Komisi Yudisial menjelma menjadi pengadilan tingkat lima. Banyak masyarakat yang melapor, tapi tak dibatasi. Tatanan hokum bisa rusak.
Raut wajah Robert Sudjasmin terlihat gembira. Terlebih setelah dia baru saja keluar dari ruangan pengaduan Komisi Yudisial. Dokter itu seolah memiliki harapan lagi. Tentu seputar kasus yang pernah disengketakannya.
Medio Februari 2006 lalu, dia baru saja melaporkan seorang hakim. agung. Marianna Sutadi namanya. Jabatannya bukan kecil. Wakil Ketua Mahkamah Agung. Tapi Robert tetap yakin melaporkan Marianna itu. Hanya saja, Marianna dilaporkan bukan dalam kapasitas sebagai hakim agung. Melainkan ketika menjadi hakim anggota di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Waktu itu, cerita Robert, Marianna-lah yang memegang perkara bandingnya pada tahun 1993. "Saya baru sekarang ini melaporkan mereka ke KY karena baru menemukan novum (bukti baru-red) yang menguatkan adanya kejanggalan dalam putusan kedua hakim tersebut," ujar Robert. Namun, Robert tidak bersedia novum yang dimilikinya itu. Cuma Robert yakin. "Sudan saya sampaikan kepada pihak KY. Bukti itu menunjukkan ada penerimaan suap oleh kedua hakim yang saya laporkan itu," jelasnya.
Kasusnya memang telah usang. Mulanya laki-laki itu memenangkan lelang tanah seluas 8.320 meter persegi senilai Rp 629,4 juta pada 5 Maret 1990 yang diselenggarakan oleh kantor lelang negara. Namun saat ia mengajukan Surat Ijin Permohonan Penggunaan Tanah (SIPPT) ke Sudin Tata Kota Jakarta Utara, tanah yang berlokasi di Pegangsaan Dua itu dikatakan masih terletak dalam SIPPT milik PT Summarecon Agung. PT Summarecon Agung mendalihkan lokasi tanah itu telah dibebaskan dengan bukti Girik C No. 868 atas nama Saimun bin Nawir.
Tetapi surat keterangan yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak PBB Jakarta Utara menyatakan girik atas nama Saimun itu bukan berlokasi di Pegangsaan Dua, namun di daerah Petukangan, Jakarta Selatan.
Sedangkan tanah di daerah Pegangsaan Dua, Jakarta Utara, yang dimenangi Robert melalui kantor lelang negara yang juga diklaim sebagai milik PT Summarecon Agung tercatat atas nama Abdullah Naman dan bemomor girik C No 1090. "Dari kedua data tersebut, jelas kedua girik yang dimiliki oleh saya dan PT Summarecon Agung adalah dua lokasi yang berbeda," ujar Robert.
Inilah yang membuat Robert menggugat ke pengadilan. Namun, dia kalah. Marianna yang dituduh sebagai biang keladinya. Kini, walau sudah berlangsung 14 tahun, tiba-tiba saja Robert seolah mendapat cara baru. Komisi Yudisial jadi tujuannya.
Dia pun berharap lembaga itu mampu menolongnya. Hingga tanahnya bisa kembali kepangkuannya. Harapan seperti itu ternyata tak hanya ada di benak Robert seorang. Ribuan orang melaporkan kasusnya ke Komisi Yudisial. Busyro Muqqodas, ketua KY berujar, laporan yang masuk ke KY sekitar 700-an. Yang tertangani bari sepertinya saja.
Busyro mengakui tak ada pembatasan setiap laporan yang diajukan. "Kita tetap menerima setiap laporan yang masuk," ujarnya beberapa waktu lalu kepada FORUM. Berarti tak satupun perkara biasa ditolak KY. Inilah yang membuat tumpukan perkara mulai agak mengggunung.
Disisi lain, ternyata kekhawatiran mulai terjadi. Tepatnya di MA. Di sana hakim agung,sempat mengeluh terhadap sikap KY itu. "Kok jadi seperti pengadilan tingkat lima saja," kata Djoko Sarwoko, juru bicara MA seperti yang pernah diutarakannya kepada FORUM. Maksudnya, sambung Djoko lagi, banyak masyarakat yang melaporkan hakimnya setelah mengalami kekalahan di tingkat pertama, banding, kasasi dan PK. "Sayangnya KY tidak memilah-milah setiap laporan yang masuk, ini sama saja dengan pengadilan tingkat lima," ujarnya lagi.
