Friday, January 23, 2015

SANG QADI

Bismillahirrahmanirrahim



Benarkah hakim itu wakil Tuhan? Bukan. Mereka cuma pekerja biasa. Qadi-lah sang wakil Tuhan. Hakim bukanlah Qadi. Hakim hadir karena konstitusi. Qadi lahir karena kitab suci. 

Abad 7 lalu. Di sebuah sudut kota Madinah. Umar Bin Khattab seorang Khalifah. Dia tegas, cerdas, tangkas. Bahkan setan pun takut dengan sosok Umar. Suatu ketika, Umar berjalan ke sebuah kampung. Dia membeli seekor kuda. Penjualnya orang dusun. Transaksi terjadi. Kuda dibeli, langsung dipakai oleh Umar. Berjalan beberapa ratus meter, kuda itu mendadak pincang. Umar tak terima. Dia balik ke orang dusun tadi. “Aku kembalikan kudamu, karena ternyata cacat,” kata Umar. Orang dusun itu tak terima. “Waktu saya jual tadi kondisinya baik,” katanya. Mereka berselisih. Umar menyarankan sengketa ini ditengahi seorang Qadi. Orang dusun itu setuju. Dia menyarankan Qadi-nya Syuraih Al Haritz.

Keduanya datang. Umar mengadukan kasusnya. Si orang dusun itu pun bercerita. Lalu Qadhi memutuskan. “Ambillah kuda yang telah engkau beli, wahai Khalifah. Atau kembalikan seperti saat engkau membelinya,” begitu vonis sang Qadhi. Umar terdiam. Dia kalah. Walau Khalifah, pemimpin tertinggi, tapi dia dikalahkan di depan orang dusun. Kasus itu ditutup. Final binding. Umar menerima putusan itu. Dia terkesima. Syuraih langsung diangkatnya jadi Qadhi di Kuffah. Umar melaporkan soal kuda, tapi tak kehilangan rumah.  
Abad 8, di Bashrah, Irak. Iyas Bin Muawiyah Al Muzanni seorang Qadhi. Suatu ketika datang dua orang bersengketa. Si A membeli tanah si B. Transaksi sukses. Tapi ternyata diatas tanah itu, ditemukan sebongkah emas. Si A bilang, emas itu milik si B. “Karena saya menjual tanah berikut apa yang ada diatasnya,” katanya. Tapi si B menolak. Emas itu masih milik si A. “Saya hanya membeli tanahnya, tidak membeli emasnya,” ujarnya. Alhasil mereka mendatangi Qadhi. Iyas pun mengadili. Setelah keduanya berargumen, Iyas memutuskan. Dia bertanya kepada si A, apakah memiliki seorang anak? Si A bilang punya anak lelaki. Si B ditanya, punya-kah anak perempuan? Dia mengiyakan. Iyas memutuskan, “Kawinkan anak kalian berdua, pakai emas itu sebagai mas kawinnya.” Palu diketok. Kasus ditutup. Kedua pihak sumringah. Final binding. Keduanya bahagia. Tak ada melapor hilang ayam, lalu kambing pun lenyap.

Mereka para Qadhi. Bukan hakim. Allah Subhanahuwata’ala memberi contoh tentang Qadhi dalam Al Quran. Di Surat Al Anbiya, ditunjukkan bagaimana sengketa divonis dengan indah. Kala itu di era Nabi Daud Allahi Salam. Dua orang bersengketa datang. Seorang pemilik kebun dan pemilik kambing. Kebun anggur ternyata ludes karena dimakan kambing. Kebun itu sudah siap panen. Daud AS pun mengadili. Dia meminta pemilik kambing menyerahkan kambingnya kepada pemilik kebun. Sebagai ganti rugi. Tapi keputusan itu didengar Sulaiman Allahi Salam, anak Nabi Daud. Sulaiman memberi usul, kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun. Tapi kebun itu diserahkan kepada pemilik kambing agar kembali ditanami. Setelah anggur berbuah lagi, kebun itu dikembalikan. Dan kambing itu juga dikembalikan. Kasus ditutup. Keduanya senang. Tak ada banding atau kasasi. Begitulah Islam mengadili.

Lalu darimana datangnya hakim? Simak epos Aeschylus, pujangga Yunani Kuno (526-426 SM). Dia menuliskan tentang pengadilan pertama di dunia. Di aeropagus-lah, tempat dewa dewi mengadili. Dewa Orestes diadili. Hakimnya Dewi Athene. Dewan juri-nya berjejer dua belas dewa. Orestes anak lelaki Agamemnon, penguasa tunggal Mycenaea. Sang penakluk Kerajaan Troya juga. Orestes diadili karena menikam ibu kandungnya, Clytemnestra. Dewa dewi marah. Orestes diadili. Aeropagus tempatnya. Furies, dewi yang menyelidiki. Orestes disidang. Drama persidangan ini jadi rujukan.

