Monday, May 21, 2007

Wawancara Marianna Sutadi, wakil Ketua Mahkamah Agung

Marianna Sutadi, wakil Ketua MA :
“Pengadilan Dibenci, tapi di rindu”


Belakangan, Mahkamah Agung te­rus menjadi sorotan. Terlebih sete­lah adanya usulan Komisi Yudisial tentang kocok ulang hakim agung de­ngan alasan lembaga tertinggi yudikatif ini dianggap sudah darurat. Bila itu terja­di, peluang pergantian kepemimpinan ju­ga makin terbuka. Apalagi periode kepe­mimpinan Bagir Manan sebagai Ketua MA bakal segera berakhir.

Edisi lalu, FORUM memperkenalkan sejumlah hakim agung yang berpeluang menggantikan Bagir Manan. Di antara nama-nama yang muncul, ada seorang wanita. Dialah Marianna Sutadi yang ki­ni menjabat sebagai Wakil Ketua MA. Namun, diajukan sebagai calon penggan­ti Bagir, Marianna justru menolak. Pe­rempuan berdarah Batak ini mengaju­kan alasan, tak berambisi menjadi Ketua MA.

Sebagai salah satu penguasa yudikatif, Marianna tentu saja mengerti keberatan­nya itu bisa saja dilampiaskannya lewat jalur pidana maupun perdata. Tapi, ter­nyata dia lebih mengikuti mekanisme yang tertuang dalam UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Wakil Ketua MA itu memilih menggunakan hak jawab. Fakta ini tentu menggembirakan. Pasalnya pu­cuk pimpinan MA saja sudah meles­tarikan penggunaan hak jawab dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Semoga ini bisa menjadi ‘juris­prudensi' bagi penyelesaian sengketa pers kedepannya.

Ternyata, sumbangan Marianna tak hanya itu saja. Marianna juga menceri­takan "dapurnya" selama mengabdi di MA. Termasuk perkembangan terakhir yang terjadi di lembaga benteng terakhir keadilan itu. Rabu pekan lalu, keberatan itu disampaikan dalam wawancara den­gan Irawan Santoso dari FORUM. Berikut petikan wawancaranya:

Anda keberatan dengan poin ma­na?

Tentang tulisan (FORUM edisi No.38 hal.13) ".....sudah siap dana dan dukun­gan dari para hakim agung lain untuk menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung". Terus terang, saya tidak pernah bertemu siapa pun yang menunjukkan saya berambisi menjadi Ketua MA. Untuk duduk menjabat posisi wakil Ketua MA saja, sejak Indonesia merdeka, baru sayalah yang pertama. Mungkin orang lain tidak tahu. Orang melihat bahwa jabatan itu banyak. Tapi MA seba­gai badan peradilan, dia agak konvensio­nal. Mengapa? Lihat saja pengadilan di Inggris. Negaranya sudah maju, tapi hakimnya tetap pakai wig. Buat apa itu? Karena memang pengadilan itu konven­sional. Di Amerika juga hakimnya tetap pakai toga. Bahkan untuk badan peradi­lan, Amerika sendiri belum pernah ada pimpinannya yang perempuan. Sempat memang mereka memiliki satu orang ha­kim agung perempuan. Tapi kini telah mengundurkan diri. Karena ini memang jabatan yang sulit.

Jabatan Ketua MA adalah jabatan pri­mes interpares. Dituakan karena semua lama. Mengapa dituakan? Karena ke­mampuannya, integritasnya, perilakun­ya. Kalau seorang Ketua MA tidak me­menuhi persyaratan itu, pasti dia tidak akan dihormati anggotanya. Termasuk jabatan Wakil Ketua MA ini. Karena itu, untuk saya, kata-kata 'dengan menyiap­kan dana' itu sangat menyinggung sekali.

Dengan jabatan seperti ini, bagai­mana sebenarnya keseharian Anda?
Menduduki posisi Wakil Ketua MA, sa­ya sangat mensyukuri ini dari Allah SWT. Saya tinggal di JI. Denpasar Raya, Jakarta Itu rumah jabatan kompleks menteri. Mobil yang saya pakai,Toyota Camry. Itu setara dengan mobil jabatan yang dipakai menteri. Saya mau apa la­gi? Saya tidak punya pikiran lain-lain la­gi kecuali bekerja. Saya hanya memikir­kan agar bisa selamat, bisa menyelesai­kan tugas saya yang saya impi-impikan ini, sampai ke akhir masa jabatan. Hanya itu saja.

Sebenarnya mimpi-mimpi saya banyak. Tentu saya ingin agar hakim-ha­kim kita itu betul-betul dapat menjadi hakim yang dihormati karena putusan­nya. Kita lihat di negara lain misalnya. Dalam kasus OJ Simpson di Amerika. Orang kulit hitam yang didakwa membunuh mantan istrinya dan pacar mantan istrinya. Keduanya itu orang kulit putih. Oleh pengadilan di sana dibebaskan. Ka­rena putusan itu, terjadi keributan an­tara orang kulit hitam dan kulit putih. Tapi presiden mereka berkata, kita harus tunduk pada putusan pengadilan. Seper­ti itulah yang jadi mimpi saya. Nah, kon­disi itu bisa dicapai di sini. Kuncinya, pro­fesionalitas ditingkatkan.

Kabarnya Anda sering berpergian ke luar negeri, apa saja yangAnda la­kukan?
Saya memang sempat pergi ke Jepang. Waktu itu sebenarnya tidak pantaslah pimpinan MA untuk ikut. Kenapa? Kare­na membicarakan mediasi. Yaitu antara Wakai dan Chotei. Nah, kasus ini yang ingin saya ambil. Tujuannya untuk diba­has guna dibuat sebuah peraturan MA. Sekarang sudah ada PERMA (Peraturan MA, red) yang mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mengutamakan mediasi. Tujuannya untuk mendamaikan pihak yang berperkara di pengadilan. Konsep itu memang banyak juga yang menolak. Tapi memang itu belum berja­Ian. Untuk itu pula, hari Minggu lalu sa­ya pergi ke Semarang. Hari libur saya itu sengaja saya pakai. Di sana melakukan sosialisasi terhadap sistem mediasi itu. Bukan hanya untuk hakim, tapi juga akademisi, advokat, LSM, LBH dan lain­nya. Untuk merangkul agar kita punya pandangan sama, betapa pentingnya me­diasi itu.

Menyelesaikan perkara dengan sing­kat, tidak usah banding atau kasasi. Se­cara tidak langsung akan membatasi per­kara-perkara kasasi. Jadi secara alamiah akan menurun. Para pihak juga pasti se­nang. Karena kesepakatan mediasi itu kan dibuat para pihak. Kalau para pihak sudah setuju, lalu dibuat putusan perda­maian, tidak akan ada yang bilang itu pu­tusan direkayasa, uang bermain dan lain­nya. Makelar perkara juga bisa dihindari. ­Itulah terobosan yang saya inginkan sekarang ini. Jadi, jangan dikira kalau saya ke luar negeri itu untuk berjalan-ja­lan belaka. Nah, ini yang penting agar publik tahu. Karena saya memang mena­ngani bidang yudisial, maka saya khusus menjadikan putusan hakim agar benar­-benar memenuhi rasa keadilan. Itu bu­kan pekerjaan gampang.

Anda mengorbankan hari libur un­tuk bekerja?
Nah, apakah orang yang sampai hari liburnya dikorbankan, masih diragukan juga integritasnya? Masa sih masih cari dana. Bahkan Sabtu pekan ini saya be­rangkat ke Kalimantan. Di sana bertemu dengan seluruh hakim se-Kalimantan. Itu kan berarti menggunakan waktu ke­luarga. Hari libur, bayangkan! Mengapa saya bisa begitu, wong suami saya sudah pensiun kok. Anak-anak saya sudah ber­diri sendiri. Jadi tak ada lagi yang perlu diurus.

Apa agenda Anda pergi ke sana?
Karena di sana ada masalah. Pengadi­lan Negeri (PN)-nya dirusak orang. Sebe­tulnya sasaran utamanya bukan penga­dilan, tapi kantor polisi. Kebetulan mas­sa yang sambil berjalan itu melewati PN. Nah, di PN itu lagi disimpan truk-truk illegal logging. Maka mereka berteriak­teriak meminta agar truk-truk itu dikem­balikan dan terdakwa dibebaskan. Kare­na tidak bisa, maka kaca-kaca pengadi­lannya dipecahkan. Karena itulah saya ke sana. Saya ingin sampaikan, kalau seandainya gedung pengadilan kita kecil, mengapa barang bukti seperti itu mesti kita yang simpan. Tidak barus. Bisa diti­tipkan di kejaksaan atau di polisi. Karena di sana kan ada penjagaan. pengadilan tidak bisa melakukan itu. Karena me­mang risikonya besar. Padahal waktu itu, ketika petugas pengadilan sedang meng­ambil kunci, ternyata massa masuk keru­angan pengadilan. Ketika masuk, mere­ka mengambil barang bukti kasus lain. Jadi hilanglah. Memang tidak gampang kan jadi hakim?

Ada yang mengatakan, Anda tidak mengakar di kalangan hakim agung MA, benarkah begitu?
Tidak mengakar? Seyogianya terhadap penilaian seperti itu, saya tidak wajar berkomentar. Orang bisa mengatakan sa­ya cantik, buruk juga bisa. Itu sah-sah sa­ja. Hanya, saya agak bingung. Padahal kalau di tulisan itu (FORUM edisi No. 38 hal. 14-red) di atasnya dikatakan, "Saya sebelumnya didaulat oleh para hakim agung untuk jadi wakil Ketua MA". Lalu di bawahnya dicantumkan bahwa saya ti­dak mengakar. Ini kan kontradiksi. Peni­laiannya dari mana? Ha ... ha ... ha...

Waktu MA diserang terus-menerus, Anda terkesan sama sekali tidak me­lakukan pembelaan, memberikan penjelasan pada pers misalnya?
Banyak wartawan yang datang kepada saya, bagaimana komentarnya tentang pemeriksaan Ketua MA? Selalu saya menjawab, "Saya tidak berkomentar". Karena sudah terlalu banyak orang ber­komentar. Hasilnya juga bukan malah meluruskan keadaan. Makin mericuhkan keadaan. Jadi untuk apa? Wong yang di­minta komentar kok. Kalau saya dibilang cenderung menghindar, memang meng­hindar. Tapi bukan karena saya ingin me­nyelamatkan orang lain, hanya untuk meluruskan keadaan.

Terhadap kondisi hukum kita se­karang, banyak yang malah tidak percaya lagi terhadap pengadilan, apa tanggapan Anda terhadap hal ini?
Saya senang sekali menjawabnya. Ke­marin saya ke Semarang. Ada diskusi pa­nel. Pembicaranya dari beberapa kalang­an. Saya katakan, kalau saya tarik ke­simpulan dari penanya-penanya itu, inti­nya satu, bahwa kepercayaan kepada pe­ngadilan menurun jumlahnya. Tapi mari kita lihat. Jumlah perkara yang masuk ke PN senantiasa meningkat. Fenomena apa ini. Sebelumnya Anda mengatakan, kepercayaan terhadap pengadilan menurun. Tapi kok jumlah perkara naik. Mes­tinya kan turun. Jadi kondisi ini mirip, de­ngan lagu, judulnya benci tapi rindu. Tidak ada yang bisa memutus suatu sengketa selain pengadilan. Jadi semua orang me­merlukan penga­dilan. Marilah ki­ta sama-sama memperbaiki ke­kurangan. Tapi bukan dibakar pe­ngadilan itu. Itu kan seperti udara (Marianna menghirup udara dalam-dalam). Semua manusia perlu udara. Pada waktu normal, tidak ada manusia yang menghargai udara. Begitu ada polusi, baru orang-orang re­pot. Semua orang berduyun-duyun bagai­mana mengatasi pencemaran itu. Nah, kalau itu yang kita rasakan sekarang, mengapa bukan sama-sama kita mem­perbaikinya. Bukan dengan menghujat atau membakarnya.

Beberapa pekan lalu. hakim PN Ja­karta Selatan, Herman Allositondi, ditangkap Kejaksaan, tapi MA malah membiarkannya?

Sebenarnya saya yang memerintahkan agar dilakukannya pemeriksaan itu. Sa­ya usulkan kepada Ketua MA, lalu perin­tah dikeluarkan. Karena memang kalau ada kejadian begini, kami tidak meng­umumkannya. Lho, Ketua PN Semarang yang sudah ditindak itu, saya yang me­merintahkan, kok. Tapi masalah lain kita memang tidak umumkan. Hanya masalah itu saja.

Namun kondisi sekarang sudah ber­ubah. Kalau kita tidak bertindak, nanti dikira orang tidak bekerja. Maka, waktu kejadian di PN Jaksel, saya langsung me­nelepon Ketua PN Jaksel (Seodarto, red). Saya minta dia supaya sore itu agar da­tang untuk melaporkan. Waktu itu kebe­tulan kita sedang rapat pimpinan. Sete­lah mendengar penjelasan dia, saya usul­kan kepada Pak Ketua MA, saya bilang ini tidak bisa tidak, majelis harus diganti semuanya. Karena kita juga menghorma­ti azas praduga tidak bersalah. Yang baru tertangkap tangan kan paniteranya. Ha­kimnya belum ada cerita. Tapi, dari kete­rangan KPN, ini (hakimnya) pasti terka­it. Malam itu juga perintah Ketua MA ke­pada Ketua PN Jaksel adalah tarik se­mua perkara dari hakim tersebut, ganti majelis hakimnya. Lalu, KPN berkata, apa tidak ketuanya saja, hakim anggotanya kita jadikan ketua. Sa­ya bilang, tidak. Harus semuanya diganti. Karena ki­ta perlu public trust. Karena itu konsekwensinya luas.

