Monday, May 21, 2007

Wawancara Maiyasjak Johan, anggota Komisi III DPR

Maiyasjak Johan, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI :
“MA dan KPK Tidak Sederajat”

Peristiwa hukum yang menimpa Ketua MA, Bagir Manan merupa­kan masalah menarik. Baru kali pertama sejak bangsa ini berdiri. Karena itu, penyeles­aiannya pun masih mengun­dang perdebatan. Di satu pi­hak banyak yang mengingin­kan agar Ketua MA itu dipe­riksa. Tapi ternyata secara hukum ketatanegaraan, posisinya adalah pemegang kekuasaan tertinggi yudika­tif. Berarti sama dengan Pre­siden sebagai pemegang ke­kuasaan eksekutif. Nah, bila Presiden melakukan pelang­garan hukum, maka proses­nya juga tidak sama. Dia le­bih dulu menghadapi im­peachment. Bukan langsung diadili. Harusnya Ketua MA juga berada dalam posisi yang sama. Karena sifatnya adalah sejajar. Hal itu jelaskan secara gamblang oleh Maiyasjak Johan. Laki­laki yang juga berprofesi sebagai pen­gacara ini menjelaskan berdasarkan filosofis hukum. Termasuk memberi jalan keluar polemik yang terjadi. Seperti apa pendapatnya, berikut petikan wawan­caranya dengan Irawan Santoso dari FORUM.

Bagaimana pandangan anda meni­lai penseteruan antara Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK) dan Mahka­mah Agung (MA) ini?
Saya melihat masalah ini bukan se­buah konflik antara KPK dan MA. Ini persoalan yang menarik. Karena secara kademis ini pengalaman pertama bangsa ini dimana penyidik (KPK-red) harus menghadapi pemegang kekuasaan yudi­sial (MA). Nah, kita belum pernah punya pengalaman dengan kasus seperti ini. Ja­di modal yang kita miliki adalah hanya­lah pengetahuan hukum. Kita berharap pengetahuan hukum inilah yang bisa menuntun kita untuk menyelesaikan persoalan ini.

Apa ukuran yang dipakai untuk melihat hal tersebut?
Ukurannya ada tiga hal. Pertama, norma hukum. Kedua, fatsun dan ketiga konsistensi penegakan hukum.

Anda mengatakan bahwa KPK ha­nyalah sebuah subsistem sedangkan MA merupakan sistem, apa maksud­nya?
Kita hidup dalam suatu negara. Nega­ra itu merupakan organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi kekuasaan, sejarah mengajarkan, secara akademis lahirlah adagium bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan. Agar tidak terjadi ke­cenderungan kekuasaan, lambat laun la­hirlah teori yang berdasarkan pengala­man hidup orang. Karena pada mulanya negara dipimpin oleh seorang raja. Ada­gium yang lahir kala itu adalah The King Can Do No Wrong. Kemudian bergeser la­gi dengan jangka waktu yang lama bahkan sampai terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II, mem­berikan pengalaman yang sangat berharga tentang ke­kuasaan yang tidak terken­dali. Sehingga pada abad itu lahirlah teori JJ Rosseou hingga. Montesque. Teori kontrak social. Kemudian se­buah organisasi kekuasaan itu dikenal sebagai sebuah sistem. Sistem itu kemudian dikenal sebagai checks and balances system. Akhirnya kekuasaan dalam suatu ne­gara dipecah menjadi tiga. Kekuasaan membuat UU ada dalam parlemen. Kekua­saan untuk menjalankan UU ada dalam eksekutif dan kekuasaan untuk menjaga jalannya UU ada dalam yu­dikatif. Jadi MA berada pada sistem di yudikatif. Sedangkan KPK hanya berada dalam subsistem eksekutif. Jadi jelas secara ketatanegaraan, posisi antara MA dan KPK tidaklah sama.
Kalau begitu, apakah KPK tidak diperbolehkan menggeledah MA yang konon berada diatasnya?
Pertanyaan itu sama dengan, bisakah Istana Presiden di geledah? Tidak bisa dong. Untuk bisa melakukannya, tentu ada aturan main tersendiri. Tapi Indone­sia belum memiliki pengalaman. Walau­pun begitu, bukan otomatis secara mu­tlak tidak bisa digeledah. Kita contohkan pada Amerika. Di Amerika penggeleda­han terhadap Gedung Putih dilakukan dengan membentuk Jaksa Khusus. Itu pernah dalam kasus Clinton, Kenneth Star. Jadi jaksa yang ditunjuk bukan jak­sa yang biasa. Mesti Jaksa Khusus.

