Monday, May 14, 2007

Wawancara Khusus Bagir Manan

Prof, Dr. Bagir Manan, SH, MCL,
Ketua Mahkamah Agung RI

“Saya Dihakimi oleh Pers”

Tahun 2005 ini, sejarah baru tertorehkan di repub­lik ini. Untuk pertama kalinya, Ketua Mahka­mah Agung di periksa atas perbuatannya. Peme­riksaan itulah yang sempat membuat heboh. Bukan saja di MA. Tapi juga seantero negeri ini. Bukan apa-apa, pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu masih menimbulkan perde­batan. Pasalnya yang diperiksa adalah seorang Ketua MA. Pemimpin tertinggi di lembaga yudikatif Secara ketatane­garaan, posisinya tak beda dengan Presiden dan Ketua DPR.

Kala itulah nama. Bagir Manan terus menjadi sorotan. Karena dia menolak untuk menghadiri panggilan pemeriksaan. Penolakan itu sempat menuai kecaman. Padahal, katanya, dia hanya mempertahankan marta­bat MA. Karena KPK memang bu­kanlah lembaga yang sederajat MA. Terlebih lagi, pemeriksaan itu karena adanya isu suap yang sempat menghampiri dirinya. Kasus suap perkara Probosu­tedjo yang melibatkan 5 orang pegawai MA. Nama Bagir pun disebut-sebut. Karena dia ada­lah ketua majelis hakim agung yang memeriksa perkara Probo.
Nah, sejak itulah nama Ba­gir tak henti-hentinya meng­hiasi mass media. Ta­pi, kesannya cenderung negatif. "Pers seolah telah menyata­kan bahwa saya meneri­ma suap itu," ujarnya menge1uh. Padahal fakta hukumnya tak ada satupun yang membuk­tikan Bagir terlibat. Tapi, kini dirinya merasa telah dicemari. Dia merasa terkena trial by the masalah itu. Hal itu diutarakan sepenuhnya kepada Irawan Santoso dari FORUM. Padahal, di jam itu Bagir juga menerima panggilan dari Komisi Yudisial untuk kedua kalinya. Komisi Yudisial berniat memeriksanya. Sekaligus menggelontorkan beberapa pertanyaan kepada Bagir seputar dirinya selaku hakim agung perkara Probo. Tapi Bagir menolak hal itu. Dirinya lebih memilih menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan FORUM. Berikut petikannya.


Saya memiliki tiga kebiasaan, yakni saya selalu menerima wartawan, dan menolak wartawan kalau sedang sibuk, Kedua, menerima maha­siswa bimbingan saya. Ketiga, menerima hakim-­hakim, baik hakim yang pensiun atau pun mantan hakim. Mayoritas hakim pensiun.

Secara hukum ketatanegaraan, bagaimana sebenarnya posisi Mah kamah Agung?
Ada dua aspek yang harus kita pahami ketika kita bicara tentang sistem hukum dan penegakan hukum. Pertama, tentang sistem hukum. Sistem hukum itu komponennya banyak, meliputi pendidikan hukum, profesi hukum dan pengacara, notaris. Penegak hukum itu meliputi hakim pengacara, jaksa. Jadi kalau kita berbicara tentang sistem hukun yang memasukkan budaya hukum. Jadi kalau kita ingin membangun sistem hukum yang modern, maka semua komponen harus kita bangun dengan baik. Aturan hukum sendiri merupakan sistem hukum. Kalau kita ingin membangun sistem hukum yang baik, berarti pendidikan hukumnya harus kita perbaiki . Mutu undang-undangnya harus bagus. Penegak hukum dan profesi hukum seperti advokat dan notaris harus dapat bekerja dengan baik.
Dan di sisi lain, ada yang menyebut sub sistem hukum. Karena masyarakat itu pengaruhnya sangat besar dalam penegak­an hukum.Ada tiga peran dari masyarakat. Pertama, bagai­mana kita membangun masyarakat yang sadar hukum. Sema­kin banyak masyarakat taat pada hukum, maka semakin ber­kuranglah.persoalan hukum kita, misalnya kalau lampu merah, ya berhentilah. Kedua, bagaimana kita membangun masyara­kat yang dapat menyelesaikan sengketanya sendiri, tidak usah ke pengadilan. Oleh karena itu MA mendorong berkembangnya mediasi. Kita mendorong arbitrase dan cara penyelesaian damai lainnya. Sebab hal lebih menguntungkan.

Keuntungan mediasi adalah waktunya singkat, biaya tidak mahal, secara moral dan spiritual, mediasi itu mempererat hu­bungan yang semula retak. Di samping hal itu mediasi banyak berkembang di luar negeri. Lalu kita mendorong adanya kon­solidasi advokat, sehingga memiliki organisasi yang bagus. Ter­masuk mendorong adanya LBH (Lambaga Bantuan Hukum), suapaya rakyat kecil kita ini ada yang membantu. Sebab raky­at kecil kita biasanya terpinggirkan untuk masalah hukum.

sekarang tentang penegakan hukum. Penegakan hukum itu tidak saja hakim, tetapi meliputi proses peradilan dan ada yang di luar proses peradilan. Kita mulai dari proses yang di luar peradilan. Imigrasi adalah proses hukum. Fungsi pelayanan hukum itu terdiri dari SIM dan segala macam. semua itu ha­rus bagus dan semua itu melibatkan rakyat banyak. Bila itu melibatkan macam-macam maka rakyat akan agak sulit, dan ini adalah sisi yang kurang disoroti. Jadi fungsi pelayanan pe­negakan hukum di luar penegakan hukum yang kita sebut se­bagai hakim dan sebagainya. Sebab itu akumulasinya besar se­kali. Itu sesuatu hal yang harus kita soroti. Jadi menurut saya ada missleading kalau Anda menulis penegakan hukum yang seolah-olah hanya pengadilan saja.

Apa yang sudah dikerjakan MA di bawah kepemimp­inan Anda?
Kita khususkan pada pengadilan kita yang memang tidak hanya ditangani oleh MA, tetapi juga ditangani oleh pemerin­tah. Sampai 2004 kemarin, mulai masalah kepegawaian keuan­gan, organisasi itu semua diurusi oleh departemen. Peradilan hukum ada di bawah Departemen Hukum dan HAM, peradilan agama ada di bawah Departemen Agama. Peradilan militer ada di bawah Mabes TNI. Untuk kunci pengawasan, kita tidak memiliki kewenangan menindak hakim, seperti supaya, hakim diturunkan pangkat dan ditunda kenaikan pangkatnya. Jadi hingga 2004 kemarin, MA hanya menjadi pengawas teknis peradilan.

Setelah satu atap yang prosesnya pada September 2004, maka baru ada pengawasan yang lebih dari MA. Jadi sebetul­nya, kerjaan MA untuk menangani dari seluruhnya itu baru dimulai pada akhir tahun 2004. Tahun itu kita mengalihkan kepegawaian, aset dan sebagainya. Orang selalu melihat hakim yang pekerjaannya memutus perkara. Tetapi Anda-Anda tidak pernah melihat bagaimana kondisi pengadilan kita. Sejak men­jadi Ketua MA tahun 2001, setiap ada seminar atau forum maka akan selalu mengingatkan tentang kondisi peradilan kita.