Esoknya Jaksa Agung menelepon Ketua MA. Hasil reka­man jelas petunjuknya (Herman terli­bat). Karena itu Jaksa Agung mohon agar petunjuk Ketua MA untuk memeriksa Herman. Lalu Pak Ketua memanggil saya. Karena dia akan segera berangkat meninjau PN di Lampung. Kemudian Jaksa Agung menelepon saya lagi siangnya. Saya bilang, saya setuju. Saya juga bilang, tolong buat surat pe­nangkapannya segera. Setelah itu saya langsung press conference. Kan cepat pro­sesnya. Nah, sebenarnya itu proses stan­dar saja. Cuma selama ini tidak kita la­kukan terbuka seperti itu.

Berarti MA perlu public trust juga dong?
Memang butuh.

Kalau begitu, kenapa hakim-ha­kim selalu sulit untuk berbicara, ter­utama di depan wartawan. Apakah masih relevan tentang adagium bah­wa hakim itu hanya ’berbicara' lewat putusannya?
Tetap seperti itu. Perkara yang sedang berjaan, tidak boleh dikomentari oleh siapa pun juga. Jadi bila ketika menanga­ni putusan, ada dugaan-dugaan terhadap hakimnya bermain. Nah, di sinilah diper­lukan kemahiran seseorang menarik be­nang kusut itu, tapi (diusahakan) tidak menumpahkan tepungnya. Bagaimana caranya. Yang jelas tidak boleh meng­ganggu kemandirian hakim, tapi hakim itu harus diperiksa. Contoh waktu perka­ra Akbar Tandjung. Sebenarnya bukan perkara Akbar Tandjung-nya, tapi per­kara Rahardi Ramelan. Ada surat kabar memberitakan, Rahardi minta penahan­an luar, tapi tidak diizinkan karena tidak mau membayar sejumlah uang. Rahardi bilang, "Masa sih saya harus membayar seperti Akbar Tandjung". Itu kata koran. Melihat itu, kita langsung bentuk tim (pemeriksa). Waktu itu saya masih Ketua Muda Bidang Pengawasan MA. Kita me­meriksa hakim perkara Rahardi Rame­lan itu. Nah, itu publik tidak boleh tahu. Karena bisa mengganggu kepercayaan publik. Tapi kalau terbukti, kita akan berhentikan langsung seperti Herman kemarin. Tapi setelah diperiksa, kelima majelis hakim itu ternyata tidak terbuk­ti. Jadi perkara tetap dipegangnya. Saya justru ingin bertanya, bisakah lembaga lain melakukan proses semacam itu? La­in memang. Karena itu, hal semacam ini tidak mungkin bakal bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial. Nah, yang seperti ini kan memang tidak perlu diumumkan. Hanya saja orang mengira MA itu seolah tidak melakukan apa-apa, tidak tersen­tuh reformasilah.

Soal public trust. Sewaktu terung­kap kasus suap menyuap di MA yang melibatkan Pono cs, ternyata ada perbedaan antara fakta dan berita pers. Terutama tentang keterkaitan Ketua MA Bagir Manan terhadap su­ap-menyuap itu. Apa yang bisa di la­kukan MA agar public trust itu terja­ga?

Inilah yang sedang kita upayakan. Hingga kini kita tengah mencari juru bicara MA. Ini yang belum ada. Karena dari jaman dulu, di mana pun di muka bumi ini, MA itu tidak perlu juru bicara. Tapi kondisi di negeri ini sekarang berbe­da.

Siapa Saja pengganti Bagir?

Posisi Bagir memang lagi kritis. Selain banyak pihak yang terns menyudutkannya, mass jabatannya juga bakal berakhir Mei 2006 nanti. Tapi, akhir Februari ini harusnya MA sudah bersiap-siap men­gadakan pesta pemilihan Ketua MA. Hingga kini memang belum ada satu pun hakim agung yang mendeklarasikan diri. Namun, bukan berarti tak ada yang diam-diam mencari dukungan. Gambaran itu terlihat jelas di MA. Beberapa hakim agung bahkan sudah mempersiapkan diri. Hanya saja belum berani membukanya ke publik. Kira-kira siapa saja yang memiliki peluang untuk menggantikan posisi Bagir. Inilah gambarannya.

Artidjo Alkostar

Laki-laki ini dulunya dikenal aktivis jalanan. Sempat menjadi wakil direktur Lemba­ga Bantuan Hukum (LBH) Yog­yakarta tahun 1978. Kala itulah Artidjo tampil terdepan membe­la kematian misterius Udin, sang wartawan harian Bernas. Jiwa aktivis itulah yang mem­buat Artidjo menjadi hakim a­gung. Di periode sebelumnya, memang dia sempat mencalon­kan diri. Tapi kandas waktu fit and proper test di DPR. ICni a­gaknya peluang laki-laki kela­hiran Situbondo, 22 Mei 1948 itu terbuka lebar.

Masalah dukungan, bukan sulit untuk didapatkan. Terutama dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Laki-laki ini memiliki popularitas. Artidjo, dan sebelumnya ada Abdul Rahman Saleh yang kini jadi jaksa agung, adalah dua sosok ha­kim dari kalangan LSM yang bisa masuk ke kalangan MA. Santer terdengar, kini banyak kalangan LSM yang menjagokan dia. Uli Parulian Sihombing, direktur LBH Jakarta bahkan langsung menggaransi bahwa Artidjo sebagai satu-satunya ha­kim yang bersih di MA. Itu bukti alumnus Universitas Islam In­donesia (UII) Yogyakarta ini sangat kuat di kalangan luar MA.

Tapi, di kalangan hakim agung, ketenaran Artidjo bukan jam­inan. Tak banyak juga hakim agung yang menyukainya. Bisa juga Ketua MA. Buktinya, tak banyak kasus yang dipercayakan padanya. Terutama yang banyak menyedot perhatian publik. Yang terakhir dipegangnya, hanyalah perkara kasasi Abdullah Puteh. Di sanalah peran Artidjo sangat kentara untuk menolak kasasi Puteh.

Namun yang menarik dari Artidjo, dia mampu menjaga rit­menya di MA. Hingga kini namanya belum tersangkut perkara yang bernada miring. Itu bukti mantan anggota dewan kehormatan IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) Cabang Yogyakarta ini memiliki integritas yang tinggi. Sayangnya, ada sisi yang hilang sejak Artidjo masuk ke MA. Di sana, kevokalannya jauh menurun. Tapi dia punya alasan. "Sebagai hakim saya dituntut untuk silent, berbicara lewat putusan. Padahal waktu dulu, kucing mati pun saya komentari", katanya kepada FORUM. Nah, sikap "diam" Artidjo itu ternyata tak mampu men­dongkrak citra MA yang terpuruk. Hingga kini lembaganya banyak dikritik, Artidjo juga tak mau tampil di depan. Agaknya ini memang sengaja dijaganya. Barangkali, bila tetap seperti ini, peluangnya menggantikan Bagir sangat terbuka lebar.

Marianna Sutadi

Posisiny-a kini sebagai wakil ketua MA Sebelumnya dia menjabat sebagai Ketua Muda Pen­gawasan dan Pembinaan Hakim. Tapi, seluruh hakim agung di MA kemudian men­daulatnya untuk menjadi wakil Bagir. Marianna meru­pakan hakim karir. Posisi sebagai wakil ketua, diraih­nya dari bawah.

Ia adalah istri Sutadi Djajakusuma, yang pernah menjadi salah seorang pejabat di Bappenas dan juga bekas pejabat teras Partai Golkar.Sebagaiwakil ketua MA,agaknya Marianna tak banyak melekat di hati hakim agung lainnya. Perempuan ini dikenal lamban dalam menangani perkara. Marianna lebih cenderung bepergian ke luar negeri. Baik menghadiri seminar dan acara yang mewakiliMA.Kondisi itulah yang membuat dirinya tak mengakar di kalangan hakim agung MA. Tapi, secara struktural, dia memiliki kekuatan tersendiri. Pengaruhnya sebagai hakim senior bisa dimanfaatkan untuk mengkampanyekan sebagai calon ketua MA. Sayangnya, ketika MA banyak diserang, Marianna juga tak banyak memberikan sumbangan pembelaan, bahkancenderung menghindar. Terutama untuk menyelamatkan muka sang ketua.

Paulus Effendy Lotulung

Hakim agung yang satu ini berasal dari komunitas Universitas Indonesia (UI). Periode sebelum­nya, dirinya juga sempat mencalon­kan diri. Doktor hokum administrasi negara lulusan Sorbonne, Perancis ini, pernah menjadi hakim di Peng­adilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Dirinya sempat dipuji waktu jadi hakim di PN Jakarta Pusat. Di sana, dia memenangkan gugatan Wahana Lingkunga Hidup Indonesia (WALHI) terhadap PT Inti Indorayon Utama. Lotulung mengakui hak WALHI sebagai penggugat. Tapi, ternyata itu tak mampu menjaga stabilitas namanya. Na­manya sempai disangkutkan dengan kasus putusan palsu di M.A.

Tapi, kini fakta itu tak terlalu berpengaruh. Di kalangan hakim agung, posisinya cukup disegani. Pasalnya beberapakali ker­jasama yang dilakukan MA dengan lembaga donor, tak lepas da­ri perannya. Selain itu, Paulus juga memegang tampuk pimpin­an untuk hakim agung PTUN. Nah, ternyata hakim agung PTUN sangat solid. Tak tergoyahkan. Pastinya, bila Paulus ber­tekad maju, seluruh hakim agung dari bidang itu akan memback-up-nya.

Djoko Sarwoko

Hakim ini dikenal sangat vokal di lingkungan MA. Padahal dia adalah-hakim karir. Djoko tak pelit berbicara. Tak seperti hakim-hakim karir lainnya. Kemampuan retorikanya cukup mumpuni. Sehingga, untuk berhadapan dengan pers sekalipun, Djoko dikenal sangat lihai. Inilah salah satu kelebi­han Djoko.

Sebelum jadi hakim agung, dirinya menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Semarang. Selepas bertugas disana, tanggal 8 Juni 2004 lalu, Djoko pun terpilih sebagai salah satu hakim agung oleh Dewar Perwakilan Rakyat (DPR).

Yang menarik dari Djoko adalah ketika dia menjadi salah seo­rang hakim pemeriksa perkara Peninjauan Kembali (PK) Tommy Soeharto bersama dua hakim agung lainnya, German Hadijanto dan Arbijoto. Tapi kemudian ketiganya mengun­durkan diri. Alasannya karena tidak merasa nyaman. Maklum, banyak pihak yang terns mencoba menghubungi, pendeknya merecoki. Karena itulah, dirinya lalu mengambil inisiatif mundur. Langkah itu dianggap strategis. Buktinya hingga kini namanya belum terdengar sama sekali untuk perkara yang berbau soap menyuap dan sejenisnya.
Track reccord yang seperti itulah yang membuat Djoko jadi salah satu hakim agung kepercayaan Bagir. Buktinya untuk menangam beberapa kasus yang carat sorotan publik, Bagir malah memilihnya. Kasus lain yang dia tangani adalah kasus sengketa Pilkada Depok dan perkara Probosutedjo.

Sebenarnya, posisi Djoko bertugas di gedung bundar memang belum lama. Tapi, langkahnya terbilang cepat. Itulah agaknya yang membuat Djoko memiliki peluang menggantikan Bagir. Langkah itu juga telah. diperhitungkannya. Menurut sumber FORUM di MA, Djoko beberapa kali terlihat "me-lobby" bebera­pa hakim agung. Tujuannya untuk dapat dukungan. Bahkan, dalam lobby-nya itu, menurut sumber itu lagi, Djoko sempat mengutarakan bahwa dirinya telah mendapat dukungan dari Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Itu bukti Djoko sangat berambisi.
Kini langka itu mulai terlihat. Misalnya, Djoko berani mem­bela mati-matian MA ketika tengah diserang dari berbagai pen­juru, termasuk serangan dari Komisi Yudisial (KY). Djoko malah dengan gagah tampil mengusung nama MA. Contohnya, Kamis pekan lalu, dirinya mewakili MA berdialog dalam sebuah acara diskusi. Hal yang jarang dilakukan hakim-hakim. lainnya. Langkah Djoko itu sangat strategis untuk mendapatkan du­kungan. Sato hal lagi, Djoko termasuk salah satu hakim agung "kesayangan" Bagir. Bila saja dia tak salah melangkah, suara kubu Bagir bisa tertuju padanya.

Gunanto Suryono

Gunanto belum lama menjabat sebagai ha­kim agung. Dia terpilih berbarengan dengan Djo­ko. Tapi, di MA, dia terbi­lang orang lama. Sebelum jadi hakim agung, dia menjabat sebagai Panite­ra dan Sekretaris Jende­ral MA.

