Marianna Sutadi, wakil Ketua MA :
“Pengadilan Dibenci, tapi di rindu”
Belakangan, Mahkamah Agung terus menjadi sorotan. Terlebih setelah adanya usulan Komisi Yudisial tentang kocok ulang hakim agung dengan alasan lembaga tertinggi yudikatif ini dianggap sudah darurat. Bila itu terjadi, peluang pergantian kepemimpinan juga makin terbuka. Apalagi periode kepemimpinan Bagir Manan sebagai Ketua MA bakal segera berakhir.
Edisi lalu, FORUM memperkenalkan sejumlah hakim agung yang berpeluang menggantikan Bagir Manan. Di antara nama-nama yang muncul, ada seorang wanita. Dialah Marianna Sutadi yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua MA. Namun, diajukan sebagai calon pengganti Bagir, Marianna justru menolak. Perempuan berdarah Batak ini mengajukan alasan, tak berambisi menjadi Ketua MA.
Sebagai salah satu penguasa yudikatif, Marianna tentu saja mengerti keberatannya itu bisa saja dilampiaskannya lewat jalur pidana maupun perdata. Tapi, ternyata dia lebih mengikuti mekanisme yang tertuang dalam UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Wakil Ketua MA itu memilih menggunakan hak jawab. Fakta ini tentu menggembirakan. Pasalnya pucuk pimpinan MA saja sudah melestarikan penggunaan hak jawab dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Semoga ini bisa menjadi ‘jurisprudensi' bagi penyelesaian sengketa pers kedepannya.
Ternyata, sumbangan Marianna tak hanya itu saja. Marianna juga menceritakan "dapurnya" selama mengabdi di MA. Termasuk perkembangan terakhir yang terjadi di lembaga benteng terakhir keadilan itu. Rabu pekan lalu, keberatan itu disampaikan dalam wawancara dengan Irawan Santoso dari FORUM. Berikut petikan wawancaranya:
Anda keberatan dengan poin mana?
Tentang tulisan (FORUM edisi No.38 hal.13) ".....sudah siap dana dan dukungan dari para hakim agung lain untuk menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung". Terus terang, saya tidak pernah bertemu siapa pun yang menunjukkan saya berambisi menjadi Ketua MA. Untuk duduk menjabat posisi wakil Ketua MA saja, sejak Indonesia merdeka, baru sayalah yang pertama. Mungkin orang lain tidak tahu. Orang melihat bahwa jabatan itu banyak. Tapi MA sebagai badan peradilan, dia agak konvensional. Mengapa? Lihat saja pengadilan di Inggris. Negaranya sudah maju, tapi hakimnya tetap pakai wig. Buat apa itu? Karena memang pengadilan itu konvensional. Di Amerika juga hakimnya tetap pakai toga. Bahkan untuk badan peradilan, Amerika sendiri belum pernah ada pimpinannya yang perempuan. Sempat memang mereka memiliki satu orang hakim agung perempuan. Tapi kini telah mengundurkan diri. Karena ini memang jabatan yang sulit.
Jabatan Ketua MA adalah jabatan primes interpares. Dituakan karena semua lama. Mengapa dituakan? Karena kemampuannya, integritasnya, perilakunya. Kalau seorang Ketua MA tidak memenuhi persyaratan itu, pasti dia tidak akan dihormati anggotanya. Termasuk jabatan Wakil Ketua MA ini. Karena itu, untuk saya, kata-kata 'dengan menyiapkan dana' itu sangat menyinggung sekali.
Dengan jabatan seperti ini, bagaimana sebenarnya keseharian Anda?
Menduduki posisi Wakil Ketua MA, saya sangat mensyukuri ini dari Allah SWT. Saya tinggal di JI. Denpasar Raya, Jakarta Itu rumah jabatan kompleks menteri. Mobil yang saya pakai,Toyota Camry. Itu setara dengan mobil jabatan yang dipakai menteri. Saya mau apa lagi? Saya tidak punya pikiran lain-lain lagi kecuali bekerja. Saya hanya memikirkan agar bisa selamat, bisa menyelesaikan tugas saya yang saya impi-impikan ini, sampai ke akhir masa jabatan. Hanya itu saja.
