Wednesday, May 14, 2008

Antara Adokat Dan Pengacara

Rechstaat


Antara Advokat dan Pengacara

Ternyata pengacara dan advokat berbeda pengertian. Kini keduanya disatukan. Bisa jadi inilah yang membuat organisasi advokat tak pernah bersatu.

Di Indonesia, istilah buat para praktisi hukum sangat beragam. Ada advokat, pengacara, konsultan hukum, penasehat hukum dan lainnya. Tanpa disadari, munculnya keberagaman istilah ini ternyata membuat masalah. Karena kemudian berkembang berbagai organisasi yang memayunginya. Bahkan, kini organisasi itulah yang berebut jabatan ketua umum, kala mereka disatukan. Yang kentara tentu antara advokat dan pengacara.

Istilah pengacara sebenarnya datang dari bahasa Belanda, procureur. Kata itu sama artinya dengan pengacara. Tapi lidah orang Indonesia era dulu, sering menyebutnya pokrol. Sedang advokat sendiri bersumber dari kata “advocaad”. Juga terjemahan dari bahasa Belanda. Artinya sama dengan “pembela”. Nah, menurut Adnan Buyung Nasution, procureur itu sebenarnya hanya menggambarkan salah satu bidang pekerjaan yang lazim dilakoni advokat. “Yang menyangkut beracara dipengadilan,” jelasnya. Begitu juga dengan konsultan hukum. Mereka ini sarjana hukum yang tidak mau berpraktek dipengadilan. Tidak beracara secara litigasi. Hanya berperan sebagai penasehat hukum perusahaan terkait soal kontrak dan sejenisnya.

Pasca kemerdekaan, bangsa Indonesia mulanya hanya mengenal advokat. Untuk mendapat kartu ijin praktek bagi advokat, mesti melewati ujian di Departemen Kehakiman (kini Dephukham). Menurut cerita Buyung, untuk meraih kartu advokat, saat itu sangat sulit sekali. “Prosesnya panjang dan berbelit-belit,” katanya. Makanya, sambungnya lagi, jumlah advokat kita di awal kemerdekaan masih sangat sedikit. Namun, bagi yang berstatus advokat, bisa beracara di seluruh Indonesia. Jangkauan kerjanya luas.

Berbeda dengan pengacara. Di era tahun 1960-an, keberadaan pengacara mulai diakui oleh pemerintah. Ijin prakteknya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi. Sebenarnya metode ini mengikuti era penjajahan Belanda. Kala itu, seorang pengacara hanyalah lulusan sarjana hukum saja. “Tidak ada ujiannya, mereka bisa berpraktek begitu saja,” cerita Buyung lagi. Namun model semacam itu diteruskan waktu negeri telah merdeka. Alhasil, ada dua model ijin yang dikeluarkan. Advokat buat yang beracara diseluruh Indonesia. Pengacara buat yang berpraktek di wilayah hukum Pengadilan Tinggi setempat.

Masalah ini ternyata merembet ke soal organisasi. Advokat membentuk wadah sendiri. Awalnya mereka mendirikan Peradin itu. Lalu berubah lagi menjadi Ikadin. Yang tergabung disana, hanyalah seorang advokat saja. “Karena dia mesti advokat, bukan pengacara,” terang Otto Hasibuan, ketua umum Ikadin kepada Neraca. Disisi lain, para pengacara membentuk wadah sendiri. Namanya Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI). “Kita menampung pengacara yang tidak tergabung dalam Ikadin,” terang Indra Sahnun Lubis, ketua umum IPHI. Namun, sambung pengacara asal Medan itu, bila mau dibandingkan, IPHI memiliki jumlah anggota lebih banyak.

Kini, sejak lahirnya UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat, seluruh istilah profesi itu diseragamkan. Mereka semuanya disebut sebagai advokat. Untuk ini, Buyung punya alasan sendiri. Menurut pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini, dunia hukum di seluruh dunia tidak mengenal istilah pengacara, konsultan hukum atau penasehat hukum seperti itu. “Semua itu hanya istilah yang dibuat-buat di Indonesia untuk membingungkan masyarakat,” terangnya. Yang benar, sambungnya lagi, adalah merujuk pada sistem Eropa Kontinental (civil law). Sistem seperti ini dianut di Belanda, Belgia, Perancis, Italia, Spanyol berikut bekas jajahannya. Disamping itu, ada sistem lain juga, anglo saxon. Sistem semacam ini dianut Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya. Disanalah, kata Buyung, dikenal istilah solicitor, barrister, attorney at law. Secara umum disebut lawyer. Nah, Indonesia menganut Eropa Kontinental. “Makanya kita mengenakan istilah advokat,” kata Buyung lagi.

Namun di mata Sahnun, istilah advokat tetap tidak tepat. “Karena dipengadilan saja, kita menggunakan istilah ‘penasehat hukum’,” ujarnya. Tak percaya? Lihat papan nama yang ada di meja pembela. “Yang ditulis ‘penasehat hukum’ kan, bukan advokat!!,” tegasnya. Nah, kalau begini, jangan heran bila organisasi advokat-nya juga tak pernah bersatu.


Irawan Santoso

Tuesday, May 13, 2008

Advokat : PECAH SEPANJANG SEJARAH

Rechstaat

Pecah Sepanjang Sejarah

Sejak awal berdiri, advokat selalu terbelah. Dulu, organisasi advokat terbelah karena ada campur tangan pemerintah. Tapi kini terpecah karena ulah advokat sendiri.

16 November 1985. Ini hari kedua berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Ini juga hajatan pertama sejak Ikadin terbentuk. Kebetulan, Ikadin adalah organisasi yang dibentuk dengan tujuan wadah tunggal buat advokat. Tapi, walau Munas pertama, suasana tegang dan ricuh tetap berlangsung. Sesama advokat saling serang. Bahkan menjurus pertarungan fisik. Majalah Tempo edisi 16 November 1985 menuliskannya. Begini gambarannya. Ketegangan muncul lagi setelah suara untuk formatir terumpul dan dewan promatir ditetapkan. Sebab, sebagian besar pendukung Harjono meminta agar ketua umum ditetapkan saja, Harjono, sebagai formatir yang mendapat suara terbanyak. Permintaan itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh kelompok yang menentang Harjono. Perang mulut antara kedua kelompok melalui lima pengeras suara, yang kadang-kadang dipakai bersamaan, hampir tak terkuasai oleh pemimpin sidang.

Munas itu akhirnya berhasil memilih Harjono Tjitrosoebono sebagai ketua umum dan Albert Hasibuan jadi sekretarisnya. Kala itu, organisasi advokat itu nyaris pecah. Ikadin pun muncul sebagai satu-satunya organisasi buat advokat. Dia jadi wadah tunggal.

Munculnya Ikadin bukan tanpa cerita. Karena sebelumnya sudah ada organisasi advokat. Namanya Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Organisasi advokat ini dibentuk tak lama setelah Indonesia merdeka. Pelopornya adalah beberapa advokat kawakan. Ada nama-nama seperti Iskak Tjokrohadisurjo, Mohammad Roem, Lukman Wiradinata, Abidin, Hasjim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Sukardjo, Yap Thiam Hien, Harjono Tjitrosoebeno, Nani Razak dan lainnya. Mereka ini tergolong generasi pertama advokat Indonesia. Kala itu advokat Adnan Buyung Nasution tergolong sebagai anggota muda.

Dalam perjalannya, Peradin ternyata memiliki lawan. Tapi bukan dari kalangan advokat lainnya. Melainkan dari pemerintah selaku penguasa. Pasalnya advokat yang tergabung dalam Peradin sering berhadap-hadapan dengan pemerintah. Banyak kasus besar yang dibela oleh advokat yang tergabung disana. Alhasil kalangan penguasa Orde Baru “kepanasan” dengan organisasi advokat itu. Peradin kemudian jadi organisasi yang dicurigai Kopkamtib. Alhasil, kalangan penguasa mulai menyusupi.