Gunanto juga termasuk hakim karir. Sebelum ma­suk gedung MA di Medan Merdeka Utara, dia men­jabat hakim tinggi di Pe­ngadilan Tinggi Jawa Te­ngah. Kini, posisinya cu­kup empuk. Dia duduk sebagai Ketua Muda Bidang Pengawasan.
Namur, ketika posisi itu. dipegang Gunanto, MA juga tak ba­nyak berubah,. Justru orang meragukan kemampuan bidang pengawasan MA yang dinilai melempem. Padahal, aku Gunan­to, dirinya telah banyak menindak hakim-hakim nakal. Hanya saja dirinya tak pernah mempublikasikannya ke pihak mana­pun.

Pernah sewaktu jadi Sekjen MA, namanya sempat disebut­sebut oleh Himpunan Masyarakat untuk Hukum dan HAM (Humanis), sebagai orang yang terlibat tender proyek pembu­atan logo dan pagar gedung MA. Humanis mendemo MA untuk masalah teresebut. Diduga di sana terjadi korupsi. Nah, nama Gunanto disingung. Memang hingga kini tuduhan itu tak ter­bukti. Tapi setidaknya sedikit mempengaruhi citranya.
Sekarang, waktu MA diserang, Gunanto tak diam. Dia mam­pu membuktikan kinerjanya. Tengoklah, Gunanto berani me­ngumumkan bahwa MA telah menindak seorang staf pegawai yang terlibat makelar perkara. Padahal pengungkapan itu jus­teru di tengah serangan yang lagi gencar ke MA. Tapi Gunanto dengan gagah membeberkan hasil kerjanya. Tentu saja untuk membela citra MA. Di mata Bagi.r, hakim yang memiliki tipikal keras ini tak terlalu disayang. Tak juga tidak terlalu dijauhi

Sebagai Apa Bagir Diperiksa?

Bagir Manan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal dirinya bukanlah tergolong sebagai saksi. KPK melabrak aturan hukum?

Jumat pekan lalu, gedung Mahkamah Agung kembali mencatat sejarah. Baru pertama kalinya se­jak bangsa ini berdiri, MA didatangi penyidik. Tak tangg-ung-tanggung, yang di­periksa langsung adalah Ketua MA, Ba­gir Manan. Bagir diperiksa dengan status sebagai saksi. Saksi atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan lima orang ang­gotanya yakni Pono Waluyo, Suhartoyo (wakil sekretaris Korpri), Sriyadi (staf ba­gian perdata), Sudi Abroad (staf Korpri), dan Malem Pagi Sinuhaji (Kepala Biro Umum dan kepegawaian). Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya. Secara hukum, apakah penempatan Ketua MA itu sebagai saksi telah sesuai? Untuk me­ngetahui hal itu, maka diperlukan anali­sis secara juridis.

Untuk membaca hal itu maka perlu di­lihat dulu posisi kasusnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan ter­hadap enam orang. Selain lima orang pe­gawai MA itu, satu orang lagi adalah Ha­rini Wijoso. Harini adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pe­ngacara Probosutedjo untuk kasus dana reboisasi. Harini kemudian mempraktek­kan cara beracara yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis hakim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Manan. Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya untuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesai­kannya sendirian. Dirinya mental. Ter­bukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bulan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya te­lah “membunyikannya” kepada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.

Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi keinginan Harini. Pono menurunkan “order” itu ke beberapa re­kannya. di- MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengontak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono meminta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiapkan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kardus. Sato kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ter­nyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sem­pat membawa uang itu kerumahnya.

Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-masing. Sewaktu ditang­kap, Pono ternyata tak menampik. Sama seperti Harini. Berarti enam orang tersebut terbukti telah tertangkap tangan. Berda­sarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menangkap mereka tanpa surat perintah.

Kasus pun berkembang. Setelah mela­kukan penangkapan, KPK tentunya me­miliki bukti awal. Yakni berupa uang yang ditangan Pono dan Harini. Lalu ka­sus dikembangkan dengan meminta ke­terangan dari yang tertangkap. Dari si­nilah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang terlibat dalam tindak pidana itu.

Dari keterangan Pono, disebutkan bah­wa dirinya mengakui meminta uang ke­pada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mu­lut Harini. Pengacara itulah yang mem­bawa Pono menemui Probo. Dia melaku­kannya. karena Pono mengucapkan bah­wa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.

Lalu dilihat pula dari keterangan Pro­bosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Pro­bo memang memberi uang kepada Pono. Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki-laki itu memang su­ruhan Bagir. Namun, walaupun belum seratus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlah­nya sangat besar.

Dari basil keterangan itu, maka bisa diambil kesimpulan tentang status Bagir. Karena Bagir dianggap sebagai saksi, maka dirinya mesti memenuhi unsur yang termaktub dalam KUHAP Nah, da­lam Pasal 1 ayat (12) disebutkan “saksi adalah orang yang dapat memberikan ke­terangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Berarti unsurnya ada tiga hal. Mendengar, me­lihat, dan mengalami. Lalu dari serangkaian peristiwa itu, di­manakan posisi Bagir? Apakah ia tergo­long orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap me­nyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari bukti awal dan keterangan dari yang ter­tangkap serta keterangan Probo.

Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku ti­dak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang rnerasa pernah bertemu dengan Ketua MA itu.

Setali tiga uang dengan Ha­rini. Pengacara ini hanya ber­hasil ketemu Bagir ketika pa­mitan untuk meninggalkan du­nia hakim. Tapi semenjak me­nerima uang Probo, dirinya ju­ga tak lagi bertemu. dengan Ba­gir.
Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presiders Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan dengan Bagir. Sama sekali belum pernah atau melakukan hubungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membuktikan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Belum sa­tu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum mener­ima sesuatu apapun.
Berarti dalam serangkaian peristiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak meng­ambil peran. Dirinya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. De­ngan posisi seperti itu, berarti Bagir bu­kan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sa­ma sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu. kok KPK tetap ngotot untuk mela­kukan pemeriksaan terhadap Bagir? Yang jelas pemeriksaan yang dilakukan di ruangan kerjanya itu tegas telah men­dudukkan Bagir sebagai saksi.

Harifin A Tumpa, Direktur Hukum Pi­dana MA menegaskan, KPK mencoba mencari keterangan kepada Ba­gir tentang kehadiran Harini waktu menemuinya. Termasuk meneliti prosedur penerimaan tamudi MA. Itulah yang jadi target KPK.

Namun, fakta itu menegas­kan bahwa lembaga ini tak mengindahkan aturan hukum formal. Hal itu ditegaskan Ma­yasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. "Kalau Bagir dipe­riksa sebagai saksi, apa landa­san hukumnya," ujarnya me­ngomentari.
Protes senada juga datang dari Indra Sahnun Lubis. Ketua umum Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) itu tidak mengerti dengan kinerja KPK yang memeriksa Bagir. "Ini semakin menunjukkan bahwa KPK adalah lembaga yang tidak profesional," ujarnya kepada FORUM. Pasalnya, sam­bung Sahnun, tidak ada satupun fakta hukum yang membuktikan Bagir terlibat dalam peristiwa ini. "KPK telah merun­tuhkan martabat Mah-kamah Agung," katanya tegas.

Namun Otto Hasibuan berkomentar berbeda. Ketua umum Perhimpunan Ad­vokat Indonesia (PERADI) itu justru bisa memaklumi dilakukannya pemeriksaan terhadap Bagir. "Hanya saja tidak perlu diumumkan ke publik," tandasnya kepa­da FORUM. Hal itu, katanya lagi, demi pengungkapan tindak pidana korupsi yang telah terjadi di lembaga tinggi nega­ra itu. Namun Otto mengharapkan agar KPK juga turut menjaga wibawa lemba­ga peradilan. "Tentunya demi menegak­kan supremasi hukum di negeri ini agar tidak semakin runtuh," katanya.

Yang jelas, menguaknya peristiwa ini hanya disebabkan nyanyian dari Probo­sutedjo. Bulan lalu. laki-laki itu telah memberikan gambaran akan praktek pe­merasan yang dialaminya selaku terdak­wa. Dirinya berupaya bisa bebas dari hu­kuman. Termasuk melakukan upaya praktek penyuapan. Berarti secara hu­kum Probo telah berkehendak untuk me­lakukan tindak pidana (onmagh). Sa­yangnya, hingga kini tokoh Orde Baru itu tetap anteng di rumahnya. Belum ada sa­tupun lembaga yang menyatakan dirinya sebagai pelaku tindak pidana. Termasuk KPK..

Wawancara Maiyasjak Johan, anggota Komisi III DPR

Maiyasjak Johan, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI :
“MA dan KPK Tidak Sederajat”

Peristiwa hukum yang menimpa Ketua MA, Bagir Manan merupa­kan masalah menarik. Baru kali pertama sejak bangsa ini berdiri. Karena itu, penyeles­aiannya pun masih mengun­dang perdebatan. Di satu pi­hak banyak yang mengingin­kan agar Ketua MA itu dipe­riksa. Tapi ternyata secara hukum ketatanegaraan, posisinya adalah pemegang kekuasaan tertinggi yudika­tif. Berarti sama dengan Pre­siden sebagai pemegang ke­kuasaan eksekutif. Nah, bila Presiden melakukan pelang­garan hukum, maka proses­nya juga tidak sama. Dia le­bih dulu menghadapi im­peachment. Bukan langsung diadili. Harusnya Ketua MA juga berada dalam posisi yang sama. Karena sifatnya adalah sejajar. Hal itu jelaskan secara gamblang oleh Maiyasjak Johan. Laki­laki yang juga berprofesi sebagai pen­gacara ini menjelaskan berdasarkan filosofis hukum. Termasuk memberi jalan keluar polemik yang terjadi. Seperti apa pendapatnya, berikut petikan wawan­caranya dengan Irawan Santoso dari FORUM.

Bagaimana pandangan anda meni­lai penseteruan antara Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK) dan Mahka­mah Agung (MA) ini?
Saya melihat masalah ini bukan se­buah konflik antara KPK dan MA. Ini persoalan yang menarik. Karena secara kademis ini pengalaman pertama bangsa ini dimana penyidik (KPK-red) harus menghadapi pemegang kekuasaan yudi­sial (MA). Nah, kita belum pernah punya pengalaman dengan kasus seperti ini. Ja­di modal yang kita miliki adalah hanya­lah pengetahuan hukum. Kita berharap pengetahuan hukum inilah yang bisa menuntun kita untuk menyelesaikan persoalan ini.

Apa ukuran yang dipakai untuk melihat hal tersebut?
Ukurannya ada tiga hal. Pertama, norma hukum. Kedua, fatsun dan ketiga konsistensi penegakan hukum.

Anda mengatakan bahwa KPK ha­nyalah sebuah subsistem sedangkan MA merupakan sistem, apa maksud­nya?
Kita hidup dalam suatu negara. Nega­ra itu merupakan organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi kekuasaan, sejarah mengajarkan, secara akademis lahirlah adagium bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan. Agar tidak terjadi ke­cenderungan kekuasaan, lambat laun la­hirlah teori yang berdasarkan pengala­man hidup orang. Karena pada mulanya negara dipimpin oleh seorang raja. Ada­gium yang lahir kala itu adalah The King Can Do No Wrong. Kemudian bergeser la­gi dengan jangka waktu yang lama bahkan sampai terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II, mem­berikan pengalaman yang sangat berharga tentang ke­kuasaan yang tidak terken­dali. Sehingga pada abad itu lahirlah teori JJ Rosseou hingga. Montesque. Teori kontrak social. Kemudian se­buah organisasi kekuasaan itu dikenal sebagai sebuah sistem. Sistem itu kemudian dikenal sebagai checks and balances system. Akhirnya kekuasaan dalam suatu ne­gara dipecah menjadi tiga. Kekuasaan membuat UU ada dalam parlemen. Kekua­saan untuk menjalankan UU ada dalam eksekutif dan kekuasaan untuk menjaga jalannya UU ada dalam yu­dikatif. Jadi MA berada pada sistem di yudikatif. Sedangkan KPK hanya berada dalam subsistem eksekutif. Jadi jelas secara ketatanegaraan, posisi antara MA dan KPK tidaklah sama.
Kalau begitu, apakah KPK tidak diperbolehkan menggeledah MA yang konon berada diatasnya?
Pertanyaan itu sama dengan, bisakah Istana Presiden di geledah? Tidak bisa dong. Untuk bisa melakukannya, tentu ada aturan main tersendiri. Tapi Indone­sia belum memiliki pengalaman. Walau­pun begitu, bukan otomatis secara mu­tlak tidak bisa digeledah. Kita contohkan pada Amerika. Di Amerika penggeleda­han terhadap Gedung Putih dilakukan dengan membentuk Jaksa Khusus. Itu pernah dalam kasus Clinton, Kenneth Star. Jadi jaksa yang ditunjuk bukan jak­sa yang biasa. Mesti Jaksa Khusus.

Tapi kan KPK memiliki hak-hak khusus sehingga disebut superbody, berarti kan bisa melakukan hal-hal khusus juga?
Boleh saja KPK mengatakan dirinya superbody. Seyogyanya, dalam suatu ne­gara diharamkan adanya kekuasaan yang bersifat 'super'. Karena, kalau ada yang super berarti ada yang imperior. Ja­di penggunaan istilah itu hanya pemaka­ian terminologi yang hasil lompatan dari terminologi yang ekstrim dengan termo­nologi lainnya.
Seemergency bagaimanapun keadaan negara, sistem harus dijaga. Sistem tidak boleh rusak. Oleh karena itu keadaan ­keadaan khusus seperti ini biasanya di­tanggulangi oleh tim ad hoc. Nah, kini ada sebuah peristiwa hukum yang me­nunjukkan adanya dugaan terhadap Ke­tua MA. Nah kata 'dugaan' adalah sebu­ah suku kata yang biasanya dipakai da­lam penyelidikan. Kalau proses penyeh­dikan adalah bagian yang paling awal da­ri proses penegakan hukum, pertanyaan­nya, bisakah proses tersebut dilakukan dengan melakukan pelanggaran hukum.