Saya selalu mengatakan bahwa pengadilan kita ini terlalu la­ma terlantar, dan sudah terlalu lama diterlantarkan. Bayang­kan, gedung peradilan kita pada umumnya dibangun pada ta­hun 1982. Peralatan peradilan kita juga dibeli pada tahun 1982, misalnya ada mesin ketik tua. Kalau anda pergi ke daerah, ma­ka Anda akan menemukan mesin ketik tua di pengadilan. Fasi­litas lainnya, misalnya perumahan yang buruk, maka hal itu kita sampaikan. Tentu ini membutuhkan anggaran. Jatah sek­itar 700 pengadilan, untuk tahun 2005 sebesar Rp 1,3 triliun. Ini sangat kecil. Padahal kami mangajukan anggaran Rp 5,5 triliun, dimana besar anggaran itu bila dipenuhi maka dana itu digunakan untuk memperbaiki hal-hal yang sudah sangat rusak.

Soal gaji hakim yang mau dinaikkan?
Mengenai gaji, saya tidak pernah mau bicara. Karena semua orang sudah tabu bahwa gaji pegawai negeri di Indone­sia itu kecil, maka gaji hakim juga kecil. Ini sebuah sistem ma­ka saya tidak mau bicara, saya juga tidak menuntut untuk dinaikkan. Kami senang pada gagasan KPK, supaya presiden memberikan perhatian kepada kesejahteraan hakim. Kalau dulu sepertinya hanya saya yang berbicara sendirian. Namun sekarang KPK juga bicara, DPR, komisi anggaran lalu presiden sendiri. Ini adalah kemajuan yang besar.

Persoalan kita macam-macam, mulai mutu pengadilan, mutu keputusan dan lain-lain. salah satu lembaga baru yang kita kenal adalah adanya lembaga pengawasan. Tetapi saat itu, kita hanya teknis saja. Karena tindakan administrasinya masih ada di pemerintah. Temanya satu kita harus membersihkan pengadilan. Pengadilan harus memulihkan kepercayaan ma­syarakat. Maka kalau kita menemukan kesalahan, maka kita tidak boleh ragu-ragu untuk bertindak.

Kini image publik di MA tak lebih sebagai tempat da­gang perkara, bagaimana anda memandang itu?
Ada orang yang mengatakan MA itu seperti pasar, sehingga saya mengatakan kok seperti bursa. Maka saya ada kebijakan bahwa hakim dan pegawai MA menerima tamu untuk urusan perkara. Itu kita jalankan. Sebenarnya kantor ini mulai ter­tib. Dan ada garis yang tegas bahwa hakim dilarang membica­rakan perkara dengan siapa pun. Karena itu saya masih heran kalau ketua MA dipurbasangkai membicarakan perkara. Kalau pun ada pihak yang datang, untuk membicarakan perkara maka diwajibkan membawa lawannya. Karena itu saya tidak pernah membicarakan perkara oleh siapa pun.
Kemudian ada yang mengatakan kenapa perkara lama. Disi­ni perkara banyak. Tidak sekedar perkaranya Probo. Ada ri­buan perkara. Ada perkara tahun 2000 yang sekarang masih kita periksa. Meskipun kita sudah bekerja mati-matian. Namun mulai Januari sampai Oktober ini kita sudah memutus 9342 perkara. Laporan publik MA seperti tahun lalu pada bulan Maret , saya berharap bahwa kita bisa memutus 12 ribu per­kara. Dibandingkan dengan 5-6 ribu perkara yang masuk. Se­hingga kita ingin mengikis tunggakan itu. Jadi setelah bekerja normal selama dua tahun, maka perkara itu sudah bisa kelar. Apalagi kalau kita sukses dengan mediasi.

Nah, posisi KPK dalam struktur ketatanegaraan kita sebenarnya bagaimana?
KPK itu adalah suatu lembaga yang kita buat berdasarkan Undang-Undang (UU). UU memberikan posisi KPK sebagai penyidik dan penuntut yang independen. Kalau kita melihat dia sebagai penyidik dan penuntut, maka fungsi dia itu termasuk pemerintahan. Namun dia diberi kedudukan yang khas, bahwa dia independen terhadap eksekutif. Namun fungsinya sebagai penyidikan dan penuntutan itu adalah fungsi dari pemerintah. Bukan fungsi yudisial.

Bagaimana ketika dia melakukan tugas yang melang­kahi struktur lembaga yang lebih tinggi?
Segala hal yang berlaku di negara di mana pun di dunia ini, tidak selalu memenuhi kaidah yang ada di Undang-Undang Dasar. Karena ada kaidah-kaidah yang universal dan umum berlaku. KPK memang diberi wewenang untuk memeriksa sia­pa saja, namun ada dalam soal memeriksa itu ada tata cara­nya. Jadi itu yang perlu kita atur. Supaya eksistensi dan inte­gritas lembaga negara itu tidak terganggu oleh pekerjaan itu.

Jadi KPK tidak boleh memeriksa MA?
Bukan masalah boleh atau tidak boleh. Karena sebuah lem­baga baru yang dibentuk itu tentu memiliki tujuan yang baik. Hanya masalah pengaturannya saja.

Artinya kemarin itu KPK tidak memenuhi administra­si pemeriksaan?
Mereka hanya berpegang pada undang- undang untuk mela­kukan segala tugas. Namun kenyataannya lembaga yang ber­hubungan dengan KPK itu kan bermacam-macam. Bisa saja sasarannya itu lembaga negara, pejabat dan sebagainya. Oleh karena itu butuh aturan yang bagus. Saya berpikir begini, ne­gara ini sedang tumbuh dan sedang mencari bentuk yang paling bagus, baik dalam hal demokrasi dan Hak asasi Manusia. Oleh karena itu bila dilihat dari sana-sini, semua tidak harus sempurna. Tetapi, jangan juga kita ini tidak mau menyempur­nakannya. Seolah-olah kita senang dengan keadaan seperti ini.

Kita ini harus tunduk pada sistem baku yang sifatnya uni­versal yang menandakan peradaban kita yang berlaku di mana­-mana. Jadi saya tidak memutuskan bahwa ini benar dan ini salah. Karena saya berada dalam alam pikiran sebagai pejabat dan akademisi, bahwa negara ini masih dalam posisi tumbuh. Apalagi dalam delapan tahun terakhir ini kita sedang berubah dalam segala macamnya. Semua ini membutuhkan ketekunan, kesabaran dan saling pengertian.

Pertama, negara ini tidak akan kita bangun kalau kita se­lalu mengedepankan kekuasaan. Kedua, kalau kita selalu me­ngedepankan tujuan tanpa cara yang baik. Ketiga, kalau da­lam menjalankan kekuasaan itu kehilangan sikap rendah hati. Keempat, kita akan sulit kalau kita selalu melihat posisi kita tanpa mau melihat posisi orang lain. Selanjutnya kita harus berani mengkoreksi diri. Kita tidak hanya belajar dari diri sendiri tetapi juga dari kelaziman- kelaziman yang ada. Kalau kita mengklaim dari bagian pergaulan, maka kita berada da­lam tatanan dunia.

Anda tidak khawatir langkah KPK kemarin itu akan menjadi preseden buruk ke depan?
Kalau kita membuat hal itu menajdi preseden, maka akan menjadi presenden. Kita menganggap hal itu adalah preseden yang akan diteruskan atau preseden yang tidak diteruskan? Orang bila bicara preseden, maka seolah-olah hal itu akan diteruskan. Padahal tidak demikian. Preseden itu adalah sesu­atu yang akan kita teruskan karena kita anggap baik atau segala sesuatu yang tidak perlu dilanjutkan. Saya senang KPK melihat hal ini, sehingga ketika saya sengaja tidak hadir. Maka KPK dengan segala kerendahan hatinya datang ke sini. Sehingga semua persoalan yang tadinya kurang harmonis, ma­ka akan kita selesaikan dengan baik.