Tapi kan KPK memiliki hak-hak khusus sehingga disebut superbody, berarti kan bisa melakukan hal-hal khusus juga?
Boleh saja KPK mengatakan dirinya superbody. Seyogyanya, dalam suatu ne­gara diharamkan adanya kekuasaan yang bersifat 'super'. Karena, kalau ada yang super berarti ada yang imperior. Ja­di penggunaan istilah itu hanya pemaka­ian terminologi yang hasil lompatan dari terminologi yang ekstrim dengan termo­nologi lainnya.
Seemergency bagaimanapun keadaan negara, sistem harus dijaga. Sistem tidak boleh rusak. Oleh karena itu keadaan ­keadaan khusus seperti ini biasanya di­tanggulangi oleh tim ad hoc. Nah, kini ada sebuah peristiwa hukum yang me­nunjukkan adanya dugaan terhadap Ke­tua MA. Nah kata 'dugaan' adalah sebu­ah suku kata yang biasanya dipakai da­lam penyelidikan. Kalau proses penyeh­dikan adalah bagian yang paling awal da­ri proses penegakan hukum, pertanyaan­nya, bisakah proses tersebut dilakukan dengan melakukan pelanggaran hukum.

Lalu apa yang salah terhadap pe­nyidikan yang dilakukan oleh KPK itu?
Dalam penyelidikan, asas yang paling fundamental adalah presumtion of inno­cent. Praduga tak bersalah. Asas ini ha­rus diletakkan pada to subjek. Bukan pa­da to avvidendts (alat bukti). Pada kasus ini, barang buktinya ada pada sebuah institusi yakni MA. MA itu adalah peme­gang kekuasaan tertinggi dalam yudika­tif. Kalau kita lihat, posisi MA dalam pe­merintahan kita, kedudukan MA sebagai pemegang kekuasaan. Teorinya seubah konfergensi separation of power (pemisa­han kekuasaan). Nah, KPK berada da­lam sistem mana? Jawabannya dalam praktek pemerintahan KPK adalah ba­gian dari sub sistem eksekutif. Dia meru­pakan kuasi dari eksekutif itu. Bukan berarti bertanggungjawab langsung ke­pada Presiden. Seperti BPK misalnya, lembaga itu merupakan sub sistem dari Parlemen. Jadi KPK juga seperti itu. Ma­ka bagaimana logikanya bila sub sistem melanggar sistem? Lalu apakah MA ti­dak bisa diperiksa? Bukan itu permasala­hannya. Saya hanya ingin melindungi rakyat dari kemungkinan terjelek. Bu­kan untuk membela satu subjek.

Tapi kan banyak pihak yang meng­inginkan KPK tetap melakukan pe­meriksaan terhadap Ketua MA?
Peristiwa itu memang terjadi. Saya ingin katakan, secara psyco, politik sesuai dengan suara orang banyak (massa). Tapi hukum itu bukan bicara suara orang ba­nyak. Karena suara orang banyak itu, di Bekasi seorang pencuri, maka dibakar. Itulah kalau mengikuti suara orang ba­nyak. Nah, untuk menghindarkan hal itulah hukum lahir. Agar segala masalah bisa ditangani secara beradab.

Berarti ada penyingkiran dari sub­stansi?
Di sinilah dilemanya. Antara substansi dengan prosedur. Sejarah ilmu hukum di dunia, tak satu pun yang mentolerir pe­langgaran hukum. Itu dibuktikan dengan keluarnya adagium "Lebih bagus membe­baskan seribu orang bersalah ketimbang menghukum satu orang tidak bersalah". Ini membuktikan bahwa untuk mencegah kekuasaan sekecil apapun jika diberikan kesempatan untuk dipakai tanpa batas pasti akan cenderung disalahgunakan. Persoalannya adalah orang akan kata­kan bahwa KPK memiliki bukti. Tapi me­nurut saya, proses ini belum sampai ke pengadilan. Silahkan kalau KPK me­miliki bukti. Karena itu proses harus dilakukan. Tapi untuk membuktikan, ha­nya bisa dilakukan di depan pengadilan. Jadi jangan sampai melahirkan "lemba­ga-lembaga peradilan" baru lagi.

Dalam posisi seperti itu, KPK telah salah langkah dengan menyudutkan Bagir?
Orang harus dalam posisi merdeka da­lam memberikan keterangan apapun. Ketika itulah baru kita bisa disebut da­lam posisi beradab. Karena bisa meng­hargai. sesama manusia. Ketika kita ber­diri dalam posisi berkuasa dan orang ber­ada dalam posisi suspect kemudian kita menggunakan kekuasaan kita, pada hari itulah kita berarti telah membunuh ma­nusia. Karena itu untuk menjadi penyi­dik itu bukan persyaratan yang mudah. Yang dibutuhkan adalah orang terbaik. Pengertian orang terbaik itu adalah orang yang memiliki pengetahuan. Tetapi juga harus paham seni dari pengetahuan itu.

Anda membela Ketua MA?
Saya bukan berada dalam posisi untuk membela satu lembaga. Tapi hanya ingin menyempurnakan. Karena kita memang tidak punya pengalaman yang cukup da­lam memproses orang-orang yang meme­gang kekuasaan secara hukum. Tidak pernah.

