Monday, January 11, 2016

KONSTANTINOPEL

Bismillahirrahmanirrahim




Sebuah epos di abad pertengahan. Kala dinar dirham masih menyala. Kala bankir belum bernama. Konstantinopel adalah sebuah kota bak surga. Ibukota Imperium Romawi. Didirikan oleh Byzas, orang Yunani, 324 SM. Romawi punya sekuel panjang. Sebelumnya Roma pusat Romawi. Tapi abad 4, hancur lebur. Terbelah menjadi kerajaan di Eropa. Arthur memimpin pemberontakan di Inggris. Germana juga berdiri. Romawi pun bergeser ke Konstantinopel. Antara Roma dan Konstantinopel banyak beda. Terlebih karena ajaran Nasrani yang era itu begitu berjaya. Di Roma menganut Trinitas. Konstantinopel berpaham unitarian, satu Tuhan. Keduanya kerap saling berperang. Abad 13, pasukan Roma yang semua hendak berperang melawan pasukan Utsmaniyah, mendadak menyerbu Konstantinopel. Karena mereka terkesima keindahaan kotanya. 

Di dalamnya ada Gereja Katolik Santa Sophia yang melegenda. Di sana banyak berdiri hipodrum yang megah. Istana kerajaan begitu banyak, yang jumlahnya lebih banyak ketimbang jumlah hari dalam setahun. Kota itu berisikan pualam dan kristal, emas tempaan dan mozaik indah. Orang barbar dari Eropa sering datang dan terkesima. Bahkan ternganga kagum, karena Konstantinopel adalah kota impian seluruh dunia. Fulcher dan Chartres, dua orang Eropa mampir ke sana di abad 11, “betapa indah kota ini, betapa banyak biara, banyak istana yang dibangun di jalan utama dan gangnya, berlimpah karya seninya. Sungguh melelahkan menyebut semua hal bagus disini, emas dan perak, pakaian model terbaru, dan relik-relik suci. Tak ada kebutuhan manusia yang tak dibawah ke sini,” mereka bergumam. Keindahannya nyata. Bahkan Napoleon Bonaperte, kaisar Perancis di abad 18, masih terkesima. “Seandainya seluruh dunia ini adalah sebuah negara, yang layak jadi ibukotanya adalah Konstantinopel,” katanya. 

Kala Islam datang, abad 7, Konstantinopel masih gagah. Rasulullah Shallalahuallaihi Wassalam beroperasi di Makkah dan Madinah. Dua kota itu tak seberapa luasnya. Romawi itulah imperiumnya. Tapi Konstantinopel sudah dijanjikan bakal ditaklukkan umat Islam. Kala menjelang perang Qandaq, muslimin tengah mempersiapkan parit sepanjang 8 kilometer di Madinah. Kala itulah Rasulullah Shallahuallaihi wassalam bersabda, “Dari Abdullah bin Amru Bin Ash ‘Bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah SAW untuk menulis, beliau SAW ditanya tentang kota manakah yang akan futuh terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah menjawab, "Kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel).” Rasulullah Shallahuallaihi wassalam juga bilang, “Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat Amir (panglima perang) adalah Amir-nya dan sekuat-kuatnya pasukan adalah pasukannya.”

Sabda adalah jaminan. Karena pasti terbukti. Tahun 674, segerombolan pasukan Kekhalifahan Ummayah sudah menyerbu Konstantinopel. Disitulah sahabat Rasulullah, Abu Ayyub al Anshari ikut serta. Dia memaksa diri, walau telah renta. Alhasil dia meninggal di perjalanan. Abu Ayyub –semoga Allah memberkatinya—minta dikebumikan di depan benteng kota itu. Tahun 717, Maslamah bin Abdul Malik memimpin ekspedisi pengepungan. Kota itu masih belum tertembus. 811, era Khalifah Harun Al Rasyid, pengepungan Konstaninopel kembali dilakukan. Tapi masih gagal. Utsmaniyah berdiri. Beyazid I menjadi Sultan. Tahun 1396, dia memimpin pengepungan. Tapi masih gagal. Murad II menjadi Sultan Utsmaniyah. Tahun 1422, dia mengomandani pengepungan Konstantinopel, tapi belum berhasil. 

Murad wafat. Romawi kegirangan. Karena dikiranya Utsmaniyah melemah. Sebab Al Fatih menjabat sebagai Sultan. Dia masih kecil. Usianya belia. Tapi Romawi lupa, dalam Islam Sultan hanya pengeksekusi, bukan pembuat sistem. Utsmaniyah adalah sebuah sistem Madinah al Munawarah yang berjalan. Siapapun sang Sultan, sejauh living law masih merujuk pada Islam, tentu akan kuat. 

Al Fatih punya ambisi menaklukkan Konstantinopel. Sebelum mengepung, dia buat benteng di Rumeli Hisari, yang berhadapan dengan benteng Anadolu Hisari. Kaisar Romawi sempat protes. Tapi tak berdaya, karena Utsmaniyah tengah kuat-kuatnya. Kedua benteng itu menghambat jalur di selat Bosphorus, pintu masuk menuju Konstantinopel. Tanggal 6 April 1453, Sultan Al Fatih memimpin ribuan muslimin mengepung kota itu. Pengepungan dari tiga titik, tembok Konstantinopel –yang tak pernah tertembus--, Golden Horn dan Laut Marmara. Pasukan Utsmaniyah bak lautan mengelilingi Konstantinopel. Tapi Romawi masih yakin, karena tembok mereka tak pernah tertembus musuh sejak berdiri. 

Al Fatih persiapkan senjata ampuh. Meriam paling besar di era itu diciptakan. Dia menyewa arsitek Romawi, yang rela dibayar siapapun. Senjata itu jadi andalan. 250 ribu pasukan Islam mengepung. Tapi sebulan lebih, Konstantinopel tak runtuh juga. 

Drama pengepungan itu begitu mencekam, bagi kaum Romawi. Mereka bilang, pasukan Islam jika malam menari-nari seperti orang gila, jika siang berperang bak orang tak takut mati. Romawi tak paham siapa yang berperang. Tarian itu adalah hadrah yang dilakoni para muslimin setiap malam. Beragam tareqah menyatuh dengan pasukan Al Fatih. Hadrah itulah dzikir panjang dan mendalam menuju Allah semata. Selepas hadra, terasa hati tenang siap untuk berperang. Kematian pun siap disambut, tanpa perlu ditangisi. 

Al Fatih lalu melakukan langkah out of the box. Dia putar arah. 72 kapal perangnya dipindah, melewati bukit dari Bosphorus menujut Selat Tanduk. Itu dalam satu malam. Romawi keheranan. Mereka pasrah. 29 Mei 1453, Al Fatih menyiapkan penyerangan puncak. Konstantinopel diserbu habis-habisan. Kota itu pun jatuh di pukul 7 pagi. Al Fatih menjadikannya ibukota Utsmaniyah. Dia merubah namanya: Istanbul. Konstantinopel berakhir kisah. Sabda Rasulullah Shallahuallaihi wassalam terbukti. Istanbul tetap jadi idaman. Hagia Sophia jadi masjid. 

Di Spanyol, 1490, Kesultanan Andalusia ambruk. Gerakan reconquesta (balas dendam) dilancarkan. Eropa mulai keluar dari kegelapan. Mereka mencari jalan menuju nusantara dan India, mencari rempah-rempah. Tapi mesti memutar lewat Cape Town, Afrika. Karena jalur dari Istanbul dikuasai Utsmaniyah. Serbuan baru datang. Kesultanan Islam melemah. Utsmaniyah dikudeta, tanpa militer, 1840. Tanzimat dilakukan. Istanbul berubah. Hagia Sophia jadi museum sejarah. Bukan lagi Masjid atau Gereja. Reconquesta membawa serta bankir dibelakangnya. Mereka meluluhlantakkan Kesultanan, tanpa lewat perang. 

Kini Istanbul hanya kisah. Utsmaniyah tiada. Hukum Allah Subhanahuwataala tak hidup. Hanya tersisa Makkah dan Madinah, kota suci yang jadi ajang rebutan orang beribadah, untuk diri sendiri. Tak ada lagi Daulah, karena terkudeta oleh state

Shaykh Abdal Qadir as sufi memberikan jalur untuk kembali. Muslimin mesti merujuk lagi Amal Ahlul Madinah. Jalurnya bisa dideteksi lewat Al Muwatta, kitab Imam Malik. Dari situlah riba, sebagai dalang hancurnya Islam, bisa dideteksi. Mahdhab mesti kembali dijalankan. Tareqah layak diikuti, agar bisa berperang bak pasukan Utsmani yang tak takut mati. Muamalah adalah pintu masuk menuju tegaknya Sultaniyya. Karena musuh Islam kini adalah sebuah sistem. Mengalahkannya bukan dengan bom atau kekuatan militer. Sistem mesti dilawan dengan sistem. Sistem Madinah, itulah modul kembali pada Sultaniyya. Istanbul layak direbut kembali.



 

Friday, March 6, 2015



L’etat C’est Moi

Di Paris tahun 1655. Kerajaan Perancis dipimpin seorang raja muda, Louis XIV. Usianya masih belia, 17 tahun bertahta. Suatu pagi dia memasuki altar rapat parlemen. Bermimik marah. Beliau memakai sepatu bot dan memegang cambuk. Begitu masuk, dia berkata, “L’etat c’est moi!” (Akulah Negara). Dia minta rapat dihentikan. Karena dia-lah raja. Dialah sang hukum.Voltaire, seorang filosof yang iri dengan Montesquei, mengkisahkannya dalam ‘Siecle de Louis XIV’.     

‘L’etat c’est moi’ menggaung kemana-mana. Ini seperti simbol keangkuhan raja. Seolah dijadikan alasan betapa monarkhi penuh ketidakadilan. Di kerajaan Inggris Raya, kisah serupa pernah membahana. Sang penerus Charlemagne, terkenal dengan ucapannya, “The King can do no wrong”. Raja tak pernah salah. Belantara Eropa yang monarkhi dengan titah raja, patuh dengan azas “the law is king.” Epos inilah yang monarkhi seolah anti demokrasi. Nomokrasi seolah tak berkeadilan sama sekali.

15 Juni 1215, di pedesaan Runnymede, dekat kota Windsor, Inggris Raya, kejadian besar berlangsung.  King John of England, menandatangani perjanjian. Sejumlah baron memberontak. Mereka ingin memisahkan diri dari kerajaan Inggris. Tapi di sisi sama, kerjaan Perancis tengah menyerbu. King John butuh dukungan kaum Inggris. Alhasil kesepakatan damai disepakati. Dia memberikan toleransi hukum buat kaum Baron. Mereka tak akan dipenjara semena-mena. Upeti dikurangi. Para baron juga mendapat perlindungan hak-hak Gereja. Piagam itulah Magna Charta..

25 baron itu dianggap sukses meluluhlantakkan hukum sang raja. Mereka berhasil membuat kesetaraan, raja dan rakyat, setatusnya sama. Sejak itulah equality before of the law membahana. Para baron itu bukan tak punya modul. Mereka mengambil kisah Romawi. Kala abad 450 SM, Romawi begitu digdaya. Raja adalah hukum, tak bisa disanggah. Sebuah kisah pertentangan kaum proletar datang. Mereka menuntut kesetaraan hak. Tersebutlah Lembaran Dua Belas. Ini kesepakatan damai antara Kaisar dan rakyat. Kaum proletar dibolehkan punya wakil di tribun, semacam majelis perwakilan di republik Romawi. Proletar mendapat hak-hak plebeian, terbebas dari penafsiran hukum yang sewenang-wenang. Kaum ini mengacu pada Cicero, sang legenda. Praetor ternama itu penganut paham Stois. Cicero tak setuju kekuasaan kerajaan berada di satu tangan.

16 Desember 1792, Raja Louis XVI ketiban sial. Dia dikudeta paksa. Revolusi berdarah terjadi di Paris. Sang monarkhi disingkirkan. Sponsor utama pemberontakan, adalah kaum baron. Borjuis Perancis yang berada dibelakangnya. Mereka sengaja membebaskan para budak, untuk menjadi tentara revolusi, melawan kerajaan. Tapi revolusi diatur dan dijalankan dari Inggris. Jeremy Bentham, William Petty, sang Earl of Shelbourne, punya peran penting di drama itu. Sembilan orang tak dikenal, berada dibalik layar. Revolusi ini, sama seperti revolusi Bolshevik, benci terhadap Hukum Gereja.

Proletar seolah bebas. Liberte, Egalite, fraternite berkumandang nyaring, Tak ada lagi “L’etat C’est moi”. Karena hukum disusun bersama. Dibuat bersama-sama, tanpa perlu lagi tunduk pada aturan Gereja. Itulah konstitusi.

Rechtstaat membahana. Negara hukum seolah jalan keluarnya. Rule of the law dibuat sebagai cita-cita. Rechtstaat berarti hukum yang berdiri pada aturan kesepakatan. Semua hukum dibuat bersama. Walau dengan perwakilan. Tak ada lagi hukum yang turun dari langit, karena dianggap tak ada kesepakatan sebelumnya. Du contract social jadi idola. Tuhan tak lagi bisa memerintah. Kitab suci bukan hukum, karena disusun bukan berdasarkan kesepakatan.

Tapi proletar terperangah. Mereka tak lagi jadi budak, tapi malah berubah menjadi kuli. Memang tak digari, dicambuk, diikat bersama-sama, tapi dijerat dengan riba. Kaum borjuis pegang kendali. Mereka menguasai sektor ekonomi. Centeng-centeng diciptakan, demi mengamankan mesin produksi. Equality before of the law hanya bualan. Karena hanya mulut manis di undang-undang. Tapi kaum baron sejatinya menjalankan sistem hukum poenali sanctie. Hukum yang diciptakan demi kepentingan perusahaan. Inilah fakta selama berabad, selepas “L’etat c’est moi” menghilang.

Karena memang Barat penuh kegelapan. Mereka tak rela belajar pada Islam. “L’etat c’est moi” memang kegagalan monarkhi. Rechstaat juga sebuah penyimpangan atas nama konstitusi. Keduanya bernegara, tapi tak pakai hukum dari Allah Subhanahuwata’ala. 

Lihatlah kala era Sultaniyya. Lihatlah bagaimana hukumnya. Keadilannya teruji. Tak ada Khalifah yang kebal hukum. Kala Islam baru terletak, abad 7 lalu, sebuah keadilan hukum pun tertonggak. Di sebuah sudut kota Madinah, Umar Bin Khattab telah jadi Khalifah. Dia akrab juga dipanggil Amirul Mukminin. Suatu ketika dia membeli seekor kuda kepada seorang kampung. Transaksi terjadi. Kuda itu dibeli. Berjalan beberapa ratus meter, kuda itu pincang. Umar kembali, kuda itu ingin ditukar. Si proletar, orang dusun itu tak terima. Umar bilang kuda itu cacat. “Tadi waktu saya jual kondisinya baik”, kata orang dusun itu menolak. Dia berani melawan Khalifah, walau tak salah. Bayangkan jika itu terjadi kepada Louis XIV atau Charlemagne. Umar terdiam. Dia tak memerintah memenggal kepala orang dusun itu. Umar justru minta masalah ini ditangani seorang qadi. Si dusun itu setuju. Dan dia merekomendasikan qadi Syuraih al Haritz untuk menangani kasus ini. Mereka pun mendatangi. Keduanya bercerita di depan qadi Syuraih. Setelah itu, dia memutuskan. “Ambillah kuda yang telah engkau beli, wahai Khalifah. Atau kembalikan saat seperti engkau membelinya,” begitu vonis sang qadi. Umar terdiam. Khalifah kalah. 

Suatu kala, seorang pencuri tertangkap di Madinah. Dia dihadapkan kepada Umar, sang Khalifah untuk disidang. “Mengapa engkau mencuri?” tanya Umar. “Karena takdir Allah,” jawab si pencuri. Umar pun langsung mencambuknya dan memotong tangannya. “Dia dipotong tangannya karena mencuri. Dicambuk karena berdusta kepada Allah,” jawab Umar. 

Berabad-abad berselang, di Istanbul, tahun 1454. Islam masih berjaya. Sultan Muhammad Al Fatih begitu membahana. Dialah pemimpin penaklukkan ibukota Romawi. Sultan ingin membangun masjid jami’ di Istanbul. Epsalanti, arsitek Romawi ditunjuk. Transaksi terjadi. Tiang-tiang harus dibangun tinggi. Tapi ditengah jalan, Epsalanti ternyata memotong tiang-tiang itu. Sultan Al Fatih marah. Mengurangi tiang, berarti mencuri. Sultan Al Fatih memotong tangan Epsalanti. 

Si Romawi tak terima. Dia mengadukan Al Fatih kepada qadi Shaykh Shari Qidr Jalabi. Keduanya pun dipanggil menghadap qadi. Al Fatih percaya diri. Epsalanti menceritakan. Al Fatih tak membantah. Wadi memutuskan, “Sebagai bentuk syariat, tangan anda harus dipotong sebagai bentuk qishash, wahai Sultan!”. Al Fatih terdiam. Epsalanti belingsatan. Dia tak menyangka vonisnya begitu. Dia berharap hukumannya Sultan didenda. Bukan potong tangan. Karena tak ada untung buatnya. Alhasil Sultan diperintah membayar 10 Dinar setiap hari, selama seumur hidupnya, kepada Epsalanti. Sultan setuju. Romawi itu sumringah. Begitulah Sultaniyya mengadili. Tak ada “L’etat c’est moi”. Juga bukan rechtstaat.     

Syariat itu yogya kautaruh
Dalam syari’at hakekat tiada jauh
Lain daripada syariat akan tali sauh
Si sauh ma’rifat sukar berlabuh
 
 (Majalah IMPERIUM edisi VII/III/2015)

Friday, January 23, 2015

SANG QADI

Bismillahirrahmanirrahim



Benarkah hakim itu wakil Tuhan? Bukan. Mereka cuma pekerja biasa. Qadi-lah sang wakil Tuhan. Hakim bukanlah Qadi. Hakim hadir karena konstitusi. Qadi lahir karena kitab suci. 

Abad 7 lalu. Di sebuah sudut kota Madinah. Umar Bin Khattab seorang Khalifah. Dia tegas, cerdas, tangkas. Bahkan setan pun takut dengan sosok Umar. Suatu ketika, Umar berjalan ke sebuah kampung. Dia membeli seekor kuda. Penjualnya orang dusun. Transaksi terjadi. Kuda dibeli, langsung dipakai oleh Umar. Berjalan beberapa ratus meter, kuda itu mendadak pincang. Umar tak terima. Dia balik ke orang dusun tadi. “Aku kembalikan kudamu, karena ternyata cacat,” kata Umar. Orang dusun itu tak terima. “Waktu saya jual tadi kondisinya baik,” katanya. Mereka berselisih. Umar menyarankan sengketa ini ditengahi seorang Qadi. Orang dusun itu setuju. Dia menyarankan Qadi-nya Syuraih Al Haritz.

Keduanya datang. Umar mengadukan kasusnya. Si orang dusun itu pun bercerita. Lalu Qadhi memutuskan. “Ambillah kuda yang telah engkau beli, wahai Khalifah. Atau kembalikan seperti saat engkau membelinya,” begitu vonis sang Qadhi. Umar terdiam. Dia kalah. Walau Khalifah, pemimpin tertinggi, tapi dia dikalahkan di depan orang dusun. Kasus itu ditutup. Final binding. Umar menerima putusan itu. Dia terkesima. Syuraih langsung diangkatnya jadi Qadhi di Kuffah. Umar melaporkan soal kuda, tapi tak kehilangan rumah.  
Abad 8, di Bashrah, Irak. Iyas Bin Muawiyah Al Muzanni seorang Qadhi. Suatu ketika datang dua orang bersengketa. Si A membeli tanah si B. Transaksi sukses. Tapi ternyata diatas tanah itu, ditemukan sebongkah emas. Si A bilang, emas itu milik si B. “Karena saya menjual tanah berikut apa yang ada diatasnya,” katanya. Tapi si B menolak. Emas itu masih milik si A. “Saya hanya membeli tanahnya, tidak membeli emasnya,” ujarnya. Alhasil mereka mendatangi Qadhi. Iyas pun mengadili. Setelah keduanya berargumen, Iyas memutuskan. Dia bertanya kepada si A, apakah memiliki seorang anak? Si A bilang punya anak lelaki. Si B ditanya, punya-kah anak perempuan? Dia mengiyakan. Iyas memutuskan, “Kawinkan anak kalian berdua, pakai emas itu sebagai mas kawinnya.” Palu diketok. Kasus ditutup. Kedua pihak sumringah. Final binding. Keduanya bahagia. Tak ada melapor hilang ayam, lalu kambing pun lenyap.

Mereka para Qadhi. Bukan hakim. Allah Subhanahuwata’ala memberi contoh tentang Qadhi dalam Al Quran. Di Surat Al Anbiya, ditunjukkan bagaimana sengketa divonis dengan indah. Kala itu di era Nabi Daud Allahi Salam. Dua orang bersengketa datang. Seorang pemilik kebun dan pemilik kambing. Kebun anggur ternyata ludes karena dimakan kambing. Kebun itu sudah siap panen. Daud AS pun mengadili. Dia meminta pemilik kambing menyerahkan kambingnya kepada pemilik kebun. Sebagai ganti rugi. Tapi keputusan itu didengar Sulaiman Allahi Salam, anak Nabi Daud. Sulaiman memberi usul, kambing itu diserahkan kepada pemilik kebun. Tapi kebun itu diserahkan kepada pemilik kambing agar kembali ditanami. Setelah anggur berbuah lagi, kebun itu dikembalikan. Dan kambing itu juga dikembalikan. Kasus ditutup. Keduanya senang. Tak ada banding atau kasasi. Begitulah Islam mengadili.

Lalu darimana datangnya hakim? Simak epos Aeschylus, pujangga Yunani Kuno (526-426 SM). Dia menuliskan tentang pengadilan pertama di dunia. Di aeropagus-lah, tempat dewa dewi mengadili. Dewa Orestes diadili. Hakimnya Dewi Athene. Dewan juri-nya berjejer dua belas dewa. Orestes anak lelaki Agamemnon, penguasa tunggal Mycenaea. Sang penakluk Kerajaan Troya juga. Orestes diadili karena menikam ibu kandungnya, Clytemnestra. Dewa dewi marah. Orestes diadili. Aeropagus tempatnya. Furies, dewi yang menyelidiki. Orestes disidang. Drama persidangan ini jadi rujukan.

Abad berjalan. Aeropagus jadi keramat. Tempat ini dijadikan pengadilan betulan. Di Yunani sana, hingga kini aeropagus modul ruang persidangan. Dari sanalah mengapa ada posisi hakim, jaksa dan pembela. Tempatnya di bukit kecil (Ares). Di sebelah barat Athena. Era Yunani, seorang arkhon ditunjuk sebagai hakim. Terdakwa diletakkan ditengah-tengah. Arkhai yang menyiapkan administrasi persidangan. Diantara arkhai tadi, ada “dewan sebelas”. Merekalah yang mengurusi eksekusi. Mereka punya daya untuk menahan dan menangkap. Tapi khusus kasus yang ‘et autophoro’ (tertangkap tangan).

Arkhon pertama adalah Draco. Aristoteles banyak mengkisahkan tentang Draco. Dialah yang membuat kodifikasi hukum pidana era Yunani kuno. Arkhon selanjutnya muncul pula Solon. Dia dianggap pengadil di era itu.

Abad berjalan. Kisah arkhon membahana. Pengadilan itu jadi rujukan. Aeropagus jadi rujukan. Germana yang memulai. Orang-orang menggelar pengadilan dibawah pohon Oak dan Keltik. Sebutannya pengadilan Thing. Arkhon jadi pengadilan. Manusia yang menentukan hukuman. Romawi begitu juga. Kala era Cicero, Julis Caesar, pengadilan dilakukan Senat. Praetor yang mengadili, punya juga hak suara membela. Hukuman diberikan berdasarkan suara senator. Mereka mengacu pada aeropagus tadi. Era Romawi dalam Donnatio Pippini (Dominasi Paus), senat dilupakan. Gereja menjadi ruang pengadilan. Hukum Nasrani berlaku. Tak ada arkhon, tiada juga praetor.

Masa kekhilafahan, Qadhi menjadi mulia. Hukum dijalankan karena takut akan Allah. Abad 7 hingga 18, semuanya berjalan tenang. Mulai dari Andalusia, jazirah, Eropa Timur, hingga nusantara, Qadhi-lah sang supremasi. Di nusantara, model peradilan Qadhi, membuat cemburu pedagang dari Eropa. Mereka menyaksikan, hukum oleh Qadhi begitu tenang. Vincentius Sangermana (1818) menggambarkan: “tuntutan dihentikan jauh lebih cepat dibanding yang umum berlaku di bagian dunia kita, karena biasanya diselesaikan dalam waktu satu hari.” Pelaut Portugis, Dasmarifias Gomez Perez (1590), tercengang dengan peradilan di Kesultanan Brunai. “Tidak ada perkara yang berlangsung sampai dua hari.” Willem Lodewycksk, pelaut Belanda (1598) keheranan, “Di (Kesultanan) Banten perkara biasanya dimulai dan berakhir pada malam yang sama.” Galvao Antonio (1544) lebih terheran-heran lagi. “Mereka tidak punya undang-undang tertulis, mereka tidak mengenal pengacara, panitera, replikasi, dan jawaban, serta cara-cara lain untuk memperlama dan menunda-nunda persoalan,” tulisnya.

Sekarang mungkin mereka akan terheran, mengapa hakim lebih dipilih ketimbang Qadhi. Revolusi Perancis, abad 18, membuat hakim dilegalkan. Hukum Ius Civil Perancis diadopsi. Belanda membawa ke nusantara. Hakim dipakai. Qadhi disingkirkan. Tak heran, lapor hilang ayam bakal hilang kerbau. Karena hakim yang dipilih. Allah Subhanahuwata’ala sudah berpesan, “Barangsiapa memutuskan dengan hukum yang tidak dari hukum Allah, maka itulah orang-orang kafir” (QS Al Maidah:44).
 

KEMATIAN LEGALITAS



Ada berapa undang-undang yang berlaku aktif di negara ini? Kenapa kita butuh banyak undang-undang? 

Karena terjebak pada legalitas. Karena terjebak pada azas nullum dilectum nulla poena sine pravia lege poenali.  Azas ini terpaku dalam KUHP. Azas ini seolah keramat. Sumbernya konstitusi. Bukan kitab suci. Nullum dillectum mulai menggema sejak rezim “negara” menggeliat. Pasca Revolusi Perancis, abad 18, negara adalah bentuk baru bermasyarakat. Empat serangkai, Montesquei, JJ Rosseou, Cesare Becaria, John Locke, menjadi modul terbentuknya “state” itu.  Mereka melengkapi krisis kepercayaan Eropa terhadap “Suara Gereja Suara Tuhan”. Karena sudah bergeser menjadi “Suara Rakyat Suara Tuhan”. Rosseou mengira kedaulatan adalah di tangan rakyat. Bukan milik Gereja. Hukum yang dipakai juga tak lagi tunduk pada sistem Gereja. Pada sistem kitab suci, Alkitab.

Nullum dilectum kemudian menjadi idola baru. Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach, ahli hukum Jerman, menukiskan yang pertama. Dia memprasastikannya dalam The Bavarian Criminal Code di 1813. Paul tak setuju degan teori kekutan sipil-nya Thomas Hobbes. Dalam kuliahnya soal jurisprudence criminal, dia mengemukakan teorinya yang terkenal. Paul mengumandangkan nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Dia sang profesor di Jena dan Kiel, Jerman, tahun 1804. 

Buah pikiran Paul ini pun diadopsi dunia. Nullum crimen masuk sebagai hukum dasar alam criminal internasional. Makanya ex post facto laws pun dilarang dilakukan.
Tapi Beccaria (1738-1794) juga sudah pernah mengusungnya. Dialah desain dari kalimat nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Si Italia itu memang jadi idola. Usianya 25 tahun tapi telah mampu menyusun kitab pidana lengkap, Dei Delitti Pene (tentang beragam kejahatan dan hukuman). Buku ini kemudian diterbitkan Voltaire, salah satu pengagumnya.

Republik Perancis, pasca Revolusi, langsung menerapkan kitab ini. Dalam Declaration des Droits de I’Homme (UUD Perancis) tahun 1789, 1795 dan 1810, buah pikiran Beccaria itu disahkan sebagai aturan.

Cuma Beccaria ternyata tak orisinil juga. Manusia sebelum dia, sempat berpikiran sama. Pau
lus dari abad III A.D. (Anno Domini –tarikh sebelum Masehi--). Dia sempat mengumandangkannya pula. Ada tulisannya yang berbunyi begini: non ex regulis ius sumatur, sed ex iure quod est regula fiat (kita menjabarkan hukum tidak dari aturan-aturan hukum, tapi hukum dari apa yang merupakan aturan).

Yang terang, legalitas adalah penolakan terhadap hukum Tuhan. Mereka seolah mulia, menolak tindakan eigenrichting (main hakim sendiri). Mereka menolak bloedwraak (balas dendam) dalam kasus pembunuhan. Inilah yang bertentangan dengan sistem hukum dari Tuhan. Karena qisas adalah model berdendam. Siapa membunuh, maka dibalas bunuh. Boleh tak dibalas, asal membayar diyat alias denda. Jumlahnya 2000 dinar, ketika di jazirah abad 7. 

Legalitas seolah lebih mulia dari qisas. Padahal, prinsip itu sudah diusung kala Hammurabi menjadi Raja Babilonia, 1700 SM. Hammurabi, peradaban penyembah pagan. Di Museum Lowre, Paris, terpampang Kodeks Hammurabi sebanyak 282 Pasal. Di bagian atas prasasti itu, sebuah relief lukisan Dewa Matahari Syamsi. Tulisannya, “Hakim Agung langit dan bumi”. Di penghujung Pasal, sebuah tulisan berkata, “Hammurabi raja hukum, yang kepadanya Syamsy telah menganugerahkan undang-undang”.
Empat serangkai, Montesquei, Rossoue, Beccaria, Locke, mengaggumi betul peradaban ini. Ide kedaulatan negara di tangan rakyat, merujuk pada Hammurabi. Karena Tuhan tak mengatur hukum secara langsung. Melainkan lewat perantara manusia. Empat serangkai itu menolak dominasi Gereja. Mereka tak mengakui lagi “Donatio Pippini”(dominasi Paus). Karena Hugo De Grott, abad 16,  mengeluarkan kitab “De Jure belli ac pacis” (tentang hukum perang dan damai) mempertanyakan hukum Tuhan. Bagaimana jika Tuhan tak ada? Begitu katanya. Disitulah legalitas makin membahana. 

Revolusi Perancis menjadi puncak segalanya. Dinatio Pippini disingkirkan. Legalitas sah diundangkan. Qisas jadi illegal. Semua aturan, mesti dibuat manusia lewat perwakilan. 5 abad berjalan, ternyata legalitas cuma mulut manis Barat semata. Seolah cuma bualan. Karena model hukum itu membuat segelintir kalangan terlindungi, sementara kaum lain tertindas. Sistem itu tak membuat kriminalitas berhenti. Justru makin menjadi. 

Padahal Islam telah membuktikan. Model sistem hukum Tuhan telah membuat peradaban berjalan tenang. Kekhilafahan berlangsung nyaman  dari abad 7 hingga 17. Hukum berbasis Al Quran, membuat keadilan benar terlakoni. Tak ada legalitas dalam sistem ini. Karena aturan hukum tak perlu dibuat banyak. Manusia, sebagai subjek hukumnya, cukup mengikuti aturan yang ada. Diluar aturan itu, adalah bid’ah. Tak perlu banyak undang-undang. Hukum berjalan tenang. 

Tapi memang hukum hanya bak “centeng” dalam peradaban. Hukum hanya seperti satpam dari ideologi yang berkuasa. Kala kapitalis yang merajai, maka legalitas menjadi kata kunci. Kala ideologi Islam yang berkembang, hukum syariat tegak, tanpa perlu teriak-teriak.  Kejayaan Kekhilafahan berjalan karena ideologinya berkembang menjadi peradaban. Karena sistem hukumnya dilaksanakan. Bukan diteriakkan. Shaykh Abdalqadir as Sufi memberi pesan, kala yang haq telah hadir, yang bathil otomatis musnah. Kematian legalitas telah diambang mata.