Saturday, April 21, 2012


“La Busca de Averroes”
(Carilah Averroes Itu)

Dante Alighieri (1265-1321). Sosoknya membahana. Dia dipuja para sarjana. Barat mendewakannya sebagai filosof yang berpengaruh di dunia. Dante seorang penyair Italia. Dia pejabat tinggi di Fiorentina. 

Dia bernapas di era Italia mulai merangkak bernegara. Tapi Dante disembah karena karyanya, “Die Monarchia” (1313). Karya itu dianggap anti Gereja. Dante menolak negara dibawah kungkungan Paus. Dante setuju negara adalah urusan dunia. Gereja lebih baik cukup mengawasi masalah rohani saja. Gara-gara Dante, Gereja dan Raja sempat berperang kata-kata. Gereja akhirnya kalah. Raja membahana, menjadi penguasa urusan dunia. Paus dan Gereja sebatas mengurusi orang bertobat semata. Tak boleh ikut campur mengurusi negara. 

Muasal otak Dante, terpengaruh pemikiran seorang filosof sebelumnya. Averroes namanya. Dia hidup jauh sebelum Dante. Averroes hidup di era 1126-1198. Dante tergila-gila dengan Averroes. Dia mengidolakan Averroes. Tak heran, dalam karya Dante, “The Divine Comedy”, Averroes itu digambarkannya terang benderang. 

Dante tak beda dengan Thomas Aquino. Dia filosof juga. Secermerlang Dante juga. Thomas malah lebih membahana. Dia hidup di tahun 1224 hingga 1274. Ia filosof kebanggaan Italia juga. Di Naples (Napoli), dia lahir. Kala muda, Thomas kemudian hijrah ke Paris, kuliah di Universitas Paris, Perancis. Era itu Universitas Paris belum kesohor. Para profesornya masih berguru di Universitas Cordoba, Andalusia (kini Spanyol). Di Cordoba itulah pengetahuan segala arah diulas banyak orang Eropa. Paris pun terpengaruh iklim filosof Cordoba. Thomas itulah kisah nyatanya. 

Di Paris, Thomas melahap buku-buku Averroes. Thomas terpengaruh pemikiran Averroes. Kisah ini diprasastikan resmi oleh Prof. Dr. John Gillissen, guru besar Universitas Belgia, kampus yang berbahasa Belanda. Gillisen tak ragu bilang Thomas mengikuti pikirannya Avveroes.

Selepas kuliah, Thomas menjadi uskup di Roma. Disitulah dia menuangkan buah pikirannya. Thomas mengajar di biara-biara Dominican di Roma. Semenjak itulah namanya mulai membahana seantero eropa. Gereja sangat senang kepadanya. Karena Thomas menuliskan Summa Teologia (Ajaran Ketuhanan). Dia juga menuliskan De Regimme Prinsipun (Pemerintahan Raja-Raja). Tapi Thomas pembela kaum Gereja. Thomas mentasbihkan kedudukan Paus tak berbeda dengan Raja. Paus juga berhak mengurusi negara, selain Raja. Gereja harus menjadi pengawal Raja, dalam bernegara. Begitulah Thomas berkisah. Malah, teori Thomas itu kemudian membidani lahirnya adagium Tweez waarden theorie (ajaran dua belah pedang). Adagium ini dianut Eropa di abad 12. Pedang yang satu, dipegang sang raja. Satunya lagi dikendalikan sang Gereja. 

Kala itu, Eropa di masa suram. Sejak Romawi jatuh, 476 M, Eropa hilang kendali. Belantara Barat itu kebingungan mencari bentuk negeri. Antara kaum raja dan Gereja saling berebut kuasa. Sistem raja pemegang kuasa, mulai dibantah. Karena dibawah Raja, dirasa tak juga sejahtera. Era Romawi berjaya, sistem negara berganti tiga kali. Dari kuasa Kaisar, Raja hingga republik. Germana, era pasca Romawi, lebih memilih Raja yang memerintah. Mereka tak mau Gereja jadi singgasana utama urusan negara. Tapi kaum Ortodoks lebih doyan Gereja memimpin. Alhasil, Eropa terbelah dua. Romawi Timur (Barat menyebutnya Byzantium) tetap berkuasa dibawah wewenang Gereja. Raja dan Kaum Gereja memegang kendali Konstantinopel.
 