Padahal, sambungnya, mestinya KY hanyalah sebatas lembaga pengawas hakim. Utamanya lagi adalah menjaga barkat dan martabat hakim. "Tapi kok seperti itu," cerita Djoko lagi.
Hanya saja, hal itu dibantah oleh Thahir Saimima. Wakil Ketua KY itu tak sepakat bila lembaganya itu disebutkan sebagai pengadilan tingkat lima. Setup laporan dari masyarakat yang masuk, katanya, memang tetap diterima. "Tapi kemudian diseleksi untuk ditindaklanjuti," ujarnya. Jadi, Thahir lagi, pastinya tak seperti yang dituduhkan oleh koleganya di MA itu.
Memang sah-sah saja Thahir berkata demikian. Namur kegelisahan tetap saja melanda sejumlah hakim agung. Tepatnya ketika peperangan dua lembaga itu memuncak. Salah seorang hakim agung, Prof. Rehngena Purba sempat menceritakannya kepada FORUM. Dia mengatakan banyak hakim agung jadi enggan memutus perkara yang tengah ditanganinya. "Karena nantinya bakalan dilaporkan ke Komisi Yudisial," ceritanya kepada FORUM. Hal itu, sambungnya lagi, karena lembaga itu tak membatasi setiap laporan yang diperbolehkan. Jadi, cerita Rehngena lagi, setiap pencari keadilan yang kalah langsung melaporkan hakimnya ke KY. "Ya jadi tak beda dengan pengadilan tingkat lima," ujarnya lagi.
Keluhan hakim agung itu memang bisa dimengerti. Pasalnya hanya hakimlah yang memiliki kewenangan untuk menemukan perkara. Tak ada lembaga lain termasuk KY sekalipun. Hanya saja, langkah KY dalam menyikapi laporan yang masuk ternyata memang tak beda ketika seseorang ingin mendaftarkan gugatan di pengadilan. Ini bisa dilihat dari syarat-syarat pengajuan laporan yang dikeluarkan lembaga itu. Bagi si pelapor, KY menentukan banyak persyaratan. Antara lain, menyebutkan kesalahan/penyimpangan hakim, menguraikan data-data pendukung yang merupakan lampiran yaitu putusan-putusan pengadilan, Surat-Surat bukti, saksi dan lainnya. Pokoknya, tak beda dengan tata cara pengaduan gugatan di pengadilan.
Kejadian inilah yang sempat diprotes berbagai kalangan. Gayus Lumbuun misalnya. Anggota Komisi III DPR ini sempat menanyakan langkah KY seperti itu. Dia sama sekali tak setuju bila KY berperan laiknya pengadilan tingkat lima itu. "Harusnya mereka menjaga harkat dan martabat hakim saja," katanya berapi-api. Pendapat senada datang dari Mayasjak Johan. Dia ini juga anggota DPR di Komisi III. Menurut laki-laki yang juga berprofesi sebagai pengacara ini, mestinva kekisruhan antara dua lembaga penegak hukum itu tak perlu terjadi. “Bila aturan main yang sudah ada dijalankan secara benar," ungkapnya.
Lalu siapa sebenarnya yang salah? Memang sangat sulit menjawabnya. Pasalnya kedua lembaga hukum itu juga tak ada yang mau mengaku bersalah. MA merasa dirinya memiliki pengawasan internal. Jadi pengawasan eksternal seperti IKY dianggap sebatas penjaga saja. KY sendiri sering bekerja rnelampaui "kewenangannya". Hal yang paling aneh ketika lembaga ini memeriksa lima orang hakim pengadilan tindak pidana korupsi yang menangani perkara Harini Wijoso. Kala itu, KY memberikan hukuman kepada dua hakim karier, Kresna Menon dari Setiyono. Tiga hakim ad hoc yang meninggalkan ruangan persidangan, I Made Hendra Kusumah, Dudu Duswara dan Acmad Linoch sama sekali tak diberikan sanksi apa-apa. Inilah yang membuat banyak pakar hukum bertanya-tanya. Pasalnya tindakan walk out ala tiga hakim ad hoc itu dianggap sebagai ulah yang melecehkan pengadilan. "Mereka kami nilai membuat terobosan hukum," jelas Thahir tentang hal itu. Disitulah salah satu bukti anehnya lembaga itu.
No comments:
Post a Comment