Sebenarnya mimpi-mimpi saya banyak. Tentu saya ingin agar hakim-hakim kita itu betul-betul dapat menjadi hakim yang dihormati karena putusannya. Kita lihat di negara lain misalnya. Dalam kasus OJ Simpson di Amerika. Orang kulit hitam yang didakwa membunuh mantan istrinya dan pacar mantan istrinya. Keduanya itu orang kulit putih. Oleh pengadilan di sana dibebaskan. Karena putusan itu, terjadi keributan antara orang kulit hitam dan kulit putih. Tapi presiden mereka berkata, kita harus tunduk pada putusan pengadilan. Seperti itulah yang jadi mimpi saya. Nah, kondisi itu bisa dicapai di sini. Kuncinya, profesionalitas ditingkatkan.
Kabarnya Anda sering berpergian ke luar negeri, apa saja yangAnda lakukan?
Saya memang sempat pergi ke Jepang. Waktu itu sebenarnya tidak pantaslah pimpinan MA untuk ikut. Kenapa? Karena membicarakan mediasi. Yaitu antara Wakai dan Chotei. Nah, kasus ini yang ingin saya ambil. Tujuannya untuk dibahas guna dibuat sebuah peraturan MA. Sekarang sudah ada PERMA (Peraturan MA, red) yang mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mengutamakan mediasi. Tujuannya untuk mendamaikan pihak yang berperkara di pengadilan. Konsep itu memang banyak juga yang menolak. Tapi memang itu belum berjaIan. Untuk itu pula, hari Minggu lalu saya pergi ke Semarang. Hari libur saya itu sengaja saya pakai. Di sana melakukan sosialisasi terhadap sistem mediasi itu. Bukan hanya untuk hakim, tapi juga akademisi, advokat, LSM, LBH dan lainnya. Untuk merangkul agar kita punya pandangan sama, betapa pentingnya mediasi itu.
Menyelesaikan perkara dengan singkat, tidak usah banding atau kasasi. Secara tidak langsung akan membatasi perkara-perkara kasasi. Jadi secara alamiah akan menurun. Para pihak juga pasti senang. Karena kesepakatan mediasi itu kan dibuat para pihak. Kalau para pihak sudah setuju, lalu dibuat putusan perdamaian, tidak akan ada yang bilang itu putusan direkayasa, uang bermain dan lainnya. Makelar perkara juga bisa dihindari. Itulah terobosan yang saya inginkan sekarang ini. Jadi, jangan dikira kalau saya ke luar negeri itu untuk berjalan-jalan belaka. Nah, ini yang penting agar publik tahu. Karena saya memang menangani bidang yudisial, maka saya khusus menjadikan putusan hakim agar benar-benar memenuhi rasa keadilan. Itu bukan pekerjaan gampang.
Anda mengorbankan hari libur untuk bekerja?
Nah, apakah orang yang sampai hari liburnya dikorbankan, masih diragukan juga integritasnya? Masa sih masih cari dana. Bahkan Sabtu pekan ini saya berangkat ke Kalimantan. Di sana bertemu dengan seluruh hakim se-Kalimantan. Itu kan berarti menggunakan waktu keluarga. Hari libur, bayangkan! Mengapa saya bisa begitu, wong suami saya sudah pensiun kok. Anak-anak saya sudah berdiri sendiri. Jadi tak ada lagi yang perlu diurus.
Apa agenda Anda pergi ke sana?
Karena di sana ada masalah. Pengadilan Negeri (PN)-nya dirusak orang. Sebetulnya sasaran utamanya bukan pengadilan, tapi kantor polisi. Kebetulan massa yang sambil berjalan itu melewati PN. Nah, di PN itu lagi disimpan truk-truk illegal logging. Maka mereka berteriakteriak meminta agar truk-truk itu dikembalikan dan terdakwa dibebaskan. Karena tidak bisa, maka kaca-kaca pengadilannya dipecahkan. Karena itulah saya ke sana. Saya ingin sampaikan, kalau seandainya gedung pengadilan kita kecil, mengapa barang bukti seperti itu mesti kita yang simpan. Tidak barus. Bisa dititipkan di kejaksaan atau di polisi. Karena di sana kan ada penjagaan. pengadilan tidak bisa melakukan itu. Karena memang risikonya besar. Padahal waktu itu, ketika petugas pengadilan sedang mengambil kunci, ternyata massa masuk keruangan pengadilan. Ketika masuk, mereka mengambil barang bukti kasus lain. Jadi hilanglah. Memang tidak gampang kan jadi hakim?