Sejak itulah, orang Eropa belajar lagi. Dante menilai negara bisa diperintah siapa saja. Tak mesti utusan Tuhan. Karena, kata Dante, setiap manusia dibekali kemampuan memimpin. Dia menganut hukum alam. Thomas menawarkan jalan tengah. Summa Dei dan kehidupan Gereja bisa sejalan. Keduanya menganut paham Aristoteles, filosof Yunani kuno yang hidup 384-322 SM. 

Tapi Dante dan Thomas tak mengenal Aristoteles secara langsung. Mereka bisa tahu fisolof kesohor itu lewat Averroes. Sosok inilah yang menyambung lidah Aristoteles di belantara Eropa. 

Siapa sejatinya Averroes itu? Kok dia menjadi rujukan Dante dan Aquinas? Dialah filosof Islam yang berjaya di Abad XII. Di era mereka, Eropa yang lagi bingung mencari bentuk negara. Islam justru lagi jaya-jayanya. Islam menjelma jadi Imperium terbesar sepanjang sejarah. Saat itu, Islam membentang digdaya, dari India hingga sepanjang jazirah Arab, Afrika sampai pula ke Andalusia. Dibanding Macedonia, Romawi, Sparta, Mongol, Mesopotamia, imperium Islam lebih megah. Era itu, di bawah Dinasti Abbasiyah, Islam hampir menguasai separuh dunia. 

Ilmu pengetahuan pun berkembang luar biasa. Averroes hidup di era Islam tengah membahana luar biasa. Ratusan filosof hebat berdebat sepanjang masa. Averroes itu hanya kisah kecilnya saja. Tapi dia sangat mempengaruhi Eropa. 

Averroes itulah yang membangkitkan lagi pemikiran Aristoteles. Dia berkisah, metode pikiran Aristoteles tak bertentangan dengan sistem Islam yang khilafah. Di Imperium Islam itu, hanya dengan sistem Khilafah semata. Tak berbentuk raja, kaisar atau republik. Islam dipimpin seorang Sultan, sebagai pusat kekuasaan. Hukum yang dipakai, terang hukum Tuhan. Tak pula dengan demokrasi, yang basa-basi itu. Hukum Tuhan ternyata mampu membuat sebuah imperium yang tangguh. Negeri gemah ripah, rakyat sejahtera. Dengan khilafah, Islam bisa digdaya dari Abad 6 hingga Abad 19. Terlama sepanjang sejarah. 

Patung Ibnu Rusyd di Cordoba

Dante, Thomas dan pemikir Eropa mulai sadar. Averroes itulah tokoh yang mereka puja. Averroes berani bilang, Islam juga bisa dimatematika-kan. Islam juga agama yang sesuai logika. Hukum alam juga bisa sejalan dengan hukum ilahi, begitu Averroes berteori. Penganut ini tak Averroes sendiri. Bersama Avempace (Ibn Bajja), Ibnu Tufail, Ibnu Zhyr dan Maimonides (Ibnu Maymun), mereka membedah filsafat Aristoteles. Mereka menemukan, pemikiran Aristoteles, tak bertentangan secara Islam. 

Perdebatan memang sempat terjadi. Al Ghazali, filosof kesohor lainnya, sempat tak sepakat dengan Aristoteles. Dia menilai, Aristoteles itu bertentangan dengan Khilafah. Ghazali memang tak salah. Kalah Aristoteles berjaya, ”Politeia” karangannya, hanyalah kisah oportunisnya semata. Begitu Plato, sang Guru Aristoteles mati, dia menetap di Macedonia. Pria itu diangkat jadi penasehat Iskandar Yang Agung, penguasa Macedonia. Tapi kemudian dia dipecat Iskandar. Karena Aristoteles mengembangkan hukum bahwa setiap manusia dibekali kemampuan memimpin. Bentuk negara yang baik, kata Aristoteles, bisa dengan Republik, dengan bungkus demokrasi. Tak mesti keturunan raja semata. Iskandar tak suka pikiran itu. Aristoteles pun dibuang. Dia pulang ke Athena.   

Sebagai filosof sejati, Averroes menggali lagi. Dia menulis setiap hari. Menyebarkan pemikiran dan ide cemerlangnya. Hanya kala menikah dan di hari ayahnya meninggal, dia tak menulis. Selebihnya, buah karyanya selalu menghiasi. Karyanya, Tahafut al Tahafut (Ketaklurusan dari Ketaklurusan), banyak diterjemahkan Eropa. Isinya tentang pembelaan atas karya Aristoteles itu. Lewat buah pikirannya, FasL al Maqal (diterjemahkan sebagai “The Treatise Tegas”), Averroes menukiskan pentingnya berpikir analitis sebagai prasyarat menafsirkan Al Quran. Dia juga menelorkan pemikiran keselarasan antara filsafat dan agama. Averroes menulis, “Karena filsafat adalah benar dan suci terungkap adalah benar tidak ada ketidakharmonisan antara mereka”.

