Maiyasjak Johan, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI :
“MA dan KPK Tidak Sederajat”
Peristiwa hukum yang menimpa Ketua MA, Bagir Manan merupakan masalah menarik. Baru kali pertama sejak bangsa ini berdiri. Karena itu, penyelesaiannya pun masih mengundang perdebatan. Di satu pihak banyak yang menginginkan agar Ketua MA itu diperiksa. Tapi ternyata secara hukum ketatanegaraan, posisinya adalah pemegang kekuasaan tertinggi yudikatif. Berarti sama dengan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Nah, bila Presiden melakukan pelanggaran hukum, maka prosesnya juga tidak sama. Dia lebih dulu menghadapi impeachment. Bukan langsung diadili. Harusnya Ketua MA juga berada dalam posisi yang sama. Karena sifatnya adalah sejajar. Hal itu jelaskan secara gamblang oleh Maiyasjak Johan. Lakilaki yang juga berprofesi sebagai pengacara ini menjelaskan berdasarkan filosofis hukum. Termasuk memberi jalan keluar polemik yang terjadi. Seperti apa pendapatnya, berikut petikan wawancaranya dengan Irawan Santoso dari FORUM.
Bagaimana pandangan anda menilai penseteruan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Agung (MA) ini?
Saya melihat masalah ini bukan sebuah konflik antara KPK dan MA. Ini persoalan yang menarik. Karena secara kademis ini pengalaman pertama bangsa ini dimana penyidik (KPK-red) harus menghadapi pemegang kekuasaan yudisial (MA). Nah, kita belum pernah punya pengalaman dengan kasus seperti ini. Jadi modal yang kita miliki adalah hanyalah pengetahuan hukum. Kita berharap pengetahuan hukum inilah yang bisa menuntun kita untuk menyelesaikan persoalan ini.
Apa ukuran yang dipakai untuk melihat hal tersebut?
Ukurannya ada tiga hal. Pertama, norma hukum. Kedua, fatsun dan ketiga konsistensi penegakan hukum.
Anda mengatakan bahwa KPK hanyalah sebuah subsistem sedangkan MA merupakan sistem, apa maksudnya?
Kita hidup dalam suatu negara. Negara itu merupakan organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi kekuasaan, sejarah mengajarkan, secara akademis lahirlah adagium bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan. Agar tidak terjadi kecenderungan kekuasaan, lambat laun lahirlah teori yang berdasarkan pengalaman hidup orang. Karena pada mulanya negara dipimpin oleh seorang raja. Adagium yang lahir kala itu adalah The King Can Do No Wrong. Kemudian bergeser lagi dengan jangka waktu yang lama bahkan sampai terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II, memberikan pengalaman yang sangat berharga tentang kekuasaan yang tidak terkendali. Sehingga pada abad itu lahirlah teori JJ Rosseou hingga. Montesque. Teori kontrak social. Kemudian sebuah organisasi kekuasaan itu dikenal sebagai sebuah sistem. Sistem itu kemudian dikenal sebagai checks and balances system. Akhirnya kekuasaan dalam suatu negara dipecah menjadi tiga. Kekuasaan membuat UU ada dalam parlemen. Kekuasaan untuk menjalankan UU ada dalam eksekutif dan kekuasaan untuk menjaga jalannya UU ada dalam yudikatif. Jadi MA berada pada sistem di yudikatif. Sedangkan KPK hanya berada dalam subsistem eksekutif. Jadi jelas secara ketatanegaraan, posisi antara MA dan KPK tidaklah sama.
Kalau begitu, apakah KPK tidak diperbolehkan menggeledah MA yang konon berada diatasnya?
Pertanyaan itu sama dengan, bisakah Istana Presiden di geledah? Tidak bisa dong. Untuk bisa melakukannya, tentu ada aturan main tersendiri. Tapi Indonesia belum memiliki pengalaman. Walaupun begitu, bukan otomatis secara mutlak tidak bisa digeledah. Kita contohkan pada Amerika. Di Amerika penggeledahan terhadap Gedung Putih dilakukan dengan membentuk Jaksa Khusus. Itu pernah dalam kasus Clinton, Kenneth Star. Jadi jaksa yang ditunjuk bukan jaksa yang biasa. Mesti Jaksa Khusus.
Tapi kan KPK memiliki hak-hak khusus sehingga disebut superbody, berarti kan bisa melakukan hal-hal khusus juga?
Boleh saja KPK mengatakan dirinya superbody. Seyogyanya, dalam suatu negara diharamkan adanya kekuasaan yang bersifat 'super'. Karena, kalau ada yang super berarti ada yang imperior. Jadi penggunaan istilah itu hanya pemakaian terminologi yang hasil lompatan dari terminologi yang ekstrim dengan termonologi lainnya.