Ada yang mengatakan, Anda tidak mengakar di kalangan hakim agung MA, benarkah begitu?
Tidak mengakar? Seyogianya terhadap penilaian seperti itu, saya tidak wajar berkomentar. Orang bisa mengatakan saya cantik, buruk juga bisa. Itu sah-sah saja. Hanya, saya agak bingung. Padahal kalau di tulisan itu (FORUM edisi No. 38 hal. 14-red) di atasnya dikatakan, "Saya sebelumnya didaulat oleh para hakim agung untuk jadi wakil Ketua MA". Lalu di bawahnya dicantumkan bahwa saya tidak mengakar. Ini kan kontradiksi. Penilaiannya dari mana? Ha ... ha ... ha...
Waktu MA diserang terus-menerus, Anda terkesan sama sekali tidak melakukan pembelaan, memberikan penjelasan pada pers misalnya?
Banyak wartawan yang datang kepada saya, bagaimana komentarnya tentang pemeriksaan Ketua MA? Selalu saya menjawab, "Saya tidak berkomentar". Karena sudah terlalu banyak orang berkomentar. Hasilnya juga bukan malah meluruskan keadaan. Makin mericuhkan keadaan. Jadi untuk apa? Wong yang diminta komentar kok. Kalau saya dibilang cenderung menghindar, memang menghindar. Tapi bukan karena saya ingin menyelamatkan orang lain, hanya untuk meluruskan keadaan.
Terhadap kondisi hukum kita sekarang, banyak yang malah tidak percaya lagi terhadap pengadilan, apa tanggapan Anda terhadap hal ini?
Saya senang sekali menjawabnya. Kemarin saya ke Semarang. Ada diskusi panel. Pembicaranya dari beberapa kalangan. Saya katakan, kalau saya tarik kesimpulan dari penanya-penanya itu, intinya satu, bahwa kepercayaan kepada pengadilan menurun jumlahnya. Tapi mari kita lihat. Jumlah perkara yang masuk ke PN senantiasa meningkat. Fenomena apa ini. Sebelumnya Anda mengatakan, kepercayaan terhadap pengadilan menurun. Tapi kok jumlah perkara naik. Mestinya kan turun. Jadi kondisi ini mirip, dengan lagu, judulnya benci tapi rindu. Tidak ada yang bisa memutus suatu sengketa selain pengadilan. Jadi semua orang memerlukan pengadilan. Marilah kita sama-sama memperbaiki kekurangan. Tapi bukan dibakar pengadilan itu. Itu kan seperti udara (Marianna menghirup udara dalam-dalam). Semua manusia perlu udara. Pada waktu normal, tidak ada manusia yang menghargai udara. Begitu ada polusi, baru orang-orang repot. Semua orang berduyun-duyun bagaimana mengatasi pencemaran itu. Nah, kalau itu yang kita rasakan sekarang, mengapa bukan sama-sama kita memperbaikinya. Bukan dengan menghujat atau membakarnya.
Beberapa pekan lalu. hakim PN Jakarta Selatan, Herman Allositondi, ditangkap Kejaksaan, tapi MA malah membiarkannya?
Sebenarnya saya yang memerintahkan agar dilakukannya pemeriksaan itu. Saya usulkan kepada Ketua MA, lalu perintah dikeluarkan. Karena memang kalau ada kejadian begini, kami tidak mengumumkannya. Lho, Ketua PN Semarang yang sudah ditindak itu, saya yang memerintahkan, kok. Tapi masalah lain kita memang tidak umumkan. Hanya masalah itu saja.
