Sunday, September 13, 2009

THEMIS II

Entah kenapa, orang percaya dengan keadilan buatan manusia. Selagi semua bersumber dari manusia juga, selalu ada konflik didalamnya. Yang parah, orang-orang percaya keadilan sama dengan sebuah benda. Keadilan, seolah adalah Themis semata. Karena benda inilah lambang keadilan satu-satunya. Themis itulah logo buat keadilan diseluruh dunia. Padahal, hikayatnya sungguh jauh berbeda. Padahal, dia sesungguhnya sosok pemangsa manusia.

Agamemnon itulah yang pernah jadi korban nyata. Katanya, Agamemnon itu penguasa Sparta dan Mycenea. Kini Yunani. Dialah sumber petaka bangsanya. Agamemnon pengusung Trojan War yang melegenda. Karena dia bernafsu menguasai jagad sana. Seribu kapal perang, dibawanya menuju Troya. Di sana raja Priam yang berkuasa. Dia menguasai Troya. Karena seorang wanita, Agamemnon hendak menyerang Troya. Seluruh balatentara yang ada, dibawanya. Tapi begitu hendak berangkat, tak ada angin berhembus sama sekali. Agamemnon dan seluruh kapal yang ada, menunggu hingga tiga bulan lamanya. Tapi senyiur angin pun tak berhembus sama sekali. Kapal-kapal itu tak bisa berlayar. Raja itu panik, dia minta advis seorang paranormal, penyembah setia dewa-dewi kahyangan. Katanya, Agamemnon mesti menyembelih anak semata wayangnya, Iphigenia. Buat persembahan Themis semata. Dukun itu bilang, Themis yang meminta nyawa anaknya.

Eh, Agamemnon percaya. Puteri kecilnya, dibunuh dipinggir lautan. Themis, konon, riang kesenangan. Sementara Agamemnon sedih bukan kepalang. Tapi Themis tak perduli. Epos berkisah juga, setelah pembunuhan itu, angin memang berhembus kencang. Seribu kapal perang Sparta berlayar seketika. Di kahyangan sana, Themis tak sedih sama sekali.

Era kini, Themis dipuja lagi. Dia disembah dimana-mana. Semua pengacara selalu memelihara patungnya di atas meja kerja. Seluruh hakim dan jaksa, menyediakan Themis sebagai lambang keadilan. Padahal, sosok dewi ini, tak pernah sekalipun mengkisahkan soal keadilan.

Hikayat tentang dia, hanya dikisahkan oleh Homer semata. Dia ini penggiat sastra di zaman Yunani Kuno. Hidupnya juga, jauh sebelum kita. Sekitar abad ke-5 SM tahunnya. Homer berkisah, Themis hanyalah salah satu bangsa titan. Homer adalah salah satu dari tiga sastrawan yang menguak takdir. Kala itu, dua penggiat sastra lainya yang melegenda adalah Hesiodes dan Solon. Tapi karya-karya Homer-lah yang ikut mempengaruhi Socrates, Plato dan Aristoteles untuk berfilsafat dengan tema hukum.

Ada dua karya sastra Homer yang menggemparkan. Judulnya adalah "Illiad" dan "Odyssey". Dua buah pikiran Homer inilah yang diyakini banyak mempengaruhi literatur dunia barat. Nah, dalam "Illiad" itulah Homer mendongengkan cerita Dewi Themis.

Homer menuliskannya berpanjang-panjang. Katanya, Themis merupakan salah satu dari bangsa Titan. Themis adalah buah hati dari pasangan Ouranos (dewa langit) dan Gaea (dewa bumi). Themis tak sendiri. Dia punya sebelas saudara. Kawanan keluarga Themis ini disebut sebagai sesepuh para dewa. Hanya karena mereka adalah kelompok dewa-dewa yang paling tua. Merekapun menjadi pemula penguasa dunia. Mereka dibekali kekuatan dan ukuran yang besar. Tapi sifat dan wataknya tak beda dengan manusia. Ada dewa yang pemarah, ada yang lemah lembut, ada pula yang gagah perkasa. Tak jarang juga yang buruk rupa.