Lalu apa yang salah terhadap pe­nyidikan yang dilakukan oleh KPK itu?
Dalam penyelidikan, asas yang paling fundamental adalah presumtion of inno­cent. Praduga tak bersalah. Asas ini ha­rus diletakkan pada to subjek. Bukan pa­da to avvidendts (alat bukti). Pada kasus ini, barang buktinya ada pada sebuah institusi yakni MA. MA itu adalah peme­gang kekuasaan tertinggi dalam yudika­tif. Kalau kita lihat, posisi MA dalam pe­merintahan kita, kedudukan MA sebagai pemegang kekuasaan. Teorinya seubah konfergensi separation of power (pemisa­han kekuasaan). Nah, KPK berada da­lam sistem mana? Jawabannya dalam praktek pemerintahan KPK adalah ba­gian dari sub sistem eksekutif. Dia meru­pakan kuasi dari eksekutif itu. Bukan berarti bertanggungjawab langsung ke­pada Presiden. Seperti BPK misalnya, lembaga itu merupakan sub sistem dari Parlemen. Jadi KPK juga seperti itu. Ma­ka bagaimana logikanya bila sub sistem melanggar sistem? Lalu apakah MA ti­dak bisa diperiksa? Bukan itu permasala­hannya. Saya hanya ingin melindungi rakyat dari kemungkinan terjelek. Bu­kan untuk membela satu subjek.

Tapi kan banyak pihak yang meng­inginkan KPK tetap melakukan pe­meriksaan terhadap Ketua MA?
Peristiwa itu memang terjadi. Saya ingin katakan, secara psyco, politik sesuai dengan suara orang banyak (massa). Tapi hukum itu bukan bicara suara orang ba­nyak. Karena suara orang banyak itu, di Bekasi seorang pencuri, maka dibakar. Itulah kalau mengikuti suara orang ba­nyak. Nah, untuk menghindarkan hal itulah hukum lahir. Agar segala masalah bisa ditangani secara beradab.

Berarti ada penyingkiran dari sub­stansi?
Di sinilah dilemanya. Antara substansi dengan prosedur. Sejarah ilmu hukum di dunia, tak satu pun yang mentolerir pe­langgaran hukum. Itu dibuktikan dengan keluarnya adagium "Lebih bagus membe­baskan seribu orang bersalah ketimbang menghukum satu orang tidak bersalah". Ini membuktikan bahwa untuk mencegah kekuasaan sekecil apapun jika diberikan kesempatan untuk dipakai tanpa batas pasti akan cenderung disalahgunakan. Persoalannya adalah orang akan kata­kan bahwa KPK memiliki bukti. Tapi me­nurut saya, proses ini belum sampai ke pengadilan. Silahkan kalau KPK me­miliki bukti. Karena itu proses harus dilakukan. Tapi untuk membuktikan, ha­nya bisa dilakukan di depan pengadilan. Jadi jangan sampai melahirkan "lemba­ga-lembaga peradilan" baru lagi.

Dalam posisi seperti itu, KPK telah salah langkah dengan menyudutkan Bagir?
Orang harus dalam posisi merdeka da­lam memberikan keterangan apapun. Ketika itulah baru kita bisa disebut da­lam posisi beradab. Karena bisa meng­hargai. sesama manusia. Ketika kita ber­diri dalam posisi berkuasa dan orang ber­ada dalam posisi suspect kemudian kita menggunakan kekuasaan kita, pada hari itulah kita berarti telah membunuh ma­nusia. Karena itu untuk menjadi penyi­dik itu bukan persyaratan yang mudah. Yang dibutuhkan adalah orang terbaik. Pengertian orang terbaik itu adalah orang yang memiliki pengetahuan. Tetapi juga harus paham seni dari pengetahuan itu.

Anda membela Ketua MA?
Saya bukan berada dalam posisi untuk membela satu lembaga. Tapi hanya ingin menyempurnakan. Karena kita memang tidak punya pengalaman yang cukup da­lam memproses orang-orang yang meme­gang kekuasaan secara hukum. Tidak pernah.

Terhadap langkah KPK yang me­manggil Bagir Manan untuk dimin­tai keterangannya, apakah hal itu dibenarkan?
Kembali dilematis. Kalau seandainya Presiden melakukan kesalahan. Makes prosesnya adalah melalui impeachment. Pertanyannya, bagaimana jika seorang Ketua MA yang berada dalam posisi yang sama? Jadi harus berusaha memikirkan masalah ini dengan jernih. Kita jangan sampai merusak sistem. Tapi bagaimana agar mekanismenya dibuat. Prosedurnya itu harus sedemikian rupa. Jadi kalau ki­ta lihat kondisi yang ada sekarang me­nunjukkan dengan jelas kepada kita bah­wa saat ini bangsa ini masih President oriented. Kita memang menganut sistem presidensial. Tapi bukan berarti harus President oriented. Semua orang memang harus bersifat sama kedudukannya da­lam hukum. Tapi kata "sama" tadi lahir dan diterjemahkan dalam posisi sistem.
Dan itulah sebabnya di beberapa nega­ra, mereka menyelesaikannya secara ber­adab. Lahirlah sebuah tradisi hukum yang namanya disebut jurisprudensi. Jadi ki­ta belum pernah dalam sejarah ketatane­garaan selama 60 tahun, kejadian ini ba­ru pertama kali. Tentunya yang me­nyangkut Ketua MA. Bukan berarti Ke­tua MA tak boleh disentuh. Saya tidak setuju juga. Kalau itu yang terjadi maka akan melanggar sistem check and balan­ces. Jadi itukan segitiga yang simbiosis. Yang sederajat. Presiden bisa dijatuhkan lewat impeachment. Ketua DPR juga bisa diproses secara hukum. Begitu juga de­ngan Ketua MA. Tapi ingat, caranya tentu berbeda.
Tapi kan belum ada undang-un­dang yang mengatur proses hukum terhadap Ketua MA?
UU itu tidak bisa dibuat semuanya. Amerika itu tidak kaya dengan UU. Tapi mereka lebih kaya terhadap jurispruden­si. Jusrisprudensi itu kan melahirkan adagium-adagium baru. Itulah yang dise­but star decisis. Kalau di Indonesia dise­but dengan landmark decision. Artinya kasus-kasus besar yang bisa dijadikan contoh. Hanya kesulitan yang paling be­sar adalah bangsa ini berani meletakkan penyelesaian persoalan ini kepada orang yang tidak ahli hukum yakni KPK.

Jadi, terhadap penggeledahan itu MA bisa melakukan praperadilan?
Ke depan masalah ini bakal tambah ru­mit. Kalau seandainya, MA melakukan itu, atau pengadilan menyatakan pengge­ledahan itu tidak sah, orang pasti menga­takan itu merupakan subjektifitas lemba­ga peradilan. Kita tidak boleh membiar­kan pendapat seperti ini berkembang. Karena yang paling sulit itu adalah logi­ka awam yang kurang mengerti hukum berhadapan dengan logika hukum. Pada­hal logika hukum itu harus prosedural dan tertib. Logika awam itu adalah pera­saan semata. Padahal logika hukum un­tuk menjaga agar jangan sampai berkem­bang perilaku sewenang-wenang. Jadi tu­juan logika hukum itu melindungi semua orang.

Terhadap posisi kasusnya, Anda menilai memang ada kertlibatan da­ri sejumlah hakim agung itu?
Mari kita lihat dari kedudukan ma­sing-masing. Kedudukan Probo, Harini, dan Pono Cs. Probo secara hukum orang yang punya motif melakukan tindak pi­dana. Karena dia yang punya motif, ma­ka posisinya minimal adalah penyuap. Karena motifnya itu di manupulate. Ke­dua, dia juga punya motif ingin bebas, motifnya itulah yang di manipulate oleh Harini dan Pono Cs. Itu bisa dilihat dari pengacara yang dia pakai, Harini. Penga­cara yang punya akses ke lembaga pe­ngadilan. Karena dianggapnya dia seba­gai orang yang punya akses, maka “dipa­kainya”. Ternyata Harini tidak memiliki akses langsung kepada Majelis hakim. Melainkan dia menggunakan Pono Cs. Dengan begitu kelihatanlah ini merupa­kan manipulasi situasi. Kasus posisinya adalah Pono dan Harini berada dalam po­sisi dader bersama-sama memanipulasi keadaan. Bahasa hukumnya menyalah­gunakan keadaan. Keadaan pertama adalah memanipulasi motifnya keingi­nan Probo. Kedua adalah memanfaatkan keadaan Pono sebagai pegawai dan kedu­dukannya sebagai mantan hakim.

Jadi posisi Bagir sebagai saksi ju­ga tidak tepat sama sekali?
Nah, mereka itu kan tertangkap ta­ngan. Untuk kejadian seperti itu saksi otomatis tidak diperlukan. Saksi verbal. Saksinya adalah penyidik yang me­nangkap mereka itu saja. Tidak ada hu­bungannya dengan majelis hakim itu.

Mengapa anda lebih menyarankan untuk melakukan pendekatan sis­tem untuk menyelesaikan masalah ini?
Kenapa harus ada pendekatan sistem. Karena kita ingin membangun tradisi pe­negakan hukum. Inilah yang saga sebut­kan sebagai kultur. Sehingga kita tahu bagaimana penegakan hukum secara be­nar.

Sebagai Apa Bagir Diperiksa?

Bagir Manan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal dirinya bukanlah tergolong sebagai saksi. KPK melabrak aturan hukum?

Jumat pekan lalu, gedung Mahkamah Agung kembali mencatat sejarah. Baru pertama kalinya se­jak bangsa ini berdiri, MA didatangi penyidik. Tak tangg-ung-tanggung, yang di­periksa langsung adalah Ketua MA, Ba­gir Manan. Bagir diperiksa dengan status sebagai saksi. Saksi atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan lima orang ang­gotanya yakni Pono Waluyo, Suhartoyo (wakil sekretaris Korpri), Sriyadi (staf ba­gian perdata), Sudi Abroad (staf Korpri), dan Malem Pagi Sinuhaji (Kepala Biro Umum dan kepegawaian). Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya. Secara hukum, apakah penempatan Ketua MA itu sebagai saksi telah sesuai? Untuk me­ngetahui hal itu, maka diperlukan anali­sis secara juridis.

Untuk membaca hal itu maka perlu di­lihat dulu posisi kasusnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan ter­hadap enam orang. Selain lima orang pe­gawai MA itu, satu orang lagi adalah Ha­rini Wijoso. Harini adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pe­ngacara Probosutedjo untuk kasus dana reboisasi. Harini kemudian mempraktek­kan cara beracara yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis hakim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Manan. Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya untuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesai­kannya sendirian. Dirinya mental. Ter­bukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bulan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya te­lah “membunyikannya” kepada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.

Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi keinginan Harini. Pono menurunkan “order” itu ke beberapa re­kannya. di- MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengontak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono meminta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiapkan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kardus. Sato kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ter­nyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sem­pat membawa uang itu kerumahnya.

Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-masing. Sewaktu ditang­kap, Pono ternyata tak menampik. Sama seperti Harini. Berarti enam orang tersebut terbukti telah tertangkap tangan. Berda­sarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menangkap mereka tanpa surat perintah.

Kasus pun berkembang. Setelah mela­kukan penangkapan, KPK tentunya me­miliki bukti awal. Yakni berupa uang yang ditangan Pono dan Harini. Lalu ka­sus dikembangkan dengan meminta ke­terangan dari yang tertangkap. Dari si­nilah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang terlibat dalam tindak pidana itu.

Dari keterangan Pono, disebutkan bah­wa dirinya mengakui meminta uang ke­pada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mu­lut Harini. Pengacara itulah yang mem­bawa Pono menemui Probo. Dia melaku­kannya. karena Pono mengucapkan bah­wa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.

Lalu dilihat pula dari keterangan Pro­bosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Pro­bo memang memberi uang kepada Pono. Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki-laki itu memang su­ruhan Bagir. Namun, walaupun belum seratus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlah­nya sangat besar.

Dari basil keterangan itu, maka bisa diambil kesimpulan tentang status Bagir. Karena Bagir dianggap sebagai saksi, maka dirinya mesti memenuhi unsur yang termaktub dalam KUHAP Nah, da­lam Pasal 1 ayat (12) disebutkan “saksi adalah orang yang dapat memberikan ke­terangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Berarti unsurnya ada tiga hal. Mendengar, me­lihat, dan mengalami. Lalu dari serangkaian peristiwa itu, di­manakan posisi Bagir? Apakah ia tergo­long orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap me­nyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari bukti awal dan keterangan dari yang ter­tangkap serta keterangan Probo.

Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku ti­dak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang rnerasa pernah bertemu dengan Ketua MA itu.