Namun kondisi sekarang sudah berubah. Kalau kita tidak bertindak, nanti dikira orang tidak bekerja. Maka, waktu kejadian di PN Jaksel, saya langsung menelepon Ketua PN Jaksel (Seodarto, red). Saya minta dia supaya sore itu agar datang untuk melaporkan. Waktu itu kebetulan kita sedang rapat pimpinan. Setelah mendengar penjelasan dia, saya usulkan kepada Pak Ketua MA, saya bilang ini tidak bisa tidak, majelis harus diganti semuanya. Karena kita juga menghormati azas praduga tidak bersalah. Yang baru tertangkap tangan kan paniteranya. Hakimnya belum ada cerita. Tapi, dari keterangan KPN, ini (hakimnya) pasti terkait. Malam itu juga perintah Ketua MA kepada Ketua PN Jaksel adalah tarik semua perkara dari hakim tersebut, ganti majelis hakimnya. Lalu, KPN berkata, apa tidak ketuanya saja, hakim anggotanya kita jadikan ketua. Saya bilang, tidak. Harus semuanya diganti. Karena kita perlu public trust. Karena itu konsekwensinya luas.
Esoknya Jaksa Agung menelepon Ketua MA. Hasil rekaman jelas petunjuknya (Herman terlibat). Karena itu Jaksa Agung mohon agar petunjuk Ketua MA untuk memeriksa Herman. Lalu Pak Ketua memanggil saya. Karena dia akan segera berangkat meninjau PN di Lampung. Kemudian Jaksa Agung menelepon saya lagi siangnya. Saya bilang, saya setuju. Saya juga bilang, tolong buat surat penangkapannya segera. Setelah itu saya langsung press conference. Kan cepat prosesnya. Nah, sebenarnya itu proses standar saja. Cuma selama ini tidak kita lakukan terbuka seperti itu.
Berarti MA perlu public trust juga dong?
Memang butuh.
Kalau begitu, kenapa hakim-hakim selalu sulit untuk berbicara, terutama di depan wartawan. Apakah masih relevan tentang adagium bahwa hakim itu hanya ’berbicara' lewat putusannya?
Tetap seperti itu. Perkara yang sedang berjaan, tidak boleh dikomentari oleh siapa pun juga. Jadi bila ketika menangani putusan, ada dugaan-dugaan terhadap hakimnya bermain. Nah, di sinilah diperlukan kemahiran seseorang menarik benang kusut itu, tapi (diusahakan) tidak menumpahkan tepungnya. Bagaimana caranya. Yang jelas tidak boleh mengganggu kemandirian hakim, tapi hakim itu harus diperiksa. Contoh waktu perkara Akbar Tandjung. Sebenarnya bukan perkara Akbar Tandjung-nya, tapi perkara Rahardi Ramelan. Ada surat kabar memberitakan, Rahardi minta penahanan luar, tapi tidak diizinkan karena tidak mau membayar sejumlah uang. Rahardi bilang, "Masa sih saya harus membayar seperti Akbar Tandjung". Itu kata koran. Melihat itu, kita langsung bentuk tim (pemeriksa). Waktu itu saya masih Ketua Muda Bidang Pengawasan MA. Kita memeriksa hakim perkara Rahardi Ramelan itu. Nah, itu publik tidak boleh tahu. Karena bisa mengganggu kepercayaan publik. Tapi kalau terbukti, kita akan berhentikan langsung seperti Herman kemarin. Tapi setelah diperiksa, kelima majelis hakim itu ternyata tidak terbukti. Jadi perkara tetap dipegangnya. Saya justru ingin bertanya, bisakah lembaga lain melakukan proses semacam itu? Lain memang. Karena itu, hal semacam ini tidak mungkin bakal bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial. Nah, yang seperti ini kan memang tidak perlu diumumkan. Hanya saja orang mengira MA itu seolah tidak melakukan apa-apa, tidak tersentuh reformasilah.
Soal public trust. Sewaktu terungkap kasus suap menyuap di MA yang melibatkan Pono cs, ternyata ada perbedaan antara fakta dan berita pers. Terutama tentang keterkaitan Ketua MA Bagir Manan terhadap suap-menyuap itu. Apa yang bisa di lakukan MA agar public trust itu terjaga?
Inilah yang sedang kita upayakan. Hingga kini kita tengah mencari juru bicara MA. Ini yang belum ada. Karena dari jaman dulu, di mana pun di muka bumi ini, MA itu tidak perlu juru bicara. Tapi kondisi di negeri ini sekarang berbeda.
