembah-sembah. Pemujanya
bukan orang sembarangan. Benda ini ada di meja tamu Ketua Mahkamah Agung. Ada
juga di ruangan kerja Jaksa Agung. Hadir juga di samping kursi kerja Kapolri.
Bertebaran juga di kantor pengacara, yang hitam dan putih. Dialah patung
Themis. Sosok yang dianggap dewi keadilan. Mereka sangka keadilan itu bisa disimbolkan
pada sebuah benda. Entah apa hikayatnya.
Keadilan, bagi era konstitusi, memang jadi sumber masalah.
Kata itu, entah bagaimana wujudnya. Plato bilang, keadilan itu adalah yang
sesuai bunyi undang-undang. Aristoteles katakan, keadilan itu adalah hak
kualitatif. Fiat justitia bereat mundus.
Socrates beda lagi. Mereka hidup di era 340-an SM. Tapi kata-kata keadilan
versi mereka tak laku kala Nasrani merajai Romawi. Ketika Isa Allahisalam
menyebarkan Nasrani, keadilan sudah terdefenisikan. Keadilan bersuara dalam
injil dan Gereja-gereja. Sejak abad 2 Masehi, Nasrani menyebar ke seluruh
Eropa. Dari Yerusalem hingga Romawi di Roma. Donnattio Pippini berkuasa. Konstitusi tak dikenal. Suara Gereja
adalah suara Tuhan.
Tapi keadilan kitab suci kemudian melemah. Suara keadilan
Plato, Aristoteles, Socrates terdengar lagi. Pemujanya orang-orang yang tak sudi
Gereja dianggap suara Tuhan. Mereka lebih percaya vox populi vox Dei. Mereka ingin keadilan didefenisikan sendiri.
Bukan yang berasal dari kitab suci. Thomas Aquino (abad 12) bilang keadilan
adalah alami. Montesquei, Beccaria, Rosseou, John Locke, juga punya defenisi keadilan
sendiri-sendiri. Mereka berlomba meng-artikan keadilan. Tapi mereka menolak
keadilan yang bermuara pada kitab suci. Karena mereka ngotot keadilan mesti
berasal dari konstitusi.
Keadilan versi ini kemudian menang. Tempos delicty-nya
terjadi ala Revolusi Perancis, abad 18. Keadilan konstitusi berjaya. Raja Louis
XVI digantung di depan penjara Bastille. Liberte, egalite, fraterniter
bersuara. Monarkhi dibubarkan. Suara Gereja dianggap tak lagi suara Tuhan.
Suara Rakyatlah yang suara Tuhan.
Keadilan pun ditetapkan sebagai bunyi undang-undang.
Peraturan dibikin sang legislator. Legislator dipilih oleh rakyat kebanyakan.
Itulah pencipta keadilan. Pembuat undang-undang. Era itu, Nietzche sudah
mengatakan, “Tuhan telah mati”. Keadilan Tuhan tak dipakai lagi.
Lalu, keadilan itu memerlukan simbol. Themis-lah, sang dewi
dianggap yang paling tepat. Tapi, entah bagaimana hikayatnya. Karena Themis
adalah kisah yang dilantunkan Homeros, sang penyair Yunani Kuno. Sajak-sajak
dia ditemukan penyair Romawi, Hesiodes di abad 7 SM. Hesiodes-lah yang berkisah
tentang dewa dewi kahyangan.
Themis hanyalah salah satu bangsa titan. Dia puteri dari Ouranus (dewa langit) dan Gaea (dewa bumi).
Themis tak sendiri. Punya sebelas saudara. Mereka disebut keluarga para dewa.
Cronus (Saturnus) adalah saudara Themis. Dia semula penguasa dunia. Tapi
dikudeta oleh Zeus. Proses kudeta sangat berdarah. Zeus berhasil membantai
ayahnya. Zeus dibantu pamannya sendiri, Promotheus (dewa pencipta makhluk
hidup) dan Oceanus (dewa sungai). Lalu Zeus bertahta di gunung Olympus. Themis
dikawini Zeus. Tapi dia berpoligami. Hera, Demeter, Semele, Metis, juga
dikawini si raja dewa itu. Themis diam saja. Tak memperjuangkan hak
keperempuanannya. Dan, Hera yang dijadikan ratu. Bukan Themis.
Di dunia, Themis pernah bikin prahara. Kala perang Sparta vs
Troya akan berlangsung, Themis sempat berulah. Agamemnon, si raja Sparta,
begitu nafsu menyerbu Troya. Dia menyiapkan seribu kapal perang, armada
terbesar kala itu, untuk menyerbut Troya. Tapi sebulan berkumpul di pinggir
pantai, tak ada senyiur angin pun berhembus. Kapal perang Sparta tak bisa
berlayar menuju Troy. Agamemnon panik. Dia mendatangi dukun. Dukun bilang,
Themis akan beri angin jika Agamemnon menyembelih anak semata wayangnya, Iphigenia.
Agamemnon mengikuti. Anak kandungnya disembelih diatas batu di pinggir pantai.
Homerius, berkisah, sejak itu anginpun berhembus seketika. Sparta pun menyerbu
Troya. Ribuan tentara mati tanpa arti. Achilles, Ajax, Hector, termasuk
diantaranya. Itulah era Helenisme.
Begitulah perangai dewi keadilan itu. Dia dipuja Montesque,
Rosseou, Beccaria, Hobbes, Kelsen, hingga punggawa hukum sekarang. Mereka
mendefenisikan keadilan berlandas konstitusi. Keadilan dianggap sebagai bunyi
undang-undang. Supremasi pun cuma milik segelintir orang. Kaum borjuis, peletak
dasar kudeta di monarkhi Perancis. Merekalah yang untung.
Padahal Islam telah menunjukkan. Keadilan menurut Al Quran
sudah berjalan benderang. Era Kekhilafahan dari abad 7 hingga 18, bukti
keadilan Islam telah tertorehkan. Di sana, keadilan tak perlu defenisi, tak
perlu pendapat ahli. Keadilan adalah amal nyata. Praktek yang dijalankan oleh
Rasulullah Shallahuallaihi wassalam. Keadilan sudah terkatakan.
Kini keadilan lewat jalan itu seolah mati. Tapi tugas
muslimin tak berhenti. Keadilan harus tetap ditegakkan. Seperti disampaikan
oleh Abu Hurairah r.a, Rasulullah Shallahuallaihi wassalam bersabda: “Bentuk
iman yang paling besar adalah mengucapkan Laillahaillallah dan yang paling
terkecil adalah menyingkirkan benda berbahaya dari jalanan.” Shaykh Abdalqadir
as sufi, ulama besar asal Skotlandia menafsirkan, Hadist ini menunjukkan tugas
muslimin untuk terus menegakkan keadilan, tanpa memandang kapan tempos delicty-nya.
Era kini, kebathilan jelas merajalela. Karena banyak sekali “benda-benda
berbahaya” berkeliaran di jalanan. Benda-benda berbahaya masuk dalam sistem
yang berketidakadilan. Tugas mulismin adalah menyingkirkannya. Menggantinya
dengan yang haq. Itulah keadilan, yang dilandasi keimanan.
Karena Rasulullah juga berpesan, ketika yang haq hadir, maka
yang bathil otomatis musnah. Ketika keadilan hadir, kebatilan otomatis musnah.
Tentu, keadilan yang perlu dihadirkan adalah bukan yang menghamba pada Themis,
si patung itu.
Karena Allah Subhanahuwattalla sudah memberi perintah. “Apabila
[kamu] menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan
adil” (QS An Nissa: 58).
No comments:
Post a Comment