Bismillahirrahmanirrahim
Benarkah hakim itu wakil Tuhan? Bukan. Mereka cuma pekerja
biasa. Qadi-lah sang wakil Tuhan. Hakim bukanlah Qadi. Hakim hadir karena
konstitusi. Qadi lahir karena kitab suci.
Abad 7 lalu. Di sebuah sudut kota Madinah. Umar Bin Khattab
seorang Khalifah. Dia tegas, cerdas, tangkas. Bahkan setan pun takut dengan
sosok Umar. Suatu ketika, Umar berjalan ke sebuah kampung. Dia membeli seekor
kuda. Penjualnya orang dusun. Transaksi terjadi. Kuda dibeli, langsung dipakai
oleh Umar. Berjalan beberapa ratus meter, kuda itu mendadak pincang. Umar tak
terima. Dia balik ke orang dusun tadi. “Aku kembalikan kudamu, karena ternyata
cacat,” kata Umar. Orang dusun itu tak terima. “Waktu saya jual tadi kondisinya
baik,” katanya. Mereka berselisih. Umar menyarankan sengketa ini ditengahi
seorang Qadi. Orang dusun itu setuju. Dia menyarankan Qadi-nya Syuraih Al
Haritz.
Keduanya datang. Umar mengadukan kasusnya. Si orang dusun
itu pun bercerita. Lalu Qadhi memutuskan. “Ambillah kuda yang telah engkau
beli, wahai Khalifah. Atau kembalikan seperti saat engkau membelinya,” begitu
vonis sang Qadhi. Umar terdiam. Dia kalah. Walau Khalifah, pemimpin tertinggi,
tapi dia dikalahkan di depan orang dusun. Kasus itu ditutup. Final binding. Umar menerima putusan
itu. Dia terkesima. Syuraih langsung diangkatnya jadi Qadhi di Kuffah. Umar
melaporkan soal kuda, tapi tak kehilangan rumah.
Abad 8, di Bashrah, Irak. Iyas Bin Muawiyah Al Muzanni
seorang Qadhi. Suatu ketika datang dua orang bersengketa. Si A membeli tanah si
B. Transaksi sukses. Tapi ternyata diatas tanah itu, ditemukan sebongkah emas.
Si A bilang, emas itu milik si B. “Karena saya menjual tanah berikut apa yang
ada diatasnya,” katanya. Tapi si B menolak. Emas itu masih milik si A. “Saya
hanya membeli tanahnya, tidak membeli emasnya,” ujarnya. Alhasil mereka
mendatangi Qadhi. Iyas pun mengadili. Setelah keduanya berargumen, Iyas
memutuskan. Dia bertanya kepada si A, apakah memiliki seorang anak? Si A bilang
punya anak lelaki. Si B ditanya, punya-kah anak perempuan? Dia mengiyakan. Iyas
memutuskan, “Kawinkan anak kalian berdua, pakai emas itu sebagai mas kawinnya.”
Palu diketok. Kasus ditutup. Kedua pihak sumringah. Final binding. Keduanya bahagia. Tak ada melapor hilang ayam, lalu
kambing pun lenyap.
Mereka para Qadhi. Bukan hakim. Allah Subhanahuwata’ala
memberi contoh tentang Qadhi dalam Al Quran. Di Surat Al Anbiya, ditunjukkan
bagaimana sengketa divonis dengan indah. Kala itu di era Nabi Daud Allahi Salam.
Dua orang bersengketa datang. Seorang pemilik kebun dan pemilik kambing. Kebun
anggur ternyata ludes karena dimakan kambing. Kebun itu sudah siap panen. Daud
AS pun mengadili. Dia meminta pemilik kambing menyerahkan kambingnya kepada
pemilik kebun. Sebagai ganti rugi. Tapi keputusan itu didengar Sulaiman Allahi
Salam, anak Nabi Daud. Sulaiman memberi usul, kambing itu diserahkan kepada
pemilik kebun. Tapi kebun itu diserahkan kepada pemilik kambing agar kembali
ditanami. Setelah anggur berbuah lagi, kebun itu dikembalikan. Dan kambing itu
juga dikembalikan. Kasus ditutup. Keduanya senang. Tak ada banding atau kasasi.
Begitulah Islam mengadili.
Lalu darimana datangnya hakim? Simak epos Aeschylus,
pujangga Yunani Kuno (526-426 SM). Dia menuliskan tentang pengadilan pertama di
dunia. Di aeropagus-lah, tempat dewa dewi mengadili. Dewa Orestes diadili.