Abad berjalan. Aeropagus jadi keramat. Tempat ini dijadikan pengadilan betulan. Di Yunani sana, hingga kini aeropagus modul ruang persidangan. Dari sanalah mengapa ada posisi hakim, jaksa dan pembela. Tempatnya di bukit kecil (Ares). Di sebelah barat Athena. Era Yunani, seorang arkhon ditunjuk sebagai hakim. Terdakwa diletakkan ditengah-tengah. Arkhai yang menyiapkan administrasi persidangan. Diantara arkhai tadi, ada “dewan sebelas”. Merekalah yang mengurusi eksekusi. Mereka punya daya untuk menahan dan menangkap. Tapi khusus kasus yang ‘et autophoro’ (tertangkap tangan).

Arkhon pertama adalah Draco. Aristoteles banyak mengkisahkan tentang Draco. Dialah yang membuat kodifikasi hukum pidana era Yunani kuno. Arkhon selanjutnya muncul pula Solon. Dia dianggap pengadil di era itu.

Abad berjalan. Kisah arkhon membahana. Pengadilan itu jadi rujukan. Aeropagus jadi rujukan. Germana yang memulai. Orang-orang menggelar pengadilan dibawah pohon Oak dan Keltik. Sebutannya pengadilan Thing. Arkhon jadi pengadilan. Manusia yang menentukan hukuman. Romawi begitu juga. Kala era Cicero, Julis Caesar, pengadilan dilakukan Senat. Praetor yang mengadili, punya juga hak suara membela. Hukuman diberikan berdasarkan suara senator. Mereka mengacu pada aeropagus tadi. Era Romawi dalam Donnatio Pippini (Dominasi Paus), senat dilupakan. Gereja menjadi ruang pengadilan. Hukum Nasrani berlaku. Tak ada arkhon, tiada juga praetor.

Masa kekhilafahan, Qadhi menjadi mulia. Hukum dijalankan karena takut akan Allah. Abad 7 hingga 18, semuanya berjalan tenang. Mulai dari Andalusia, jazirah, Eropa Timur, hingga nusantara, Qadhi-lah sang supremasi. Di nusantara, model peradilan Qadhi, membuat cemburu pedagang dari Eropa. Mereka menyaksikan, hukum oleh Qadhi begitu tenang. Vincentius Sangermana (1818) menggambarkan: “tuntutan dihentikan jauh lebih cepat dibanding yang umum berlaku di bagian dunia kita, karena biasanya diselesaikan dalam waktu satu hari.” Pelaut Portugis, Dasmarifias Gomez Perez (1590), tercengang dengan peradilan di Kesultanan Brunai. “Tidak ada perkara yang berlangsung sampai dua hari.” Willem Lodewycksk, pelaut Belanda (1598) keheranan, “Di (Kesultanan) Banten perkara biasanya dimulai dan berakhir pada malam yang sama.” Galvao Antonio (1544) lebih terheran-heran lagi. “Mereka tidak punya undang-undang tertulis, mereka tidak mengenal pengacara, panitera, replikasi, dan jawaban, serta cara-cara lain untuk memperlama dan menunda-nunda persoalan,” tulisnya.

Sekarang mungkin mereka akan terheran, mengapa hakim lebih dipilih ketimbang Qadhi. Revolusi Perancis, abad 18, membuat hakim dilegalkan. Hukum Ius Civil Perancis diadopsi. Belanda membawa ke nusantara. Hakim dipakai. Qadhi disingkirkan. Tak heran, lapor hilang ayam bakal hilang kerbau. Karena hakim yang dipilih. Allah Subhanahuwata’ala sudah berpesan, “Barangsiapa memutuskan dengan hukum yang tidak dari hukum Allah, maka itulah orang-orang kafir” (QS Al Maidah:44).
 

KEMATIAN LEGALITAS



Ada berapa undang-undang yang berlaku aktif di negara ini? Kenapa kita butuh banyak undang-undang? 