Tak pelak, tulisan Averroes pun digandrungi Eropa. Michael Scotus, filosof Skotlandia, di abad 13 salah satunya. Hermannus Alemannus, ahli filsafat Jerman juga serupa. Mereka belajar dari cara berpikir Averroes. Di Italia, Siger dan Brabant secara terbuka menyatakan diri pengikut Averroist. Gerakan ini mulai membahana hingga seantero Eropa. Kalangan Gereja pun marah luar biasa. Mereka tak terima ahli pikir Islam, jadi panutan. Tapi di kelompok lain, pemikiran Averroes jadi ilham pengembangan rasionalisme di Eropa. Bukan mereka saja. Filosof Yahudi, Musa Maumonides, Samuel Ben Tibbon, Yehuda Ben salomo Choen, Sem Tob Ben, Yusuf Falaquera, termasuk pengikut Averroes.  

Berabad-abad, pikiran Averroes menusuk Eropa. Voltaire dan JJ Rousseau, filosof Perancis, pun terpengaruh. Mereka menggilai metode logika berpikir Averroes itu. Tak heran, Rousseau berani mewacanakan Rennaisance di Eropa. 

Karena karya Averroes tersebar lebar. Sekitar 20 ribu karyanya, mulai dari filsafat Islam, Arab kedokteran, Matematika, Astronomi, tata bahasa Arab, teologi Islam, Syariah, Fiqih, mempengaruhi Eropa. 

Tak heran, Averroes pun punya banyak nama. Hampir di setiap negara Eropa, dia dijuluki nama beda berbeda. Ernest Renan, ahli sejarah Perancis, dalam bukunya “Et l'averroisme” (1852), menjabarkannya. Nama Averroes dikenal juga sebagai Ibin Ros Din, Filius Rosadis, Ibnu Rusid, Ben Raxid, Den Resched, Aben Rassad, Aben Rois, Aben Rust, Avenrosdy, Adveroys, Benroist, Avenroyth, Averroysta, dan lainnya.
Sepanjang bumi ini ada, tak ada filosof yang punya nama julukan seperti itu di setiap negara. Inilah hebatnya Averroes. Tapi sejatinya, pemikir Islam ini bernama lengkap Abu I-Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rusd. Di Islam, dia dikenal dengan Ibnu Rusyd. Barat memujanya sebagai master filsafat Aristoteles. 

Tahun 1169, Averroes sempat jadi Qadhi (hakim) di Sevilla. Dua tahun kemudian dia jadi Qadhi di Cordoba. Dia tak hanya menguasai filsafat. Dia juga seorang dokter, ahli matematika, fisika, astronomi, psikologi. Dia juga sarjana hukum yang beraliran Maliki. 

Averroes berhasil menyihir Eropa. Dia digandrungi berabad-abad lamanya. Novelis Inggris James Joyce, “Ulysses”, Averroes menjadi tokohnya. Di puisi penyair Spanyol, Alamgir Hasmi, “Dalam Cordoba”, Averroes dikisahkan menunggu di luar tembok Cordoba. Sebuah asteroid pun dipersembahkan dengan namanya, “Asteroid 8318 Averroes”, sebagai penghormatan untuk kemegahan pemikirannya. 

Sayang, di nusantara ini Averroes tak membahana. Kampus dan pemuja filsafat Indonesia, seolah tak mengenalnya. Averroes tak digandrungi. Mahasiswa, pengacara, hakim, jaksa, profesor di Indonesia, seolah hanya memuja Dante, Thomas, Rousseau semata. Mereka lupa sesosok yang sejatinya mengilhami filosof Eropa itu. Nusantara ini tak mau menggali. Averroes itulah sesosok yang sejatinya layak dipelajari. 

Dan, Dante dan Aquinas sudah terbukti tergila-gila dengannya. Averroes menjelma jadi pemikir kesohor dunia. Jorge Luis Borges, novelis Argentina, pun terang memujanya. Dia menabalkan sosok pesohor itu sebagai judul karnya, “La Busca de Averroes” (Carilah Averroes itu).