Cronus (Saturnur), cerita Homer, adalah salah satu saudara Themis. Dialah yang semula menjadi penguasa tunggal dunia. Tapi, suatu ketika, Cronus dikudeta. Pelakunya adalah anak laki-lakinya sendiri. Dialah Zeus. Proses kudeta itu sangat berdarah. Karena melibatkan pertarungan ayah dan anak dengan lagam kekerasan. Namun pemberontakan Zeus tak berjalan sendiri. Dia dibantu dua pamannya, Promotheus (dewa pencipta makhluk hidup) dan Oceanus (Dewa sungai). Dua dewa ini saudara kandung Themis.

Zeus kemudian bertahta di gunung Olympus. Dewa ini ternyata memiliki temperament tinggi. Tak jarang amarah Zeus memuncak. Dia sering melemparkan kilat kala tengah emosi. Sasarannya adalah makhluk yang membuatnya kesal. Bukan itu saja. Dia juga gemar berpoligami. Dewi yang dikawininya tak cuma satu. Selain Hera, dia memperistri Demeter, Semele, Metis. Metis adalah ibu kandung Pallas Athena. Empat istri tak juga memuaskan birahinya. Zeus juga mengawini beberapa puteri manusia. Sebut saja nama Danae, Alkmene dan lainnya. Buah perkawinannya dengan Alkmene inilah yang menghasilkan Herakles. Orang Romawi menyebut Hercules. Pastinya, Themis hanyalah setitik noktah di pangkuan Zeus. Dia tak begitu berarti bagi raja dewa itu.

Beberapa saudara kandung Themis, ada juga yang memiliki peran penting. Misalnya Dewi Tethys (istri Oceanus), Dewi Mnemosyne (dewi memori), Dewi Hyperion (bapak dari Matahari), Dewa Lapetus (ayah Pomotheus) dan dewa Atlas (dewa yang membawa dunia dengan dua bahunya). Pastinya, sejak itu Zeus berlakon sebagai dewa-nya dewa. Dia beristrikan Hera sebagai ratu-nya dewa di jagad khayangan. Sekali lagi, bukan Themis.

Padahal, tak ada kisah berarti mengapa Zeus mengawini Themis. Entah karena paras atau body Themis, Zeus jadi tergila-gila, tak tahu juga. Yang ada, Themis justru pasrah dikawini keponakannya sendiri. Themis tak berontak sama sekali.

Nah, dari silsilah keluarga para dewa tadi, hanya Themis-lah yang tetap dipuja hingga kini. Dirinya dianggap sebagai simbol keadilan. Padahal sepak terjangnya tak diketahui pasti. Terlebih lagi berkisar lakonnya dalam memperjuangkan sebuah keadilan.

Ironisnya lagi, semasa Themis hidup, gejolak kerap terjadi. Themis tentu menyaksikan kudeta yang dibuat Zeus. Mengapa Themis tak berperan? Setidaknya bila proses perebutan kekuasaan itu benar berlangsung, pedang Themis siap memberantas kebatilan. Justru Themis diam saja.

Sebagai dewi,dia kerap dimadu oleh Zeus. Tapi Themis diam seribu bahasa. Tak ada epos yang berkisah Themis berontak atas ulah Zeus itu. Themis tak bersuara memperjuangkan keperempuanannya. Themis tetap pasrah melihat Zeus membabat banyak wanita. Themis bukanlah sosok pejuang bagi kalangannya. (Benarkah Themis Dewi Keadilan, Mahkamah, 1 September 2008, http://www.irawan-santoso.blogspot.com/)

Tapi manusia sekarang, menyembah Themis tak sembarangan. Semua pendekar hukum, terus memajang Themis sebagai simbol keadilan. Entah apa alasannya hingga bisa demikian. Themis beruntung karena beragam sarjana hukum jadi umat setianya.

Tapi tetap Barat-lah yang memulai pertama. Disana, Themis dipajang dimana-mana. Themis disembah, disetiap pengadilan Eropa. Mettalica sempat menyaru juga. Mereka pernah menjadi Themis sebagai sampul albumnya yang bertemakan ”justice”. Di Roma, Themis dijuluki ”justitia”. Di Perancis sama saja. Disana dewi itu menjadi simbol kodifikasi pertama Napoleon Bonaparte. Amerika tak beda. Themis menjelam jadi bagian ’secondary county courthouse’ sejak 1890 lalu.

Orang Indonesia tak beda. Ikut-ikutan juga. Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung sampai pengacara hitam, memajang Themis dengan kebanggaan. Kata mereka, inilah dewi keadilan.

Padahal, Agamemnon telah sadar, Themis itulah “pembunuh” puteri semata wayangnya. Themis itulah yang membinasakan keluarganya. Themis itulah, penyebab dia tak punya ahli waris kerajaannya.