Karena terjebak pada legalitas. Karena terjebak pada azas nullum dilectum nulla poena sine pravia lege poenali.  Azas ini terpaku dalam KUHP. Azas ini seolah keramat. Sumbernya konstitusi. Bukan kitab suci. Nullum dillectum mulai menggema sejak rezim “negara” menggeliat. Pasca Revolusi Perancis, abad 18, negara adalah bentuk baru bermasyarakat. Empat serangkai, Montesquei, JJ Rosseou, Cesare Becaria, John Locke, menjadi modul terbentuknya “state” itu.  Mereka melengkapi krisis kepercayaan Eropa terhadap “Suara Gereja Suara Tuhan”. Karena sudah bergeser menjadi “Suara Rakyat Suara Tuhan”. Rosseou mengira kedaulatan adalah di tangan rakyat. Bukan milik Gereja. Hukum yang dipakai juga tak lagi tunduk pada sistem Gereja. Pada sistem kitab suci, Alkitab.

Nullum dilectum kemudian menjadi idola baru. Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach, ahli hukum Jerman, menukiskan yang pertama. Dia memprasastikannya dalam The Bavarian Criminal Code di 1813. Paul tak setuju degan teori kekutan sipil-nya Thomas Hobbes. Dalam kuliahnya soal jurisprudence criminal, dia mengemukakan teorinya yang terkenal. Paul mengumandangkan nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Dia sang profesor di Jena dan Kiel, Jerman, tahun 1804. 

Buah pikiran Paul ini pun diadopsi dunia. Nullum crimen masuk sebagai hukum dasar alam criminal internasional. Makanya ex post facto laws pun dilarang dilakukan.
Tapi Beccaria (1738-1794) juga sudah pernah mengusungnya. Dialah desain dari kalimat nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Si Italia itu memang jadi idola. Usianya 25 tahun tapi telah mampu menyusun kitab pidana lengkap, Dei Delitti Pene (tentang beragam kejahatan dan hukuman). Buku ini kemudian diterbitkan Voltaire, salah satu pengagumnya.

Republik Perancis, pasca Revolusi, langsung menerapkan kitab ini. Dalam Declaration des Droits de I’Homme (UUD Perancis) tahun 1789, 1795 dan 1810, buah pikiran Beccaria itu disahkan sebagai aturan.

Cuma Beccaria ternyata tak orisinil juga. Manusia sebelum dia, sempat berpikiran sama. Pau
lus dari abad III A.D. (Anno Domini –tarikh sebelum Masehi--). Dia sempat mengumandangkannya pula. Ada tulisannya yang berbunyi begini: non ex regulis ius sumatur, sed ex iure quod est regula fiat (kita menjabarkan hukum tidak dari aturan-aturan hukum, tapi hukum dari apa yang merupakan aturan).

Yang terang, legalitas adalah penolakan terhadap hukum Tuhan. Mereka seolah mulia, menolak tindakan eigenrichting (main hakim sendiri). Mereka menolak bloedwraak (balas dendam) dalam kasus pembunuhan. Inilah yang bertentangan dengan sistem hukum dari Tuhan. Karena qisas adalah model berdendam. Siapa membunuh, maka dibalas bunuh. Boleh tak dibalas, asal membayar diyat alias denda. Jumlahnya 2000 dinar, ketika di jazirah abad 7. 

Legalitas seolah lebih mulia dari qisas. Padahal, prinsip itu sudah diusung kala Hammurabi menjadi Raja Babilonia, 1700 SM. Hammurabi, peradaban penyembah pagan. Di Museum Lowre, Paris, terpampang Kodeks Hammurabi sebanyak 282 Pasal. Di bagian atas prasasti itu, sebuah relief lukisan Dewa Matahari Syamsi. Tulisannya, “Hakim Agung langit dan bumi”. Di penghujung Pasal, sebuah tulisan berkata, “Hammurabi raja hukum, yang kepadanya Syamsy telah menganugerahkan undang-undang”.
Empat serangkai, Montesquei, Rossoue, Beccaria, Locke, mengaggumi betul peradaban ini. Ide kedaulatan negara di tangan rakyat, merujuk pada Hammurabi. Karena Tuhan tak mengatur hukum secara langsung. Melainkan lewat perantara manusia. Empat serangkai itu menolak dominasi Gereja. Mereka tak mengakui lagi “Donatio Pippini”(dominasi Paus). Karena Hugo De Grott, abad 16,  mengeluarkan kitab “De Jure belli ac pacis” (tentang hukum perang dan damai) mempertanyakan hukum Tuhan. Bagaimana jika Tuhan tak ada? Begitu katanya. Disitulah legalitas makin membahana. 