“Pengadilan Dibenci, tapi di rindu”
Belakangan, Mahkamah Agung terus menjadi sorotan. Terlebih setelah adanya usulan Komisi Yudisial tentang kocok ulang hakim agung dengan alasan lembaga tertinggi yudikatif ini dianggap sudah darurat. Bila itu terjadi, peluang pergantian kepemimpinan juga makin terbuka. Apalagi periode kepemimpinan Bagir Manan sebagai Ketua MA bakal segera berakhir.
Edisi lalu, FORUM memperkenalkan sejumlah hakim agung yang berpeluang menggantikan Bagir Manan. Di antara nama-nama yang muncul, ada seorang wanita. Dialah Marianna Sutadi yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua MA. Namun, diajukan sebagai calon pengganti Bagir, Marianna justru menolak. Perempuan berdarah Batak ini mengajukan alasan, tak berambisi menjadi Ketua MA.
Sebagai salah satu penguasa yudikatif, Marianna tentu saja mengerti keberatannya itu bisa saja dilampiaskannya lewat jalur pidana maupun perdata. Tapi, ternyata dia lebih mengikuti mekanisme yang tertuang dalam UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Wakil Ketua MA itu memilih menggunakan hak jawab. Fakta ini tentu menggembirakan. Pasalnya pucuk pimpinan MA saja sudah melestarikan penggunaan hak jawab dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Semoga ini bisa menjadi ‘jurisprudensi' bagi penyelesaian sengketa pers kedepannya.
Ternyata, sumbangan Marianna tak hanya itu saja. Marianna juga menceritakan "dapurnya" selama mengabdi di MA. Termasuk perkembangan terakhir yang terjadi di lembaga benteng terakhir keadilan itu. Rabu pekan lalu, keberatan itu disampaikan dalam wawancara dengan Irawan Santoso dari FORUM. Berikut petikan wawancaranya:
Anda keberatan dengan poin mana?
Tentang tulisan (FORUM edisi No.38 hal.13) ".....sudah siap dana dan dukungan dari para hakim agung lain untuk menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung". Terus terang, saya tidak pernah bertemu siapa pun yang menunjukkan saya berambisi menjadi Ketua MA. Untuk duduk menjabat posisi wakil Ketua MA saja, sejak Indonesia merdeka, baru sayalah yang pertama. Mungkin orang lain tidak tahu. Orang melihat bahwa jabatan itu banyak. Tapi MA sebagai badan peradilan, dia agak konvensional. Mengapa? Lihat saja pengadilan di Inggris. Negaranya sudah maju, tapi hakimnya tetap pakai wig. Buat apa itu? Karena memang pengadilan itu konvensional. Di Amerika juga hakimnya tetap pakai toga. Bahkan untuk badan peradilan, Amerika sendiri belum pernah ada pimpinannya yang perempuan. Sempat memang mereka memiliki satu orang hakim agung perempuan. Tapi kini telah mengundurkan diri. Karena ini memang jabatan yang sulit.
Jabatan Ketua MA adalah jabatan primes interpares. Dituakan karena semua lama. Mengapa dituakan? Karena kemampuannya, integritasnya, perilakunya. Kalau seorang Ketua MA tidak memenuhi persyaratan itu, pasti dia tidak akan dihormati anggotanya. Termasuk jabatan Wakil Ketua MA ini. Karena itu, untuk saya, kata-kata 'dengan menyiapkan dana' itu sangat menyinggung sekali.
Dengan jabatan seperti ini, bagaimana sebenarnya keseharian Anda?
Menduduki posisi Wakil Ketua MA, saya sangat mensyukuri ini dari Allah SWT. Saya tinggal di JI. Denpasar Raya, Jakarta Itu rumah jabatan kompleks menteri. Mobil yang saya pakai,Toyota Camry. Itu setara dengan mobil jabatan yang dipakai menteri. Saya mau apa lagi? Saya tidak punya pikiran lain-lain lagi kecuali bekerja. Saya hanya memikirkan agar bisa selamat, bisa menyelesaikan tugas saya yang saya impi-impikan ini, sampai ke akhir masa jabatan. Hanya itu saja.