Setali tiga uang dengan Ha­rini. Pengacara ini hanya ber­hasil ketemu Bagir ketika pa­mitan untuk meninggalkan du­nia hakim. Tapi semenjak me­nerima uang Probo, dirinya ju­ga tak lagi bertemu. dengan Ba­gir.
Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presiders Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan dengan Bagir. Sama sekali belum pernah atau melakukan hubungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membuktikan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Belum sa­tu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum mener­ima sesuatu apapun.
Berarti dalam serangkaian peristiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak meng­ambil peran. Dirinya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. De­ngan posisi seperti itu, berarti Bagir bu­kan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sa­ma sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu. kok KPK tetap ngotot untuk mela­kukan pemeriksaan terhadap Bagir? Yang jelas pemeriksaan yang dilakukan di ruangan kerjanya itu tegas telah men­dudukkan Bagir sebagai saksi.

Harifin A Tumpa, Direktur Hukum Pi­dana MA menegaskan, KPK mencoba mencari keterangan kepada Ba­gir tentang kehadiran Harini waktu menemuinya. Termasuk meneliti prosedur penerimaan tamudi MA. Itulah yang jadi target KPK.

Namun, fakta itu menegas­kan bahwa lembaga ini tak mengindahkan aturan hukum formal. Hal itu ditegaskan Ma­yasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. "Kalau Bagir dipe­riksa sebagai saksi, apa landa­san hukumnya," ujarnya me­ngomentari.
Protes senada juga datang dari Indra Sahnun Lubis. Ketua umum Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) itu tidak mengerti dengan kinerja KPK yang memeriksa Bagir. "Ini semakin menunjukkan bahwa KPK adalah lembaga yang tidak profesional," ujarnya kepada FORUM. Pasalnya, sam­bung Sahnun, tidak ada satupun fakta hukum yang membuktikan Bagir terlibat dalam peristiwa ini. "KPK telah merun­tuhkan martabat Mah-kamah Agung," katanya tegas.

Namun Otto Hasibuan berkomentar berbeda. Ketua umum Perhimpunan Ad­vokat Indonesia (PERADI) itu justru bisa memaklumi dilakukannya pemeriksaan terhadap Bagir. "Hanya saja tidak perlu diumumkan ke publik," tandasnya kepa­da FORUM. Hal itu, katanya lagi, demi pengungkapan tindak pidana korupsi yang telah terjadi di lembaga tinggi nega­ra itu. Namun Otto mengharapkan agar KPK juga turut menjaga wibawa lemba­ga peradilan. "Tentunya demi menegak­kan supremasi hukum di negeri ini agar tidak semakin runtuh," katanya.

Yang jelas, menguaknya peristiwa ini hanya disebabkan nyanyian dari Probo­sutedjo. Bulan lalu. laki-laki itu telah memberikan gambaran akan praktek pe­merasan yang dialaminya selaku terdak­wa. Dirinya berupaya bisa bebas dari hu­kuman. Termasuk melakukan upaya praktek penyuapan. Berarti secara hu­kum Probo telah berkehendak untuk me­lakukan tindak pidana (onmagh). Sa­yangnya, hingga kini tokoh Orde Baru itu tetap anteng di rumahnya. Belum ada sa­tupun lembaga yang menyatakan dirinya sebagai pelaku tindak pidana. Termasuk KPK..

MA dan KY Perang,MK yang Menang

Uji materi terhadap Undang­-undang Komisi Yudisial diputus. Perang Mahkamah agung vs Komisi Yudisial jalan terns. Hakim konstitusi aman.

Tak ada wajah sumringah di Mah­kamah Konstitusi. Hari itu, Rabu pekan lalu, padahal diputus per­kara yang cukup penting. Uji materil un­dang-undang no. 22 tahun 2004 tentang komisi Yudisial. Beleid itulah yang se­belumnya dimohonkan untuk dihapus­kan oleh 31 hakim agung.

Memang tak semua pasal yang dimohonkan. Hanya sebagian saja. Khususnya yang ada kata "hakim" didalamnya. Para hakim agung itu meminta agar hakim yang di beleid itu mesti dinyatakan bertentangan den­gan UTD 1945. Khususnya Pasal 24B.
Nah, di hari itu, sembilan hakim MK membacakan putusannya. Sejumlah pa­kar hukum pun berdatangan. Banyak yang menantikan. Wajar memang. Kare­na perkara ini sudah bergulir hampir lima bulan di MK. Sepanjang sejarah, per­kara inilah yang paling lama diselesai­kan hakim MK.

Di pihak MA, sejumlah hakim agung pun menunjukkan batang hidungnya. Ada Harifin A Tumpa. Dia ini sebagai ke­tua muda bidang perdata di MA. Ada juga Prof Rehngena Purba. Dia salah seo­rang hakim agung wanita. Lalu hakim agung Abdurrahman juga tak mau ketinggalan. Mereka itulah yang mewakili pihak pemohon.

Ternyata para hakim agung itu tak sen­dirian. Mereka juga membawa serta se­jumlah pengacara. Ada Denny Kailimang, OC Kaligis dan Indryanto Seno Adji.

Di pihak KY, tak mau. kalah. Memang tak semua anggota KY yang nadir. Cuma ada Soekotjo Suparto saja. Tapi pengaca­ra yang mendampinginya juga tak kalah kaliber. Bambang Widjojanto dan Amir Syamsuddin ada dibelakangriya. Mereka pun tegun menyaksikan sembilan hakim MK bergantian membacakan putusan.

Sepanjang putusan dibacakan, terlihat ketegangan melanda orang-orang itu. Pa­salnya putusan ini diharapkan bisa mem­beri jalan keluar. Hanya saja, tak satu orang pun mengetahui pihak yang bakal dimenangkan MK.

Hingga ketika Jimly Ashidiqie menge­luarkan suara. Laki-laki inilah yang jadi ketua majelis hakimnya. Jimly pun me­ngeluarkan sejumlah titah. Dia memba­cakan kesimpulan dari putusan itu. Ha­silnya ternyata mencengangkan. Tak ha­nya kalangan hakim agung semata. Tapi juga dipihak KY.

Pasalnya putusan yang dikeluarkan, tak mereka sangka-sangka. Di luar duga­an. Tak percaya? Simak saja isi putusan yang dibacakan Jimly itu.

Pertama, permohonan 31 hakim agung Sepanjang yang menyangkut perluasan pe­ngertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim kons­titusi, terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga permohonan pemo­hon harus dikabulkan, tegas Jimly. Ber­arti, sambung Jimly lagi, untuk selanjut­nya hakim konstitusi tidak lagi termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY.

Alasannya, pengawasan oleh hakim konstitusi dilakukan oleh majelis kehor­matan tersendiri. Dasarnya adalah Pasal 23 UU MK. Beleid itu, Jimly lagi, sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 itu. "Untuk selanjutnya, kedudukan MK sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang ke­wenangannya diberikan oleh UUD, ter­masuk sengketa yang melibatkan MA dan KY, tidak lagi terganggu akibat di­perluasnya pengertian hakim yang me­liputi hakim konstitusi tersebut," Jimly menerangkan.

Justru permohonan yang menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) LTTD 1945 yang meliputi hakim agung, dianggap tidak cukup beralasan. Jimly pun menguraikan alasannya. Me­nurutnya, sama sekali tidak dapat dite­mukan dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. "Pembentuk undang-un­dang dapat saja menentukan bahwa un­tuk kepentingan pembinaan bertahap dan kepentingan jangka panjang berda­sarkan pertimbangan teleologis bahwa di masa depan apabila seluruh hakim agung sudah merupakan produk rekrut­men oleh KY, maka untuk pengawasan cukuplah bagi KY mengurusi perilaku etik hakim dibawah hakim agung," te­rangnya. Nah, sambung Jimly lagi, hal itu tidaklah dianggap bertentangan de­ngan UUD 1945.

Namun sebaliknya. Jika UU menen­tukan, Jimly menguraikan lagi, bahwa hakim agung termasuk kedalam pengert­ian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY, maka MK berpendapat hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi para hakim agung yang seka­rang juga tidak direkrut berdasarkan ketentuan baru yang melibatkan peran KY sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, kata Jimly. Pilihan kebijakan hu­kum yang demikian, menurut MK, juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Bukan itu saja. MK juga memberikan titahnya perihal prosedur pengawasan yang selama ini dijalankan oleh KY. Me­nurutnya, perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY mengenai wewe­nang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan ru­musan kalimat yang berbeda. Sehingga menimbulkan masalah dalam penorma­annya dalam UU KY yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzeker­heid), urai Jimly. Beleid itu berbunyi
"Dalam melaksanakan wewenang seba­gaimana dimaksud dalam Pasal 13 hu­ruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap peri­laku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat ser­ta menjaga perilaku hakim". Perumusan aturan inilah yang dianggap tidak tegas oleh MK.

Selain itu, UU KY juga dinilai terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan. “Tidak jelas dan tegas me­nentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan," tegas Jimly. Hal itu, sambungnya lagi, menga­kibatkan semua ketentuan KY mengenai pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hu­kum dalam pelaksanaannya..

Selain itu, masih menurut Jimly, kon­sepsi pengawasan yang terkandung da­lam UU KY didasarkan atas paradigma yang tidak tepat. "Seolah-olah hubungan antara MA dan KY berada dalam pola hu­bungan checks and balances antar cabang kekuasaan (separation of power) sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak te­pat terutama dalam pelaksanaannya," ujarnya. Jika hal ini dibiarkan tanpa pe­nyelesaian, katanya lagi, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara MA dan KY akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat. "Yang ada pad gilirannya juga dapat mendele­gitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin ti­dak dipercaya."jelasnya.
Pastinva. MK menyalahkan sepenuh­nya UU KY yang dianggap masih banyak kerancuan. “Harus dilakukan proses per­ubahan undang-undang sebagaimana mestinva.” kata Jimly dalam putusan itu. Khususnya, sambungnya lagi, yang ber­kaitan dengan ketentuan mengenai peng­awasan perilaku hakim Alasan inilah yang membuat MK kemudian mereko­mendasikan kepada DPR dan Presiden untuk mengambil langkah-langkah demi penyempurnaan UU KY.
Nah, putusan inilah yang memang tak disangka-sangka itu. Kedua pihak pun terperangah.

Untung saja, dipihak KY le­gowo atas putusan MK tersebut. "Kita akan mematuhi putusan ini," kata Soek­otjo kepada FORUM. Begitu juga di pi­hak MA. Harifin menjelaskan pihaknya juga akan tetap menerima putusan tersebut. "Karena putusan itukan berlaku mengikat, jadi tetap kita patuhi," ujarnya kepada FORUM.

Menariknya, dengan keluarnya putusan MK ini berarti KY tidak lagi bisa mengawasi para hakim agung. Itu sepan­jang belum ada perubahan terhadap UU KY tersebut. Inilah yang membuat se­jumlah pihak menafsirkan MK sedikit "membela" MA. Namun yang lebih diun­tungkan adalah pihak MK sendiri. Kare­na hakim konstitusi secara terang dinyatakan tidak lagi termasuk dalam objek pengawasan KY. Fakta ini tentu tak men­jamin perseteruan antara MA dan KY mereda.

Namun pandangan berbeda datang dari Mayasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. Dia menilai, memang saat ini ada kecenderungan yang berbeda dalam praktik hukum kita. "Seringkali huku­man secara internal diproses melebihi ke­tentuan yang berlaku," katanya kepada FORUM. Hal seperti itu, sambungnya, bisa merusak tatanan logika hukum yang sudah dibangun secara sistematis. "Jadi antara MA dan KY ini perlu dilihat seca­ra konstitusi, bukan dengan organisato­ris semata," ujarnya lagi. Bila kedua lem­baga itu melihat dengan kacamata seper­ti itu, urainya lagi, niscaya perselisihan yang selama ini terbangun bisa dinafik­kan. Hanya saja, hal itulah yang selama ini menjadi persoalan. Pasalnya tak se­dikit pula yang menilai sebagian pihak justru bekerja demi sebuah popularitas. Bukan melakukan fungsinya sebagai pengawas. Alhasil, perang berkepanjang­an pun tak bisa terselesaikan hingga kini.

Pengadilan Tingkat Lima

Komisi Yudisial menjelma menjadi pengadilan tingkat lima. Banyak masyarakat yang melapor, tapi tak dibatasi. Tatanan hokum bisa rusak.

Raut wajah Robert Sudjasmin ter­lihat gembira. Terlebih setelah dia baru saja keluar dari ruang­an pengaduan Komisi Yudisial. Dokter itu seolah memiliki harapan lagi. Tentu seputar kasus yang pernah disengketa­kannya.

Medio Februari 2006 lalu, dia baru saja melaporkan seorang hakim. agung. Mari­anna Sutadi namanya. Jabatannya bu­kan kecil. Wakil Ketua Mahkamah A­gung. Tapi Robert tetap yakin melapor­kan Marianna itu. Hanya saja, Marianna dilaporkan bukan dalam kapasitas sebagai hakim agung. Melainkan ketika menjadi hakim anggota di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Waktu itu, cerita Robert, Mari­anna-lah yang memegang perkara ban­dingnya pada tahun 1993. "Saya baru se­karang ini melaporkan mereka ke KY ka­rena baru menemukan novum (bukti ba­ru-red) yang menguatkan adanya kejang­galan dalam putusan kedua hakim tersebut," ujar Robert. Namun, Robert tidak bersedia novum yang dimilikinya itu. Cuma Robert yakin. "Sudan saya sampai­kan kepada pihak KY. Bukti itu menun­jukkan ada penerimaan suap oleh kedua hakim yang saya laporkan itu," jelasnya.