Revolusi Perancis menjadi puncak segalanya. Dinatio Pippini disingkirkan. Legalitas sah diundangkan. Qisas jadi illegal. Semua aturan, mesti dibuat manusia lewat perwakilan. 5 abad berjalan, ternyata legalitas cuma mulut manis Barat semata. Seolah cuma bualan. Karena model hukum itu membuat segelintir kalangan terlindungi, sementara kaum lain tertindas. Sistem itu tak membuat kriminalitas berhenti. Justru makin menjadi. 

Padahal Islam telah membuktikan. Model sistem hukum Tuhan telah membuat peradaban berjalan tenang. Kekhilafahan berlangsung nyaman  dari abad 7 hingga 17. Hukum berbasis Al Quran, membuat keadilan benar terlakoni. Tak ada legalitas dalam sistem ini. Karena aturan hukum tak perlu dibuat banyak. Manusia, sebagai subjek hukumnya, cukup mengikuti aturan yang ada. Diluar aturan itu, adalah bid’ah. Tak perlu banyak undang-undang. Hukum berjalan tenang. 

Tapi memang hukum hanya bak “centeng” dalam peradaban. Hukum hanya seperti satpam dari ideologi yang berkuasa. Kala kapitalis yang merajai, maka legalitas menjadi kata kunci. Kala ideologi Islam yang berkembang, hukum syariat tegak, tanpa perlu teriak-teriak.  Kejayaan Kekhilafahan berjalan karena ideologinya berkembang menjadi peradaban. Karena sistem hukumnya dilaksanakan. Bukan diteriakkan. Shaykh Abdalqadir as Sufi memberi pesan, kala yang haq telah hadir, yang bathil otomatis musnah. Kematian legalitas telah diambang mata.


KEADILAN

Sekarang, sebuah patung ternyata disembah-sembah. Pemujanya bukan orang sembarangan. Benda ini ada di meja tamu Ketua Mahkamah Agung. Ada juga di ruangan kerja Jaksa Agung. Hadir juga di samping kursi kerja Kapolri. Bertebaran juga di kantor pengacara, yang hitam dan putih. Dialah patung Themis. Sosok yang dianggap dewi keadilan. Mereka sangka keadilan itu bisa disimbolkan pada sebuah benda. Entah apa hikayatnya. 

Keadilan, bagi era konstitusi, memang jadi sumber masalah. Kata itu, entah bagaimana wujudnya. Plato bilang, keadilan itu adalah yang sesuai bunyi undang-undang. Aristoteles katakan, keadilan itu adalah hak kualitatif. Fiat justitia bereat mundus. Socrates beda lagi. Mereka hidup di era 340-an SM. Tapi kata-kata keadilan versi mereka tak laku kala Nasrani merajai Romawi. Ketika Isa Allahisalam menyebarkan Nasrani, keadilan sudah terdefenisikan. Keadilan bersuara dalam injil dan Gereja-gereja. Sejak abad 2 Masehi, Nasrani menyebar ke seluruh Eropa. Dari Yerusalem hingga Romawi di Roma. Donnattio Pippini berkuasa. Konstitusi tak dikenal. Suara Gereja adalah suara Tuhan.

Tapi keadilan kitab suci kemudian melemah. Suara keadilan Plato, Aristoteles, Socrates terdengar lagi. Pemujanya orang-orang yang tak sudi Gereja dianggap suara Tuhan. Mereka lebih percaya vox populi vox Dei. Mereka ingin keadilan didefenisikan sendiri. Bukan yang berasal dari kitab suci. Thomas Aquino (abad 12) bilang keadilan adalah alami. Montesquei, Beccaria, Rosseou, John  Locke, juga punya defenisi keadilan sendiri-sendiri. Mereka berlomba meng-artikan keadilan. Tapi mereka menolak keadilan yang bermuara pada kitab suci. Karena mereka ngotot keadilan mesti berasal dari konstitusi.

Keadilan versi ini kemudian menang. Tempos delicty-nya terjadi ala Revolusi Perancis, abad 18. Keadilan konstitusi berjaya. Raja Louis XVI digantung di depan penjara Bastille. Liberte, egalite, fraterniter bersuara. Monarkhi dibubarkan. Suara Gereja dianggap tak lagi suara Tuhan. Suara Rakyatlah yang suara Tuhan.  
Keadilan pun ditetapkan sebagai bunyi undang-undang. Peraturan dibikin sang legislator. Legislator dipilih oleh rakyat kebanyakan. Itulah pencipta keadilan. Pembuat undang-undang. Era itu, Nietzche sudah mengatakan, “Tuhan telah mati”. Keadilan Tuhan tak dipakai lagi.