Ketika Anda menerima pemeriksaan dari KPK, sebe­lumnya sudah menerima penjelasan dari KPK?
Tidak. Memang mereka mengatakan saya akan diperiksa. Se­perti dugaan yang mengatakan bahwa sejak peristiwa itu bahwa MA memberikan kebijakan memberikan akses sepenuh­nya kepada KPK. Saya mengatakan bahwa saya siap diperik­sa. Namun KPK harus mengerti bahwa saya sebagai ketua MA yang dari segala posisinya harus dipelihara oleh siapa saja.
Sebab MA sendiri sangat berkepentingan supaya masalah ini selesai secara tuntas. Kami merasa dibantu karena selama ini saya bertahun-tahun bekerja untuk membersihkan pengadilan. Namun itu bukan perkara yang mudah. Sekarang ada KPK mau membantu. Kenapa kita menutup diri, asalkan bantuan itu dilakukan dengan cara-cara yang tepat.

Anda diperiksa KPK sebagai apa?
Itu kan permulaan yang tidak jelas. Mungkin juga saya di­duga sebagai penerima suap. Sebetulnya dari segi fakta hal itu tidak ada, karena uang yang akan disuapkan itu sudah ada di tangan KPK. Tetapi karena ada dugaan. Namun biarlah. Ka­rena publik juga memiliki penilaian sendiri. Terus terang saja, karena Anda-Anda ini (wartawan-red), maka publik tidak ber­pihak pada kita (MA). Kita ini hampir pasti diopinikan terlibat dalam suap, sehingga apa pun penjelasan saya, tetap saja yang keluar tidak mengakomodasi keadaan kita.
Paclahal, kalangan pers tahu bagaimana sikap saya terhadap pers. Saya mencoba melindungi pers. Dalam setiap kesempatan, saya selalu menjelaskan bahwa pers bebas. Dan setiap berte­mu dengan hakim, saya menyatakan bahwa pers harus kita lin­dungi. Pers yang bebas itu esensinya sama dengan hakim yang bebas. Namun ketika saya diperlakukan seperti itu, saya men­jadi termenung. Apakah saya masih perlu membela pers. Apa­kah pers bebas yang saya bela itu menjadi seperti ini. Namun itu sekedar renungan saja dan tidak menghilangkan prinsip­nya. Untung saja FORUM tidak begitu, Saya tahu media anda ini berpatokan pada hukum. Jadi FORUM juga harus meman­dang masalah ini berdasarkan hukum. Saya harap FORUM tetap begitu.

Waktu anda ketemu Harini Wijoso, pengacara Probo, apa sebenarnya yang dibicarakan?
Ya. Pertanyaan itu perlu, karena saya tidak pernah membi­carakan perkara dengan siapa pun. Yang kedua, dalam bentuk konkret saya tidak pernah tahu bahwa Harini (bekas hakim
tinggi di Jogjakarta, red) itu adalah pengacara. Apalagi penga­caranya Probosutedjo. Saya sama sekali tidak tahu. Karena dia ada di Jogja. Dan dia datang melalui sekretaris. Dia mengata­kan, sebagai mantan hakim tinggi dan dia membawa seorang hakim yang minta tolong supaya mutasinya ditinjau kembali.

Sekarang Komisi Yudisial (KY) malah sibuk memanggil anda. Ada apa?
Mereka sekarang mereka memanggil ketua MA untuk dipe­riksa sebagai ketua. majelis. Lho? Semua orang sudah tahu bah­wa sepanjang itu urusan suap dengan Probo, maka saya tidak ada hubungannya. Melalui KPK, semua orang juga tabu, ba­gaimana sikap saya terhadap kasusnya Probosutedjo.
Tetapi KY berniat. Bahasanya begini, yang kami panggil bukan ketua MA, namun Hakim Agung Bagir Manan sebagai Ketua Majelis. Itu keliru. Majelis yang saya pimpin itu adalah Majelis Ketua MA. Bukan Majelis Hakim Agung Bagir Manan.
Kedua, kita ini tidak bisa menjadi berpikir secara kimiawi. Jangan diopinikan bahwa dia datang sebagai Hakim Agung, lalu sebagai MA, padahal orangnya kan Bagir Manan juga yang mewakili MA. Lembaga negara ini harus dijaga untuk membe­rikan keterangan kepada suatu hal yang tidak diperdebatkan. Seperti tadi dikatakan kami akan diperiksa tentang etika.

Tentang kondisi putusan hakim kita di pengadilan, me­ngapa yang cenderung hanyalah pengungkapan kebe­naran formil, padahal pengadilan-kan wadah meng­ungkapkan kebenaran materil?
Kalau pertentangan antara tuntutan keadilan dan tuntutan hukum, maka akan memilih kebenaran keadilan. Itu sudah menjadi petunjuk. Prinsip yang kedua, kebenaran itu harus selalu materiil. Ketika kita belajar hukum acara perdata, kebenar­an perdata itu kebenaran formal. Kemudian pidana adalah kebenaran materiil.
Sava tidak pernah menganut itu. Menurut saya kedua-dua­nya adalah kebenaran materiil. Lebih-lebih lagi untuk masya­rakat Indonesia, sebab masyarakat Indonesia itu bukan masya­rakat yang tertulis. Kebenarannya itu materiil. Misalnya itu anak saya, tidak karena dia punya surat. Itu adalah anaknya dia karena ada pohon yang ditanam di sana. Itu tanda-tanda materiil. Dalam mencari kebenaran materiil itu sering timbul sengketa. Sengketanya itu sejak jaman Plato, karena itu me­nyangkut filosofi.

Ada berbagai aliran yang mendekati kebenaran itu. Misalnya aliran sosiologis. Kebenaran itu ada di kenyataan sosial. tidak selalu keadaan sosial itu mencerminkan kebenaran. Itu cermin kesesatan. Ada yang mengatakan kebenaran itu aliran positi­visme. Itu kebenaran dalam aturan hukum. jadi itu harus kita gali dari sana. Dan komprominya hakim itu harus memutus menurut hukum.
Tetapi hukum yang mana, yakni yang benar secara materiil. Bagaimana caranya, maka muncullah ajaran tentang penafsir­an, ajaran tentang konstruksi, ajaran bahwa dia harus meng­gali. Dan tetap bertolak dari aturan hukum. Kasusnya Pollycarpus itu harus diselesaikan dengan bekerja keras dan masyarakat membantu. Supaya kebenaran itu muncul. Menurut saya kasus itu belum selesai.


Apakah anda tipe orang yang terbuka?
Saya memiliki tiga kebiasan, yakni saya selalu menerima wartawan, dan menolak wartawan kalau sedang sibuk. Kedua, menerima mahasiswa bimbingan saya. Ketiga, menerima ha­kim-hakim, baik hakim yang pensiun atau pun mantan hakim. Mayoritas hakim pensiun. Saya mengatakan terima. Karena secara formalitas, scat itu dia mengatakan sebagai hakim pen­siun. Bahkan saya mengucapkan terima kasih sudah pensiun dengan baik. Saya sama sekali tidak mengerti bahwa dia itu pengacara Probosutedjo. Baru pada terakhirnya dia mengata‑
kan bahwa saya ini- anu familinya. Saya ketawa saja. Pertama, dalam diri saya ini ada kejengkelan yang dalam. Karena orang-orang ini datang untuk membicarakan perkara. Sebagai
Ketua MA masak saya langsung marah. Kan tidak. Dan saya memang dikenal tidak pernah marah. Saya hanya mengata­kan, ya sudahlah lihat nanti saja. Jadi kalau orang masih ngo­tot bahwa saya ini bekerja sama, maka saya tidak tabu. Se­hingga ada rekan Anda, wartawan lain yang bertanya, bagai­mana,bapak meyakinkan publik bahwa bapak tidak kenal de­ngan Harini? Lho? Bagaimana saya meyakinkan, karena cerita­nya memang begitu. Lalu mau apa lagi ? Karena saya sebagai guru, muslim, dan hakim, maka saya tidak dilatih untuk berbo­hong, saya katakan apa adanya. Jadi kalau ada orang yang me­ngatakan macam-macam itu menurut saya sangat aneh.


Beberapa kali FORUM sempat memuat tentang kasus Surat Sakti anda, pandangan anda tentang itu?
Pengertian surat Sakti itu adalah campur tangan Hakim Agung atau MA terhadap peradilan di bawahnya. Misalnya ada surat, ekskusi jangan dijalankan. Begitu saya menjadi MA maka kita tetapkan satu kebijakan bahwa ekskusi adalah wewenang sepenuhnya dari Ketua Pengadilan Negeri, bahwa itu tidak boleh dicampuri oleh MA.
Karena itu setiap surat, ada surat dari orang kepada MA un­tuk meminta bantuan ekskusi, maka jawabannya adalah sama yaitu ekskusi adalah wewenang dari KPN dibawah pengawasan KPD, oleh. Karena itu silahkan berhubungan ke sana. Kalau ada laporan bahwa sudah ada keputusan ekskusi sekian tahun teta­pi lama tidak dilaksanakan, maka kami akan turn ke bawah dan menanyakan mengapa Anda tidak melakukan ekskusi. Apa­lagi kalau ada yang mengaku sudah bayar tetapi tidak segera ekskusi. Maka kita akan turun.

Hingga kini anda terus diserang, apa Iangkah anda mengantisipasinya?
Ada pepatah, Pohon kelor itu tinggi sehingga mudah ditimpa angin dan saya ditakdirkan oleh Allah menjadi pohon kelornya penghadilan. Ha....ha... Ya, apa boleh buat. Hanya saya tidak menuntut untuk dibela. Dan marilah kita bicara hati nurani. Kalau sudah ada tanda-tandanya pak Bagir itu tidak terlibat, kok masih dipaksakan.

Misteri Suap Probosutedjo (Karya tulis Terbaik dalam ajang "Anugerah Adiwarta Sampoerna 2006" kategori feature sosial)

(majalah FORUM Keadilan edisi 02 Mei 2006)

Misteri Suap Probosutedjo

Kasus Probosutejdo adalah fakta fenomenal kasus suap menyuap di dunia peradilan. Bukti Mafia peradilan memang bergentayangan. Tapi cerita yang terjadi tak sepenuhnya terungkap. Banyak kejadian janggal yang masih menyisakan teka-teki. Terutama antara KPK dan Probosutedjo. Termasuk hubungan Bagir Manan dalam peristiwa itu. Kini, pe­ngadilan mencoba membuktikan. Sayang, tak semuanya bisa terungkap dengan benar.

Suap Membawa Petaka

September kelabu. Senandung sendu itu sangat cocok menggambarkan kondisi Mahkamah Agung. Di bulan itulah sebuah kasus fenomenal terbongkar. Baru pertama kali sejak bangsa ini berdiri, lima pegawai MA tertangkap tangan. Mereka berupaya melakukan penyuapan. Kelima laki-laki itu adalah Pono Waluyo (staf bagian kendaraan), Malem Pagi Sinuhadji (Kepala bagian kepegawaian MA), Sriyadi (staf bagian perdata), Suhartoyo (wakil sekre­taris korpri MA) dan Sudi Ahmad (staf wakil sekretaris Korpri MA).

Orang-orang itulah yang membuat berita. Mereka di­tangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di ke­diamannya masing-masing. Di tangan mereka disita sejumlah uang dari Probosutedjo. Adik tiri mantan Presiden Soeharto inilah yang sedang berperkara. Dia tengah meng­hadapi proses hukum. Kasus korupsi di Hutan Tanaman In­clustri (HTI). Probo merugikan keuangan negara senilai Rp 100,931 Miliar. Karena kasus itu, Probo divonis empat tahun di PN Jakarta Pusat. Tapi dia banding. Di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, vonisnya berkurang. Tinggal dua tahun kurung­an. Tapi, Probo tak mau menerima begitu saja. Dia mengaju­kan kasasi ke MA.

Nah, ketika di MA itulah dia berupaya agar bebas. Perka­ranya dperiksa oleh tiga orang hakim agung. Bagir Manan, Parman Sugarman can Usman Karim. Untuk mengurus per­kara itu, Probo menyewa seorang pengacara. Namanya Hari­ni Wijoso. Umurnya 68 tahun. Dia adalah mantan hakim ting­gi Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta. Wanita ini malam itu ikut ditangkap KPK. Juga di rumahnya. Keenam orang itulah yang membawa uang Probo. Jumlahnya Rp 5 Miliar.

Mulanya, mereka mengaku bisa bisa mengurus perkara Probo. Tentunya agar perkara kasasinya itu bisa bebas. Nah, inisiatif pertama datang dari Harini.

Selaku pengacara, dia pun sigap mengadvokasi kliennya. Sejak menerima kuasa dari Probo, dia pun mondar mandir di gedung MA. Tapi bukan untuk bersidang. Melainkan mencari "jalan" agar bisa menyuap para hakim agung itu. Sasaran yang paling utama adalah Bagir Manan. Ketua MA inilah yang paling sulit ditaklukan. Sayangnya, Harini tak berhasil.

Tapi wanita itu tak mau mengecewakan kliennya. Ternyata usahanya tak sia-sia. Tanggal 27 September 2005, dia pun ketemu Pono Waluyo. Kedua orang itu berjumpa di parkir ba­rat MA. Tanpa basa-basi, Harini langsung mengutarakan niat­nya. Tentu untuk mencari jalan agar bisa menyuap sang Ke­tua MA, Bagir Manan. Pono yang cuma staf bagian kendaraan itu langsung menyanggupinya. Tapi ketika di sidang Pengadil­an Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pono membantah. Menurut versinya, waktu ketemu Harini, dia tak langsung menyang­gupi. Tapi karena kebetulan waktu itu melintas Sudi Ahmad dan Suhartoyo. Pono pun menceritakan niat Harini pada Sudi. Laki-laki ini langsung menyanggupinya. Sejak itulah kesepakatan terbangun.

Harini pun pulang. Tapi ketiga pegawai MA itu langsung menggelar rapat. Mereka bertemu di ruangan Sudi. Bincang-­bincang pun terjadi. Pelakunya Pono, Sudi dan Suhartoyo. Nah, kala itulah Sudi, menurut Pono, bisa meyakinkan bakal mulus. Mereka pun langsung bagi tugas. Pono menjadi peng­hubung dengan Harini. Sedangkan Sudi mengurusi "jalan" untuk ke Bagir.