Terhadap langkah KPK yang me­manggil Bagir Manan untuk dimin­tai keterangannya, apakah hal itu dibenarkan?
Kembali dilematis. Kalau seandainya Presiden melakukan kesalahan. Makes prosesnya adalah melalui impeachment. Pertanyannya, bagaimana jika seorang Ketua MA yang berada dalam posisi yang sama? Jadi harus berusaha memikirkan masalah ini dengan jernih. Kita jangan sampai merusak sistem. Tapi bagaimana agar mekanismenya dibuat. Prosedurnya itu harus sedemikian rupa. Jadi kalau ki­ta lihat kondisi yang ada sekarang me­nunjukkan dengan jelas kepada kita bah­wa saat ini bangsa ini masih President oriented. Kita memang menganut sistem presidensial. Tapi bukan berarti harus President oriented. Semua orang memang harus bersifat sama kedudukannya da­lam hukum. Tapi kata "sama" tadi lahir dan diterjemahkan dalam posisi sistem.
Dan itulah sebabnya di beberapa nega­ra, mereka menyelesaikannya secara ber­adab. Lahirlah sebuah tradisi hukum yang namanya disebut jurisprudensi. Jadi ki­ta belum pernah dalam sejarah ketatane­garaan selama 60 tahun, kejadian ini ba­ru pertama kali. Tentunya yang me­nyangkut Ketua MA. Bukan berarti Ke­tua MA tak boleh disentuh. Saya tidak setuju juga. Kalau itu yang terjadi maka akan melanggar sistem check and balan­ces. Jadi itukan segitiga yang simbiosis. Yang sederajat. Presiden bisa dijatuhkan lewat impeachment. Ketua DPR juga bisa diproses secara hukum. Begitu juga de­ngan Ketua MA. Tapi ingat, caranya tentu berbeda.
Tapi kan belum ada undang-un­dang yang mengatur proses hukum terhadap Ketua MA?
UU itu tidak bisa dibuat semuanya. Amerika itu tidak kaya dengan UU. Tapi mereka lebih kaya terhadap jurispruden­si. Jusrisprudensi itu kan melahirkan adagium-adagium baru. Itulah yang dise­but star decisis. Kalau di Indonesia dise­but dengan landmark decision. Artinya kasus-kasus besar yang bisa dijadikan contoh. Hanya kesulitan yang paling be­sar adalah bangsa ini berani meletakkan penyelesaian persoalan ini kepada orang yang tidak ahli hukum yakni KPK.

Jadi, terhadap penggeledahan itu MA bisa melakukan praperadilan?
Ke depan masalah ini bakal tambah ru­mit. Kalau seandainya, MA melakukan itu, atau pengadilan menyatakan pengge­ledahan itu tidak sah, orang pasti menga­takan itu merupakan subjektifitas lemba­ga peradilan. Kita tidak boleh membiar­kan pendapat seperti ini berkembang. Karena yang paling sulit itu adalah logi­ka awam yang kurang mengerti hukum berhadapan dengan logika hukum. Pada­hal logika hukum itu harus prosedural dan tertib. Logika awam itu adalah pera­saan semata. Padahal logika hukum un­tuk menjaga agar jangan sampai berkem­bang perilaku sewenang-wenang. Jadi tu­juan logika hukum itu melindungi semua orang.

Terhadap posisi kasusnya, Anda menilai memang ada kertlibatan da­ri sejumlah hakim agung itu?
Mari kita lihat dari kedudukan ma­sing-masing. Kedudukan Probo, Harini, dan Pono Cs. Probo secara hukum orang yang punya motif melakukan tindak pi­dana. Karena dia yang punya motif, ma­ka posisinya minimal adalah penyuap. Karena motifnya itu di manupulate. Ke­dua, dia juga punya motif ingin bebas, motifnya itulah yang di manipulate oleh Harini dan Pono Cs. Itu bisa dilihat dari pengacara yang dia pakai, Harini. Penga­cara yang punya akses ke lembaga pe­ngadilan. Karena dianggapnya dia seba­gai orang yang punya akses, maka “dipa­kainya”. Ternyata Harini tidak memiliki akses langsung kepada Majelis hakim. Melainkan dia menggunakan Pono Cs. Dengan begitu kelihatanlah ini merupa­kan manipulasi situasi. Kasus posisinya adalah Pono dan Harini berada dalam po­sisi dader bersama-sama memanipulasi keadaan. Bahasa hukumnya menyalah­gunakan keadaan. Keadaan pertama adalah memanipulasi motifnya keingi­nan Probo. Kedua adalah memanfaatkan keadaan Pono sebagai pegawai dan kedu­dukannya sebagai mantan hakim.

Jadi posisi Bagir sebagai saksi ju­ga tidak tepat sama sekali?
Nah, mereka itu kan tertangkap ta­ngan. Untuk kejadian seperti itu saksi otomatis tidak diperlukan. Saksi verbal. Saksinya adalah penyidik yang me­nangkap mereka itu saja. Tidak ada hu­bungannya dengan majelis hakim itu.

Mengapa anda lebih menyarankan untuk melakukan pendekatan sis­tem untuk menyelesaikan masalah ini?
Kenapa harus ada pendekatan sistem. Karena kita ingin membangun tradisi pe­negakan hukum. Inilah yang saga sebut­kan sebagai kultur. Sehingga kita tahu bagaimana penegakan hukum secara be­nar.

No comments: