Thursday, October 30, 2008

Pengadilan SOCRATES

Rechstaat


Pengadilan Socrates



Ini juga cerita dari jaman dulu kala. Terjadi di tahun 399 SM. Entah nyata, entah pula dongeng belaka. Tapi orang sekarang banyak yang percaya. Bahkan terus memuji dan menyanjung eposnya. Kisah tentang pengadilan Socrates. Pria inilah yang jadi bintang utama. Dia didakwa di pengadilan Athena. Cuma, tuduhannya menimbulkan tanda tanya. Karena dia dijerat dengan tudingan yang setengah mengada-ada. Socrates dianggap melakukan pelanggaran pidana karena pikirannya. Cara berpikir Socrates itu yang membuat dia jadi pesakitan. Socrates dinilai menyebarkan misi dan praktek pengajaran menyesatkan. Filsuf-nya yang banyak membahas soal ketuhanan, dianggap nyeleneh oleh sebagian orang-orang. Karena Socrates mempertanyakan adanya dewa-dewi kahyangan. Sesuatu yang telah dianut sejak manusia era dulu.

Socrates pun diadili. Hampir seluruh warga Athena hadir di Majelis Ekklesia (Majelis Pengadilan Rakyat Athena). Tak ada pretor atau pedarius yang membelanya. Dia jadi terdakwa sendiri. Dia dituntut oleh tiga orang prosekutor utama. Mereka juga pemikir tangguh di era itu. Anytus yang pertama. Seorang politisi demokratik kota itu. Meletus, penyair yang rajin mengungkap tragedi. Perawakannya memang seniman sekali. Mungkin gaya dia inilah yang sampai kini banyak ditiru kalangan seniman. Rambutnya gondrong, dan sedikit berjenggot. Lykon, retorisi, orator yang ulung. Mereka inilah yang mendakwa Socrates. Posisinya persis seperti penuntut umum.

Socrates tak terima diadili. Tapi dia tak lari atau deportasi. Protesnya itu justru diajukan dipersidangan. Dia sengaja menyiapkan pidato pembelaan diri, demi sebuah reputasi. Bukan bertujuan untuk bisa lepas dari jerat hukuman. Di depan majelis, Socrates pun berfilsafat, yang membuat semua orang terkesima. Dia berdebat dengan tiga prosekutor tadi. Tapi, Socrates tak menyerah. Semangatnya makin merajalela kala seluruh orang menyimaknya. Socrates beretorika, memunculkan “kejujuran” sebagai nilai yang paling utama dari keseluruhan nilai yang diargumenkannya.

Saat itu, Socrates berkata panjang. Ini senjata yang dipakainya untuk melumat tiga prosekutor tadi. Tapi sampai kini, statment Socrates ini sangat dikenang dan diilhami. Begini katanya, “lantas apa dasar mereka (para juri itu) sampai pada giliran saya dimuliakan sebagai orang yang arif dan bijaksana dan termahsyur, sementara saya harus menerima reputasi sedemikian buruk seperti itu (sebagai perusak generasi muda)?”. Selepas berbicara, dia berbalik arah menuju para juri. Dia berkata pedas. Dia berceloteh bahwa sangat sakit sekali bila seluruh “pembual” di Athena begitu membencinya dan bersatu agar dia binasa.

Tapi, perlawanan terhadap Socrates bukan berkurang. Dia tetap dicerca dan dipojokkan. Persidangan makin ramai. Gemuruh karena antara terdakwa dan penuntut, saling berargumen dengan ilmu tingkat tinggi. Socrates berkata-kata lagi. “satu-satunya hal yang sangat disayangkan di sini adalah saya harus menghadapi maut hanya untuk sebuah kebaikan kecil yang telah saya perjuangkan dan persembahkan (untuk orang banyak) lewat praktek pengajaran filsuf saya ke generasi muda Athena..”. Sontak, pengadilan bergemuruh lagi. Riuh tepukan tangan bergelora seketika sebagai hadiah buat kalimatnya tadi.

Setelah seharian bersidang, giliran para juri beraksi. Mereka mengeluarkan putusan. Socrates duduk dikursi tengah dengan gagah. Wajahnya tak tertunduk atau pura-pura menitikkan air mata biar dikasihani. Dia tak menyerah sedikitpun. Karena baginya, yang penting adalah pengadilan tempat membersihkan diri dari segala fitnah dan tuduhan yang selama ini terjadi. Socrates malah berkata-kata, “Di alam kematian, aku bisa selamanya mengajukan pertanyaan-pertanyaan filsafat kesetiap orang yang kujumpai”.

Ternyata jury memutus banyak yang berpihak padanya. Tanda-tanda Socrates bakal bebas, sudah didepan mata. Namun, sejumlah praktisi hukum, tersinggung dengan omongan Socrates tadi. Walau voting jury memenangkan Socrates, tapi dia tetap dihukum. Socrates di vonis mati.

Tapi, ada juga yang meriwayatkan lain. Kala vonis terjadi, Socrates disodori dua opsi. Dihukum mati minum racun, atau bebas dari segala hukuman dengan syarat menghentikan kegiatan filsafatnya.

Namun Socrates memang gila. Dia memilih opsi yang pertama. Hidup bukan jadi barang berharga buatnya. Yang terpenting ajar prinsip yang mesti ditegakkan dengan benar. Para sahabatnya, bingung dengan pilihan Socrates tadi. Mereka tetap berusaha membebaskannya. Tapi dasar Socrates memang gila. Dia tak tergoda. Socrates tetap bersikeras hidup dalam penjara, dengan pilihannya tadi. Karena dia memegang teguh apa yang pernah diucapkan pada murid-muridnya. Katanya, “hukum harus dipatuhi betapapun jeleknya”.

Waktu eksekusi, dilakukan dalam penjara. Eksekusi mati buatnya, tetap diberi pilihan agar dia bisa bebas dari hukuman. Racun disediakan dalam dua cawan. Petugas penjara menyodorinya tiga cawan. Socrates diminta membuat satu pilihan soal cawan yang harus diminumnya. Salah satu cawan, kosong tanpa racun. Dua lainnya, berarti racun yang harus ditenggak. Socrates pun memilih.

Dia sempat berpikir beberapa detik saja. Tiga cawan disusun berjejer tiga didepannya. Tangannya tanpa ragu memilih cawan yang ada disisi paling kanan. Setelah dibuka, ternyata isinya racun yang mesti ditenggak. Socrates bukan mundur. Racun itu tetap diminumnya. Socrates pun mati seketika. Karena, hukum harus dipatuhi betapapun jeleknya.


Irawan Santoso
(Majalah MAHKAMAH, edisi November 2008)

Monday, September 22, 2008

AEROPAGUS

Rechstaat





Aeropagus

Dihukumnya seseorang yang tak bersalah merupakan urusan semua orang yang berpikir” (La Bruyerre, ahli hukum Perancis, abad 17 M)

Siapa yang pertama kali menciptakan pengadilan? Ternyata dewa-dewa yang membuatnya. Mereka-lah dalang hingga pengadilan ada di dunia. Dewa dewi-lah yang pertama kali mengadili. Aeropagus tempatnya. Disana, mereka sempat menggelar persidangan. Aeschylus (525-426 SM) yang mencatatkan kisahnya. Orang ini, katanya, seorang penulis drama Yunani Kuno. Karangannya mengkisahkan tentang pengadilan pertama di dunia. Dia cerita, Aeropagus pertama kali jadi tempat menyidangkan perkara. Kasus Orestes yang kali pertama disidang disana. Ketua majelis hakimnya Dewi Athena. Dewan jurinya berjejer dua belas dewa. Orestes adalah anak laki-laki Agamemnon. Dia ini bekas penguasa tunggal Mycenaea (Yunani). Sang penakluk Troya juga. Orestes diadili karena menikam ibu kandungnya, Clytemnestra. Dewi kahyangan jadi berang karenanya. Penyidikan dilakukan. Furies yang melakoni. Dia ini dewi keadilan. Selain Themis tentunya. Furies itulah jaksa penuntutnya. Sejak itu, Aeropagus jadi tempat bersejarah. Eposnya menyebar kemana-mana. Orang Yunani sangat percaya.

Abad berjalan, Aeropagus jadi keramat. Lokasi ini dijadikan pengadilan orang Yunani betulan. Tak lagi buat dewa dewi kahyangan. Tempatnya diatas bukit kecil (bukit Ares). Dia ada disebelah barat Athena. Tak ada gedung atau bangunan disana. Melainkan batu-batu cadas dengan ukuran besar. Itulah podium tempat Arkhon dan lainnya berdiri.

Terdakwa diletakkan ditengah-tengah. Arkhon yang memimpin sidang. Semacam hakim. Arkhai yang menyiapkan administrasi persidangan. Inilah cikal bakal panitera pengadilan. Diantara arkhai tadi, dibentuk sebelas orang yang mengurusi eksekusi. Isitilahnya “dewan sebelas”. Kawanan ini punya daya untuk menahan dan menangkap. Tapi khusus buat kasus yang ‘ep autophoro (tertangkap tangan).

Arkhon pertama bernama Draco. Dia ini yang menyusun aturan dan hukuman. Setiap terdakwa yang disidang, Draco yang menentukan hukuman. Selama Draco menjabat, orang Yunani banyak yang sambat. Draco dianggap terlalu kejam. Hukuman yang ditentukan, tak sebanding dengan perbuatan. Draco kemudian diganti. Karena dia dianggap mempraktekkan pengadilan sesat. Draco menerapkan hukum tanpa belas kasih. Terdakwa pencuri, dihukumnya mati. Padahal mencuri karena lapar, bukan mengejar materi. Pelacur, juga dihukum mati. Alhasil Draco tak menjelma jadi arkhon yang mulia. Draco berperan bak dewa pencabut nyawa. Warga Yunani resah karenanya. Aristoteles yang menceritakan begitu.

Solon kemudian mewarisi tahtanya. Dia jadi Arkhon kedua. Orang ini menyusun hukum baru. Tapi Aeropagus tak berubah. Tempat mengadili warga Yunani juga.

Beberapa abad kemudian, Aeropagus menyebar ke seantero dunia. Merambah hingga Eropa. Jerman salah satunya. Orang sana menggelar pengadilan pertama di bawah pohon-pohon oak dan Keltik. Namanya pengadilan Thing. Tapi sama saja. Yang diadili, tetap tak dapat membela diri. Siapa bersalah dan jadi terdakwa, vonisnya langsung mati. Rakyat yang jadi jurinya. Kala jumlah warga membanyak, pengadilan Thing berubah. Peradilan kemudian dilakoni dewan terpilih dari para tetua.

Zaman berubah. Aeropagus ditinggalkan. Thing disingkirkan. Pengadilan dibuat di gedung dan bangunan. Tapi rujukannya tetap Aeropagus. Hampir setiap negara memilikinya. Tapi sistemnya terbagi dua. Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Dua sistem ini yang menyebar kemana-mana. Sumbernya orang Eropa. Inggris dan Perancis yang memulai. Dua negara ini yang mengenalkan ke negara-negara jajahannya.

Inggris percaya sistem juri lebih memberikan keadilan. Sedang kontinental yakin hakim lebih menguasai soal kebenaran. Dua-duanya berjalan hingga kini. Tapi tetap saja, peradilan sesat terjadi.

Anglo Saxon tak jarang memvonis manusia tak berdosa. Italia salah satunya. Penganut Saxon ini sering salah mengadili. Kasus Lesurques jadi buktinya. Inggris begitu juga. Bahkan warga sana selalu memimpikan adanya Emile Zola dalam setiap perkara. Dia ini wartawan yang membongkar keadilan buat Dreyfus, orang yang divonis bersalah hakim sana. Tapi Zola membuktikan sebaliknya, lewat tulisan-tulisannya. Jerman apalagi. Kasus Ewald Schlitt yang termashyur. Orang ini yang membuat Hitler, sang Nazi- bertindak bak Draco di negaranya. Gara-gara, tanggal 26 April 1942, pengadilan Jerman tak menghukum Ewald yang menganiaya istrinya puluhan tahun, tapi cuma dihukum lima tahun. Hitler berang. Seluruh hakim diingatkan. Bila tak menghukum penjahat dengan berat, akan dipecat. Untungnya Hitler kemudian terjungkal.
Emile Zola

Tapi Eropa tetap tak menemui keadilannya. Amtsgerichtrat Sello, sarjana hukum Eropa memberi pesan. Dia mencatat, pasca Revolusi Perancis, pengadilan sesat kerap melanda benua itu. Jumlahnya mencapai 1.911 perkara. 36 di Jerman, 15 di Austria-Hongaria, 7 di Swiss, 1 Luxemburg, 117 ada di Inggris, 5 Amerika Serikat, 53 Perancis, 3 di Belgia, 6 di Italia, dan 34 di negara-negara lainnya. Tapi, itu catatan di abad lama. Sekitar 17 Masehi tahunnya. Sekarang pasti bertambah pula.

Eh, Indonesia tak beda. Yang anyar terjadi bulan lalu. Orang mengenalnya dengan kasus Ryan. Laki-laki yang dituduh membunuh berantai ini, mengaku membantai Asrori. Ryan “bernyanyi” Asrori mati ditangannya. Tapi, bertahun-tahun lalu, polisi, jaksa dan pengadilan telah menghukum orang yang dituduh menikam Asrori. Ini kesesatan pengadilan yang kedua. Kasus Sengkon-Karta yang membludak pertama. Pengadilan Indonesia salah memvonis juga. Negara ini tak beda dengan Eropa. Karena sistem yang dipakai, mengikuti Belanda. Eropa Kontinental, turunan Aeropagus juga.

Betapapun, pengadilan buatan manusia tak bisa dijamin kebenarannya. Beda dengan pengadilan Tuhan. Seperti yang dijanjikan, semua umat akan diadili, di suatu saat nanti. Bukan di Aeropagus atau Thing. Bukan pula dengan cara kontinental atau saxon. Padang Mashyr tempatnya. Arkhon-nya juga bukan manusia. Tapi Tuhan Sang Pencipta. Dia menentukan hukuman-nya. Ukurannya dari perbuatan manusia juga. Penuntutnya adalah Rakib dan Atid. Keduanya malaikat, sang panitera sejati. Catatan ditangannya tak kenal sesat atau salah. Tak bisa disuap juga. Tak ada pula advokat pembela. Umat dihukum sesuai kesalahannya. Juga diberi hadiah, seperti perbuatan baiknya. Itulah pengadilan ter-adil didunia. Baik dan benar diberi imbalan yang sesuai. Mashyr menjamin hukum ditegakkan secara benar. Karena hanya pengadilan ini yang tak mengikuti epos khayalan kahyangan. Andai negeri mengikuti sistem ini, mungkin kasus Asrori tak terjadi.
Irawan Santoso
(Majalah MAHKAMAH, edisi II, Oktober 2008)










Tuesday, September 2, 2008

TIADA LAGI ADVOKAT PEJUANG.....

Rechstaat


Tiada Lagi Advokat Pejuang .....

Dulu, advokat selalu didepan membela negara. Skill bersidang dan membuat kontrak, dipergunakan untuk mengalahkan Belanda dalam perundingan. Kini, advokat tak lagi berjuang. Sibuk mencari materi tanpa peduli nasib negeri.

14 April 1949. Tiga orang advokat duduk didepan. Mereka berhadap-hadapan. Didepannya beberapa orang berambut pirang. Mereka tengah bersidang. Tapi bukan di pengadilan. Melainkan bertempat di hotel Des Indies, Batavia. Sejak pagi mereka bersidang disana. Tak ada hakim ataupun jaksa. Melainkan seorang utusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Karena ditempat itu tengah digelar perundingan antara negara.

Perang kata-kata berlangsung sampai tiga pekan. Berunding memutuskan soal wilayah negara, antara Indonesia dan Belanda. Pihak Indonesia diwakili beberapa orang. Tak ada Soekarno maupun Hatta. Karena mereka lagi ditahan penjajah. Pribumi diwakili advokat dan sejumlah tokoh lainnya. Ada Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Johanes Latuharhary, Prof. Dr. Supomo, Leimena, dan A.K. Pringgodigdo. Dua nama didepan itulah advokat-nya. Mereka berada digaris depan perundingan. Sementara Belanda tak mau kalah. Sejumlah penjabatnya diturunkan ke Batavia. Tim Londo itu dipimpin oleh Dr. J.H. van Royen dengan anggota-anggota Mr. N.S. Blom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. van der Velde, dan empat orang penasihat.

Belanda menuntut Indonesia berhenti bergerilya dan mengijinkan mereka masuk lagi. Tapi Roem dan Sastroamidjojo, mementahkan tawaran itu. Pihak Indonesia meminta Belanda mengakui pengembalian pemerintah RI disertai dengan pengakuan kedaulatan atas wilayah tertentu dari mereka. Semula Belanda tak setuju. Tapi dalil dan argumentasi Roem cs tak bisa dikalahkan Belanda. PBB menyetujui. Akhirnya Indonesia menoreh kemenangan dalam perundingan itu. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai “perjanjian Roem-Royen”.

Kisah itu menunjukkan kehebatan advokat kita era dulu. Kepiawaian Roem dan Sastroamidjojo sebagai advokat, dibaktikan untuk menyelamatkan Indonesia. Begitu juga diperundingan berikutnya, Konferensi Meja Bundar (KMB). Para advokat kita banyak berperan disana. Merekalah yang menyusun pembelaan Indonesia disana. Padahal mereka adalah jebolan Universitas di Belanda. Keduanya lulusan Meester in de Raechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda.

Tak hanya mereka saja. Sejumlah advokat lainnya juga berkiprah serupa. Ada Iwa Koesoemasoemantri, AA Maramis, Tumenggung Wongsonagoro, Mas Besar Martokusumo, Mas Susanto Tirtoprojo, Muhammad Yamin, Raden Ahmad Subarjo, Raden Hindromartono, Raden Mas Sartono, Raden Panji Singgih, Raden Samsudin, Raden Suwandi, Raden, Sastromulyono, Raden Ayu Maria Ulfah Santoso, Iskak Cokroadisuryo, Djodi Gondokusumo, RM. Sartono, dan R. Sastro Mulyono.Merekalah advokat generasi pertama Indonesia.

Tapi, di era itu advokat tak langsung bersidang dan membela klien. Melainkan berjuang dulu untuk republik yang masih dirong-rong Belanda. Masing-masing memainkan perannya. Keahlian sebagai advokat dipakai untuk mengalahkan Belanda. Mereka beracara hanya kala membela tokoh republik yang lagi diadili pengadilan landraad Belanda.

Termasuk ketika membela Soekarno. Waktu itu, Bung Karno diadili karena dituding melanggar pidana buatan Belanda. Dia ditahan beberapa lama. Kemudian disidangkan untuk diberi hukuman. Bung Karno disidangkan dengan hakim ketua Mr. Siegenbeek van Heukelom, ditambah dua hakim pribumi yakni R.Kartakoesoemah dan R. Wiranataatmadja, dengan Jaksa Penuntut R. Soemadisoerja

Kala itulah advokat Indonesia datang sebagai pembela. Bukan hanya seorang, tapi mereka berlomba ingin mendampingi Soekarno di landraad Bandung (kini gedung “Indonesia menggugat”). Tercatat R. Idih Prawiradipoetra, Sartono, Sastromoeljono, Lukman Wiriadinata, Iskaq Tjokrohadisurjo dan lainnya sebagai pengacara Soekarno. Mereka tak dibayar sepeserpun oleh klien-nya. Murni membela karena melihat kelaliman penjajah. Disaat itulah, Bung Karno menyampaikan pleidoi yang kemudian dikenal dengan “Indonesia Menggugat”.

Walau Soekarno tetap dihukum, tapi semangat advokat era itu patut dipedomi. Mereka bersatu melawan kekuatan kompeni. Ilmu hukum dan keahlian yang diperoleh, tidak semata demi mengejar materi dan harta yang megah. Sebagai advokat, mereka berjuang dulu membela bangsa. Baru kemudian membuka law firm sendiri untuk menghidupi keluarga.

Namun, usaha itupun tak tak berjalan mulus. Karena ditahun 1930-an, Belanda masih menerapkan sistem ketat buat advokat Indonesia. Bahkan awalnya kompeni tak mendorong orang pribumi untuk bekerja sebagai advokat. Pribumi yang bersekolah di Belanda, hanya bisa berpraktek di negeri sana. Tak bisa ke Indonesia untuk beracara. Baru di tahun 1909, mendirikan Rechtsschool di Batavia. Mereka membuka pendidikan hukum bagi orang Indonesia hingga tahun 1922. Itupun kebanyakan yang mengikuti berasal dari golongan priyayi.

Jadi, praktis sebelum itu, advokat yang ada di Indonesia semuanya adalah orang Belanda. Salah satunya bernama Van Den Brand. Dialah advokat asal Belanda yang dikenal membela pribumi. Van Den Brand sempat membeberkan kebobrokan pemerintah Hindia Belanda ke Eropa. Khususnya terkait soal perdagangan buruh di tanah Deli (Sumatera Utara).
Nah, sejak itulah era advokat pribumi dimulai. Karena generasi Roem cs telah meluluskan kuliahnya di Belanda termasuk Rechtsschool Batavia. Hampir tercatat 150-an advokat pribumi yang dilantik. Mereka semua menyebar ke seantero negeri.
Di tahun, 1930-an, barulah advokat kita diijinkan beracara. Mr. Besar Martokusumo yang pertama kali membuka law firm di negeri ini. Dia membukanya di kampung halamannya, Tegal. Selanjutnya baru M Iskaq menyusul membangun kantor hukum sendiri di Batavia. Iwa K tak mau ketinggalan. Dia membuka law firm juga di Medan. Kemudian pindah lagi ke Batavia.

Selepas kemerdekaan, kiprah para advokat itu tak diam. Mereka terus berjuang mengawal republik. Tak heran para advokat tadi menduduki posisi penting pemerintahan. Ali Sastroamidjojo beberapa kali duduk sebagai perdana menteri. Roem juga mengabdi sebagai menteri. Iwa Koesoemasoemantri juga langganan di kursi menteri. AA Maramis sebagai Menteri negara Kabinet I, Mas Besar Martokusumo menjabat walikota Tegal, Raden Ahmad Subarjo mengabdi jadi Menteri Luar negeri kabinet I, Raden Mas Sartono juga duduk sebagai menteri. Sementara Yohanes Latuharhary di posisi Gubernur Maluku dan Raden Ayu Maria Ulfah Santoso mengabdi jadi menteri tahun 1946.

Ternyata, jiwa perjuangan advokat ini diwarisi kepada advokat generasi kedua. Tak heran, nama-nama seperti Suardi Tasrif, Yap Thian Hien, Ani Abbas Manoppo, Hasjim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Sukardjo, Harjono Tjitrosoebeno, Nani Razak, tetap mengedepankan pengabdian kala sebagai advokat. Di generasi ini, mereka tetap menunjukkan kegigihan membela kebenaran, walau terkadang mendapat lawan dan godaan uang.

Sayangnya, prinsip itu tak ditemui lagi pada advokat sekarang. Sejumlah nama besar semisal OC Kaligis, Hotman Paris Hutapea, Todung Mulya Lubis, Denny Kailimang, Rudhy Lontoh, Henry Yosodiningrat, Indra Sahnun Lubis, Otto Hasibuan dan lainnya, tak kelihatan batang hidungnya dalam membela rakyat yang tertindas. Mereka asyik mengurusi perut sendiri, mencari harta berlimpah dan ketenaran nama. Tak beda juga dengan advokat sekelas Nono Anwar Makarim, Kartini Muljadi, Tuti Dewi Hadinoto, Sri Indrastuti Hadiputranto, Arief T Surowidjojo dan lainnya. Advokat ini cenderung memilih membela perusahaan asing dengan bayaran dollar, bukan rupiah. Mereka tak pernah nongol membela negara yang dicecar di dunia internasional.

Ironisnya lagi, advokat sekarang justru lebih asyik bermain di “kandang sendiri”. Asyik berkelahi merebutkan organisasi advokat dan saling serang demi membela klien dengan bayaran segudang. Tak ada lagi saling dukung membela Indonesia yang wilayah kedaulatannya dirong-rong Malaysia. Mereka seolah lupa para advokat pendahulu, jago hukum tapi tak melupakan pengabdian untuk negara. Makanya tak ada lagi orang muda yang bercita-cita menjadi advokat pejuang. Mereka lebih ingin jadi advokat agar bisa kaya, ber-jaguar, punya rumah mewah dan harta berlimpah.


Irawan Santoso
(Majalah MAHKAMAH edisi 1 September 2008)

Wednesday, May 14, 2008

Antara Adokat Dan Pengacara

Rechstaat


Antara Advokat dan Pengacara

Ternyata pengacara dan advokat berbeda pengertian. Kini keduanya disatukan. Bisa jadi inilah yang membuat organisasi advokat tak pernah bersatu.

Di Indonesia, istilah buat para praktisi hukum sangat beragam. Ada advokat, pengacara, konsultan hukum, penasehat hukum dan lainnya. Tanpa disadari, munculnya keberagaman istilah ini ternyata membuat masalah. Karena kemudian berkembang berbagai organisasi yang memayunginya. Bahkan, kini organisasi itulah yang berebut jabatan ketua umum, kala mereka disatukan. Yang kentara tentu antara advokat dan pengacara.

Istilah pengacara sebenarnya datang dari bahasa Belanda, procureur. Kata itu sama artinya dengan pengacara. Tapi lidah orang Indonesia era dulu, sering menyebutnya pokrol. Sedang advokat sendiri bersumber dari kata “advocaad”. Juga terjemahan dari bahasa Belanda. Artinya sama dengan “pembela”. Nah, menurut Adnan Buyung Nasution, procureur itu sebenarnya hanya menggambarkan salah satu bidang pekerjaan yang lazim dilakoni advokat. “Yang menyangkut beracara dipengadilan,” jelasnya. Begitu juga dengan konsultan hukum. Mereka ini sarjana hukum yang tidak mau berpraktek dipengadilan. Tidak beracara secara litigasi. Hanya berperan sebagai penasehat hukum perusahaan terkait soal kontrak dan sejenisnya.

Pasca kemerdekaan, bangsa Indonesia mulanya hanya mengenal advokat. Untuk mendapat kartu ijin praktek bagi advokat, mesti melewati ujian di Departemen Kehakiman (kini Dephukham). Menurut cerita Buyung, untuk meraih kartu advokat, saat itu sangat sulit sekali. “Prosesnya panjang dan berbelit-belit,” katanya. Makanya, sambungnya lagi, jumlah advokat kita di awal kemerdekaan masih sangat sedikit. Namun, bagi yang berstatus advokat, bisa beracara di seluruh Indonesia. Jangkauan kerjanya luas.

Berbeda dengan pengacara. Di era tahun 1960-an, keberadaan pengacara mulai diakui oleh pemerintah. Ijin prakteknya dikeluarkan oleh Pengadilan Tinggi. Sebenarnya metode ini mengikuti era penjajahan Belanda. Kala itu, seorang pengacara hanyalah lulusan sarjana hukum saja. “Tidak ada ujiannya, mereka bisa berpraktek begitu saja,” cerita Buyung lagi. Namun model semacam itu diteruskan waktu negeri telah merdeka. Alhasil, ada dua model ijin yang dikeluarkan. Advokat buat yang beracara diseluruh Indonesia. Pengacara buat yang berpraktek di wilayah hukum Pengadilan Tinggi setempat.

Masalah ini ternyata merembet ke soal organisasi. Advokat membentuk wadah sendiri. Awalnya mereka mendirikan Peradin itu. Lalu berubah lagi menjadi Ikadin. Yang tergabung disana, hanyalah seorang advokat saja. “Karena dia mesti advokat, bukan pengacara,” terang Otto Hasibuan, ketua umum Ikadin kepada Neraca. Disisi lain, para pengacara membentuk wadah sendiri. Namanya Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI). “Kita menampung pengacara yang tidak tergabung dalam Ikadin,” terang Indra Sahnun Lubis, ketua umum IPHI. Namun, sambung pengacara asal Medan itu, bila mau dibandingkan, IPHI memiliki jumlah anggota lebih banyak.

Kini, sejak lahirnya UU No. 18 tahun 2003 tentang advokat, seluruh istilah profesi itu diseragamkan. Mereka semuanya disebut sebagai advokat. Untuk ini, Buyung punya alasan sendiri. Menurut pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) ini, dunia hukum di seluruh dunia tidak mengenal istilah pengacara, konsultan hukum atau penasehat hukum seperti itu. “Semua itu hanya istilah yang dibuat-buat di Indonesia untuk membingungkan masyarakat,” terangnya. Yang benar, sambungnya lagi, adalah merujuk pada sistem Eropa Kontinental (civil law). Sistem seperti ini dianut di Belanda, Belgia, Perancis, Italia, Spanyol berikut bekas jajahannya. Disamping itu, ada sistem lain juga, anglo saxon. Sistem semacam ini dianut Amerika Serikat, Inggris dan sekutunya. Disanalah, kata Buyung, dikenal istilah solicitor, barrister, attorney at law. Secara umum disebut lawyer. Nah, Indonesia menganut Eropa Kontinental. “Makanya kita mengenakan istilah advokat,” kata Buyung lagi.

Namun di mata Sahnun, istilah advokat tetap tidak tepat. “Karena dipengadilan saja, kita menggunakan istilah ‘penasehat hukum’,” ujarnya. Tak percaya? Lihat papan nama yang ada di meja pembela. “Yang ditulis ‘penasehat hukum’ kan, bukan advokat!!,” tegasnya. Nah, kalau begini, jangan heran bila organisasi advokat-nya juga tak pernah bersatu.


Irawan Santoso

Tuesday, May 13, 2008

Advokat : PECAH SEPANJANG SEJARAH

Rechstaat

Pecah Sepanjang Sejarah

Sejak awal berdiri, advokat selalu terbelah. Dulu, organisasi advokat terbelah karena ada campur tangan pemerintah. Tapi kini terpecah karena ulah advokat sendiri.

16 November 1985. Ini hari kedua berlangsungnya Musyawarah Nasional (Munas) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Ini juga hajatan pertama sejak Ikadin terbentuk. Kebetulan, Ikadin adalah organisasi yang dibentuk dengan tujuan wadah tunggal buat advokat. Tapi, walau Munas pertama, suasana tegang dan ricuh tetap berlangsung. Sesama advokat saling serang. Bahkan menjurus pertarungan fisik. Majalah Tempo edisi 16 November 1985 menuliskannya. Begini gambarannya. Ketegangan muncul lagi setelah suara untuk formatir terumpul dan dewan promatir ditetapkan. Sebab, sebagian besar pendukung Harjono meminta agar ketua umum ditetapkan saja, Harjono, sebagai formatir yang mendapat suara terbanyak. Permintaan itu tentu saja ditolak mentah-mentah oleh kelompok yang menentang Harjono. Perang mulut antara kedua kelompok melalui lima pengeras suara, yang kadang-kadang dipakai bersamaan, hampir tak terkuasai oleh pemimpin sidang.

Munas itu akhirnya berhasil memilih Harjono Tjitrosoebono sebagai ketua umum dan Albert Hasibuan jadi sekretarisnya. Kala itu, organisasi advokat itu nyaris pecah. Ikadin pun muncul sebagai satu-satunya organisasi buat advokat. Dia jadi wadah tunggal.

Munculnya Ikadin bukan tanpa cerita. Karena sebelumnya sudah ada organisasi advokat. Namanya Persatuan Advokat Indonesia (Peradin). Organisasi advokat ini dibentuk tak lama setelah Indonesia merdeka. Pelopornya adalah beberapa advokat kawakan. Ada nama-nama seperti Iskak Tjokrohadisurjo, Mohammad Roem, Lukman Wiradinata, Abidin, Hasjim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Suardi Tasrif, Sukardjo, Yap Thiam Hien, Harjono Tjitrosoebeno, Nani Razak dan lainnya. Mereka ini tergolong generasi pertama advokat Indonesia. Kala itu advokat Adnan Buyung Nasution tergolong sebagai anggota muda.

Dalam perjalannya, Peradin ternyata memiliki lawan. Tapi bukan dari kalangan advokat lainnya. Melainkan dari pemerintah selaku penguasa. Pasalnya advokat yang tergabung dalam Peradin sering berhadap-hadapan dengan pemerintah. Banyak kasus besar yang dibela oleh advokat yang tergabung disana. Alhasil kalangan penguasa Orde Baru “kepanasan” dengan organisasi advokat itu. Peradin kemudian jadi organisasi yang dicurigai Kopkamtib. Alhasil, kalangan penguasa mulai menyusupi.

Tak bisa dipungkiri, ada kehendak pemerintah agar Peradin terpecah. Memang, sekitar tahun 1978, terbentuk organisasi advokat tandingannya. Namanya Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum Indonesia (Pusbadi). Ketuanya adalah RO Tambunan. Sejak itu, advokat pun terbelah jadi dua. Antara Peradin dan Pusbadi.
Ketua Mahkamah Agung saat itu, Ali Said, mencoba menyatukan semua organisasi advokat itu. Dia memanggil seluruh pimpinan organisasi advokat yang ada. Namun, sampai masa jabatan Ali habis, advokat belum juga bersatu. Baru di era kepemimpinan Menteri Kehakiman, Ismail Saleh, usaha itu dilakukan kembali. Tahun 1985 itulah, kali pertama dibuat kongres yang diikuti seluruh advokat dari beragam organisasi. Maka terbentuklah yang namanya Ikadin tadi. Kala Munas itulah, suasana perang antar advokat tak terelakkan. Antara kubu Peradin dan Pusbadi saling sikut untuk dapat posisi ketua Ikadin. Karena anggota Peradin masih terbanyak, maka yang terpilih adalah Harjono.

Lalu tahun 1990, Ikadin menyelenggarakan Munas yang keduakalinya. Acaranya digelar di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Disini cerita saling sikut sesama advokat justru memuncak. Menjelang Munas, dua kubu langsung terbentuk. Ada kelompok Harjono dan kubunya Gani Djemat. Keduanya ternyata bernafsu untuk duduk sebagai Ketua Ikadin yang dipilih dalam Munas nantinya. Harjono ditopang anggota Ikadin yang lama. Sementara kubu Djemat banyak disokong advokat dari Jakarta. Ada nama-nama Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Yan Apul Girsang dan lainnya. Mereka inilah yang tim sukses buat Djemat.

Kala Munas berlangsung, pertarungan dua kubu benar terjadi. Bahkan sampai adu fisik. Simak laporan majalah Tempo edisi 4 Agustus 1990 soal kejadian Munas kala itu. Pernyataan Rudhy diikuti teriakan silih berganti dari para pendukung Djemat lainnya. “Bubar” kata Palmer Situmorang. Belasan rekannya, sesama pendukung Djemat, berhamburan di meja pemimpin sidang. “Turun”, teriak mereka. Beberapa panitia mencoba merebut corong pengeras suara dari tangan Rudhy. Pria gempal itu bertahan, sementara rekan-rekannya melindunginya.

Di tengah kekalutan itu, terdengar suara pukulan mendarat diwajah seseorang. “Plak”. Tampak salah seorang panitia, Tommy Sihotang, memburu John H Waliry. “Gua dipukul,” teriak Tommy. Herannya John malah mengaku dipukul lebih dulu, entah oleh siapa. Ini mungkin khas advokat, yang memukul dan yang dipukul sama-sama mengaku jadi korban.

Kekacauan semakin menjadi. Di sisi kiri, Palmer berteriak-teriak dan menyenggolkan sikutnya ke meja minuman. Delapan gelas jatuh, pecah berantakan. Akhirnya, situasi dapat diredakan setelah petugas kepolisian dan beberapa ABRI berpakaian preman turun tangan.


Kekacauan itu berlangsung waktu akan dilangsungkannya pemilihan ketua umum. Dua kubu yang berseteru, mulanya berdebat panjang soal mekanismenya. Kubu Harjono setuju bila pemilihan dilakukan dengan sistem suara yang diwakili oleh masih-masing Dewan Pimpinan Cabang (DPC) yang hadir. Artinya tidak semua advokat peserta Munas memilih. Hanya ketua dari masing-masing DPC saja. Dasar hukumnya ada. Mereka merujuk pada hasil Rapat Kerja (Raker) Ikadin tahun 1990.
Sementara, kubu Djemat mendesak agar pemilihan dilangsung dengan sistem one man one vote. Setiap advokat yang hadir, berhak memilih ketua umum. Alas haknya juga ada. Mengacu pada Anggaran Dasar Ikadin. Alhasil, dua-duanya ngotot. Tak ada yang mau mengalah karena masing-masing punya pijakan hukum yang kuat.
Dari sisi suara, bila pemilihan dilakukan oleh sistem DPC, maka kubu Harjono dipastikan menang. Pasalnya, dirinya banyak ditopang advokat dari daerah. Tapi rata-rata yang datang hanya pengurusnya saja. Sementara, peserta terbanyak datang dari advokat asal Jakarta. Bila dilakukan pemilihan satu orang satu suara, dipastikan Djemat yang menang. Inilah yang membuat baku hantam tak terelakkan.

Namun, pimpinan sidang tetap ngotot memakai mekanisme yang dipilih kubu Harjono. Alhasil kelompok Djemat walk out. Mereka meninggalkan arena Munas. Tapi bukan beranjak pulang. Melainkan berkumpul lagi di Gedung Serbaguna Putri Duyung Cottage, Ancol, Jakarta. Letaknya hanya 500 meter dari Hotel Horison. Disana, ternyata mereka mengikrarkan diri untuk membentuk organisasi advokat baru saingan Ikadin. Namanya ditetapkan yakni Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Mereka beramai-ramai menandatangani ikrar diatas sebuah spanduk putih. Sehabis deklarasi, serempak mereka menyanyikan lagu “Kemesraan”. Lagu inilah yang kemudian dijadikan hymne wajib di AAI. Gani Djemat didepak sebagai ketua umum pertamanya. Sejak itu, organisasi advokat terbelah lagi. Ikadin yang seyogyanya dijadikan wadah tunggal buat advokat, terpecah lagi.
Ternyata, sebelumnya juga tumbuh lagi organisasi advokat lainnya. Sebelum AAI lahir, Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) dan Serikat Pengacara Indonesia (SPI) telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi advokat juga Munculnya dua organisasi advokat ini juga punya cerita sendiri. Karena dari segi istilah, sebenarnya mereka berbeda dengan advokat.

Bukan itu saja. IPHI kemudian malah terpecah lagi. Sebagian advokat yang sebelumnya tergabung di organisasi itu, mendirikan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI). Pembentukan ini dipelopori oleh Elza Syarif. Malah beberapa konsultan hukum juga mendeklarasikan organisasinya. Mereka bergabung dalam Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Ironisnya, AKHI yang baru berdiri, terpecah juga. Ada sebagian yang kemudian mendirikan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM). Di sisi lain, ada juga yang tergolong dalam Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Jadi, lengkaplah perpecahan di dunia advokat kita.
Lalu muncullah UU No 18 tahun 2003 tentang advokat. Beleid ini mengamanatkan agar advokat membentuk wadah tunggal. Artinya hanya ada satu organisasi advokat. Para pimpinan organisasi advokat yang ada, kemudian berkumpul. Mereka mendeklarasikan diri membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Lembaga inilah yang kemudian mengklaim sebagai wadah tunggal itu. Otto Hasibuan sebagai ketua umumnya. Tapi, kini organisasi itu terpecah lagi. Sejumlah advokat tak setuju dengan cara pembentukannya. Bulan Mei 2008 ini mereka membuat Kongres Advokat Indonesia. Ajang itu dibuat untuk melahirkan wadah tunggal sebenarnya. Namun kubu Otto tak setuju cara itu. Menurutnya, kongres itu bukan hajatan yang dibuat Peradi. “Munas advokat yang Peradi buat, tahun 2010,” tegasnya. Berarti, bisa dipastikan bahwa organisasi advokat pecah lagi. Ironis sekali.

Irawan Santoso

majalah Neraca Hukum edisi Mei 2008





Wednesday, May 7, 2008

Van Den Brand

Rechstaat

Advokat Van Den Brand

Jauh sebelum Indonesia merdeka, advokat sudah ada. Kala negeri masih dijajah Hindia Belanda, Advokat sudah berkisah. Walau republik belum merdeka, advokat telah membela. Tapi bukan untuk kalangan bangsawan Belanda atau kelompok raja nusantara. Dia membela rakyat jelata. Mengadvokasi orang pribumi yang ditindas penjajah.

Advokat itu orang Belanda. Bagian dari bangsa penjajah. Namanya Van Den Brand. Lulusan Universitas Amsterdam. Setelah menyandang gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), dia menyeberang lautan. Meninggalkan Geervliet, kampung halamannya di Belanda. Den Brand memilih mengabdi di Indonesia. Tahun 1885, dia sampai di Semarang. Dia bekerja di kantor advokat disana. Sempat pula menetap beberapa saat di Batavia (Jakarta). Juga sebagai advokat.
Akhir Oktober 1897, di suatu petang yang panas, Den Brand menuju Medan, Sumatera Utara. Menyahuti ajakan J Hallerman. Pria Jerman yang mengajaknya menerbitkan koran Sumatera Post. Ini surat kabar ketiga di kota itu setelah Deli Courant dan De Ooskust (Emil Aulia, Berjuta-juta dari Deli, 2007)

Dua tahun jadi wartawan, Den Brand berubah haluan. Dia kembali jadi advokat. Dia menyewa sebuah ruangan kecil di Hautenbaghtwet, membuka firma hukum. Nalurinya yang membawanya kesana. Karena di tanah Deli, kala itu, banyak dijumpainya pelanggaran dan kejahatan tanpa pembelaan.

Dia melihat orang pribumi dikasari kala bekerja di perkebunan Deli Maastchappij. Dia menyaksikan orang Belanda menyiksa orang pribumi tanpa belas kasih. Dia tahu orang Belanda melanggar hukum kala memperbudak pribumi. Dia mengerti kesalahan Hindia ketika memperkerjakan penduduk jelata tanpa digaji. Den Brand tahu rezim Hindia menerapkan sistem perbudakan di tanah Deli lewat poenale sanctie.

Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat bangsanya sendiri. Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dilemparkannya ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Begitu beredar, karya Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Den Brand dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap Den Brand, membuat pemerintah Belanda beraksi. Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.

Gara-gara Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta perlindungan. Di Batavia juga sama. Raad van Justitie (pengadilan) jadi ramai. Pribumi jadi berani menuntut ganti rugi. Den Brand juga yang membelanya.

Den Brand beraksi bak advokat sejati. Padahal saat itu tak banyak advokat yang mendukungnya. Karena buah karyanya, Den Brand banyak diserang dengan tuduhan pencemaran nama. Tapi Den Brand tak gentar. Kebenaran tetap diungkapnya walau belum ada organisasi advokat yang melindunginya. Den Brand telah memberi warisan buat kalangan advokat untuk bertindak semestinya. Dia telah menunjukkan officium nobile di tanah air sejak kita belum merdeka.

Tapi sayang, kini Den Brand pantas kecewa. Karena begitu Indonesia merdeka, advokat penerusnya tak mampu berbuat seperti dirinya. Advokat kini lebih banyak berkelahi. Mereka sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sibuk beraksi demi sebuah organisasi. Saling sikut demi yang namanya gengsi. Saling serang padahal hanya membentuk organisasinya sendiri. Saling berlomba untuk merebut jabatan ketua di organisasi advokat. Bukan berebut membela kesengsaraan dan penderitaan yang dialami rakyat. Bukan melakoni advokasi kala penindasan dan pelanggaran hukum tak terkendali. Itulah ironi advokat kita kini.


Irawan Santoso
majalah NERACA Hukum, Mei 2008









Tuesday, January 29, 2008

Benarkah THEMIS Dewi Keadilan?

T H E M I S

Themis bukanlah barang biasa. Dia makhluk yang kerap disembah. Dialah benda yang disanggah sejak manusia percaya dewa-dewa. Dia pula makhluk yang terus dipuja walau manusia telah mengenal Sang Pencipta. Bahkan di era sekarang pula, Themis kerap menemani banyak para sarjana. Themis menjadi simbol bagi hakim, jaksa dan pengacara. Themis menjadi simbol yang dianut setiap manusia didunia. Bahkan mampu menandingi simbol sekelas Dollar Amerika, Euro, serta beragam barang produksi sekarang. Karena sosoknya dianggap sebagai dewi keadilan. Makhluk yang mencerminkan kewibawaan hukum. Makhluk yang mencerminkan penegakan hukum telah dijalankan dengan benar. Makhluk yang menandakan sebuah hukum berdiri disuatu negeri. Themis menjelma menjadi benda yang dipuja. Tapi, sekali lagi, bukan oleh kalangan hamba sahaya.

Di meja tamu ruangan Ketua Mahkamah Agung, Themis berdiri gagah. Dia ada ditengah-tengah. Persis berada diantara Bagir Manan, ketua MA, dan tetamunya. Siapapun sosok yang menemui Bagir di peraduan kerjanya, Themis selalu diantaranya. Tak beda dengan Adnan Buyung Nasution. Pengacara kawakan ini juga memelihara Themis di meja kerjanya. Bahkan Themis miliknya sengaja dibeli dari Belanda. Themis sengaja diletakkan disudut kiri meja tempatnya membahas perkara yang dibelanya. Humphrey Djemat juga serupa. Dia tak beda dengan Buyung. Themis juga diletakkannya di meja kerjanya. Indra Sahnun Lubis lebih parah lagi. Sesosok Themis berukuran bayi manusia sengaja diletakkannya diruangan kerjanya. “Saya membelinya di Singapura,” katanya bangga. Hotman Paris Hutapea, pengacara bersuara lantang ini juga “menyembah” Themis. Dia menghadirkannya di meja tamu, di kantornya. Begitu pula Otto Hasibuan. Ketua umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) ini juga berlakon serupa. Bahkan Themis kepunyaannya diletakkan di dua tempat. Meja kerjanya dan meja menerima tamu. Hendarman Supandji tak berbeda. Dia juga memajang Themis di meja kecil samping kursi tamu. Jaksa Agung itu tak banyak berkata. “Ini sudah ada sejak sebelum saya,” katanya.

Bukan cuma di Indonesia. Bukan hanya dikalangan para jago-jago hukum bangsa kita. Themis ternyata disembah dimana-mana. Di Perancis, gambar Themis terpajang persis di lembar pertama Kodifikasi Hukum Perdata Napoleon. Amerika juga sama. Katanya, sejak tahun 1890, Themis bahkan sudah menjadi bagian dari second county courthouse. Themis sengaja dibuat dari seng yang disepuh. Dia berdiri diatas ketinggian 172 kaki dari jalan raya di negara adidaya itu. Bahkan, di third county courthouse, Themis justru diletakkan di suatu pedestal disamping pintu gerbang. Sejak 1960, Themis berdiri kokoh disana. Yang lebih gila dilakonkan Metallica. Ini bukan pengacara, hakim atau penegak hukum lainnya. Tapi grup band cadas yang sudah melegenda. Metallica pernah menjadikan Themis sebagai sampul depan album kebanggaan mereka. Sampul dari album yang berjudul Justice. Artinya keadilan.

Metallica memang tak salah. Begitu juga dengan para punggawa hukum dan advokat negara kita. Mereka memelihara Themis karena sebuah alasan. Karena Themis dianggap sebagai dewi keadilan. Themis dinilai simbol hukum yang menyuarakan keadilan. Themis menjadi simbol universal penduduk dunia terhadap sebuah keadilan. Sosoknya digambarkan sebagai sebuah dewi keadilan. Dewi yang memegang pedang dan mata ditutup kain hitam. Seolah, pedang di tangan kanan Themis siap menebas apapun yang culas. Siap memberantas segala sesuatu yang menindas. Menumpas setiap kejahatan yang merugikan manusia. Themis adalah sosok dewi yang siap menebas setiap keangkaramurkaan yang terjadi. Tentu dengan tanpa pandang bulu.

Tapi, benarkah memang Dewi Themis seperti itu? Pantaskan dia disebut sebagai simbol keadilan?

Kisah tentang Dewi Themis ini sebenarnya dimunculkan oleh Homer. Dia ini seorang sastrawan di zaman Yunani kuno. Dia hidup di era jauh sebelum kita. Sekitar abad ke-5 SM. Homer adalah salah satu dari tiga sastrawan yang menguak takdir. Kala itu, dua penggiat sastra lainya yang melegenda adalah Hesiodes dan Solon. Tapi karya-karya Homer-lah yang ikut mempengaruhi Socrates, Plato dan Aristoteles untuk berfilsafat dengan tema hukum.

Ada dua karya sastra Homer yang menggemparkan. Judulnya adalah "Illiad" dan "Odyssey". Dua buah pikiran Homer inilah yang diyakini banyak mempengaruhi literatur dunia barat. Nah, dalam "Illiad" itulah Homer mendongengkan cerita Dewi Themis.

Homer menuliskannya berpanjang-panjang. Katanya, Themis merupakan salah satu dari bangsa Titan. Themis adalah buah hati dari pasangan Ouranos (dewa langit) dan Gaea (dewa bumi). Themis tak sendiri. Dia punya sebelas saudara. Kawanan keluarga Themis ini disebut sebagai sesepuh para dewa. Hanya karena mereka adalah kelompok dewa-dewa yang paling tua. Merekapun menjadi pemula penguasa dunia. Mereka dibekali kekuatan dan ukuran yang besar. Tapi sifat dan wataknya tak beda dengan manusia. Ada dewa yang pemarah, ada yang lemah lembut, ada pula yang gagah perkasa. Tak jarang juga yang buruk rupa.

Cronus (Saturnur), cerita Homer, adalah salah satu saudara Themis. Dialah yang semula menjadi penguasa tunggal dunia. Tapi, suatu ketika, Cronus dikudeta. Pelakunya adalah anak laki-lakinya sendiri. Dialah Zeus. Proses kudeta itu sangat berdarah. Karena melibatkan pertarungan ayah dan anak dengan lagam kekerasan. Namun pemberontakan Zeus tak berjalan sendiri. Dia dibantu dua pamannya, Promotheus (dewa pencipta makhluk hidup) dan Oceanus (Dewa sungai). Dua dewa ini saudara kandung Themis.

Zeus kemudian bertahta di gunung Olympus. Dewa ini ternyata memiliki temperament tinggi. Tak jarang amarah Zeus memuncak. Dia sering melemparkan kilat kala tengah emosi. Sasarannya adalah makhluk yang membuatnya kesal. Bukan itu saja. Dia juga gemar berpoligami. Dewi yang dikawininya tak cuma satu. Selain Hera, dia memperistri Demeter, Semele, Metis. Metis adalah ibu kandung Pallas Athena. Empat istri tak juga memuaskan birahinya. Zeus juga mengawini beberapa puteri manusia. Sebut saja nama Danae, Alkmene dan lainnya. Buah perkawinannya dengan Alkmene inilah yang menghasilkan Herakles. Oleh bangsa Romawi disebut Hercules. Pastinya, Themis hanyalah setitik noktah di pangkuan Zeus.

Selain mereka, tercatat beberapa saudara kandung Themis yang memiliki peran penting. Misalnya Dewi Tethys (istri Oceanus), Dewi Mnemosyne (dewi memori), Dewi Hyperion (bapak dari Matahari), Dewa Lapetus (ayah Pomotheus) dan dewa Atlas (dewa yang membawa dunia dengan dua bahunya). Pastinya, sejak itu Zeus berlakon sebagai dewa-nya dewa. Dia beristrikan Hera sebagai ratu-nya dewa di jagad khayangan.

Namun, Hesiodes menceritakan kejadian yang sedikit berbeda. Dalam karyanya, "Theogony", justru kemudian Zeus menikahi Themis karena jatuh hati dengan dewi itu. Etah karena paras atau body-nya. Entah pula karena hati Themis yang dinilai bersih. Tak ada catatan pasti tentang itu. Dia tetap rela diperistri oleh keponakannya sendiri. Themis tak berontak atau malu demi memuaskan birahi sendiri. Hasil perkawinan mereka kemudian menghasilkan tiga dewa. Mereka adalah Eunomia (dewi kerajaan yang baik), Dike (dewi keadilan), dan Irene (dewi perdamaian).

Nah, dari silsilah keluarga para dewa tadi, hanya Themis-lah yang tetap dipuja hingga kini. Dirinya dianggap sebagai simbol keadilan. Padahal sepak terjangnya tak diketahui pasti. Terlebih lagi berkisar lakonnya dalam memperjuangkan sebuah keadilan.

Ironisnya lagi, semasa Themis hidup, gejolak kerap terjadi. Themis tentu menyaksikan kudeta yang dibuat Zeus. Mengapa Themis tak berperan? Setidaknya bila proses perebutan kekuasaan itu benar berlangsung, pedang Themis siap memberantas kebatilan. Justru Themis cuek bebek saja.

Pastinya, sebagai dewi, posisi Themis tak begitu berarti di mata Zeus. Karena dia kerap dimadu oleh raja dewa itu. Tapi Themis diam seribu bahasa. Tak ada epos yang berkisah Themis berontak atas ulah Zeus itu. Tak ada rasa cemburu atau malu. Themis tak bersuara memperjuangkan keperempuanannya. Themis tetap pasrah melihat Zeus membabat banyak wanita. Themis bukanlah sosok pejuang bagi kalangannya.

Disisi lain, hasil pergumulan Themis dengan Zeus, melahirnya tiga dewi. Mereka juga ternyata berjalan di rel keadilan. Tapi kini yang banyak dipuja hanyalah dia seorang. Padahal hikayat Themis tak begitu cemerlang. Namun, semua kalangan hukum tetap memujanya. Mulai dari ketua MA, Jaksa Agung sampai pengacara jalanan selalu percaya dirinya adalah simbol keadilan. Mereka percaya tanpa tahu siapa Themis yang disembahnya.Kalangan ini tetap yakin Themis bisa memperjuangkan keadilan.

Padahal, keadilan terwujud bila aturan formil di tegakkan dan keberan materil benar diungkapkan. Padahal, keadilan akan gagah bila setiap hamba hukum mengabdi penuh nurani dan etika. Padahal, keadilan akan mulia bila kita semua memang punya semangat untuk mewujudkan RECHSTAAT semata.




Irawan Santoso, SH




NB.
Simak juga sajian bergaya serupa.
Sekadar upaya agar berpikir kembali.
Ada PRETOR dan LEX CERTA.