Dua hari berselang, Pono mulai bekerja. Pagi-pagi, dia me­ngontak Harini. Pegawai MA itu memberi kabar gembira. Ka­tanya, putusan Probo segera keluar. Dan bakal dikirimkan ke PN Jakarta Pusat. Tapi, untuk tahu hasilnya, Pono meminta agar uang sogok segera dibayarkan. Harini sempat ragu. Pikir­annya antara percaya dan tidak. Tapi dia langsung minta kete­mu.

Mobilnya pun langsung diarahkan ke gedung MA di J1. Medan Merdeka Utara, Jakarta. Sampai di sana. Harini tak lang­sung masuk. Dia meminta ketemu keluar gedung. Keduanya kemudian berjalan ke areal parkir Bank Rakyat Indonesia yang tak jauh dari MA. Di sana, Harini sempat ragu. "Saya tak berani sebelum melihat isi putusannya," katanya. Tapi Pono tak menyerah. Dia tetap mendesak agar uang sogok dibayar­kan.

Tanpa mau ambil pusing, Harini langsung membawa Pono ke Gedung Kedaung di JI.Diponegoro, Menteng, Jakarta. Di sinilah Probo sehari-hari berkantor. Harini ingin mempertemu­kan Pono dengan Probo. Tentunya untuk memuluskan per­mintaan Pono tadi.

Sampai di sana, Harini memperkenalkan Pono pada Tri Wi­dodo. Dia acalah "tangan kanan" Probo. Tri langsung me­nyampaikannya ke "bosnya" itu. Probo pun keluar. Pono dite­muinya. Percakapan pun terjadi. Mulanya, Probo sempat menanyakan apakah Pono utusan Bagir. Pono membenarkan. "Betul besok putusan bakal dikirimkan?" tanya Probo lagi. Pono juga mengiyakan. Tapi dia langsung ke pokok persoal­an. Pono mengaku menyampaikan pesan dari Bagir. Pono berdalih Ketua MA itu meminta uang sebesar Rp 5 Miliar.

Mendengar itu, Probo memang sempat ragu. Tapi dia tak membantah titah Pono itu. Uang yang diminta langsung di­sanggupinya. Tapi Probo minta diberi tenggang waktu. Tentu­nya buat mengumpulkan uang sebanyak itu. Probo minta sampai jam 12 siang.

Pono pun kembali ke MA. Dia diantar Harini. Nah, jam 12.30 WIB, Tri mengontak Harini. Pesannya bahwa uangnya sudah disiapkan. Tri minta agar Pono segera datang lagi.

Titah itu pun diikuti. Pono sumringah ketika tiba di rumah Probo itu. Uang yang dimintanya ternyata sudah disiapkan dalam dua kardus. Di kardus pertama ada Rp 800 juta plus US$ 100 ribu. Kardus kedua berisikan uang senilai US$ 300 ribu.

Tanpa banyak menunggu, uang itu pun diboyong Pono. Dia membawanya ke sekretariat Korpri di MA. Tapi sebelum itu, Probo berpesan agar fotocopi putusan diserahkan padanya siang itu juga. Pono tak membantah. Dia berjanji bakal me­nyanggupinya.

Di MA, ternyata Sudi telah menanti. Selama Pono bekerja, Sudi juga sudah menyiapkan tim. Dia merekrut Malem Pagi, Sriyadi, dan Suhartoyo. Ketiga orang itu juga telah memiliki tugas masing-masing.

Sampai di MA, Pono langsung memanggil Sudi. Lalu uang itu pun diboyong ke ruangan Sudi. Di sana, uang itu dibagi­-bagi. Tapi hanya untuk kardus yang berisikan Rp.800 juta dan US$ 300 itu. Sudi memberi mereka masing-masing se­besar Rp. 1,25 Miliar. Uang itu sebagai tanda awal mulai bekerja. Oleh mereka. uang itu kemudian dibawa pulang ke ru­mah. Sudi juga demikian.

Nah, untuk kardus satu lagi, ceritanya juga berbeda. Yang ini dibawa Pono sendiri. Tapi sebelum itu, Harini menagih pu­tusan yang bakal diberikan. Ternyata Sudi telah menyiapkan­nya. Putusan itu diserahkan siang itu juga. Pono dan Harini langsung yang memberikan kepada Probo. Penyerahannya sekitar jam 15.00 WIB siang. Transaksi selesai. Pono pun berniat kembali ke MA. Harini pulang ke rumahnya.

Tapi, di perjalanan sampai di Tugu Tani, Harini ternyata ter­jebak macet. Saat itulah Pono menghubunginya. Pono me­minta agar dia diantarkan pulang ke rumahnya di Bekasi. Alasannya karena dia membawa uang dalam jumlah banyak. Harini menyanggupi. Mobilnya pun berbalik arah. Kembali ke MA.

Harini pun tak jadi pulang. Dia lebih dulu mengantarkan Pono. Di tengah perjalanan, Pono menyuruh Harini mengam­bil bagian. Besarnya senilai US$ 50 ribu. Tujuannya untuk ditukarkan ke rupiah.

Ternyata Harini mengiyakan. Uang itu pun dibawanya pu­lang ke rumahnya juga. Ternyata uang itulah yang membawa­nya sial. Malam hari, di rumahnya dia kedatangan tamu tak diundang. Rumahnya di bilangan Cipete, Jakarta Selatan di­ketuk malam-malam. Suara ketukan itulah yang memba­ngunkan Harini. Mulanya, memang bukan dia yang membu­kakan pintu, melainkan pembantunya. Sang pembantu me­nyanyakan maksud kedatangan tamu larut malam itu. Tapi sang tamu langsung menjelaskan identitasnya. "Saya dari KPK ingin bertemu dengan lbu Harini," kata itulah yang kelu­ar dari mulut tamu itu.

Benar saja, ternyata malam itu penyidik KPK langsung datang mencokok Harini. Nah, pembicaraan antara pembantu dan petugas KPK itu ternyata membangunkan Harini. Dia langsung terjaga dari ticurnya. "Siapa?" teriak Harini dari kamarnya. Suara itulah yang membuat penyidik KPK yakin Ha­rini ada di rumah. Padahal sebelumnya sang pembantu me­nyuruh penyidik KPK itu untuk pergi.

Karena suara itu, penyidik yang terdiri dari empat orang ter­sebut langsung menghampiri Harini. Mereka menunjukkan Su­rat penangkapan. Tuduhannya, Harini telah melakukan upaya penyuapan dan tindak pidana korupsi.

Tapi Harini tak langsung mengaku. Dia sempat memban­tah. Hampir dua jam saling bantah pun terjadi. Harini bersike­ras tak mau dibawa ke KPK. Tujuannya tentu saja untuk disi­dik. Tapi, kemudian Harini menyerah. Dia rela diboyong malam itu juga.

Mulanya, nama Harini bisa ketahuan KPK karena nyanyian Pono. Dia lebih dulu ditangkap. Penyidik KPK langsung me­minta penjelasan Pono tentang aliran uang Probo itu. Pono pun menceritakan.

Dari Pono lah keluar nama Harini dan empat orang rekan sejawatnya itu. Mereka diciduk satu demi satu malam itu ju­ga. KPK ternyata juga langsung menyiapkan Surat penangkap­an secara resmi.

Sejak itulah MA menjadi gempar. Tragedi penyuapan di per­adilan terbesar berhasil dibongkar. Bahkan nama Bagir dise­but-sebut. Inilah yang kemudian membuat badai serangan tak henti-hentinya menerpa MA.