Tak bisa dipungkiri, ada kehendak pemerintah agar Peradin terpecah. Memang, sekitar tahun 1978, terbentuk organisasi advokat tandingannya. Namanya Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum Indonesia (Pusbadi). Ketuanya adalah RO Tambunan. Sejak itu, advokat pun terbelah jadi dua. Antara Peradin dan Pusbadi.
Ketua Mahkamah Agung saat itu, Ali Said, mencoba menyatukan semua organisasi advokat itu. Dia memanggil seluruh pimpinan organisasi advokat yang ada. Namun, sampai masa jabatan Ali habis, advokat belum juga bersatu. Baru di era kepemimpinan Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, usaha itu dilakukan kembali. Tahun 1985 itulah, kali pertama dibuat kongres yang diikuti seluruh advokat dari beragam organisasi. Maka terbentuklah yang namanya Ikadin tadi. Kala Munas itulah, suasana perang antar advokat tak terelakkan. Antara kubu Peradin dan Pusbadi saling sikut untuk dapat posisi ketua Ikadin. Karena anggota Peradin masih terbanyak, maka yang terpilih adalah Harjono.

Lalu tahun 1990, Ikadin menyelenggarakan Munas yang keduakalinya. Acaranya digelar di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Disini cerita saling sikut sesama advokat justru memuncak. Menjelang Munas, dua kubu langsung terbentuk. Ada kelompok Harjono dan kubunya Gani Djemat. Keduanya ternyata bernafsu untuk duduk sebagai Ketua Ikadin yang dipilih dalam Munas nantinya. Harjono ditopang anggota Ikadin yang lama. Sementara kubu Djemat banyak disokong advokat dari Jakarta. Ada nama-nama Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Yan Apul Girsang dan lainnya. Mereka inilah yang tim sukses buat Djemat.

Kala Munas berlangsung, pertarungan dua kubu benar terjadi. Bahkan sampai adu fisik. Simak laporan majalah Tempo edisi 4 Agustus 1990 soal kejadian Munas kala itu. Pernyataan Rudhy diikuti teriakan silih berganti dari para pendukung Djemat lainnya. “Bubar” kata Palmer Situmorang. Belasan rekannya, sesama pendukung Djemat, berhamburan di meja pemimpin sidang. “Turun”, teriak mereka. Beberapa panitia mencoba merebut corong pengeras suara dari tangan Rudhy. Pria gempal itu bertahan, sementara rekan-rekannya melindunginya.

Di tengah kekalutan itu, terdengar suara pukulan mendarat diwajah seseorang. “Plak”. Tampak salah seorang panitia, Tommy Sihotang, memburu John H Waliry. “Gua dipukul,” teriak Tommy. Herannya John malah mengaku dipukul lebih dulu, entah oleh siapa. Ini mungkin khas advokat, yang memukul dan yang dipukul sama-sama mengaku jadi korban.

Kekacauan semakin menjadi. Di sisi kiri, Palmer berteriak-teriak dan menyenggolkan sikutnya ke meja minuman. Delapan gelas jatuh, pecah berantakan. Akhirnya, situasi dapat diredakan setelah petugas kepolisian dan beberapa ABRI berpakaian preman turun tangan.


