Uji materi terhadap Undang-undang Komisi Yudisial diputus. Perang Mahkamah agung vs Komisi Yudisial jalan terns. Hakim konstitusi aman.
Tak ada wajah sumringah di Mahkamah Konstitusi. Hari itu, Rabu pekan lalu, padahal diputus perkara yang cukup penting. Uji materil undang-undang no. 22 tahun 2004 tentang komisi Yudisial. Beleid itulah yang sebelumnya dimohonkan untuk dihapuskan oleh 31 hakim agung.
Memang tak semua pasal yang dimohonkan. Hanya sebagian saja. Khususnya yang ada kata "hakim" didalamnya. Para hakim agung itu meminta agar hakim yang di beleid itu mesti dinyatakan bertentangan dengan UTD 1945. Khususnya Pasal 24B.
Nah, di hari itu, sembilan hakim MK membacakan putusannya. Sejumlah pakar hukum pun berdatangan. Banyak yang menantikan. Wajar memang. Karena perkara ini sudah bergulir hampir lima bulan di MK. Sepanjang sejarah, perkara inilah yang paling lama diselesaikan hakim MK.
Di pihak MA, sejumlah hakim agung pun menunjukkan batang hidungnya. Ada Harifin A Tumpa. Dia ini sebagai ketua muda bidang perdata di MA. Ada juga Prof Rehngena Purba. Dia salah seorang hakim agung wanita. Lalu hakim agung Abdurrahman juga tak mau ketinggalan. Mereka itulah yang mewakili pihak pemohon.
Ternyata para hakim agung itu tak sendirian. Mereka juga membawa serta sejumlah pengacara. Ada Denny Kailimang, OC Kaligis dan Indryanto Seno Adji.
Di pihak KY, tak mau. kalah. Memang tak semua anggota KY yang nadir. Cuma ada Soekotjo Suparto saja. Tapi pengacara yang mendampinginya juga tak kalah kaliber. Bambang Widjojanto dan Amir Syamsuddin ada dibelakangriya. Mereka pun tegun menyaksikan sembilan hakim MK bergantian membacakan putusan.
Sepanjang putusan dibacakan, terlihat ketegangan melanda orang-orang itu. Pasalnya putusan ini diharapkan bisa memberi jalan keluar. Hanya saja, tak satu orang pun mengetahui pihak yang bakal dimenangkan MK.
Hingga ketika Jimly Ashidiqie mengeluarkan suara. Laki-laki inilah yang jadi ketua majelis hakimnya. Jimly pun mengeluarkan sejumlah titah. Dia membacakan kesimpulan dari putusan itu. Hasilnya ternyata mencengangkan. Tak hanya kalangan hakim agung semata. Tapi juga dipihak KY.
Pasalnya putusan yang dikeluarkan, tak mereka sangka-sangka. Di luar dugaan. Tak percaya? Simak saja isi putusan yang dibacakan Jimly itu.
Pertama, permohonan 31 hakim agung Sepanjang yang menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi, terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga permohonan pemohon harus dikabulkan, tegas Jimly. Berarti, sambung Jimly lagi, untuk selanjutnya hakim konstitusi tidak lagi termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY.
Alasannya, pengawasan oleh hakim konstitusi dilakukan oleh majelis kehormatan tersendiri. Dasarnya adalah Pasal 23 UU MK. Beleid itu, Jimly lagi, sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 itu. "Untuk selanjutnya, kedudukan MK sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, termasuk sengketa yang melibatkan MA dan KY, tidak lagi terganggu akibat diperluasnya pengertian hakim yang meliputi hakim konstitusi tersebut," Jimly menerangkan.