Kasusnya memang telah usang. Mula­nya laki-laki itu memenangkan lelang tanah seluas 8.320 meter persegi senilai Rp 629,4 juta pada 5 Maret 1990 yang diselenggarakan oleh kantor lelang ne­gara. Namun saat ia mengajukan Surat Ijin Permohonan Penggunaan Tanah (SIPPT) ke Sudin Tata Kota Jakarta Uta­ra, tanah yang berlokasi di Pegangsaan Dua itu dikatakan masih terletak dalam SIPPT milik PT Summarecon Agung. PT Summarecon Agung mendalihkan lokasi tanah itu telah dibebaskan dengan bukti Girik C No. 868 atas nama Saimun bin Nawir.
Tetapi surat keterangan yang dikeluar­kan Kantor Pelayanan Pajak PBB Jakar­ta Utara menyatakan girik atas nama Saimun itu bukan berlokasi di Pegang­saan Dua, namun di daerah Petukangan, Jakarta Selatan.

Sedangkan tanah di daerah Pegang­saan Dua, Jakarta Utara, yang dimenan­gi Robert melalui kantor lelang negara yang juga diklaim sebagai milik PT Sum­marecon Agung tercatat atas nama Ab­dullah Naman dan bemomor girik C No 1090. "Dari kedua data tersebut, jelas ke­dua girik yang dimiliki oleh saya dan PT Summarecon Agung adalah dua lokasi yang berbeda," ujar Robert.

Inilah yang membuat Robert menggu­gat ke pengadilan. Namun, dia kalah. Marianna yang dituduh sebagai biang ke­ladinya. Kini, walau sudah berlangsung 14 tahun, tiba-tiba saja Robert seolah mendapat cara baru. Komisi Yudisial jadi tujuannya.

Dia pun berharap lembaga itu mampu menolongnya. Hingga tanahnya bisa kembali kepangkuannya. Harapan seper­ti itu ternyata tak hanya ada di benak Ro­bert seorang. Ribuan orang melaporkan kasusnya ke Komisi Yudisial. Busyro Muqqodas, ketua KY berujar, laporan yang masuk ke KY sekitar 700-an. Yang tertangani bari sepertinya saja.

Busyro mengakui tak ada pembatasan setiap laporan yang diajukan. "Kita tetap menerima setiap laporan yang masuk," ujarnya beberapa waktu lalu kepada FORUM. Berarti tak satupun perkara bi­asa ditolak KY. Inilah yang membuat tum­pukan perkara mulai agak mengggunung.

Disisi lain, ternyata kekhawatiran mu­lai terjadi. Tepatnya di MA. Di sana ha­kim agung,sempat mengeluh terhadap si­kap KY itu. "Kok jadi seperti pengadilan tingkat lima saja," kata Djoko Sarwoko, juru bicara MA seperti yang pernah diu­tarakannya kepada FORUM. Maksud­nya, sambung Djoko lagi, banyak masya­rakat yang melaporkan hakimnya sete­lah mengalami kekalahan di tingkat per­tama, banding, kasasi dan PK. "Sayang­nya KY tidak memilah-milah setiap lapo­ran yang masuk, ini sama saja dengan pengadilan tingkat lima," ujarnya lagi.
Padahal, sambungnya, mestinya KY hanyalah sebatas lembaga pengawas ha­kim. Utamanya lagi adalah menjaga barkat dan martabat hakim. "Tapi kok se­perti itu," cerita Djoko lagi.
Hanya saja, hal itu dibantah oleh Tha­hir Saimima. Wakil Ketua KY itu tak se­pakat bila lembaganya itu disebutkan se­bagai pengadilan tingkat lima. Setup la­poran dari masyarakat yang masuk, ka­tanya, memang tetap diterima. "Tapi ke­mudian diseleksi untuk ditindaklanjuti," ujarnya. Jadi, Thahir lagi, pastinya tak seperti yang dituduhkan oleh koleganya di MA itu.
Memang sah-sah saja Thahir berkata demikian. Namur kegelisahan tetap saja melanda sejumlah hakim agung. Tepat­nya ketika peperangan dua lembaga itu memuncak. Salah seorang hakim agung, Prof. Rehngena Purba sempat menceri­takannya kepada FORUM. Dia mengata­kan banyak hakim agung jadi enggan memutus perkara yang tengah ditanga­ninya. "Karena nantinya bakalan dilaporkan ke Komisi Yudisial," ceritanya kepada FORUM. Hal itu, sambungnya lagi, karena lembaga itu tak membatasi setiap laporan yang diperbolehkan. Jadi, cerita Rehngena lagi, setiap pencari keadilan yang kalah langsung mela­porkan hakimnya ke KY. "Ya jadi tak beda dengan pengadilan tingkat lima," ujarnya lagi.

Keluhan hakim agung itu memang bisa dimengerti. Pasalnya hanya hakim­lah yang memiliki kewenangan untuk menemukan perkara. Tak ada lembaga lain termasuk KY sekalipun. Hanya saja, langkah KY dalam menyikapi laporan yang masuk ternyata memang tak beda ketika seseorang ingin mendaftarkan gu­gatan di pengadilan. Ini bisa dilihat dari syarat-syarat pengajuan laporan yang di­keluarkan lembaga itu. Bagi si pelapor, KY menentukan banyak persyaratan. Antara lain, menyebutkan ke­salahan/penyimpangan hakim, mengu­raikan data-data pendukung yang meru­pakan lampiran yaitu putusan-putusan pengadilan, Surat-Surat bukti, saksi dan lainnya. Pokoknya, tak beda dengan tata cara pengaduan gugatan di pengadilan.
Kejadian inilah yang sempat diprotes berbagai kalangan. Gayus Lumbuun mis­alnya. Anggota Komisi III DPR ini sem­pat menanyakan langkah KY seperti itu. Dia sama sekali tak setuju bila KY ber­peran laiknya pengadilan tingkat lima itu. "Harusnya mereka menjaga harkat dan martabat hakim saja," katanya ber­api-api. Pendapat senada datang dari Mayasjak Johan. Dia ini juga anggota DPR di Komisi III. Menurut laki-laki yang juga berprofesi sebagai pengacara ini, mestinva kekisruhan antara dua lem­baga penegak hukum itu tak perlu terja­di. “Bila aturan main yang sudah ada dijalankan secara benar," ungkapnya.

Lalu siapa sebenarnya yang salah? Me­mang sangat sulit menjawabnya. Pasal­nya kedua lembaga hukum itu juga tak ada yang mau mengaku bersalah. MA merasa dirinya memiliki pengawasan in­ternal. Jadi pengawasan eksternal seper­ti IKY dianggap sebatas penjaga saja. KY sendiri sering bekerja rnelampaui "kewe­nangannya". Hal yang paling aneh ketika lembaga ini memeriksa lima orang ha­kim pengadilan tindak pidana korupsi yang menangani perkara Harini Wijoso. Kala itu, KY memberikan hukuman ke­pada dua hakim karier, Kresna Menon dari Setiyono. Tiga hakim ad hoc yang meninggalkan ruangan persidangan, I Made Hendra Kusumah, Dudu Duswara dan Acmad Linoch sama sekali tak dibe­rikan sanksi apa-apa. Inilah yang mem­buat banyak pakar hukum bertanya-ta­nya. Pasalnya tindakan walk out ala tiga hakim ad hoc itu dianggap sebagai ulah yang melecehkan pengadilan. "Mereka kami nilai membuat terobosan hukum," jelas Thahir tentang hal itu. Disitulah sa­lah satu bukti anehnya lembaga itu.

Hakim kok WO

Tiga orang hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi walk out waktu sidang berlangsung. Ter­masuk contempt of court?

Rabu, 4 Mei 2006. Pagi itu Gedung Uppindo terlihat masih sepi. Pada hari biasa, gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu me­mang tak banyak yang mengunjungi. Dari seluruh gedung, hanya lantai satu saja yang berisi. Itu pun tak terlalu banyak orang.
Pagi itu, suasananya tak beda. Hanya ada beberapa orang yang lalu lalang. Ta­pi di lantai itu, suasana khusuk begitu te­rasa. Hering. Padahal jarum jam menun­juk angka sepuluh siang.
Dinginnya air conditioner semakin membuat suasana senyap. Namun sepi itu mendadak hilang terjadi ketika persi­dangan dibuka. Majelis hakim berjumlah lima orang memasuki ruangan. Di samp­ing kanan, penuntut umum sudah me­nanti. Di depannya, pengacara sudah berjejer dari tadi. Di tengah ruangan, seo­rang perempuan berusia 68 tahun, mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yog­yakarta, duduk sebagai terdakwa. Dialah Harini Wijoso. Dia dituduh melakukan tindak pidana korupsi karena menyuap pegawai negara sewaktu menjadi peng­acara Probosutedjo.

Pagi itu memang persidangan Harini lanjutan. Agendanya masih pemeriksaan saksi. Begitu dibuka hakim, jaksa Kahi­dir Ramly langsung berceloteh. Dia izin berbicara kepada hakim ketua, Kresna Menon. Ramly berkata agak panjang. Se­perti menyampaikan prolog. Intinya, dia bilang bahwa perlunya dihadirkan Bagir Manan sebagai saksi dalam persidangan ini. Di mata Ramly, Ketua Mahkamah Agung itu dianggap, sangat penting dide­ngar kesaksiannya untuk membuktikan kesalahan Harini.

Permintaan Ramly itu ternyata ditam­pik Menon. "Wakil Tuhan" itu tak setuju bila Bagir dihadirkan sebagai saksi. Menon juga beralasan lain. Jadwal sidang di hari itu, katanya, adalah pemeriksaan terdakwa, Harini. Bukan lagi pemerik­saan saksi.
Tak hanya itu. Menurut Menon, sete­lah membaca proses persidangan dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Harini, keterangan Bagir dianggap tidak mem­punyai kekuatan pembuktian. Menon pun menyodorkan dasar hukumnya. Yaitu Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. Isinya, "Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang membe­ratkan terdakwa yang tercantum dalam Surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama ber­langsungnya sidang atau sebelum dija­tuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengarkan saksi tersebut". Nah, Menon menilai kesaksian Bagir tak akan memberatkan atau meringankan Harini. "Jadi tidak perlu," katanya.

Ternyata Ramly tak menerima argu­mentasi Menon. Dia keberatan. "Bagai­mana kami bisa membuktikan dakwaan kami bila Bagir Manan tidak pernah di­hadirkan dalam persidangan," cetusnya. Menon juga demikian. Dia juga tak te­rima Rarnly berkomentar demikian. Tapi sebelum membalas celetukan Ramly itu, mendadak suara datang dari sebelah kiri Menon. Datangnya dari salah seorang anggota majelis hakim. Namanya Ach­mad Linoch. Laki-laki ini tiba-tiba ber­suara. "Interupsi ketua," katanya. Tapi Menon masih tak meladeni. Linoch ber­suara lagi. "Interupsi ketua," katanya.

Menon pun bingung. Dia diserang dua orang. Ramly dan anggotanya sendiri. Spontan dia menjawab. "Sebentar-seben­tar," ujarnya. Begitu ada kesempatan, Linoch pun berkata, "Interupsi Ketua, oleh karena ada pengajuan untuk kedua kalinya dari penuntut umum, sebaiknya kita musyawarah," tandasnya.

"Tidak ada musyawarah lagi," tegas Menon. "Kalau tidak ada musyawarah, maka saya akan mengundurkan diri," ka­ta Linoch. Benar saja. Laki-laki itu lang­sung mematikan pengeras suara dide­pannya. Dia bangkit, beranjak dan ber­jalan kebelakang. Meninggalkan ruang sidang.
Beberapa detik kemudian, hakim ang­gota lain ternyata bersikap lama. Mereka adalah Dudu Duswara dan I Made Kama. Alhasil, meja hakim hanya menyisakan dua orang. Tinggal Menon dan Sutiyono.

Harini yang duduk dikursi terdakwa cuma bengong melihat kej adian yang ber­langsung didepan matanya.

Menon pun bereaksi cepat. Dia lang­sung mengetuk palu dua kali. "sidang di­skors lima menit," katanya. Lalu Menon dan Sutiyono pergi ke belakang.

Lima menit kemudian mereka keluar lagi. Kembali ke ruangan sidang. Begitu masuk, Menon langsung mengeluarkan pernyataan. Dia bermaksud menunda si­dang sepekan kemudian. Tapi pengacara Harini, Effendi sempat berkata-kata. Dia meminta penjelasan tentang ulah diri tiga orang hakim itu. Maksud laki-laki itu, apakah pengunduran diri itu tersebut hanya untuk persidangan hari ini atau­kah mundur dari perkara. Tapi Menon tak menjawab. Tangannya langsung dige­rakkan untuk mengetuk palu tiga kali. Dia langsung menutup sidang dan meny­atakan sidang ditunda sampai minggu depan.

Esoknya, komentar pun berdatangan. Aksi tiga hakim yang walk out (WO) itu pun dikecam. "Itu sudah contemp of court", kata Ketua MA, Bagir Manan kepada FORUM (Lihat Wawancara). Komentar lebih pedas datang dari Indra Sahnun Lubis. "Itu jaksanya goblok, hakim ad hoc-nya bodong," tegas wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) itu.
Memang ketiga hakim yang WO itu berasal dari non karir Istilah­nya hakim ad hoc. Sedangkan Menon dan Sutiyono hakim karier. Sasaran Sahnun tentu saja ditu­jukan pada ketiga hakim yang WO itu.