Kekacauan itu berlangsung waktu akan dilangsungkannya pemilihan ketua umum. Dua kubu yang berseteru, mulanya berdebat panjang soal mekanismenya. Kubu Harjono setuju bila pemilihan dilakukan dengan sistem suara yang diwakili oleh masih-masing Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang hadir. Artinya tidak semua advokat peserta Munas memilih. Hanya ketua dari masing-masing DPC saja. Dasar hukumnya ada. Mereka merujuk pada hasil Rapat Kerja (Raker) Ikadin tahun 1990.
Sementara, kubu Djemat mendesak agar pemilihan dilangsung dengan sistem one man one vote. Setiap advokat yang hadir, berhak memilih ketua umum. Alas haknya juga ada. Mengacu pada Anggaran Dasar Ikadin. Alhasil, dua-duanya ngotot. Tak ada yang mau mengalah karena masing-masing punya pijakan hukum yang kuat.
Dari sisi suara, bila pemilihan dilakukan oleh sistem DPC, maka kubu Harjono dipastikan menang. Pasalnya, dirinya banyak ditopang advokat dari daerah. Tapi rata-rata yang datang hanya pengurusnya saja. Sementara, peserta terbanyak datang dari advokat asal Jakarta. Bila dilakukan pemilihan satu orang satu suara, dipastikan Djemat yang menang. Inilah yang membuat baku hantam tak terelakkan.

Namun, pimpinan sidang tetap ngotot memakai mekanisme yang dipilih kubu Harjono. Alhasil kelompok Djemat walk out. Mereka meninggalkan arena Munas. Tapi bukan beranjak pulang. Melainkan berkumpul lagi di Gedung Serbaguna Putri Duyung Cottage, Ancol, Jakarta. Letaknya hanya 500 meter dari Hotel Horison. Disana, ternyata mereka mengikrarkan diri untuk membentuk organisasi advokat baru saingan Ikadin. Namanya ditetapkan yakni Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Mereka beramai-ramai menandatangani ikrar diatas sebuah spanduk putih. Sehabis deklarasi, serempak mereka menyanyikan lagu “Kemesraan”. Lagu inilah yang kemudian dijadikan hymne wajib di AAI. Gani Djemat didepak sebagai ketua umum pertamanya. Sejak itu, organisasi advokat terbelah lagi. Ikadin yang seyogyanya dijadikan wadah tunggal buat advokat, terpecah lagi.
Ternyata, sebelumnya juga tumbuh lagi organisasi advokat lainnya. Sebelum AAI lahir, Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) dan Serikat Pengacara Indonesia (SPI) telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi advokat juga Munculnya dua organisasi advokat ini juga punya cerita sendiri. Karena dari segi istilah, sebenarnya mereka berbeda dengan advokat.

Bukan itu saja. IPHI kemudian malah terpecah lagi. Sebagian advokat yang sebelumnya tergabung di organisasi itu, mendirikan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI). Pembentukan ini dipelopori oleh Elza Syarif. Malah beberapa konsultan hukum juga mendeklarasikan organisasinya. Mereka bergabung dalam Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Ironisnya, AKHI yang baru berdiri, terpecah juga. Ada sebagian yang kemudian mendirikan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Di sisi lain, ada juga yang tergolong dalam Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Jadi, lengkaplah perpecahan di dunia advokat kita.
Lalu muncullah UU No 18 tahun 2003 tentang advokat. Beleid ini mengamanatkan agar advokat membentuk wadah tunggal. Artinya hanya ada satu organisasi advokat. Para pimpinan organisasi advokat yang ada, kemudian berkumpul. Mereka mendeklarasikan diri membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Lembaga inilah yang kemudian mengklaim sebagai wadah tunggal itu. Otto Hasibuan sebagai ketua umumnya. Tapi, kini organisasi itu terpecah lagi. Sejumlah advokat tak setuju dengan cara pembentukannya. Bulan Mei 2008 ini mereka membuat Kongres Advokat Indonesia. Ajang itu dibuat untuk melahirkan wadah tunggal sebenarnya. Namun kubu Otto tak setuju cara itu. Menurutnya, kongres itu bukan hajatan yang dibuat Peradi. “Munas advokat yang Peradi buat, tahun 2010,” tegasnya. Berarti, bisa dipastikan bahwa organisasi advokat pecah lagi. Ironis sekali.