Seemergency bagaimanapun keadaan negara, sistem harus dijaga. Sistem tidak boleh rusak. Oleh karena itu keadaan keadaan khusus seperti ini biasanya ditanggulangi oleh tim ad hoc. Nah, kini ada sebuah peristiwa hukum yang menunjukkan adanya dugaan terhadap Ketua MA. Nah kata 'dugaan' adalah sebuah suku kata yang biasanya dipakai dalam penyelidikan. Kalau proses penyehdikan adalah bagian yang paling awal dari proses penegakan hukum, pertanyaannya, bisakah proses tersebut dilakukan dengan melakukan pelanggaran hukum.
Lalu apa yang salah terhadap penyidikan yang dilakukan oleh KPK itu?
Dalam penyelidikan, asas yang paling fundamental adalah presumtion of innocent. Praduga tak bersalah. Asas ini harus diletakkan pada to subjek. Bukan pada to avvidendts (alat bukti). Pada kasus ini, barang buktinya ada pada sebuah institusi yakni MA. MA itu adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam yudikatif. Kalau kita lihat, posisi MA dalam pemerintahan kita, kedudukan MA sebagai pemegang kekuasaan. Teorinya seubah konfergensi separation of power (pemisahan kekuasaan). Nah, KPK berada dalam sistem mana? Jawabannya dalam praktek pemerintahan KPK adalah bagian dari sub sistem eksekutif. Dia merupakan kuasi dari eksekutif itu. Bukan berarti bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Seperti BPK misalnya, lembaga itu merupakan sub sistem dari Parlemen. Jadi KPK juga seperti itu. Maka bagaimana logikanya bila sub sistem melanggar sistem? Lalu apakah MA tidak bisa diperiksa? Bukan itu permasalahannya. Saya hanya ingin melindungi rakyat dari kemungkinan terjelek. Bukan untuk membela satu subjek.
Tapi kan banyak pihak yang menginginkan KPK tetap melakukan pemeriksaan terhadap Ketua MA?
Peristiwa itu memang terjadi. Saya ingin katakan, secara psyco, politik sesuai dengan suara orang banyak (massa). Tapi hukum itu bukan bicara suara orang banyak. Karena suara orang banyak itu, di Bekasi seorang pencuri, maka dibakar. Itulah kalau mengikuti suara orang banyak. Nah, untuk menghindarkan hal itulah hukum lahir. Agar segala masalah bisa ditangani secara beradab.
Berarti ada penyingkiran dari substansi?
Di sinilah dilemanya. Antara substansi dengan prosedur. Sejarah ilmu hukum di dunia, tak satu pun yang mentolerir pelanggaran hukum. Itu dibuktikan dengan keluarnya adagium "Lebih bagus membebaskan seribu orang bersalah ketimbang menghukum satu orang tidak bersalah". Ini membuktikan bahwa untuk mencegah kekuasaan sekecil apapun jika diberikan kesempatan untuk dipakai tanpa batas pasti akan cenderung disalahgunakan. Persoalannya adalah orang akan katakan bahwa KPK memiliki bukti. Tapi menurut saya, proses ini belum sampai ke pengadilan. Silahkan kalau KPK memiliki bukti. Karena itu proses harus dilakukan. Tapi untuk membuktikan, hanya bisa dilakukan di depan pengadilan. Jadi jangan sampai melahirkan "lembaga-lembaga peradilan" baru lagi.
Dalam posisi seperti itu, KPK telah salah langkah dengan menyudutkan Bagir?
Orang harus dalam posisi merdeka dalam memberikan keterangan apapun. Ketika itulah baru kita bisa disebut dalam posisi beradab. Karena bisa menghargai. sesama manusia. Ketika kita berdiri dalam posisi berkuasa dan orang berada dalam posisi suspect kemudian kita menggunakan kekuasaan kita, pada hari itulah kita berarti telah membunuh manusia. Karena itu untuk menjadi penyidik itu bukan persyaratan yang mudah. Yang dibutuhkan adalah orang terbaik. Pengertian orang terbaik itu adalah orang yang memiliki pengetahuan. Tetapi juga harus paham seni dari pengetahuan itu.
Anda membela Ketua MA?
Saya bukan berada dalam posisi untuk membela satu lembaga. Tapi hanya ingin menyempurnakan. Karena kita memang tidak punya pengalaman yang cukup dalam memproses orang-orang yang memegang kekuasaan secara hukum. Tidak pernah.
Terhadap langkah KPK yang memanggil Bagir Manan untuk dimintai keterangannya, apakah hal itu dibenarkan?