Tapi lain hal di mata Thahir Saimima, wakil ketua Komisi Yu­disial (KY). Dia justru menilai tin­dakan itu belum tentu tergolong contemp of court. "Kita akan lihat dulu latar belakang masalahnya," tandasnya kepada FORUM. Me­nurut Thahir, KY bakal mela­kukan pemeriksaan terhadap keli­ma hakim itu. "Tapi yang ditekan­kan kepada yang dua (hakim non karier) itu," katanya lagi.

Memang sikap KY seperti itu bisa ditebak. Pasalnya selama ini lembaga itu memang perang pan­jang dengan MA. Salah satunya soal kapasitas lembaga itu untuk memeriksa hakim.Satu hal, merunut komentar Thahrir, berarti bagi hakim-hakim yang ingin WO ketika sidang dige­lar, bukan sebuah pelecehan per­adilan. Benar demikian?


I Made Hendra Kusumah, anggota majelis Hakim Tipikor :
“Kita Bukan Ingin Cari sensasi”

Hakim keluar sewaktu memimpin sidang baru pertama kali terjadi di negeri ini. Tapi Rabu pekan lalu hal itu dipertontonkan oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korup­si (Tipikor). Pelakunya ada tiga orang. Mere­ka adalah Dudu Duswara, Achmad Linoh dan I Made Karna. Para "wakil Tuhan" ini se­ngaja memboikot sidang karena tak sepen­dapat dengan Ketua Majelis hakim, Kresna Menon. Tapi, tindakan itu bukan tanpa alas-an. I Made Karna pun menjelaskannya. Kepada irawan Santoso dari FORUM, hakim nonkarier itu memberi argumen tindakannya itu. Berikut petikannya.

Apa alasan Anda sehingga Walk Out (WO)?
Kita minta musyawarah tapi tidak diako­modasi oleh ketua majelis. Kan ada per­mohonan dari para pihak. Dalam hal ini ada permohonan dari penuntut umum. Karena ada permohonan ini maka majelis hakim harus bersikap. Nah, yang bersikap adalah majelis bukan ketua majelis saja. Lima orang anggota majelis ini harus berunding tentang permohonan itu.
Dalam penetapan yang pertama, majelis hakim menyetujui bahwa Bagir tidak perlu dihadirkan sebagai saksi. Mengapa kini Anda menampiknya?
Yang pertama memang kami musya­warah. Kalau sudah dimusyawarahkan se­perti yang pertama itu, ya kami setuju. Tapi karena ada permohonan lagi, dan ber­dasarkan Pasal KUHAP 160 ayat 1 c, se­belum putusan dijatuhkan, balk penuntut umum maupun terdakwa, atau penasehat hukum berhak untuk rnengajukan saksi ataupun ahli. Dan hakim wajib untuk men­dengarkannya. Apalagi penuntut umum kala itu memberikan prolog bahwa alasan yang pertama itu keliru. Nah, tentu kita ingin musyawarahkan lagi permohonan yang kedua kalinya ini.

Apakah Anda mundur sebagai anggota majelis hakim dalam perkara itu?
Tidak.Kita kan ha­nya meng­inginkan agar per­mohonan itu dirun­dingkan.Kalau nanti kita diajak berunding, ya kita akan berun­ding.

Jadi Anda menilai Bagir Manan wajib menjadi saksi?
Kita belum sampai ke person. Tapi hu­kum acaranya. Jadi siapapun orangnya, menurut KUHAP itu hakim wajib mende­ngarkan. Sebelum dijatuhkannya putusan, pemeriksaan sudah selesai pun, bila be­sok diambil putusan, sekarang pun saksi masih boleh dihadirkan.
Apakah Bagir tergolong sebagai saksi yang berkualitas?
Kalau dilihat dari surat dakwaan, ada na­ma Bagir. Lalu dari cerita surat dakwaan, disebutkan Pak bagir itu tujuan dari penyu­apan itu sendiri. Kemudian dalam BAP sak­si, ada BAP-nya Pak Bagir. Di tingkat penyi­dikan saja, Pak bagir mau diperiksa. Apala­gi di tingkat pengadilan. Selain itu, kalau kita lihat dalam UUD 1945, setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum. Termasuk juga dalam UU Kekuasaan kehakiman. Equality before the law.
Tindakan itu, apakah Anda tidak takut dituduh melanggar contempt of court? Kita hanya memikirkan untuk menegak­kan prinsip kebenaran dalam hukum, apa­pun risikonya. Jadi kalau besok-besok ba­kal diperiksa, apapun risikonya kita hanya menegakkan prinsip penegakan hukum. Begitu kita melihat ada prinsip kebenaran hukum yang dilanggar, maka harus ada
Jadi apakah akan tetap walk out bila Bagir tetap tidak dijadikan saksi? Masalahnya bukan di Pak Bagir. Kita ha­nya menginginkan agar musyawarah itu di­rundingkan kembali.
Tapi alasan dari Kresna Menon (Ketua majelis hakim-red) menganggap bahwa kehadiran Bagir sebagai saksi sama sekali tidak ada relevansinya?

Nah, makanya kita kan belum bisa meni­Jai, apakah saksi itu bernilai pembuktian atau tidak. Wong belum di dengarkan kok. Tapi dalam surat dakwaan, nama Bagir kan termaktub. Dan dia sebagai sasaran yang mau dituju dalam tindak pidana yang didakwakan.

Dari keterangan saksi-saksi dan ter­dakwa yang sudah diperiksa, apakah re­levansi itu sudah bisa diketahui?
Untuk masalah itu sudah masuk ke wilayah mated perkara. Saya tidak boleh berkomentar dulu tentang perkara. Hakim hanya berbicara dalam putusannya.
Tragedi hakim walk out ini kan baru per­tama kali, komentar Anda?
Kita bukan untuk membuat sensasi. Semata-mata hanya untuk menegakkan prinsip hukum saja.

Hakim Walk Out

Komisi Yudisial memutus­kan Ketua Majelis Hakim Tipikor bersalah karena tidak mau menghadirkan Bagir Manan. Hakim yang walk out (WO) tidak dihukum. Ada apa?

Kresna Menon tampak layu. Jalannya tak gagah seperti biasanya. Perangai itu ditunjuk­kannya ketika memasuki ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Ra­bu pekan lalu. Pagi itu, Menon dijad­walkan memimpin lagi persidangan di sana. Tapi untuk perkara dengan Harini Wijoso sebagai terdakwa. Perempuan inilah yang ditenggarai menjadi pelaku penyuapan yang melibatkan lima orang karyawan Mahkamah Agung. Dulunya dia adalah pengacara Probosutedjo.

Hari itu, entah keberapa kalinya Menon memasuki ruangan sidang itu. Karena di situlah dia sehari-hari beker­ja. Biasanya dia selalu bangga duduk di sana. Posisinya selalu di tengah. Empat orang hakim anggota lainnya selalu berada di samping kiri dan kanannya. Tapi kali ini agak berbeda.

Waktu masuk ruangan sidang itu, dia tak banyak diikuti hakim lainnya. Cuma satu orang. Begitu duduk ternyata tak berubah. Hanya ada satu orang hakim disampingnya. Dia Setiyono. Lalu ke mana tiga hakim lainnya? Ternyata, keiga hakim itu sedang berada di ruang­annya. Padahal mereka harusnya bersi­dang bersama Menon. Tapi tiga orang hakim itu seolah acuh. Mereka tak per­duli. Tugasnya ditanggalkan.

Ketiga hakim itu memang memilih tak sejalan dengan Menon dan Setiyono. Dua pekan sebelumnya, hakim-hakim itu bahkan sempat walk out (WO). Tepat­nya ketika persidangan tengah berjalan.

Peran itulah yang dimainkan Dudu Duswara, Achmad Linoh dan I Made Hendra Kusumah. Semuanya hakim non karir. Istilah bekennya hakim ad hoc. Di perkara itu, ternyata diantara mereka terjadi "pisah ranjang". Tentu antara ha­kim karir dan non karir. Menon dan Setiyono memang hakim karir.

Mereka bersitegang soal perlu tidak­nya Bagir Manan dihadirkan sebagai saksi dalam perkara itu. Tiga orang ha­kim ad hoc menilai Ketua MA itu mesti dihadirkan. Tapi Menon tak sepakat. Menurutnya, Bagir bukan tergolong sebagai saksi.

Sadar tiga hakim tak duduk bersa­manya, Menon lalu memerintahkan pan­itera memanggil para hakim ad hoc itu. Tapi upaya itu tak berbuah. Ketiganya tetap tak masuk ruangan sidang. Boikot. Namun, Menon kembali berujar. Menu­rutnya dia telah bertindak sesuai hu­kum. Rujukannya Pasal pasal 217 ayat (1) dan (2) KUHAP. "Kita bisa melihat, hakim anggota tiga, empat dan lima tidak bersedia memasuki sidang, sehing­ga sidang tidak dapat diteruskan," kata Menon setelah panitera gagal memang­gil ketiga hakim ad hoc.

Melihat kondisi itu, pengacara Hari­ni, Efendi Lod Simanjuntak langsung protes. Menurut laki-laki ini, penolakan ketiga hakim ad hoc untuk meneruskan sidang telah menghambat dan dianggap sebagai pemboikotan terhadap sidang. "Bagaimana dengan nasib klien kami jika sidang terns ditunda," katanya.

Tapi Menon tak bergeming. Tangan­nya langsung diangkat. Palu yang telah menempel digenggamannya itu diketuk­kan. "sidang ditunda," katanya sembari mengetukkan palu tiga kali.
Tapi, perseteruan itu berdampak panjang. Kelimanya pun kemudian di­panggil Komisi Yudisial (KY). Diperiksa. Nah, Jumat pekan lalu, KY mengumum­kan hasilnya. Ternyata mengejutkan. Isinya, menurut KY, Menon mesti diberi ganjaran untuk diberhentikan semen­tara selama setahun sebagai hakim. Setiyono, diberi hukuman berupa tegur­an tertulis. Thahir pun memberi alasan. Menurutnya, Menon dinilai tidak profesional dalam menjalankan persidangan. "Dia (Kresna Menon-red) dinilai telah melakukan tindakan yang merugikan pengadilan," katanya kepada FORUM. Laki-laki itu, menurut Thahir lagi, di­anggap mengabaikan musywarah seba­gai. suatu kesempatan yang penting. "Padahal masa perpanjangan pena­hanan Harini tinggal beberapa hari lagi," ujarnya.

Begitu juga dengan Setiyono. Di ma­ta Thahir, mulanya hakim ini memiliki pandangan yang sama dengan tiga ha­kim non karir itu. "Tapi tidak menggu­nakan hati nuraninya," kata Tahir.
Lalu tiga hakim yang WO? "Tidak kita berikan rekomendasi (sanksi) apa­apa," tandas Thahir Saimima. Wakil Ketua KY itupun berargumen lagi. KY menyatakan sepakat terhadap tindakan tiga hakim itu untuk WO karena ketua majelis hakim tetap tidak bersedia me­manggil Bagir Manan sebagai saksi. Alasannya, jelas Thahir lagi, berda­sarkan LTU 8/1981 disebutkan usulan jaksa harus dikabulkan oleh majelis ha­kim. "Karena saksi-saksi yang dimak­sudkan jaksa termuat dalam BAP Pe­nyidik, jadi harus dikabulkan,"jelasnya.

Tak hanva itu. Dalam menilai aksi WO itu, KY juga tak menganggap seba­gai sebuah contempt of court (pelecehan persidangan). Inilah agaknva yang ber­tentangan dengan pendapat Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan. Kepada FORUM, Bagir tegas menyatakan bah­wa tindakan tiga hakim ad hoc itu seba­gai delik contempt of court. "Dalam atu­ran tegas dinyatakan hakim dilarang menolak meyidangkan suatu perkara. Kalau meninggalkan persidangan, sama saja artinya dengan melecehkan diri sendiri," ujarnya. Hal senada diungkap­kan juga oleh Prof. Rehngena Purba. Hakim agung ini juga menilai tindakan hakim yang WO itu termasuk kategori contempt of court.

Tapi, I Made Hendra justru tak terima ulahnya dinilai demikian. "Contempt of court itu pengertiannya bagaimana sih?," tanyanya. Menurutnya, di peng­adilan Tindak Pidana korupsi tersebut, yang jelas dinyatakan sebagai hakimnya adalah ketiga hakim ad hoc itu. Bukan hakim karir. "Jadi tidak logis bila saya dinilai melecehkan diri saya sendiri," ujarnya kepada FORUM, Jumat pekan lalu.

Argumen I Made itu klop dengan Thahir. Laki-laki ini juga menilai perbu­atan WO itu bukan tergolong sebagai pelecehan persidangan. "Kalaupun itu dikatakan contempt of court, apakah ha­kim bisa dikenakan delik itu? Tidak mungkin," tandasnya yakin.
Inilah yang membuat perseteruan ini semakin menarik. Karena dua kubu sa­ling berseberangan sudah pasti terben­tuk. KY jelas menilai langkah hakim ad hoc itu bukanlah sebuah kesalahan. Ma­lah sebaliknya. Sikap dua hakim karir itulah yang dianggap bermasalah. Tapi MA tak bakalan menerima begitu saja putusan KY itu. Berarti peperangan KY dan MA bakal semarak lagi.