Sebenarnya mimpi-mimpi saya banyak. Tentu saya ingin agar hakim-hakim kita itu betul-betul dapat menjadi hakim yang dihormati karena putusannya. Kita lihat di negara lain misalnya. Dalam kasus OJ Simpson di Amerika. Orang kulit hitam yang didakwa membunuh mantan istrinya dan pacar mantan istrinya. Keduanya itu orang kulit putih. Oleh pengadilan di sana dibebaskan. Karena putusan itu, terjadi keributan antara orang kulit hitam dan kulit putih. Tapi presiden mereka berkata, kita harus tunduk pada putusan pengadilan. Seperti itulah yang jadi mimpi saya. Nah, kondisi itu bisa dicapai di sini. Kuncinya, profesionalitas ditingkatkan.
Kabarnya Anda sering berpergian ke luar negeri, apa saja yangAnda lakukan?
Saya memang sempat pergi ke Jepang. Waktu itu sebenarnya tidak pantaslah pimpinan MA untuk ikut. Kenapa? Karena membicarakan mediasi. Yaitu antara Wakai dan Chotei. Nah, kasus ini yang ingin saya ambil. Tujuannya untuk dibahas guna dibuat sebuah peraturan MA. Sekarang sudah ada PERMA (Peraturan MA, red) yang mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mengutamakan mediasi. Tujuannya untuk mendamaikan pihak yang berperkara di pengadilan. Konsep itu memang banyak juga yang menolak. Tapi memang itu belum berjaIan. Untuk itu pula, hari Minggu lalu saya pergi ke Semarang. Hari libur saya itu sengaja saya pakai. Di sana melakukan sosialisasi terhadap sistem mediasi itu. Bukan hanya untuk hakim, tapi juga akademisi, advokat, LSM, LBH dan lainnya. Untuk merangkul agar kita punya pandangan sama, betapa pentingnya mediasi itu.
Menyelesaikan perkara dengan singkat, tidak usah banding atau kasasi. Secara tidak langsung akan membatasi perkara-perkara kasasi. Jadi secara alamiah akan menurun. Para pihak juga pasti senang. Karena kesepakatan mediasi itu kan dibuat para pihak. Kalau para pihak sudah setuju, lalu dibuat putusan perdamaian, tidak akan ada yang bilang itu putusan direkayasa, uang bermain dan lainnya. Makelar perkara juga bisa dihindari. Itulah terobosan yang saya inginkan sekarang ini. Jadi, jangan dikira kalau saya ke luar negeri itu untuk berjalan-jalan belaka. Nah, ini yang penting agar publik tahu. Karena saya memang menangani bidang yudisial, maka saya khusus menjadikan putusan hakim agar benar-benar memenuhi rasa keadilan. Itu bukan pekerjaan gampang.
Anda mengorbankan hari libur untuk bekerja?
Nah, apakah orang yang sampai hari liburnya dikorbankan, masih diragukan juga integritasnya? Masa sih masih cari dana. Bahkan Sabtu pekan ini saya berangkat ke Kalimantan. Di sana bertemu dengan seluruh hakim se-Kalimantan. Itu kan berarti menggunakan waktu keluarga. Hari libur, bayangkan! Mengapa saya bisa begitu, wong suami saya sudah pensiun kok. Anak-anak saya sudah berdiri sendiri. Jadi tak ada lagi yang perlu diurus.
Apa agenda Anda pergi ke sana?
Karena di sana ada masalah. Pengadilan Negeri (PN)-nya dirusak orang. Sebetulnya sasaran utamanya bukan pengadilan, tapi kantor polisi. Kebetulan massa yang sambil berjalan itu melewati PN. Nah, di PN itu lagi disimpan truk-truk illegal logging. Maka mereka berteriakteriak meminta agar truk-truk itu dikembalikan dan terdakwa dibebaskan. Karena tidak bisa, maka kaca-kaca pengadilannya dipecahkan. Karena itulah saya ke sana. Saya ingin sampaikan, kalau seandainya gedung pengadilan kita kecil, mengapa barang bukti seperti itu mesti kita yang simpan. Tidak barus. Bisa dititipkan di kejaksaan atau di polisi. Karena di sana kan ada penjagaan. pengadilan tidak bisa melakukan itu. Karena memang risikonya besar. Padahal waktu itu, ketika petugas pengadilan sedang mengambil kunci, ternyata massa masuk keruangan pengadilan. Ketika masuk, mereka mengambil barang bukti kasus lain. Jadi hilanglah. Memang tidak gampang kan jadi hakim?