Terbukti memang. Sepekan berselang, KPK tak berhenti bertindak. Lembaga negara khusus menangani korupsi itu langsung bertindak sigap. Mereka mencoba mengembang­kan tersangka. Terutama keterlibatan para hakim agung dan Ketua MA. Gebrakan pun dilakukan. MA digeledah oleh KPK. Termasuk ruangan tiga orang hakim agung itu. Tak hanya itu. KPK juga memeriksa Bagir, Usman dan Parman. Tentu untuk membuktikan keterlibatan mereka dalam suap menyuap itu.

Sayangnya, ketika melakukan penggeledahan di MA, KPK tak banyak mengindahkan aturan hukum. Begitu juga ketika memeriksa Bagir. Karena posisinya sebagai petinggi yudikatif, KPK melupakan satu hal. Bagir mesti diperiksa di luar orang biasa. Pendapat itu setidaknya muncul dari Mayasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. Dia menjelaskan bahwa pemerik­saan yang dilakukan terhadap seorang Ketua MA, tak boleh sama dengan orang biasa. "Karena dia memiliki tanggung­jawab yang berbeda juga," demikian argumennya.

Tapi KPK seolah tak peduli. Dalam penggeledahan, KPKju­ga sempat menyita adviesblaad. Ini adalah pendapat hukum para hakim agung tentang perkara Probo itu. Sejatinya, pen­dapat hukum itu adalah rahasia negara. Dia tidak boleh dike­tahui siapapun selain hakim itu sendiri. Jadi sebelum putusan dibacakan, adviesblaad sama sekali tak boleh diketahui sia­papun. Sayangnya, KPK seolah tak peduli. Demi memberan­tas korupsi, mereka tetap menyita pendapat hukum itu.

Nah, ketika adviesblaad disita, Bagir pun bertindak. Dia langsung mengganti majelis yang memeriksa perkara Probo. Sebagai Ketua MA, Bagir membentuk majelis baru. Susunan­nya adalah Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, Harifin A Tumpa, Rehngena Purba, dan Aca Sonjaja. Mereka inilah yang kemu­dian memeriksa kasasi kasus Probo itu.

Sebulan sejak pergantian, ternyata majelis ini bekerja ce­pat. Putusan langsung dibacakan. Majelis yang baru itu me­nyatakan kasasi Probo ditolak. Berarti hukuman Probo tetap empat tahun penjara.

Putusan ini langsung dieksekusi kejaksaan. Probo pun ma­suk bui. Kini dia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Su­kamiskin, Bandung. Memang akhirnya sang penyuap dipen­jara. Tapi dia dihukum bukan karena ulahnya memberi uang kepada Pono dan Harini. Untuk kasus itu, agaknya Probo tak tersentuh. Dia sama sekali tak disalahkan. Padahal bila dili­hat secara pidana, unsur-unsur pelaku penyuapan sudah terpenuhi dari tingkah Probo.

Beda dengan Harini dan lima orang pegawai MA itu. Kini mereka tengah diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jerat hukum yang di tujukan agaknya tlk mampu melepaskan mereka dari bui.

Sementara itu, bagi Bagir memang dia sama sekali tak ter­bukti. Tapi citranya sebagai Ketua MA tak secemerlang sebe­lumnya. Pasalnya serangan bertubi-tubi terus menderanya hingga kini. Bahkan, gara-gara ulah penyuapan itu, dia dan lembaganya mesti berseteru dengan Komisi Yudisial (KY). Lembaga ini sengaja dibentuk untuk mengawasi dan menjaga martabat hakim. Tapi, merebaknya kasus suap menyuap itu membuat mereka juga jatuh hati untuk memeriksa Bagir dan dua hakim agung lainnya. Hanya Bagir urung datang. Setelah dipanggil tiga kali pun, laki-laki asal Lampung itu tetap enggan melangkahkan kakinya ke gedung KY. Puncaknya, kedua lem­baga penegak hukum itu sempat bersitegang sampai ke Ma­bes Polri. Terbukti dengan adanya saling lapor antara hakim agung dan anggota KY. Kini, keduanya juga masih berseteru. Tempatnya di Mahkamah Konstutusi. Di sana, para hakim agung meminta UU KY diuji materil. Tentunya agar KY tak lagi bisa mengawasi hakim agung.

Yang pasti, kejadian ini bukan sebuah peristiwa biasa. Hal ini merupakan sejarah dalam dunia hukum kita. Hanya, ter­nyata tak sedikit aparat hukum yang tak siap menghadapinya. Jadi jangan harap rechstaat yang didambakan bisa terwujud dalam sekejap.



DIMANAKAH POSISI BAGIR MANAN?

Hakim menyatakan Bagir tak pantas dijadikan saksi. Tapi jaksa sangat ngotot. KPK juga kecewa. Benarkah Ketua Mahkamah Agung itu terilbat?

Harapan Khaidir Ramli seolah pupus sudah. Karirnya sebagai jaksa bisa dibilang tak begitu berhasil. Mula­nya, ketika kasus Harini dan lima pegawai Mahka­mah Agung ditanganinya, dia terlihat begitu sumringah. Pikir­nya, perkara ini bisa sedikit melambungkan namanya. Yang membuat mencuat itu tak lain karena ada tersangkuat Ketua MA, Bagir Manan.

Sebagai penuntut, dia pun berupaya membuktikan kesa­lahan dari para terdakwa itu. Daftar saksi-saksi juga telah di­siapkan. Termasuk Bagir Manan juga. Ketika persidangan memasuki pemeriksaan saksi-saksi, Khaidir pun langsung tancap gas. Berondongan pertanyaan kepada para terdakwa dan orang-orang yang menjadi saksi, diarahkan langsung ke Bagir. Dia seolah-olah ingin mencari benang merah keterli­batan Bagir dalam perkara ini. Sayangnya, upayanya itu sia­-sia. Pasalnya dari enam orang terdakwa, tak satupun yang menyebutkan Bagir ikut memiliki peran. Hanya Harini saja. Itupun dia hanya mengatakan pernah bertemu Bagir waktu pamitan sebagai hakim Tinggi. Tapi tak ada hubungannya de­ngan perkara yang tengah diurusnya itu.

Tapi Ramli seolah tak mau menyerah. Begitu juga dengan rekannya, Suharto. Laki-laki ini juga gencar mengarahkan pertanyaan buat saksi dan terdakwa hanya agar "kata" Bagir bisa terucap dari mulut mereka. Karena bila sudah terucap, maka dia berhak mendudukkan Ketua MA itu sebagai saksi.

Namanya pun akan semakin membumbung tinggi. Sayang­nya upaya itu gagal. Rabu pekan lalu, Ketua majelis hakim, Kresna Menon, menyatakan Bagir tak perlu dijadikan saksi. Alas hak yang di­pakai "wakil Tuhan" itu ada dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1985 tentang seleksi terhadap saksi-sak­si yang diperintahkan untuk hadir di persidangan. Hakim me­nilai kesaksian Bagir sama sekali tak diperlukan. Tak ada re­levansinya dengan perkara ini. Nah jika begitu, bila merujuk pada SEMA itu maka jika saksi tak dibatasi, bisa menimbul­kan pemborosan. Tidak sesuai pula dengan asas peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan.

