MA dan KY bertarung soal menafsirkan kata "hakim". Gara-gara UUD 1945 yang banyak celah hukumnya?
Wajah Jimly Ashidiqie langsung berubah.Dia jadi terdiam. Tak melanjutkan perbincangan yang sebelumnya riang. Nada bicaranya jadi berat. Tak seperti biasanya ketua Mahkamah Konstitusi itu agak bingung. Biasanya, ketika ditanya tentang urusan konstitusi, Jimly langsung sigap. Segala hal bisa dijawabnya. Tapi yang satu ini agak berbeda. Dia seolah enggan mengungkapkannya. Tepatnya ketika FORUM menyodorkan sebuah pertanyaan. Temanya tentang status perkara permohonan uji materil Undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang kornisi yudisial. Jimly cuma berujar pendek “Berat itu," katanya.
Memang hingga kini perkara itu belum diputus. Padahal sudah lima bulan berselang. Medio Maret 2006 lalu, perkara itu mulai masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga beberapa kali persidangan, sampai kini putusan belum diturunkan.
Kasus itu memang tak biasa. 31 hakim agung yang jadi pemohonnya. Mereka menuntut agar MK melakukan beberapa perubahan dalam beleid itu. Judicial review atas pasal 1 angka 5, pasal 20, pasal 21, pasal 22 ayat (1) huruf e angka 5, pa-sal 23 ayat (2, 3 dan 5), pasal 24 ayat (1) dan pasal 25 ayat (3) UU KY. Keseluruhan pasal itu dinilai bertentangan dengan pasal 24 B UUD 1945. Bunyinya, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Sejak itulah peperangan antara MA dan KY merambah wilayah persidangan.
Yang dipersoalkan sebenarnya adalah kata 'hakim'. Kata ini dianggap bermasalah. Para hakim agung yang jadi pemohon menganggap ada yang tak jelas tentang status hakim. Mereka menganggap makna hakim memiliki perbedaan. Perbedaan itu termaktub dalam bunyi undang-undang. UU tentang Kekuasaan Kehakiman menulis , bila menyebutkan tentang "wakil Tuhan" itu, maka selalu disebutkan hakim dan hakim agung. Artinya, hakim adalah "wakil Tuhan" yang ada di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Sedangkan ‘hakim agung' jelas ada di Mahkamah Agung. Jadi, hakim belum tentu'hakim agung’.
Nah, dalam UU KY, ternyata hanya kata 'hakim' saja yang termaktub. Sedangkan `hakim agung’ sama sekah tak disinggung. Dengan begitu, menurut Djoko Sarwoko, juru bicara hakim agung, berarti KY sama sekali tak bisa mengawasi hakim agung. Tapi dalam praktiknya, katanya lagi, ternyata KY selalu mengawasi hakim agung. "Berarti ada yang tidak sesuai," katanya lagi. Atas dasar itulah 31 orang yang bekerja sebagai hakim agung itu kemudian mengajukan perlawanan. Mereka melakukan uji materil terhadap UU KY itu.
Tapi ternyata penafsiran tersebut dianggap keliru. Pendapat itu dilontarkan oleh Gani Abdullah, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional. Waktu RUU KY digarap, dialah yang menjadi komandannya. Pada Selasa pekan lalu, kesaksiannya diperdengarkan di depan sidang pleno itu.
Dalam kesaksiannya Gani mengungkapkan bahwa makna 'hakim' sebenarnya mencakup juga `hakim agung’. Gani memberi penjelasan panjang. Sewaktu membahas RUU KY itu, ceritanya, kata hakim juga telah dikaji dalam hukum bahasa. Bila merujuk pada hukum bahasa, penggunaan huruf 'H' besar atau 'h' kecil dalam menuliskan kata hakim, mempunyai makna yang berbeda. Bila huruf kecil, maka mengandung arti luas. UUD 1945 sendiri, kata Gani, menuliskan kata hakim dengan huruf kecil. "Sehingga hakim agung dan hakim konstitusi termasuk di dalamnya," tegas Gani.
Gani bisa berkomentar demikian karena ketika UU KY ini dibentuk, ia menjadi wakil pemerintah dalam panitia kerja (panja) yang membidani lahirnya UU KY ini. Waktu membahas RUU itu, cerita Gani lagi, memang sempat terjadi perdebatan. Perdebatan alot itu akhirnya hanya menghasilkan satu hal: KY adalah lembaga pengawas eksternal hakim “Kalau bukan KY lalu siapa lagi yang mengawasi hakim agung atau hakim konstitusi," tandasnya. Jadi Gani berkesimpulan tak ada perbedaan antara hakim dan hakim agung. Keduanya sama-sama jadi objek pengawasan KY.