Ada yang mengatakan, Anda tidak mengakar di kalangan hakim agung MA, benarkah begitu?
Tidak mengakar? Seyogianya terhadap penilaian seperti itu, saya tidak wajar berkomentar. Orang bisa mengatakan saya cantik, buruk juga bisa. Itu sah-sah saja. Hanya, saya agak bingung. Padahal kalau di tulisan itu (FORUM edisi No. 38 hal. 14-red) di atasnya dikatakan, "Saya sebelumnya didaulat oleh para hakim agung untuk jadi wakil Ketua MA". Lalu di bawahnya dicantumkan bahwa saya tidak mengakar. Ini kan kontradiksi. Penilaiannya dari mana? Ha ... ha ... ha...
Waktu MA diserang terus-menerus, Anda terkesan sama sekali tidak melakukan pembelaan, memberikan penjelasan pada pers misalnya?
Banyak wartawan yang datang kepada saya, bagaimana komentarnya tentang pemeriksaan Ketua MA? Selalu saya menjawab, "Saya tidak berkomentar". Karena sudah terlalu banyak orang berkomentar. Hasilnya juga bukan malah meluruskan keadaan. Makin mericuhkan keadaan. Jadi untuk apa? Wong yang diminta komentar kok. Kalau saya dibilang cenderung menghindar, memang menghindar. Tapi bukan karena saya ingin menyelamatkan orang lain, hanya untuk meluruskan keadaan.
Terhadap kondisi hukum kita sekarang, banyak yang malah tidak percaya lagi terhadap pengadilan, apa tanggapan Anda terhadap hal ini?
Saya senang sekali menjawabnya. Kemarin saya ke Semarang. Ada diskusi panel. Pembicaranya dari beberapa kalangan. Saya katakan, kalau saya tarik kesimpulan dari penanya-penanya itu, intinya satu, bahwa kepercayaan kepada pengadilan menurun jumlahnya. Tapi mari kita lihat. Jumlah perkara yang masuk ke PN senantiasa meningkat. Fenomena apa ini. Sebelumnya Anda mengatakan, kepercayaan terhadap pengadilan menurun. Tapi kok jumlah perkara naik. Mestinya kan turun. Jadi kondisi ini mirip, dengan lagu, judulnya benci tapi rindu. Tidak ada yang bisa memutus suatu sengketa selain pengadilan. Jadi semua orang memerlukan pengadilan. Marilah kita sama-sama memperbaiki kekurangan. Tapi bukan dibakar pengadilan itu. Itu kan seperti udara (Marianna menghirup udara dalam-dalam). Semua manusia perlu udara. Pada waktu normal, tidak ada manusia yang menghargai udara. Begitu ada polusi, baru orang-orang repot. Semua orang berduyun-duyun bagaimana mengatasi pencemaran itu. Nah, kalau itu yang kita rasakan sekarang, mengapa bukan sama-sama kita memperbaikinya. Bukan dengan menghujat atau membakarnya.
Beberapa pekan lalu. hakim PN Jakarta Selatan, Herman Allositondi, ditangkap Kejaksaan, tapi MA malah membiarkannya?
Sebenarnya saya yang memerintahkan agar dilakukannya pemeriksaan itu. Saya usulkan kepada Ketua MA, lalu perintah dikeluarkan. Karena memang kalau ada kejadian begini, kami tidak mengumumkannya. Lho, Ketua PN Semarang yang sudah ditindak itu, saya yang memerintahkan, kok. Tapi masalah lain kita memang tidak umumkan. Hanya masalah itu saja.