Kembali dilematis. Kalau seandainya Presiden melakukan kesalahan. Makes prosesnya adalah melalui impeachment. Pertanyannya, bagaimana jika seorang Ketua MA yang berada dalam posisi yang sama? Jadi harus berusaha memikirkan masalah ini dengan jernih. Kita jangan sampai merusak sistem. Tapi bagaimana agar mekanismenya dibuat. Prosedurnya itu harus sedemikian rupa. Jadi kalau kita lihat kondisi yang ada sekarang menunjukkan dengan jelas kepada kita bahwa saat ini bangsa ini masih President oriented. Kita memang menganut sistem presidensial. Tapi bukan berarti harus President oriented. Semua orang memang harus bersifat sama kedudukannya dalam hukum. Tapi kata "sama" tadi lahir dan diterjemahkan dalam posisi sistem.
Dan itulah sebabnya di beberapa negara, mereka menyelesaikannya secara beradab. Lahirlah sebuah tradisi hukum yang namanya disebut jurisprudensi. Jadi kita belum pernah dalam sejarah ketatanegaraan selama 60 tahun, kejadian ini baru pertama kali. Tentunya yang menyangkut Ketua MA. Bukan berarti Ketua MA tak boleh disentuh. Saya tidak setuju juga. Kalau itu yang terjadi maka akan melanggar sistem check and balances. Jadi itukan segitiga yang simbiosis. Yang sederajat. Presiden bisa dijatuhkan lewat impeachment. Ketua DPR juga bisa diproses secara hukum. Begitu juga dengan Ketua MA. Tapi ingat, caranya tentu berbeda.
Tapi kan belum ada undang-undang yang mengatur proses hukum terhadap Ketua MA?
UU itu tidak bisa dibuat semuanya. Amerika itu tidak kaya dengan UU. Tapi mereka lebih kaya terhadap jurisprudensi. Jusrisprudensi itu kan melahirkan adagium-adagium baru. Itulah yang disebut star decisis. Kalau di Indonesia disebut dengan landmark decision. Artinya kasus-kasus besar yang bisa dijadikan contoh. Hanya kesulitan yang paling besar adalah bangsa ini berani meletakkan penyelesaian persoalan ini kepada orang yang tidak ahli hukum yakni KPK.
Jadi, terhadap penggeledahan itu MA bisa melakukan praperadilan?
Ke depan masalah ini bakal tambah rumit. Kalau seandainya, MA melakukan itu, atau pengadilan menyatakan penggeledahan itu tidak sah, orang pasti mengatakan itu merupakan subjektifitas lembaga peradilan. Kita tidak boleh membiarkan pendapat seperti ini berkembang. Karena yang paling sulit itu adalah logika awam yang kurang mengerti hukum berhadapan dengan logika hukum. Padahal logika hukum itu harus prosedural dan tertib. Logika awam itu adalah perasaan semata. Padahal logika hukum untuk menjaga agar jangan sampai berkembang perilaku sewenang-wenang. Jadi tujuan logika hukum itu melindungi semua orang.
Terhadap posisi kasusnya, Anda menilai memang ada kertlibatan dari sejumlah hakim agung itu?
Mari kita lihat dari kedudukan masing-masing. Kedudukan Probo, Harini, dan Pono Cs. Probo secara hukum orang yang punya motif melakukan tindak pidana. Karena dia yang punya motif, maka posisinya minimal adalah penyuap. Karena motifnya itu di manupulate. Kedua, dia juga punya motif ingin bebas, motifnya itulah yang di manipulate oleh Harini dan Pono Cs. Itu bisa dilihat dari pengacara yang dia pakai, Harini. Pengacara yang punya akses ke lembaga pengadilan. Karena dianggapnya dia sebagai orang yang punya akses, maka “dipakainya”. Ternyata Harini tidak memiliki akses langsung kepada Majelis hakim. Melainkan dia menggunakan Pono Cs. Dengan begitu kelihatanlah ini merupakan manipulasi situasi. Kasus posisinya adalah Pono dan Harini berada dalam posisi dader bersama-sama memanipulasi keadaan. Bahasa hukumnya menyalahgunakan keadaan. Keadaan pertama adalah memanipulasi motifnya keinginan Probo. Kedua adalah memanfaatkan keadaan Pono sebagai pegawai dan kedudukannya sebagai mantan hakim.
Jadi posisi Bagir sebagai saksi juga tidak tepat sama sekali?
Nah, mereka itu kan tertangkap tangan. Untuk kejadian seperti itu saksi otomatis tidak diperlukan. Saksi verbal. Saksinya adalah penyidik yang menangkap mereka itu saja. Tidak ada hubungannya dengan majelis hakim itu.
Mengapa anda lebih menyarankan untuk melakukan pendekatan sistem untuk menyelesaikan masalah ini?
Kenapa harus ada pendekatan sistem. Karena kita ingin membangun tradisi penegakan hukum. Inilah yang saga sebutkan sebagai kultur. Sehingga kita tahu bagaimana penegakan hukum secara benar.
No comments:
Post a Comment