Lalu, keadilan itu memerlukan simbol. Themis-lah, sang dewi dianggap yang paling tepat. Tapi, entah bagaimana hikayatnya. Karena Themis adalah kisah yang dilantunkan Homeros, sang penyair Yunani Kuno. Sajak-sajak dia ditemukan penyair Romawi, Hesiodes di abad 7 SM. Hesiodes-lah yang berkisah tentang dewa dewi kahyangan.

Themis hanyalah salah satu bangsa titan. Dia puteri dari Ouranus (dewa langit) dan Gaea (dewa bumi). Themis tak sendiri. Punya sebelas saudara. Mereka disebut keluarga para dewa. Cronus (Saturnus) adalah saudara Themis. Dia semula penguasa dunia. Tapi dikudeta oleh Zeus. Proses kudeta sangat berdarah. Zeus berhasil membantai ayahnya. Zeus dibantu pamannya sendiri, Promotheus (dewa pencipta makhluk hidup) dan Oceanus (dewa sungai). Lalu Zeus bertahta di gunung Olympus. Themis dikawini Zeus. Tapi dia berpoligami. Hera, Demeter, Semele, Metis, juga dikawini si raja dewa itu. Themis diam saja. Tak memperjuangkan hak keperempuanannya. Dan, Hera yang dijadikan ratu. Bukan Themis.

Di dunia, Themis pernah bikin prahara. Kala perang Sparta vs Troya akan berlangsung, Themis sempat berulah. Agamemnon, si raja Sparta, begitu nafsu menyerbu Troya. Dia menyiapkan seribu kapal perang, armada terbesar kala itu, untuk menyerbut Troya. Tapi sebulan berkumpul di pinggir pantai, tak ada senyiur angin pun berhembus. Kapal perang Sparta tak bisa berlayar menuju Troy. Agamemnon panik. Dia mendatangi dukun. Dukun bilang, Themis akan beri angin jika Agamemnon menyembelih anak semata wayangnya, Iphigenia. Agamemnon mengikuti. Anak kandungnya disembelih diatas batu di pinggir pantai. Homerius, berkisah, sejak itu anginpun berhembus seketika. Sparta pun menyerbu Troya. Ribuan tentara mati tanpa arti. Achilles, Ajax, Hector, termasuk diantaranya. Itulah era Helenisme.

Begitulah perangai dewi keadilan itu. Dia dipuja Montesque, Rosseou, Beccaria, Hobbes, Kelsen, hingga punggawa hukum sekarang. Mereka mendefenisikan keadilan berlandas konstitusi. Keadilan dianggap sebagai bunyi undang-undang. Supremasi pun cuma milik segelintir orang. Kaum borjuis, peletak dasar kudeta di monarkhi Perancis. Merekalah yang untung.   

Padahal Islam telah menunjukkan. Keadilan menurut Al Quran sudah berjalan benderang. Era Kekhilafahan dari abad 7 hingga 18, bukti keadilan Islam telah tertorehkan. Di sana, keadilan tak perlu defenisi, tak perlu pendapat ahli. Keadilan adalah amal nyata. Praktek yang dijalankan oleh Rasulullah Shallahuallaihi wassalam. Keadilan sudah terkatakan.

Kini keadilan lewat jalan itu seolah mati. Tapi tugas muslimin tak berhenti. Keadilan harus tetap ditegakkan. Seperti disampaikan oleh Abu Hurairah r.a, Rasulullah Shallahuallaihi wassalam bersabda: “Bentuk iman yang paling besar adalah mengucapkan Laillahaillallah dan yang paling terkecil adalah menyingkirkan benda berbahaya dari jalanan.” Shaykh Abdalqadir as sufi, ulama besar asal Skotlandia menafsirkan, Hadist ini menunjukkan tugas muslimin untuk terus menegakkan keadilan, tanpa memandang kapan tempos delicty-nya.

Era kini, kebathilan jelas merajalela. Karena banyak sekali “benda-benda berbahaya” berkeliaran di jalanan. Benda-benda berbahaya masuk dalam sistem yang berketidakadilan. Tugas mulismin adalah menyingkirkannya. Menggantinya dengan yang haq. Itulah keadilan, yang dilandasi keimanan.

Karena Rasulullah juga berpesan, ketika yang haq hadir, maka yang bathil otomatis musnah. Ketika keadilan hadir, kebatilan otomatis musnah. Tentu, keadilan yang perlu dihadirkan adalah bukan yang menghamba pada Themis, si patung itu.     

Karena Allah Subhanahuwattalla sudah memberi perintah. “Apabila [kamu] menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan adil” (QS An Nissa: 58).