Namun kondisi sekarang sudah berubah. Kalau kita tidak bertindak, nanti dikira orang tidak bekerja. Maka, waktu kejadian di PN Jaksel, saya langsung menelepon Ketua PN Jaksel (Seodarto, red). Saya minta dia supaya sore itu agar datang untuk melaporkan. Waktu itu kebetulan kita sedang rapat pimpinan. Setelah mendengar penjelasan dia, saya usulkan kepada Pak Ketua MA, saya bilang ini tidak bisa tidak, majelis harus diganti semuanya. Karena kita juga menghormati azas praduga tidak bersalah. Yang baru tertangkap tangan kan paniteranya. Hakimnya belum ada cerita. Tapi, dari keterangan KPN, ini (hakimnya) pasti terkait. Malam itu juga perintah Ketua MA kepada Ketua PN Jaksel adalah tarik semua perkara dari hakim tersebut, ganti majelis hakimnya. Lalu, KPN berkata, apa tidak ketuanya saja, hakim anggotanya kita jadikan ketua. Saya bilang, tidak. Harus semuanya diganti. Karena kita perlu public trust. Karena itu konsekwensinya luas.
Esoknya Jaksa Agung menelepon Ketua MA. Hasil rekaman jelas petunjuknya (Herman terlibat). Karena itu Jaksa Agung mohon agar petunjuk Ketua MA untuk memeriksa Herman. Lalu Pak Ketua memanggil saya. Karena dia akan segera berangkat meninjau PN di Lampung. Kemudian Jaksa Agung menelepon saya lagi siangnya. Saya bilang, saya setuju. Saya juga bilang, tolong buat surat penangkapannya segera. Setelah itu saya langsung press conference. Kan cepat prosesnya. Nah, sebenarnya itu proses standar saja. Cuma selama ini tidak kita lakukan terbuka seperti itu.
Berarti MA perlu public trust juga dong?
Memang butuh.
Kalau begitu, kenapa hakim-hakim selalu sulit untuk berbicara, terutama di depan wartawan. Apakah masih relevan tentang adagium bahwa hakim itu hanya ’berbicara' lewat putusannya?
Tetap seperti itu. Perkara yang sedang berjaan, tidak boleh dikomentari oleh siapa pun juga. Jadi bila ketika menangani putusan, ada dugaan-dugaan terhadap hakimnya bermain. Nah, di sinilah diperlukan kemahiran seseorang menarik benang kusut itu, tapi (diusahakan) tidak menumpahkan tepungnya. Bagaimana caranya. Yang jelas tidak boleh mengganggu kemandirian hakim, tapi hakim itu harus diperiksa. Contoh waktu perkara Akbar Tandjung. Sebenarnya bukan perkara Akbar Tandjung-nya, tapi perkara Rahardi Ramelan. Ada surat kabar memberitakan, Rahardi minta penahanan luar, tapi tidak diizinkan karena tidak mau membayar sejumlah uang. Rahardi bilang, "Masa sih saya harus membayar seperti Akbar Tandjung". Itu kata koran. Melihat itu, kita langsung bentuk tim (pemeriksa). Waktu itu saya masih Ketua Muda Bidang Pengawasan MA. Kita memeriksa hakim perkara Rahardi Ramelan itu. Nah, itu publik tidak boleh tahu. Karena bisa mengganggu kepercayaan publik. Tapi kalau terbukti, kita akan berhentikan langsung seperti Herman kemarin. Tapi setelah diperiksa, kelima majelis hakim itu ternyata tidak terbukti. Jadi perkara tetap dipegangnya. Saya justru ingin bertanya, bisakah lembaga lain melakukan proses semacam itu? Lain memang. Karena itu, hal semacam ini tidak mungkin bakal bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial. Nah, yang seperti ini kan memang tidak perlu diumumkan. Hanya saja orang mengira MA itu seolah tidak melakukan apa-apa, tidak tersentuh reformasilah.
Soal public trust. Sewaktu terungkap kasus suap menyuap di MA yang melibatkan Pono cs, ternyata ada perbedaan antara fakta dan berita pers. Terutama tentang keterkaitan Ketua MA Bagir Manan terhadap suap-menyuap itu. Apa yang bisa di lakukan MA agar public trust itu terjaga?
Inilah yang sedang kita upayakan. Hingga kini kita tengah mencari juru bicara MA. Ini yang belum ada. Karena dari jaman dulu, di mana pun di muka bumi ini, MA itu tidak perlu juru bicara. Tapi kondisi di negeri ini sekarang berbeda.
No comments:
Post a Comment