Di nusantara ini, Themis terus disembah tanpa pamrih. Themis jadi simbol keadilan, yang tak jelas hikayatnya dalam mengusung keadilan. Justru yang ada, Themis adalah penyebab kebatilan. Justru kala dirinya memberi angin, jutaan tentara Sparta dan Troya mati sia-sia. Dia tak pantas jadi simbol keadilan.




IRAWAN SANTOSO
(majalah MAHKAMAH, 28 Februari 2009)
Mengapa harus rechtstaats?

Seolah rechtstaats adalah harga mati. Di negeri ini reschtstaats, tak bisa ditawar lagi. Semua jaksa, hakim, pengacara, serempak selalu berkata bahwa rechtstaats, harus dikedepankan, tanpa boleh dikebiri. Hampir seluruh akademisi, jagoan hukum di kampus, pernah mengawali paper-nya dengan rechtstaats sebagai pembuka tulisan. Kata itu begitu dipuja. Rechstaats yang sering diterjemahkan dengan “negara hukum”, adalah prinsip yang tak boleh ditentang. Seorang blogger ternama, membuat judul blognya dengan kata rechtstaats, diatasnya dengan rasa bangga. Para mahasiswa hukum berdemonstrasi didepan Mahkamah Agung, selalu meneriakkan rechtstaats, walau tak jarang salah mengucapkan.

Ironisnya, rechtstaats masuk dalam konstitusi. Dia hadir dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Seluruh sarjana sepakat, rechtstaats merupakan lawan maachtstaat (negara kekuasaan). Tapi Rechtstaats dianggap lebih baik ketimbang maachstaat. Rechtstaats selah lebih sempurna dibanding maachstaat. Padahal, muasal rechtstaats itu sungguh tak elok bila dibawa ke alam kita. Karena kata itu bersumber dari sebuah pertempuran merebutkan kekuasaan. Kata itu dijadikan alat untuk mendapatkan kemenangan. Rechtstaats justru sejatinya dijadikan alasan untuk “menindas” sebagian orang-orang.

Cuma, Indonesia tak sadar. Karena pertiwi hanya mengekor Belanda dengan Eropa Kontinental-nya. Dengan rasa bangga pula. Padahal, rechtstaats lahir kala kegelapan melanda Eropa sana. Frederich Julius Stahl, orang pertama yang mencetuskannya. Dia pengacara sekaligus politikus, yang lahir di Munich, Jerman. Stahl putera Yahudi asli. Konsep Stahl soal rechtstaats, selalu diagungkan dalam setiap cuap-cuap sarjana hukum. Stahl bilang, ciri negara rechtstaats itu mencakup empat hal. Penegakan HAM, trias politica, pemerintahan berdasar hukum (wetmatigheid van bestuur), dan adanya sistem peradilan. Negara kita, karena bercita dan mimpi menjadi rechtstaats, tergopoh-gopoh mengaplikasikan empat omongan Stahl tadi. Stahl awalnya menjadikan rechtstaats sebagai alasan untuk membuat perlawanan.

Kala usianya 18 tahun, Stahl sempat mendaftar jadi guru di Munich Gymnasium. Tapi Stahl terbengkalai. Karena di era itu, orang Yahudi tak boleh duduk sebagai pegawai negeri. Stahl tak kehilangan akal. 6 November 1819 di Erlangen, dia masuk Kristen. Entah memang agama bagi Stahl hanya dianggap sebagai alat, tak tahu juga. Dia dibabtis di Gereja Lutheran.

Sejak menjadi Kristen, posisi Stahl menanjak tajam. Dia bisa belajar hukum di Universitas Würzburg, Heidelberg, dan Erlangen. 1827, Stahl sukses jadi privatdozent di University of Munich. Selang itu, 1840, Stahl menjadi pengacara Gereja di Berlin.

Posisi itulah yang membuat Stahl bergeliat. Sebagai advokat, Stahl banyak mengeluarkan pemikiran ekstrem. Dia menyatakan bahwa kerajaan Jerman mesti menjadi negara Kristen.
Stahl menempatkan dasar hukumnya lewat kitab Injil yang dia pelajari. Misi Stahl itu dapat dukungan penuh Kaisar Jerman era itu, William IV.