Itulah sikap tegas hakim di persidangan. Sayang, ulah itu banyak diprotes kalangan di luar persidangan. Salah satunya dari Denny Indrayana. Laki-laki yang gencar memberikan kri­tikan terhadap MA ini menilai SEMA yang dijadikan rujukan itu tak lebih tinggi dari undang-undang. Bila merujuk pada KUHAP, katanya, maka Bagir tak bisa disalahkan untuk dija­dikan saksi. Aturan itu ada dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. Isinya, "Dalam hal ada saksi baik yang menguntung­kan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam Surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum sela­ma berlangsung sidang aatu sebelum dijatuhkannya putu­san, hakim ketua sidang wajib mendengar kesaksian tersebut. "

Bila merujuk beleid itu, maka Bagir memang sah-sah saja dijadikan saksi. Lalu seperti apa kualifikasi orang yang bisa dijadikan saksi? Pasal 1 ayat (26) KUHAP menjawabnya. Isinya, "saksi adalah orang yang dapat memberikan kete­rangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan per­adilan tentang suatu perkara pidana yang is dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri".

Berarti ada tiga unsur yang harus terpenuhi bila seseorang, tergolong sebagai saksi. Unsur itu yakni, melihat, mende­ngar dan mengetahui. Nah, apakah posisi Bagir termasuk kategori tersebut? Benarkah Bagir mengetahui, melihat dan mendengar terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Ha­rini dan lima orang pegawai MA itu?

Untuk menjawab hal itu maka perlu dilihat dulu posisi ka­susnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan terhadap enam orang. Selain lima orang pegawai MA itu, sa­tu orang lagi adalah Harini Wijoso. Harini adalah hakim ting­gi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pengacara Probosutedjo untuk kasus da­na reboisasi. Harini kemudian mempraktekkan cara beraca­ra yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis ha­kim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Ma­nan.

Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya un­tuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesaikannya sendirian. Diri­nya mental. Terbukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bu­lan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya telah membunyikannya ke­pada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.

Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi ke­inginan Harini. Pono menurunkan 'order' itu ke beberapa re­kannya di MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengon­tak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono me­minta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiap­kan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kar­dus. Satu kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ternyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sempat memba­wa uang, itu ke rumahnya.

Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-ma­sing. Sewaktu ditangkap, Pono ternyata masih menyimpan uang itu. Begitu juga dengan Harini. Berarti enam orang ter­sebut terbukti telah tertangkap tangan. Berclasarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menciduk me­reka tanpa surat perintah.

Kasus pun berkembang. Setelah melakukan penangka­pan, KPK tentunya memiliki bukti awal. Yakni berupa uang yang di tangan Pono dan Harini. Lalu kasus dikembangkan dengan meminta keterangan dari yang tertangkap. Dari sini­lah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang ter­libat dalam tindak pidana itu.

Dari keterangan Pono, disebutkan bahwa dirinya mengakui meminta uang kepada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mulut Harini. Pengacara itulah yang membawa Pono menemui Probo. Dia melakukannya karena Pono mengucap­kan bahwa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.
Lalu dilihat pula dari keterangan Probosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Probo memang memberi uang kepada Pono.

Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki­-laki itu memang suruhan Bagir. Namun, walaupun belum ser­atus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlahnya sangat besar.

Lalu dari serangkaian peristiwa itu, dimanakah posisi Ba­gir? Apakah ia tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap menyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari keterangan orang-orang yang telah memberikan kesaksian­nya.

Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku ti­dak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang merasa pernah ber­temu dengan Ketua MA itu.
Setali tiga uang dengan Harini. Pengacara ini hanya berha­sil ketemu Bagir ketika pamitan untuk meninggalkan dunia hakim. Tapi semenjak menerima uang Probo, dirinya juga tak lagi bertemu dengan Bagir.

Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presi­den Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan de­ngan Bagir. Sama sekali belum bertemu atau melakukan hu­bungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membukti­kan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Be­lum satu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum menerima sesuatu apapun.

Nah, ketika Probo diperdengarkan kesaksiannya dua pe­kan Ialu, tak satupun kalimat darinya yang mengatakan bah­wa dia pernah bertemu Bagir. Probo juga tak pernah berhu­bungan dengan Bagir. Pengakuannya, dia langsung yakin ke­tika Pono datang mengatasnamakan utusan dari Ketua MA.

Dan, cuma Harini-lah yang pernah menyebut kata Bagir da­ri mulutnya. Di tengah sidang, Harini berucap bahwa dia per­nah ketemu Bagir. Tapi pertemuan itu, kata Harini, hanya pa­mitan karena dirinya telah pensiun sebagai hakim tinggi di Yogyakarta. Nah, disela-sela pamitan itulah Harini sempat mengatakan bahwa Probo itu adalah saudaranya. Maksud Harini agar Bagir sebagai ketua majelis perkara Probo itu mau sedikit membantu. Tapi Harini kaget. Ekspresi wajah Bagir tampak marah. "Mukanya masam dan kecut," katanya di persidangan. Ketika itu, Bagir juga cuma berujar pendek. "Kita lihat nanti sajalah." Hanya itu.

Nah, kalimat itulah yang dijadikan jaksa untuk menghadir­kan Bagir sebagai saksi. Padahal, dalam serangkaian peris­tiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak mengambil peran. Diri­nya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. Dengan posisi seperti itu, berarti Bagir bukan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sama sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu kok jaksa tetap ngotot untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bagir? Entah untuk motif apa. Yang pasti, mencuatnya kasus ini sempat menjadi sorotan seluruh pers di tanah air. Bila jaksa berhasil menghadirkan Bagir, bisa jadi namanya akan dicatat di setiap lembaran koran-koran. Inilah bukti substansi pene­gakan hukum bisa luntur hanya karena ingin nampang di Koran.



Antara KPK dan Probosutedjo

KPK dianggap berhasil membongkar kasus suap di tubuh Mahkamah Agung. Padahal banyak melakukan pelanggaran hukum.

Sriyadi tampak tenang. Laki-laki ini duduk santai di luar ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di ge­dung Upindo, Jakarta, dua pekan lalu. Penampilannya tak seperti terdakwa korupsi. Pakaiannya juga tak necis. Ba­dannya cuma dibalut kemeja dan jeans seadanya. Siang itu, dia bakal memberikan kesaksian. Khusus untuk terdakwa Pono Waluyo.

Tapi Sriyadi tampak tak canggung. Tak ada rasa takut di mi­mik wajahnya. Biasa saja. "Paling-paling pertanyaannya itu-itu saja," katanya kepada FORUM. Memang, dia sudah sering memberikan kesaksian. Jadi dia sudah terlatih. Selain itu, dia juga tergolong salah satu terdakwa. Dia juga di penjara. Ditu­duh melakukan praktek korupsi.

Memang kala itu dia tampak biasa saja. Namun sebenarnya kekesalan menumpuk di dadanya. Sriyadi sempat menggeru­tu. "Saya ini sebagai apa, kok dituduh melakukan korupsi, pa­dahal uangnya tak pernah saya nikmati," katanya. Tapi KPK sebagai penyidik dan penuntut seolah tak peduli keluhan laki-laki yang bekerja sebagai staf bagian perdata di MA itu.

Dia tetap saja didakwa dengan tuduhan yang sama. Dia di­anggap melanggar Pasal 5 ayat (1) can (2) juncto Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 1 juncto Pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No. 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 clan junc­to Pasal 53 KUHP.

