Bagir Manan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal dirinya bukanlah tergolong sebagai saksi. KPK melabrak aturan hukum?
Jumat pekan lalu, gedung Mahkamah Agung kembali mencatat sejarah. Baru pertama kalinya sejak bangsa ini berdiri, MA didatangi penyidik. Tak tangg-ung-tanggung, yang diperiksa langsung adalah Ketua MA, Bagir Manan. Bagir diperiksa dengan status sebagai saksi. Saksi atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan lima orang anggotanya yakni Pono Waluyo, Suhartoyo (wakil sekretaris Korpri), Sriyadi (staf bagian perdata), Sudi Abroad (staf Korpri), dan Malem Pagi Sinuhaji (Kepala Biro Umum dan kepegawaian). Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya. Secara hukum, apakah penempatan Ketua MA itu sebagai saksi telah sesuai? Untuk mengetahui hal itu, maka diperlukan analisis secara juridis.
Untuk membaca hal itu maka perlu dilihat dulu posisi kasusnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan terhadap enam orang. Selain lima orang pegawai MA itu, satu orang lagi adalah Harini Wijoso. Harini adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pengacara Probosutedjo untuk kasus dana reboisasi. Harini kemudian mempraktekkan cara beracara yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis hakim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Manan. Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya untuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesaikannya sendirian. Dirinya mental. Terbukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bulan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya telah “membunyikannya” kepada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.
Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi keinginan Harini. Pono menurunkan “order” itu ke beberapa rekannya. di- MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengontak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono meminta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiapkan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kardus. Sato kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ternyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sempat membawa uang itu kerumahnya.
Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-masing. Sewaktu ditangkap, Pono ternyata tak menampik. Sama seperti Harini. Berarti enam orang tersebut terbukti telah tertangkap tangan. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menangkap mereka tanpa surat perintah.
Kasus pun berkembang. Setelah melakukan penangkapan, KPK tentunya memiliki bukti awal. Yakni berupa uang yang ditangan Pono dan Harini. Lalu kasus dikembangkan dengan meminta keterangan dari yang tertangkap. Dari sinilah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang terlibat dalam tindak pidana itu.
Dari keterangan Pono, disebutkan bahwa dirinya mengakui meminta uang kepada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mulut Harini. Pengacara itulah yang membawa Pono menemui Probo. Dia melakukannya. karena Pono mengucapkan bahwa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.
Lalu dilihat pula dari keterangan Probosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Probo memang memberi uang kepada Pono. Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki-laki itu memang suruhan Bagir. Namun, walaupun belum seratus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlahnya sangat besar.
Dari basil keterangan itu, maka bisa diambil kesimpulan tentang status Bagir. Karena Bagir dianggap sebagai saksi, maka dirinya mesti memenuhi unsur yang termaktub dalam KUHAP Nah, dalam Pasal 1 ayat (12) disebutkan “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Berarti unsurnya ada tiga hal. Mendengar, melihat, dan mengalami. Lalu dari serangkaian peristiwa itu, dimanakan posisi Bagir? Apakah ia tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap menyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari bukti awal dan keterangan dari yang tertangkap serta keterangan Probo.
Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku tidak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang rnerasa pernah bertemu dengan Ketua MA itu.
Setali tiga uang dengan Harini. Pengacara ini hanya berhasil ketemu Bagir ketika pamitan untuk meninggalkan dunia hakim. Tapi semenjak menerima uang Probo, dirinya juga tak lagi bertemu. dengan Bagir.
Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presiders Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan dengan Bagir. Sama sekali belum pernah atau melakukan hubungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membuktikan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Belum satu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum menerima sesuatu apapun.
Berarti dalam serangkaian peristiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak mengambil peran. Dirinya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. Dengan posisi seperti itu, berarti Bagir bukan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sama sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu. kok KPK tetap ngotot untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bagir? Yang jelas pemeriksaan yang dilakukan di ruangan kerjanya itu tegas telah mendudukkan Bagir sebagai saksi.
Harifin A Tumpa, Direktur Hukum Pidana MA menegaskan, KPK mencoba mencari keterangan kepada Bagir tentang kehadiran Harini waktu menemuinya. Termasuk meneliti prosedur penerimaan tamudi MA. Itulah yang jadi target KPK.
Namun, fakta itu menegaskan bahwa lembaga ini tak mengindahkan aturan hukum formal. Hal itu ditegaskan Mayasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. "Kalau Bagir diperiksa sebagai saksi, apa landasan hukumnya," ujarnya mengomentari.
Protes senada juga datang dari Indra Sahnun Lubis. Ketua umum Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) itu tidak mengerti dengan kinerja KPK yang memeriksa Bagir. "Ini semakin menunjukkan bahwa KPK adalah lembaga yang tidak profesional," ujarnya kepada FORUM. Pasalnya, sambung Sahnun, tidak ada satupun fakta hukum yang membuktikan Bagir terlibat dalam peristiwa ini. "KPK telah meruntuhkan martabat Mah-kamah Agung," katanya tegas.
Namun Otto Hasibuan berkomentar berbeda. Ketua umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) itu justru bisa memaklumi dilakukannya pemeriksaan terhadap Bagir. "Hanya saja tidak perlu diumumkan ke publik," tandasnya kepada FORUM. Hal itu, katanya lagi, demi pengungkapan tindak pidana korupsi yang telah terjadi di lembaga tinggi negara itu. Namun Otto mengharapkan agar KPK juga turut menjaga wibawa lembaga peradilan. "Tentunya demi menegakkan supremasi hukum di negeri ini agar tidak semakin runtuh," katanya.
Yang jelas, menguaknya peristiwa ini hanya disebabkan nyanyian dari Probosutedjo. Bulan lalu. laki-laki itu telah memberikan gambaran akan praktek pemerasan yang dialaminya selaku terdakwa. Dirinya berupaya bisa bebas dari hukuman. Termasuk melakukan upaya praktek penyuapan. Berarti secara hukum Probo telah berkehendak untuk melakukan tindak pidana (onmagh). Sayangnya, hingga kini tokoh Orde Baru itu tetap anteng di rumahnya. Belum ada satupun lembaga yang menyatakan dirinya sebagai pelaku tindak pidana. Termasuk KPK..
No comments:
Post a Comment