Sunday, September 13, 2009

THEMIS II

Entah kenapa, orang percaya dengan keadilan buatan manusia. Selagi semua bersumber dari manusia juga, selalu ada konflik didalamnya. Yang parah, orang-orang percaya keadilan sama dengan sebuah benda. Keadilan, seolah adalah Themis semata. Karena benda inilah lambang keadilan satu-satunya. Themis itulah logo buat keadilan diseluruh dunia. Padahal, hikayatnya sungguh jauh berbeda. Padahal, dia sesungguhnya sosok pemangsa manusia.

Agamemnon itulah yang pernah jadi korban nyata. Katanya, Agamemnon itu penguasa Sparta dan Mycenea. Kini Yunani. Dialah sumber petaka bangsanya. Agamemnon pengusung Trojan War yang melegenda. Karena dia bernafsu menguasai jagad sana. Seribu kapal perang, dibawanya menuju Troya. Di sana raja Priam yang berkuasa. Dia menguasai Troya. Karena seorang wanita, Agamemnon hendak menyerang Troya. Seluruh balatentara yang ada, dibawanya. Tapi begitu hendak berangkat, tak ada angin berhembus sama sekali. Agamemnon dan seluruh kapal yang ada, menunggu hingga tiga bulan lamanya. Tapi senyiur angin pun tak berhembus sama sekali. Kapal-kapal itu tak bisa berlayar. Raja itu panik, dia minta advis seorang paranormal, penyembah setia dewa-dewi kahyangan. Katanya, Agamemnon mesti menyembelih anak semata wayangnya, Iphigenia. Buat persembahan Themis semata. Dukun itu bilang, Themis yang meminta nyawa anaknya.

Eh, Agamemnon percaya. Puteri kecilnya, dibunuh dipinggir lautan. Themis, konon, riang kesenangan. Sementara Agamemnon sedih bukan kepalang. Tapi Themis tak perduli. Epos berkisah juga, setelah pembunuhan itu, angin memang berhembus kencang. Seribu kapal perang Sparta berlayar seketika. Di kahyangan sana, Themis tak sedih sama sekali.

Era kini, Themis dipuja lagi. Dia disembah dimana-mana. Semua pengacara selalu memelihara patungnya di atas meja kerja. Seluruh hakim dan jaksa, menyediakan Themis sebagai lambang keadilan. Padahal, sosok dewi ini, tak pernah sekalipun mengkisahkan soal keadilan.

Hikayat tentang dia, hanya dikisahkan oleh Homer semata. Dia ini penggiat sastra di zaman Yunani Kuno. Hidupnya juga, jauh sebelum kita. Sekitar abad ke-5 SM tahunnya. Homer berkisah, Themis hanyalah salah satu bangsa titan. Homer adalah salah satu dari tiga sastrawan yang menguak takdir. Kala itu, dua penggiat sastra lainya yang melegenda adalah Hesiodes dan Solon. Tapi karya-karya Homer-lah yang ikut mempengaruhi Socrates, Plato dan Aristoteles untuk berfilsafat dengan tema hukum.

Ada dua karya sastra Homer yang menggemparkan. Judulnya adalah "Illiad" dan "Odyssey". Dua buah pikiran Homer inilah yang diyakini banyak mempengaruhi literatur dunia barat. Nah, dalam "Illiad" itulah Homer mendongengkan cerita Dewi Themis.

Homer menuliskannya berpanjang-panjang. Katanya, Themis merupakan salah satu dari bangsa Titan. Themis adalah buah hati dari pasangan Ouranos (dewa langit) dan Gaea (dewa bumi). Themis tak sendiri. Dia punya sebelas saudara. Kawanan keluarga Themis ini disebut sebagai sesepuh para dewa. Hanya karena mereka adalah kelompok dewa-dewa yang paling tua. Merekapun menjadi pemula penguasa dunia. Mereka dibekali kekuatan dan ukuran yang besar. Tapi sifat dan wataknya tak beda dengan manusia. Ada dewa yang pemarah, ada yang lemah lembut, ada pula yang gagah perkasa. Tak jarang juga yang buruk rupa.