Hakimnya Dewi Athene. Dewan juri-nya berjejer dua belas dewa. Orestes anak
lelaki Agamemnon, penguasa tunggal Mycenaea. Sang penakluk Kerajaan Troya juga.
Orestes diadili karena menikam ibu kandungnya, Clytemnestra. Dewa dewi marah.
Orestes diadili. Aeropagus tempatnya. Furies, dewi yang menyelidiki. Orestes
disidang. Drama persidangan ini jadi rujukan.
Abad berjalan. Aeropagus jadi keramat. Tempat ini dijadikan
pengadilan betulan. Di Yunani sana, hingga kini aeropagus modul ruang
persidangan. Dari sanalah mengapa ada posisi hakim, jaksa dan pembela.
Tempatnya di bukit kecil (Ares). Di sebelah barat Athena. Era Yunani, seorang arkhon ditunjuk sebagai hakim. Terdakwa
diletakkan ditengah-tengah. Arkhai yang
menyiapkan administrasi persidangan. Diantara arkhai tadi, ada “dewan sebelas”. Merekalah yang mengurusi
eksekusi. Mereka punya daya untuk menahan dan menangkap. Tapi khusus kasus yang
‘et autophoro’ (tertangkap tangan).
Arkhon pertama adalah Draco. Aristoteles banyak mengkisahkan
tentang Draco. Dialah yang membuat kodifikasi hukum pidana era Yunani kuno.
Arkhon selanjutnya muncul pula Solon. Dia dianggap pengadil di era itu.
Abad berjalan. Kisah arkhon membahana. Pengadilan itu jadi
rujukan. Aeropagus jadi rujukan. Germana yang memulai. Orang-orang menggelar
pengadilan dibawah pohon Oak dan Keltik. Sebutannya pengadilan Thing. Arkhon
jadi pengadilan. Manusia yang menentukan hukuman. Romawi begitu juga. Kala era
Cicero, Julis Caesar, pengadilan dilakukan Senat.
Praetor yang mengadili, punya juga
hak suara membela. Hukuman diberikan berdasarkan suara senator. Mereka mengacu
pada aeropagus tadi. Era Romawi dalam Donnatio
Pippini (Dominasi Paus), senat dilupakan. Gereja menjadi ruang pengadilan.
Hukum Nasrani berlaku. Tak ada arkhon, tiada juga praetor.
Masa kekhilafahan, Qadhi menjadi mulia. Hukum dijalankan
karena takut akan Allah. Abad 7 hingga 18, semuanya berjalan tenang. Mulai dari
Andalusia, jazirah, Eropa Timur, hingga nusantara, Qadhi-lah sang supremasi. Di
nusantara, model peradilan Qadhi, membuat cemburu pedagang dari Eropa. Mereka
menyaksikan, hukum oleh Qadhi begitu tenang. Vincentius Sangermana (1818)
menggambarkan: “tuntutan dihentikan jauh lebih cepat dibanding yang umum
berlaku di bagian dunia kita, karena biasanya diselesaikan dalam waktu satu
hari.” Pelaut Portugis, Dasmarifias Gomez Perez (1590), tercengang dengan peradilan di Kesultanan Brunai. “Tidak ada
perkara yang berlangsung sampai dua hari.” Willem Lodewycksk, pelaut Belanda
(1598) keheranan, “Di (Kesultanan) Banten perkara biasanya dimulai dan berakhir
pada malam yang sama.” Galvao Antonio (1544) lebih terheran-heran lagi. “Mereka
tidak punya undang-undang tertulis, mereka tidak mengenal pengacara, panitera,
replikasi, dan jawaban, serta cara-cara lain untuk memperlama dan menunda-nunda
persoalan,” tulisnya.
Sekarang mungkin mereka akan terheran, mengapa hakim lebih
dipilih ketimbang Qadhi. Revolusi Perancis, abad 18, membuat hakim dilegalkan.
Hukum Ius Civil Perancis diadopsi. Belanda membawa ke nusantara. Hakim dipakai.
Qadhi disingkirkan. Tak heran, lapor hilang ayam bakal hilang kerbau. Karena
hakim yang dipilih. Allah Subhanahuwata’ala sudah berpesan, “Barangsiapa memutuskan dengan hukum yang
tidak dari hukum Allah, maka itulah orang-orang kafir” (QS Al Maidah:44).