Tapi, suara diseberang tak setuju. Kelompok Calvinis pesimis dengan ide Stahl. Di zaman itu, kelompok Kristen Jerman memang terbagi. Penduduk asli banyak menganut Kristen Lutheren. Aliran ini mengambil ilham dari buah otak Marthin Luther, pria Jerman juga yang hidup di abad ke-16. Luther mereformasi teologi Kekristenan Roma. “Perpecahan” antara Lutheren dan Gereja Katolik Roma timbul karena doktrin pembenaran di hadapan Tuhan. Namun Lutherenisme tak seperti puluhan Gereja reformasi lainnya. Mereka tetap mempertahankan praktek liturgis dan sakramental ajaran Gereja dari Roma.

Beda dengan kaum pendatang, pengungsi dari Bohemia, Huguenot (Perancis), Wallona, Belanda, Polandia, Swiss dan lainnya, memegang teguh Kristen Calvinis. Keturunan mereka sebagian besar dari Calvinis di Brandenburg. Aliran ini dikembangkan teolog Martin Bucer, Heinrich Bullinger, Peter Martyr Vermigli, dan Ulgrich Zwingli. Tapi yang paling tenar adalah John Calvin, orang Perancis. Makanya kemudian dikenal dengan Calvinis.

Dua aliran ini, sama-sama menguasai Jerman. Keduanya berebut pengaruh. Alhasil kaisar William III menyatukannya. Lutheren dan Calvinis disatukan menjadi Prusia Gereja Injili. Dalam Prusia, doktrin kedua aliran itu disatukan.

Tapi, “perang” antara Luthern dan Calvinis berlangsung dingin. Stahl membela habis-habisan Luthern agar berjaya. Posisi Stahl juga sudah lumayan. Orang Yahudi, tak banyak yang bisa se-eksis Stahl di Jerman sana. Bahkan dia berhasil memetik hati sang Kaisar. 1849, Stahl diberi hadiah sebagai anggota Kamar Pertama. Di Jerman dikenal sebagai “Herrenhaus”. Bahkan 1852-1858, Stahl menjadi anggota “Evangelischer Oberkirchenrat” (penasehat Sinode).
Posisi itulah yang dipakai mempengaruhi tokoh Luthern untuk membubarkan Konstitusi Prusia tadi.

Dari Calvinis, Von Brussen, adalah lawan tangguh Stahl. Dia itu menteri Uni Injili. Tapi “peperangan” itu dimenangkan Stahl. Berkat kepiawaiannya, entah karena memang dia seorang Yahudi, Stahl berjaya. Dia mengeluarkan tulisan panjang. “Die Philosophie des Rechts geschichtlicher nach Ansicht. Isinya pandangan tentang sejarah filsafat hukum. Dalam tulisannya itulah dia menelorkan ide soal konsep negeri Kristen versi Luthern, dan membubarkan Uni Injili. Disitulah Stahl memperkenlkan konsep negara hukum pertama kalinya. Konsep itu hanya ditujukan agar pengaruh Luthern bisa lebih membahana. Stahl menang. Alhasil, Gereja Prussia Uni Injili berhasil dibubarkan, 1858.

Seabad berikutnya, “negara hukum” Stahl ditiru oleh Paul Scholten, hakim di Belanda. Scholten mengembangkan pikiran Stahl tadi. Dia menyebutkan ciri utama negara hukum sebagai “er is recht tegenover den staat”. Negara memiliki hak terhadap negara. Individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Dia juga bilang, negara hukum itu, er is scheiding van machten, ada pemisahan kekuasaan. Scholen-lah yang membawa nama rechtstaats pertama kalinya. Tapi dalam “Over den Rechtsstaats”, sebuah buku yang ditulis Verzamelde Gessriften, 1935, Scholten diakui mengadopsi pemikiran Stahl.

Kini, rechtstaats disembah kita. Dia dipuja hingga masuk konstitusi negara. Padahal, Stahl membuat konsep itu agar bisa memenangkan peperangannya dengan Calvinis. Bukan demi mewujudkan welfare state, negeri kesejahteraan. Toh di Jerman sendiri, konsep Stahl cuma bertahan beberapa tahun saja. Era Kaisar William, kemudian membuangnya. Mereka kembali ke cara lama.

Negeri ini terlalu memuja Barat. Rechtstaats yang dicita-citakan, tak pernah mengarah. Justru hukum kita makin sengsara. Hanya karena mengikut barat yang sesat.


Irawan Santoso
majalah MAHKAMAH (September, 2009)