Justru permohonan yang menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) LTTD 1945 yang meliputi hakim agung, dianggap tidak cukup beralasan. Jimly pun menguraikan alasannya. Menurutnya, sama sekali tidak dapat ditemukan dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. "Pembentuk undang-undang dapat saja menentukan bahwa untuk kepentingan pembinaan bertahap dan kepentingan jangka panjang berdasarkan pertimbangan teleologis bahwa di masa depan apabila seluruh hakim agung sudah merupakan produk rekrutmen oleh KY, maka untuk pengawasan cukuplah bagi KY mengurusi perilaku etik hakim dibawah hakim agung," terangnya. Nah, sambung Jimly lagi, hal itu tidaklah dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Namun sebaliknya. Jika UU menentukan, Jimly menguraikan lagi, bahwa hakim agung termasuk kedalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY, maka MK berpendapat hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi para hakim agung yang sekarang juga tidak direkrut berdasarkan ketentuan baru yang melibatkan peran KY sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, kata Jimly. Pilihan kebijakan hukum yang demikian, menurut MK, juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Bukan itu saja. MK juga memberikan titahnya perihal prosedur pengawasan yang selama ini dijalankan oleh KY. Menurutnya, perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY mengenai wewenang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan rumusan kalimat yang berbeda. Sehingga menimbulkan masalah dalam penormaannya dalam UU KY yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid), urai Jimly. Beleid itu berbunyi
"Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim". Perumusan aturan inilah yang dianggap tidak tegas oleh MK.
Selain itu, UU KY juga dinilai terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan. “Tidak jelas dan tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan," tegas Jimly. Hal itu, sambungnya lagi, mengakibatkan semua ketentuan KY mengenai pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya..
Selain itu, masih menurut Jimly, konsepsi pengawasan yang terkandung dalam UU KY didasarkan atas paradigma yang tidak tepat. "Seolah-olah hubungan antara MA dan KY berada dalam pola hubungan checks and balances antar cabang kekuasaan (separation of power) sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak tepat terutama dalam pelaksanaannya," ujarnya. Jika hal ini dibiarkan tanpa penyelesaian, katanya lagi, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara MA dan KY akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat. "Yang ada pad gilirannya juga dapat mendelegitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin tidak dipercaya."jelasnya.
Pastinva. MK menyalahkan sepenuhnya UU KY yang dianggap masih banyak kerancuan. “Harus dilakukan proses perubahan undang-undang sebagaimana mestinva.” kata Jimly dalam putusan itu. Khususnya, sambungnya lagi, yang berkaitan dengan ketentuan mengenai pengawasan perilaku hakim Alasan inilah yang membuat MK kemudian merekomendasikan kepada DPR dan Presiden untuk mengambil langkah-langkah demi penyempurnaan UU KY.
Nah, putusan inilah yang memang tak disangka-sangka itu. Kedua pihak pun terperangah.
Untung saja, dipihak KY legowo atas putusan MK tersebut. "Kita akan mematuhi putusan ini," kata Soekotjo kepada FORUM. Begitu juga di pihak MA. Harifin menjelaskan pihaknya juga akan tetap menerima putusan tersebut. "Karena putusan itukan berlaku mengikat, jadi tetap kita patuhi," ujarnya kepada FORUM.
Menariknya, dengan keluarnya putusan MK ini berarti KY tidak lagi bisa mengawasi para hakim agung. Itu sepanjang belum ada perubahan terhadap UU KY tersebut. Inilah yang membuat sejumlah pihak menafsirkan MK sedikit "membela" MA. Namun yang lebih diuntungkan adalah pihak MK sendiri. Karena hakim konstitusi secara terang dinyatakan tidak lagi termasuk dalam objek pengawasan KY. Fakta ini tentu tak menjamin perseteruan antara MA dan KY mereda.
Namun pandangan berbeda datang dari Mayasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. Dia menilai, memang saat ini ada kecenderungan yang berbeda dalam praktik hukum kita. "Seringkali hukuman secara internal diproses melebihi ketentuan yang berlaku," katanya kepada FORUM. Hal seperti itu, sambungnya, bisa merusak tatanan logika hukum yang sudah dibangun secara sistematis. "Jadi antara MA dan KY ini perlu dilihat secara konstitusi, bukan dengan organisatoris semata," ujarnya lagi. Bila kedua lembaga itu melihat dengan kacamata seperti itu, urainya lagi, niscaya perselisihan yang selama ini terbangun bisa dinafikkan. Hanya saja, hal itulah yang selama ini menjadi persoalan. Pasalnya tak sedikit pula yang menilai sebagian pihak justru bekerja demi sebuah popularitas. Bukan melakukan fungsinya sebagai pengawas. Alhasil, perang berkepanjangan pun tak bisa terselesaikan hingga kini.
No comments:
Post a Comment