Di tambah lagi dari hasil rekomenda­si yang digelontorkan KY itu tadi. Sum­ber FORUM di MA bisa memastikan bahwa rekomendasi itu tak bakalan diterima begitu saja oleh lembaga ter­tinggi yudikatif itu. Menurut sumber itu lagi, MA justru bakal "melindungi" dua hakim karir tersebut.
Prediksi seperti itu sebenarnya bisa ditebak. Yang jadi patokan tentu ada be­berapa hal. Pertama, karena yang diper­soalkan adalah kehadiran Bagir Manan sebagai saksi. Kedua, "perang" antara MA dan KY yang belum terselesaikan hingga kini. Nah, putusan KY itu jelas malah melindungi hakim ad hoc itu. Ber­arti KY telah menabuh genderang pe­rang lagi. Berarti siap-siap saja kita ba­kal disuguhi tontotan tidak menarik. Pertandingan MA vs KY lagi. Siapa yang menang? Tunggu saja hasilnya.


Thahir Saimima
Wakil Ketua Komisi Yudisial
"WO Itu Terobosan Hukum”

Terhadap hakim non karir itu, apakah KY juga mem­berikan rekomendasi?
Kami menilai WO itu dalam rangka memberikan kebenaran dan keadilan. Jadi kami sama sekali tidak memberikan rekomendasi buat mereka. Lalu mereka mencari solusi dengan mengirimkan surat ke Ketua PN Jakpus untuk mengganti Ketua majelis hakim. Kemudian hakim WO ini kan baru pertama kali terjadi di Indonesia. Baik di jaman Belan­da maupun kemerdekaan. WO itukan suatu terobosan. Kenapa WO? Itu sebuah tero­bosan. Karena terjadi kebuntuan dimana ketua majelis tidak menjadi ketua majelis yang memimpin sidang dengan balk. Harusnya hasil musyawarah itukan ada dua. Kalau tidak mufakat ya dissenting. Berarti yang suaranya lebih sedikit harus buat dissenting.

Berarti KY tidak menilai hakim WO itu sebagai contempt of court?
Oh Tidak. Contempt of court itu tidak ada diatur dalam UU kita. Memang di KUHP itu ada diatur. Tapi yang lebih pasti pengaturannya itu tidak ada. Kalau toh itu dibilang itu contempt of court, apakah hakim bisa dikenakan delik itu? Karena mereka diang­gap menghina dirinya sendiri. Itu kan tidak mungkin.

Apakah hasil rekomendasi KY terhadap dua hakim karir itu karena memperta­hankan sosok Bagir Manan untuk tidak dijadikan saksi?
Oh tidak juga. Kalau kita sudah seperti itu, berarti kita tiodak adil dalam mem­berikan pertimbangan. Semua orang kan bersamaan kedudukannya dalam hukum. Kita kan tidak berkonflik dengan Bagir Manan. Kita baru bertemu dengan beliau waktu men­gulas masalah (calon) hakim agung

Apa KY optimis rekomendasi ini bakal dilaksanakan MA?
Itukan perintah undang-undang. Kalau tidak dilaksanakan berarti melanggar undang-undang. Jadi kita optimis.

Perang di Pelanduk Konstitusi

MA dan KY bertarung soal menafsirkan kata "hakim". Gara-gara UUD 1945 yang banyak celah hukumnya?

Wajah Jimly Ashidiqie langsung berubah.Dia jadi terdiam. Tak melanjutkan perbincang­an yang sebelumnya riang. Nada bicara­nya jadi berat. Tak seperti biasanya ke­tua Mahkamah Konstitusi itu agak bin­gung. Biasanya, ketika ditanya tentang urusan konstitusi, Jimly langsung sigap. Segala hal bisa dijawabnya. Tapi yang satu ini agak berbeda. Dia seolah enggan mengungkapkannya. Tepatnya ketika FORUM menyodorkan sebuah pertanya­an. Temanya tentang status perkara per­mohonan uji materil Undang-undang no­mor 22 tahun 2004 tentang kornisi yudi­sial. Jimly cuma berujar pendek “Berat itu," katanya.
Memang hingga kini perkara itu belum diputus. Padahal sudah lima bulan berse­lang. Medio Maret 2006 lalu, perkara itu mulai masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga beberapa kali persidangan, sampai kini putusan belum diturunkan.

Kasus itu memang tak biasa. 31 hakim agung yang jadi pemohonnya. Mereka menuntut agar MK melakukan beberapa perubahan dalam beleid itu. Judicial re­view atas pasal 1 angka 5, pasal 20, pasal 21, pasal 22 ayat (1) huruf e angka 5, pa-sal 23 ayat (2, 3 dan 5), pasal 24 ayat (1) dan pasal 25 ayat (3) UU KY. Keselu­ruhan pasal itu dinilai bertentangan de­ngan pasal 24 B UUD 1945. Bunyinya, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan mene­gakkan kehormatan, keluhuran marta­bat serta perilaku hakim. Sejak itulah pe­perangan antara MA dan KY merambah wilayah persidangan.

Yang dipersoalkan sebenarnya adalah kata 'hakim'. Kata ini dianggap bermasa­lah. Para hakim agung yang jadi pemo­hon menganggap ada yang tak jelas tentang status hakim. Mereka menganggap makna hakim memiliki perbedaan. Per­bedaan itu termaktub dalam bunyi un­dang-undang. UU tentang Kekuasaan Kehakiman menulis , bila menyebutkan tentang "wakil Tuhan" itu, maka selalu disebutkan hakim dan hakim agung. Artinya, hakim adalah "wakil Tuhan" yang ada di tingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Sedangkan ‘hakim agung' jelas ada di Mahkamah Agung. Ja­di, hakim belum tentu'hakim agung’.

Nah, dalam UU KY, ternyata hanya kata 'hakim' saja yang termaktub. Se­dangkan `hakim agung’ sama sekah tak disinggung. Dengan begitu, menurut Djo­ko Sarwoko, juru bicara hakim agung, berarti KY sama sekali tak bisa menga­wasi hakim agung. Tapi dalam praktik­nya, katanya lagi, ternyata KY selalu me­ngawasi hakim agung. "Berarti ada yang tidak sesuai," katanya lagi. Atas dasar itulah 31 orang yang bekerja sebagai ha­kim agung itu kemudian mengajukan perlawanan. Mereka melakukan uji ma­teril terhadap UU KY itu.

Tapi ternyata penafsiran tersebut di­anggap keliru. Pendapat itu dilontarkan oleh Gani Abdullah, Kepala Badan Pembi­naan Hukum Nasional. Waktu RUU KY digarap, dialah yang menjadi komandan­nya. Pada Selasa pekan lalu, kesaksian­nya diperdengarkan di depan sidang pleno itu.

Dalam kesaksiannya Gani mengung­kapkan bahwa makna 'hakim' sebenar­nya mencakup juga `hakim agung’. Gani memberi penjelasan panjang. Sewaktu membahas RUU KY itu, ceritanya, kata hakim juga telah dikaji dalam hukum ba­hasa. Bila merujuk pada hukum bahasa, penggunaan huruf 'H' besar atau 'h' kecil dalam menuliskan kata hakim, mempu­nyai makna yang berbeda. Bila huruf ke­cil, maka mengandung arti luas. UUD 1945 sendiri, kata Gani, menuliskan kata hakim dengan huruf kecil. "Sehingga ha­kim agung dan hakim konstitusi termasuk di dalamnya," tegas Gani.

Gani bisa berkomentar demikian kare­na ketika UU KY ini dibentuk, ia menja­di wakil pemerintah dalam panitia kerja (panja) yang membidani lahirnya UU KY ini. Waktu membahas RUU itu, cerita Gani lagi, memang sempat terjadi perde­batan. Perdebatan alot itu akhirnya ha­nya menghasilkan satu hal: KY adalah lembaga pengawas eksternal hakim “Ka­lau bukan KY lalu siapa lagi yang meng­awasi hakim agung atau hakim konstitu­si," tandasnya. Jadi Gani berkesimpulan tak ada perbedaan antara hakim dan ha­kim agung. Keduanya sama-sama jadi objek pengawasan KY.

Namun, penjelasan Gani itu sempat mendapat perlawanan dari Indriyanto. Laki-laki yang juga staf pengajar di Uni­versitas Indonesia itu berupaya menang­kis ucapan Gani. Menurutnya, KY justru dikhawatirkan melakukan pelanggaran lex certa. Maksudnya intervensi ekseku­tif terhadap legislatif Sebagai argumen­tasi, Indriyanto menggambarkan kejadi­an yang berlangsung di Philipina dan India. Pemerintah Philipina ketika di­pimpin Fredinand Marcos, katanya, se­lalu melakukan intervensi terhadap per­adilan negara itu. Begitu juga di India tatkala Indira Gandhi memerintah. Ke­dua pemerintahan itu, lanjutnya, terang-­terangan mengintervensi putusan Mah­kamah Agting.

Caranya dengan mener­bitkan jenis Peraturan Pemerintah Peng­ganti Undang-Undang (Perpu). "Nah, ca­ra itu mirip yang dilakukan KY," tandas­nya tegas. Pastinya, Indriyanto tak sepa­ham bila KY diberi kewenangan untuk mengawasi hakim agung.

Memang selain perdebatan makna ’ha­kim', uji materil ini juga mempersoalkan kinerja KY dalam melakukan pengawas­an terhadap "wakil Tuhan" di MA. Tapi, Gani ternyata memiliki jawaban atas penjelasan Indriyanto. Menurutnva, jus­tru keterangan panjang lebar itu sama sekali tak ada hubungannya dengan per­kara yang diuji materil tersebut. Pasal­nya, sambung Gani, intervensi seperti yang diceritakan Indriyanto adalah inter­vensi kelembagaan. "Itu tak ada hubun­gannya (dengan perkara)," katanya.

Tak hanya itu. Gani kemudian membe­rikan argumen lagi. Menurutnya, KY me­mang berfungsi melakukan pengawasan. "Tapi tidak termasuk dalam teknis yus­tisial", katanya. Masalah teknis yustisial adalah kewenangan MA. Sedangkan KY, lanjutnya, hanya masuk dalam lingkup penegakan harkat dan martabat hakim.

Ketika terjadi benturan kewenangan pengawasan, Gani menyatakan hal itu sewajarnya diselesaikan dengan jalan ko­ordinasi antara dua lembaga tersebut. Pernyataan Gani ini sempat menunai ce­car hakim. "Kok tidak ada pasal yang mengatur soal koordinasi dua lembaga itu," tanya hakim.

Dengan terang Gani menjawab, kedua lembaga berada dalam koridor yang sa­ma, maka pemerintah yang saat itu men­jadi pengusul RUU KY merasa kedua lembaga seharusnya mengerti. "Sehingga tidak perlu ada pasal yang mengatur demikian," ujarnya.
Menariknya, ternyata Gani juga berbi­cara tentang kemungkinan bagi KY untuk memeriksa sebuah putusan hakim. Di mata Gani, hal itu sah-sah saja. Meski persoalan teknis yustisial bukan kewe­nangan KY, sambungnya, namun tidak tertutup kemungkinan bagi KY untuk memeriksa suatu putusan. "Terlebih bila putusan tersebut dibaca pada sidang yang terbuka untuk umum" Gani menjabarkan. Tak hanya itu. Gani bahkan memberi penegasan, "Jangankan KY, mahasiswa saja bisa memberikan catatan putusan,",. katanya. Cuma, Gani berpesan bahwa penilaian putusan itu hanya bisa dilaku­kan setelah perkaranya inkracht. Penila­iannya juga tak boleh dilakukan sete­ngah-setengah.

Memang sah-sah saja Gani berpan­dangan demikian. Karena sampai kini ketukan palu hakim konstitusi juga be­lum dijatuhkan. Hanya saja, alasan yang dituangkan para hakim agung itu sebe­narnya masuk akal. Masalah sebenarnya bermula dari UUD 1945 sendiri. Beleid itu secara tegas menempatkan posisi KY yang sederajat dengan MA dan MK Ini­lah yang membuat kalangan KY percaya diri. Sayangnya, legitimasi itu tak diba­rengi dengan kinerja yang memadai. Se­ringkali menurut Djoko lagi, pihak KY bekerja tanpa memperhatikan undang­-undang. "Yang boleh memeriksa dan me­masuki wilayah perkara hanya hakim," katanya. Alasan itu pun dibantah oleh Busyro Muqqodas. Ketua KY ini tak se­pendapat dengan alasan itu. "Bagaimana mau memeriksa perilaku hakim bila ti­dak memeriksa putusan yang dibuat­nya," tandasnya. Pasalnya, sambung Bu­syro lagi, perilaku hakim tercermin dari putusan yang dibuatnya.
Pastinya, kedua lembaga ini masih ber­seteru.

Pihak MA sangat tak bersedia bi­la terus "dikerjai" KY seperti itu. "KY se­mestinya menjaga agar martabat hakim tetap terjaga, bukan malah menjatuh­kannya," terang Djoko lagi. Sementara pihak KY berupaya untuk tancap gas memberantas mafia peradilan. Dalihnya tentu saja dengan memerangi para "wakil Tuhan" itu.