Tuesday, March 10, 2009

Fiat Justitia Ruat Caelum

Rechstaat


Fiat Justitia Ruat Caelum

Kalimat itu, disanjung dimana-mana. Jaksa selalu bangga mengumandangkannya. Hakim tak henti melantunkannya. Advokat juga tak beda. OC Kaligis, pengacara kawakan, melabelkan kalimat tadi di beranda depan website kantornya. Tahun 1950 lalu, ada hakim di pengadilan negeri Jakarta Pusat mengejar seorang pengacara pagi-pagi. Sebelum sidang, pengacara itu datang lebih pagi menemui hakim tadi. Dia menawarkan uang agar kliennya menang. Hakim itu tak senang, pengacara itu dikejar sampai ke jalanan Gajah Mada, Jakarta. Dia ingin menamparnya. Pengadilan heboh. Hakim itu berujar singkat, “fiat justitia ruat caelum”.
Kalimat itulah yang dijadikan alasan. Untaian kalimat itu, dipuja banyak pengacara. Mereka mengkeramatkan fiat justitia ruat caelum sebagai kalimat yang suci. Mereka percaya, “hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh”. Mereka yakin, kalimat ini harus disanjung setinggi langit biar hukum bisa tegak. Padahal, kalimat itu dikumandangkan karena salah mengadili. Tak jelas juga mengapa dia identik dengan keadilan. Yang jelas, Barat-lah yang berkisah pertama. Mereka yang mempopulerkannya.

Charler Sumner, politisi Inggris di abad 19, berceloteh bahwa susunan kata-kata itu bermula dari epos Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Dia ini yang melantunkan pertama. Lucius bilang, di eranya langit adalah kekuatan yang menakutkan. Kala Kaisar Alexandria bertahta, sang raja penguasa Laut Merah, ada seorang pelaut yang menghadap padanya. Pelaut itu duta besar Celtae dari Laut Adriatik. Alexandria bertanya kepadanya, “Apa yang paling menakutkan bagimu?”. Ternyata pelaut itu menjawab berbeda. Alexandria berharap dirinya sosok paling ditakuti siapa saja. Pelaut itu malah berkata, “Jika langit runtuh menimpa mereka, itulah yang paling mengerikan”. Alexandria ternganga. Karena hambanya lebih takut pada langit ketimbang dirinya. Epos ini diprasastikan oleh Arian. Bukunya tentang Operasi Militer Alexandria (Buku I,4) mencatatkan drama ini.

Di jaman itu, langit seolah jadi sosok yang mengancam siapa saja. Sejak itu, adagium ini jadi terkenal di seantero Romawi berjaya. “Quid si redeo ad illos qui aiunt, ‘Quild si nuc caelum ruat?’” (“Bagaimana jika aku berpaling kepada mereka yang berkata, ‘Bagaimana jika sekarang langit akan runtuh?’”). Karena, jaman itu manusia masih percaya sosok Atlas yang memegang bumi dipundaknya. Bila Atlas keseleo tangannya, maka bumi akan hancur dan langit pun runtuh.

Cuma, ada kisah yang berbeda. Katanya, adagium itu bermua dari drama “Piso’s Justice”. Seneca, penyair Romawi, mengceritakan dalam De Ira (Saat Marah). Dia mengarang tentang Gnaeus Piso, seorang Gubernur dan anggota legislatif Romawi. Konon, Piso salah mengadili. Keliru menghukum orang. Dia menghukum serdadu yang tak bersalah. Piso marah melihat ada serdadu yang kembali dari cuti tapi tak bersama dua temannya. Anggapan Piso, jika prajurit itu tak muncul, serdadu itu pasti telah membunuhnya. Dia pun mentitahkan agar serdadu tadi dihukum mati. Tapi begitu hendak dieksekusi, dua serdadu yang diduga mati, muncul tiba-tiba. Komandan prajurit yang hendak mengeksekusi, menghadap Piso. Piso naik ke mimbar seraya berkata, hukuman telah ditetapkan. Piso menetapkan si komandan harus dihukum mati juga. Karena telah menunda eksekusi. Prajurit tadi, di hukum mati juga. Dua serdadu itu? Di hukum mati jua oleh Piso. Alasannya, karena menyebabkan kematian dua orang yang tak berdosa itu.
Sejak itulah, fiat justitia ruat caelum jadi melegenda. Kalimat itu diagungkan buat mengeksekusi apa saja. Kalimat itu dijadikan alasan pembenar, menghukum siapa saja. Asalkan, ada hukuman yang telah ditetapkan.

Abad berjalan. Kalimat itu disanjung banyak orang. Barat yang mulai pertama. Di Inggris, William Watson, sastrawan juga, menuliskannya dalam buah karyanya, “Ten Quodlibetical Quotations Concerning Religion and State” (1601). Dia menyatakan “Anda melanggar istilah yang lazim dalam perundangan, yaitu Fiat justitia et ruant coeli’”. Inilah untuk pertama kalinya kalimat itu muncul didunia modern. Selanjutnya, banyak penyair Inggris yang menirunya juga. William Prynne dalam buku “Fresh Discovery of Prodigious Wandering New-Blazing Stars” (1646). Setahun kemudian, Nathaniel Ward (“Simple Cobbler of Agawam).

Eropa jadi keranjingan. Kaisar Kerajaan Roma, Ferdinand I, mencontek juga. Dia membuat semboyan buat kerajaannya, “Fiat justitia et pereat mundus” (keadilan harus berkuasa sekalipun semua penjahat di dunia musnah). Ferdinand mengutip bukunya Philipp Melanchthons (1521) berjudul Loci Communes.

Lambat laun, kalimat itu merambah pengadilan. Inggris yang mulai pertama. Lord Masnfield, yang membuat debut. Di perkara Somersett, Juni 1772 yang menghapuskan perbudakan di Inggris, dia memasukkan kalimat itu dalam putusannya. Amerika meniru juga. “Fiat justitia” tertulis di bagian bawah lukisan Ketua Hakim Agung, John Marshall. Karya itu berada di ruang konferensi Mahkamah Agung (MA) sana. Di Tennessee, lebih gila lagi. Stempel MA-nya bertuliskan “fiat justitia”. Di lantai lobi bangunan pengadilan di Nashville, kalimat itu dituliskan lebar sekali.

Eh, nusantara ikut-ikutan juga. Semua advokat, dari yang hitam sampai legenda, menuliskan “fiat justitia” dalam pledoi buatannya. Di ranah facebook yang lagi membahana, kalimat ini dijadikan ucapan salam bagi sesama pengacara. Seolah mereka bangga dengannya.
Padahal, Islam telah mengajarkan. “Langit runtuh” pertanda kiamat datang. Pertanda, hukum Tuhan yang harus disanjung. Karena Mahsyar telah dibangkitkan. Tak ada satu manusia pun yang boleh memberikan hukuman. Karena itu cuma milik Tuhan.

Kita meniru, kalimat yang muncul dari Piso yang salah. Padahal Piso keliru mengadili. Piso membunuh tiga prajurit yang tak harus mati. Di bumi pertiwi ini, kalimat ini disanjung tinggi. Kita terus meniru Barat yang sesat. Tak heran, hukum kita pun tak pernah supremasi.


MAHKAMAH, 15 Maret 2009