Irawan Santoso

majalah Neraca Hukum edisi Mei 2008





Wednesday, May 7, 2008

Van Den Brand

Rechstaat

Advokat Van Den Brand

Jauh sebelum Indonesia merdeka, advokat sudah ada. Kala negeri masih dijajah Hindia Belanda, Advokat sudah berkisah. Walau republik belum merdeka, advokat telah membela. Tapi bukan untuk kalangan bangsawan Belanda atau kelompok raja nusantara. Dia membela rakyat jelata. Mengadvokasi orang pribumi yang ditindas penjajah.

Advokat itu orang Belanda. Bagian dari bangsa penjajah. Namanya Van Den Brand. Lulusan Universitas Amsterdam. Setelah menyandang gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), dia menyeberang lautan. Meninggalkan Geervliet, kampung halamannya di Belanda. Den Brand memilih mengabdi di Indonesia. Tahun 1885, dia sampai di Semarang. Dia bekerja di kantor advokat disana. Sempat pula menetap beberapa saat di Batavia (Jakarta). Juga sebagai advokat.
Akhir Oktober 1897, di suatu petang yang panas, Den Brand menuju Medan, Sumatera Utara. Menyahuti ajakan J Hallerman. Pria Jerman yang mengajaknya menerbitkan koran Sumatera Post. Ini surat kabar ketiga di kota itu setelah Deli Courant dan De Ooskust (Emil Aulia, Berjuta-juta dari Deli, 2007)

Dua tahun jadi wartawan, Den Brand berubah haluan. Dia kembali jadi advokat. Dia menyewa sebuah ruangan kecil di Hautenbaghtwet, membuka firma hukum. Nalurinya yang membawanya kesana. Karena di tanah Deli, kala itu, banyak dijumpainya pelanggaran dan kejahatan tanpa pembelaan.

Dia melihat orang pribumi dikasari kala bekerja di perkebunan Deli Maastchappij. Dia menyaksikan orang Belanda menyiksa orang pribumi tanpa belas kasih. Dia tahu orang Belanda melanggar hukum kala memperbudak pribumi. Dia mengerti kesalahan Hindia ketika memperkerjakan penduduk jelata tanpa digaji. Den Brand tahu rezim Hindia menerapkan sistem perbudakan di tanah Deli lewat poenale sanctie.

Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat bangsanya sendiri. Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dilemparkannya ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Begitu beredar, karya Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Den Brand dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap Den Brand, membuat pemerintah Belanda beraksi. Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.

Gara-gara Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta perlindungan. Di Batavia juga sama. Raad van Justitie (pengadilan) jadi ramai. Pribumi jadi berani menuntut ganti rugi. Den Brand juga yang membelanya.

Den Brand beraksi bak advokat sejati. Padahal saat itu tak banyak advokat yang mendukungnya. Karena buah karyanya, Den Brand banyak diserang dengan tuduhan pencemaran nama. Tapi Den Brand tak gentar. Kebenaran tetap diungkapnya walau belum ada organisasi advokat yang melindunginya. Den Brand telah memberi warisan buat kalangan advokat untuk bertindak semestinya. Dia telah menunjukkan officium nobile di tanah air sejak kita belum merdeka.

Tapi sayang, kini Den Brand pantas kecewa. Karena begitu Indonesia merdeka, advokat penerusnya tak mampu berbuat seperti dirinya. Advokat kini lebih banyak berkelahi. Mereka sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sibuk beraksi demi sebuah organisasi. Saling sikut demi yang namanya gengsi. Saling serang padahal hanya membentuk organisasinya sendiri. Saling berlomba untuk merebut jabatan ketua di organisasi advokat. Bukan berebut membela kesengsaraan dan penderitaan yang dialami rakyat. Bukan melakoni advokasi kala penindasan dan pelanggaran hukum tak terkendali. Itulah ironi advokat kita kini.


Irawan Santoso
majalah NERACA Hukum, Mei 2008