Tuduhan itu juga yang ditujukan buat Harini Wijoso, Malem Pagi Sinuhaji, Pono Waluoyo, Sudi Ahmad dan Suhartoyo. Itu­lah yang disesalkan Sriyadi. Padahal dia cuma sempat meme­gang sebentar uang Probosutedjo itu. Itu pun setelah Malem Pagi yang menitipkan uang itu kepadanya. Karena sewaktu ingin pulang ke rumahnya di Bekasi, kebetulan hari itu dia me­numpang dengan Malem. Nah, Malem meminta Sriyadi mem­bawa uang Probo itu. Malamnya, petugas KPK langsung men­cokoknya. "Harusnya saja ini cuma ikut membantu melaku­kan, bukan korupsi, kok disamakan," ceritanya kepada FORUM lagi.

Memang kisah Sriyadi itu salah satu kejanggalan dalam per­kara ini. Enam orang yang dijadikan terdakwa, KPK menuntut­nya dengan beleid yang sama. Mereka disetarakan melanggar tindak pidana korupsi. Padahal, bila dilihat lagi peran yang di­mainkan antara sesama terdakwa itu tidaklah sama. Sriyadi sendiri mengaku tidak mengenal Harini. Tapi di mata KPK, ulahnya itu tak beda dengan yang dilakukan Harini dan Pono. Sejatinya, kedua orang inilah yang menjadi aktor utamanya.

Tak hanya itu. Satu hal yang belum terungkap adalah "kong­kalikong" antara KPK dan Probosutedjo. Ini bisa dilihat dari tempos delicty merebaknya perkara ini.

Tanggal 29 September 2005. Hari itulah transaksi terjadi antara Probo dan Pono. Dengan disaksikan oleh Harini dan TriWidodo. Laki-laki inilah "tangan ka­nan" Probo. Siang itu, Probo lang­sung menyerahkan uang yang disiap­kan dalam dua kardus. Di kardus per­tama ada Rp 800 juta plus US$ 100 ribu. Kardus kedua memuat US$ 0 300 ribu. Pengakuan Probo, uang­-uang itu sudah disiapkan khusus. Termasuk nomor serinya. Tujuannya agar uang itu langsung bisa dilacak. Mantan adik tiri mantan Presiden Soeharto itu juga menyebutkan bah­wa uang yang berseri itu merupakan titah dari KPK.

Tapi jauh sebelumnya, tanggal 23 Juli 2005, Probo menemui KPK. Dia mengatakan menjadi korban peme­rasan di MA. Karena banyaknya calo perkara yang menawarkan putusan kasasi MA tentang kasus dirinya itu. Laporan Probo ke KPK itu atas saran teman dekatnya, Sri Edi Swasono. Dia adalah guru besar ekonomi dari Universitas Indonesia.

Berarti, penyuapan yang dilakukannya itu atas dasar kehen­dak KPK. Probo hanya diperalat KPK untuk mendapat tangka­pan besar. Pasalnya KPK menyadari bahwa tujuan yang disuap itu adalah majelis perkara kasasi Probo. Mereka adalah Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim. Jadi, dalam waktu dua bulan itulah Probo sengaja rnemancing para calo agar catang padanya.

Dengan begitu, berarti Probo mendapat tempat khusus bagi KPK. Karena dia melapor, maka diberikan perlindungan saksi. Alas haknya ada dalam Pasal 15 huruf a UU no. 30 tahun 2002 tentang KPK. Bunyinya, "Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberi­kan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi".

Lalu pantaskan Probo diberikan perlindungan saksi? Lihat tempos de/icty yang terjadi. Tanggal 29 September 2005. Se­mentara Probo melapor ke KPK dua bulan sebelumnya. Nah, ketika Probo melapor berarti tindak pidana belum terjadi. Se­mentara beleid itu menegaskan pelindungan saksi hanya dibe­rikan kepada saksi atau pelapor yang memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana. Jadi jelaslah KPK mem­berikan standar ganda buat sang pengusaha itu.

Tak hanya itu. Terhadap perlindungan KPK kepada Probo agaknya tak hanya sekedar perlindungan saksi saja. Termasuk perlindungan untuk ditetapkan sebagai tersangka. Alias pela­ku penyuapan. Padahal hal itu seharusnya tidak lazim dilaku­kan. Sebab, bila merujuk pada Penjelasan Pasal 15 huruf a UU KPK tadi, perlindungan yang boleh diberikan KPK adalah “pemberian jaminan keamanan dengan rneminta bantuan ke­polisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum”.

Jadi sama sekali tak ada perlindungan untuk menghapuskan tindak pidana yang dilakukan oleh Probo.

Nah, dalam drama transaksi tadi, jelaslah peran Probo tak bisa dibilang kecil. Ketika dia menyerahkan uang kepada Pono, berarti Probo jelas melanggar Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas un­dang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Probo bisa cianggap menyu­ap pejabat negara. Karena Pono ber­status sebagai pegawai MA. Tapi, KPK sampai kini tak mengindahkan hal itu. Probo tetap dilindungi KPK. Tindak pidana yang dilakukannya, se­olah dilupakan oleh lembaga pem­berangus korupsi itu.
Konyolnya lagi, aksi-aksi selanjutnya KPK ternyata banyak melabrak aturan hukum. Itu terlihat ketika lembaga itu melakukan penggeledahan di MA. Penggeledahan itu dilakukan di tiga ru­angan kerja. Yakni ruangan kerja Bagir, Parman dan Usman.

Walaupun sempat mendapat protes, tapi KPK tetapmelaju. Protes itu disebabkan KPK dianggap tidak mengindahkan aturan hukum. Ketika menggeledah, KPK sama sekali tidak membawa serta surat ijin dari Ketua Pengadilan Jakarta Pusat.Memang tindakan seperti itu, KPK juga berhak melakukannya. Alas haknya ada dalam pasal 47 UU KPK. Isinya, "Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pen­gadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. "

Nah, apakah KPK memiliki bukti permulaan yang cukup un­tuk menggeledah ruangan ketiga hakim agung tadi? Lihat saja hasil tangkapan KPK di malam tanggal 29 September 2005 lalu itu. KPK hanya mendapatkan uang ditangan Harini, Pono dan para pegawai MA lainnya. Uang itu masih utuh di tangan mereka semua. Tak satupun yang hinggap di tangan para ha­kim agung itu. Terutama Bagir. Berarti bukti KPK untuk meng­geledah ruangan ketua MA, sama sekali tak dilengkapi dengan bukti permulaan yang cukup. Inilah kontroversinya.

Parahnya lagi, KPK ternyata sempat menyita adviesblaad ketiga hakim agung tadi. Padahal adviesblaad itu berupa pen­dapat hakim yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Selain hakim itu sendiri. Tapi KPK telah menyitanya.

Nah, ketika Harini dan Pono cs itu disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dari alat bukti yang disampaikan, pe­nuntut dari KPK sama sekali tidak menyertakan hasil temuan­nya dalam penggeledahan di MA itu. Berarti penggeledahan oleh KPK itu tak menghasilkan apa-apa. Hanya menyisakan kontroversi kinerjanya sendiri.

Ironisnya, ketika majelis hakim Tipikor mengumumkan bah­wa Bagir tak perlu dijadikan saksi, KPK juga sempat berce­loteh. KPK meyayangkan sikap hakim tersebut. "Kita kecewa berat, karena sebetulnya ialah hak jaksa untuk menghadirkan alat bukti, termasuk saksi dipersidangan," kata Tumpak Hato­rangan Panggabean, wakil ketua KPK.

Memang sah-saja Tumpak berceloteh demikian. Hanya, heran juga dia berpikiran demikian. Padahal ketika KPK mengge­ledah MA, tak menghasilkan apa-apa. "Memang lembaga ini tak profesional," kata Indra Sahnun Lubis, wakil ketua umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).