Namun, penjelasan Gani itu sempat mendapat perlawanan dari Indriyanto. Laki-laki yang juga staf pengajar di Universitas Indonesia itu berupaya menangkis ucapan Gani. Menurutnya, KY justru dikhawatirkan melakukan pelanggaran lex certa. Maksudnya intervensi eksekutif terhadap legislatif Sebagai argumentasi, Indriyanto menggambarkan kejadian yang berlangsung di Philipina dan India. Pemerintah Philipina ketika dipimpin Fredinand Marcos, katanya, selalu melakukan intervensi terhadap peradilan negara itu. Begitu juga di India tatkala Indira Gandhi memerintah. Kedua pemerintahan itu, lanjutnya, terang-terangan mengintervensi putusan Mahkamah Agting.
Caranya dengan menerbitkan jenis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). "Nah, cara itu mirip yang dilakukan KY," tandasnya tegas. Pastinya, Indriyanto tak sepaham bila KY diberi kewenangan untuk mengawasi hakim agung.
Memang selain perdebatan makna ’hakim', uji materil ini juga mempersoalkan kinerja KY dalam melakukan pengawasan terhadap "wakil Tuhan" di MA. Tapi, Gani ternyata memiliki jawaban atas penjelasan Indriyanto. Menurutnva, justru keterangan panjang lebar itu sama sekali tak ada hubungannya dengan perkara yang diuji materil tersebut. Pasalnya, sambung Gani, intervensi seperti yang diceritakan Indriyanto adalah intervensi kelembagaan. "Itu tak ada hubungannya (dengan perkara)," katanya.
Tak hanya itu. Gani kemudian memberikan argumen lagi. Menurutnya, KY memang berfungsi melakukan pengawasan. "Tapi tidak termasuk dalam teknis yustisial", katanya. Masalah teknis yustisial adalah kewenangan MA. Sedangkan KY, lanjutnya, hanya masuk dalam lingkup penegakan harkat dan martabat hakim.
Ketika terjadi benturan kewenangan pengawasan, Gani menyatakan hal itu sewajarnya diselesaikan dengan jalan koordinasi antara dua lembaga tersebut. Pernyataan Gani ini sempat menunai cecar hakim. "Kok tidak ada pasal yang mengatur soal koordinasi dua lembaga itu," tanya hakim.
Dengan terang Gani menjawab, kedua lembaga berada dalam koridor yang sama, maka pemerintah yang saat itu menjadi pengusul RUU KY merasa kedua lembaga seharusnya mengerti. "Sehingga tidak perlu ada pasal yang mengatur demikian," ujarnya.
Menariknya, ternyata Gani juga berbicara tentang kemungkinan bagi KY untuk memeriksa sebuah putusan hakim. Di mata Gani, hal itu sah-sah saja. Meski persoalan teknis yustisial bukan kewenangan KY, sambungnya, namun tidak tertutup kemungkinan bagi KY untuk memeriksa suatu putusan. "Terlebih bila putusan tersebut dibaca pada sidang yang terbuka untuk umum" Gani menjabarkan. Tak hanya itu. Gani bahkan memberi penegasan, "Jangankan KY, mahasiswa saja bisa memberikan catatan putusan,",. katanya. Cuma, Gani berpesan bahwa penilaian putusan itu hanya bisa dilakukan setelah perkaranya inkracht. Penilaiannya juga tak boleh dilakukan setengah-setengah.
Memang sah-sah saja Gani berpandangan demikian. Karena sampai kini ketukan palu hakim konstitusi juga belum dijatuhkan. Hanya saja, alasan yang dituangkan para hakim agung itu sebenarnya masuk akal. Masalah sebenarnya bermula dari UUD 1945 sendiri. Beleid itu secara tegas menempatkan posisi KY yang sederajat dengan MA dan MK Inilah yang membuat kalangan KY percaya diri. Sayangnya, legitimasi itu tak dibarengi dengan kinerja yang memadai. Seringkali menurut Djoko lagi, pihak KY bekerja tanpa memperhatikan undang-undang. "Yang boleh memeriksa dan memasuki wilayah perkara hanya hakim," katanya. Alasan itu pun dibantah oleh Busyro Muqqodas. Ketua KY ini tak sependapat dengan alasan itu. "Bagaimana mau memeriksa perilaku hakim bila tidak memeriksa putusan yang dibuatnya," tandasnya. Pasalnya, sambung Busyro lagi, perilaku hakim tercermin dari putusan yang dibuatnya.
Pastinya, kedua lembaga ini masih berseteru.
Pihak MA sangat tak bersedia bila terus "dikerjai" KY seperti itu. "KY semestinya menjaga agar martabat hakim tetap terjaga, bukan malah menjatuhkannya," terang Djoko lagi. Sementara pihak KY berupaya untuk tancap gas memberantas mafia peradilan. Dalihnya tentu saja dengan memerangi para "wakil Tuhan" itu.
No comments:
Post a Comment