Thursday, May 24, 2007

LEX CERTA

FORUM KEADILAN: NO. 17, 20 AGUSTUS 2006

"L E X C E R T A"

Sebuah kisah dari abad lama. Ketika dua negara masih digdaya. Di Selatan ada Troya, di utara Sparta berkuasa. Keduanya sejahtera. Rakyatnya gemah ripah. Sang raja aman sentosa. Keduanya juga punya jagoan bersejarah. Achilles di Troya dan ada Hector di Sparta. Dua-duanya hidup berdampingan dengan damai. Berjanji saling menjaga dan menghargai. Berjanji saling menjaga martabat kerajaan masing‑masing. Karena dua-duanya punya kekuatan yang sama.

Hingga suatu ketika, kedamaian itu. terusik. Seorang pangeran Sparta, Paris, menculik istri Maneleus. Dia ini salah seorang penguasa di Troya. Dia juga adik kan­dung Agamemnon. Dialah sang raja yang menguasai jagat Troya.Alhasil, genderang perang pun tertabuh. Sang raja merasa harga dirinya diinjak. Tapi pangeran lebih mengedepankan cinta. Tak peduli mengusik kedamaian yang ribuan tahun su­dah tertanam.Perang memang memuncak. Tanpa bisa dielakkan, Troya pun menyerang Sparta. Seluruh pasukan yang ada dibawa. Sparta tak kalah. Setiap prajurit dikeluarkan. Keduanya ber­perang berhadap-hadapan. Hasilnya Sparta terpanggang. Ri­buan prajurit dan penduduk Troya mati tanpa arti.

Semuanya bermula karena Sparta dianggap tak mampu menjaga aturan yang sudah dibuat bersama. Semacam Lex Certa. Sebuah prin­sip yang mestinya dipatuhi antara keduanya.Memang, di jaman itu, Lex Certa tak mencuat dalam sebuah aturan tertulis. Dia hanya bersifat lisan. Tapi juga sebuah per­aturan yang mesti ditaati. Bagi yang melanggarnya, pertanda ajakan berperang.

Kini, Lex Certa kembali jadi masalah. Locus delicty-nya ada di negara kita sendiri. Gara-gara Lex Certa, perang memang terjadi. Tapi bentuknya tak saling panah dan mengayunkan pedang bak tentara Sparta dan Troya. Melainkan lewat peratu­ran perundang-undangan. Pemainnya juga bukan kerajaan. Namun dua lembaga hukum nan perkasa. Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).Dua-duanya memang digdaya. Karena keduanya dibentuk berlandasakan UUD 1945. Tepatnya Pasal 24 UUD 1945. Beleid itulah dasarnya.

Kedua lembaga itu memang tak akur. Mereka saling serang. KY yang mulai. Lembaga ini sering mengayunkan rekomendasi. Tapi tak satupun dipatuhi MA. Alasannya banyak. MA menilai rekomen­dasi KY tak bijak. KY dinilai sering memasuki wilayah perkara ketika memeriksa seorang hakim.Tapi KY tak mau disalahkan begitu saja. Busyro Muqqodas, Ke­tua KY memberi alasan pasti. Dia menilai sangat muskil memeriksa keanehan hakim bila tak memasuki wilayah perkara. Alasan inilah yang membuat MA tak terima. KY dinilai menyalahi prinsip Lex Certa.

Alhasil, keduanya terus berpe­rang. Bahkan sampai saling mela­porkan ke Mabes Polri. Tindakan itu pernah dilakoni oleh delapan o-rang hakim. agung. Tentu buah ulah KY juga. Gara-garanya 13 nama hakim agung diumumkan ke media massa. Hakim agung itu dianggap bermasalah. Karena dilaporkan masyarakat ke KY, maka hakim agung lalu tak terima. Karena mereka baru dilaporkan. Dan, laporan itu belum diperiksa. Tapi sudah digolongkan sebagai hakim agung bermasalah.

Tak cukup, itu. KY bahkan sempat melesakkan senjata bombastis. Mereka mengajukan peraturan pengganti undang-undang (Perppu) ke Presiden selaku kepala negara. Salah satunya untuk mengocok ulang seluruh hakim agung yang ada. Namun usulan itu kemudian ditolakKini, perang masih berlangsung. Medannya ada di Mah­kamah Konstitusi. Di lembaga itu, MA yang menyerang. Mere­ka menuntut kewenangan KY agar ditetapkan.

Hingga tak merambah ke wilayah hakim agung. Tapi cukup sampai di 'ha­kim' semata. Berarti untuk "wakil Tuhan" yang ada di Penga­dilan Negeri dan Pengadilan Tinggi saja. Namun, permohonan itu belum dikabulkan.Tapi peperangan belum juga berakhir. Entah sampai kapan. Keduanya juga tak punya target yang jelas. MA tak ingin di­awasi dengan cara seperti selama ini. Sementara KY ingin ce­pat memberantas mafia peradilan. Walau dengan menyerang blak-blakan.

Padahal bila keduanya mau belajar dari sang raja Sparta, Priam, perang mungkin bisa dinafikkan.Sebelum Sparta diserang Troya, Priam sempat berkisah pa­da puteranya, Paris. “Selama menjadi raja dan berperang, tak satupun yang membuat diriku tenang. Tak ada perang yang membuat hidup ini lebih berarti. Tapi lebih logis bila kita berperang demi cinta”. Sang anakpun riang menyimaknya। Bagaimana dengan MA dan KY? Rakyat mungkin akan senang melihatnya bila memang mereka berperang demi cinta. Cinta terhadap rechstaat belaka.