Cronus (Saturnur), cerita Homer, adalah salah satu saudara Themis. Dialah yang semula menjadi penguasa tunggal dunia. Tapi, suatu ketika, Cronus dikudeta. Pelakunya adalah anak laki-lakinya sendiri. Dialah Zeus. Proses kudeta itu sangat berdarah. Karena melibatkan pertarungan ayah dan anak dengan lagam kekerasan. Namun pemberontakan Zeus tak berjalan sendiri. Dia dibantu dua pamannya, Promotheus (dewa pencipta makhluk hidup) dan Oceanus (Dewa sungai). Dua dewa ini saudara kandung Themis.

Zeus kemudian bertahta di gunung Olympus. Dewa ini ternyata memiliki temperament tinggi. Tak jarang amarah Zeus memuncak. Dia sering melemparkan kilat kala tengah emosi. Sasarannya adalah makhluk yang membuatnya kesal. Bukan itu saja. Dia juga gemar berpoligami. Dewi yang dikawininya tak cuma satu. Selain Hera, dia memperistri Demeter, Semele, Metis. Metis adalah ibu kandung Pallas Athena. Empat istri tak juga memuaskan birahinya. Zeus juga mengawini beberapa puteri manusia. Sebut saja nama Danae, Alkmene dan lainnya. Buah perkawinannya dengan Alkmene inilah yang menghasilkan Herakles. Orang Romawi menyebut Hercules. Pastinya, Themis hanyalah setitik noktah di pangkuan Zeus. Dia tak begitu berarti bagi raja dewa itu.

Beberapa saudara kandung Themis, ada juga yang memiliki peran penting. Misalnya Dewi Tethys (istri Oceanus), Dewi Mnemosyne (dewi memori), Dewi Hyperion (bapak dari Matahari), Dewa Lapetus (ayah Pomotheus) dan dewa Atlas (dewa yang membawa dunia dengan dua bahunya). Pastinya, sejak itu Zeus berlakon sebagai dewa-nya dewa. Dia beristrikan Hera sebagai ratu-nya dewa di jagad khayangan. Sekali lagi, bukan Themis.

Padahal, tak ada kisah berarti mengapa Zeus mengawini Themis. Entah karena paras atau body Themis, Zeus jadi tergila-gila, tak tahu juga. Yang ada, Themis justru pasrah dikawini keponakannya sendiri. Themis tak berontak sama sekali.

Nah, dari silsilah keluarga para dewa tadi, hanya Themis-lah yang tetap dipuja hingga kini. Dirinya dianggap sebagai simbol keadilan. Padahal sepak terjangnya tak diketahui pasti. Terlebih lagi berkisar lakonnya dalam memperjuangkan sebuah keadilan.

Ironisnya lagi, semasa Themis hidup, gejolak kerap terjadi. Themis tentu menyaksikan kudeta yang dibuat Zeus. Mengapa Themis tak berperan? Setidaknya bila proses perebutan kekuasaan itu benar berlangsung, pedang Themis siap memberantas kebatilan. Justru Themis diam saja.

Sebagai dewi,dia kerap dimadu oleh Zeus. Tapi Themis diam seribu bahasa. Tak ada epos yang berkisah Themis berontak atas ulah Zeus itu. Themis tak bersuara memperjuangkan keperempuanannya. Themis tetap pasrah melihat Zeus membabat banyak wanita. Themis bukanlah sosok pejuang bagi kalangannya. (Benarkah Themis Dewi Keadilan, Mahkamah, 1 September 2008, http://www.irawan-santoso.blogspot.com/)

Tapi manusia sekarang, menyembah Themis tak sembarangan. Semua pendekar hukum, terus memajang Themis sebagai simbol keadilan. Entah apa alasannya hingga bisa demikian. Themis beruntung karena beragam sarjana hukum jadi umat setianya.

Tapi tetap Barat-lah yang memulai pertama. Disana, Themis dipajang dimana-mana. Themis disembah, disetiap pengadilan Eropa. Mettalica sempat menyaru juga. Mereka pernah menjadi Themis sebagai sampul albumnya yang bertemakan ”justice”. Di Roma, Themis dijuluki ”justitia”. Di Perancis sama saja. Disana dewi itu menjadi simbol kodifikasi pertama Napoleon Bonaparte. Amerika tak beda. Themis menjelam jadi bagian ’secondary county courthouse’ sejak 1890 lalu.

Orang Indonesia tak beda. Ikut-ikutan juga. Jaksa Agung, Ketua Mahkamah Agung sampai pengacara hitam, memajang Themis dengan kebanggaan. Kata mereka, inilah dewi keadilan.

Padahal, Agamemnon telah sadar, Themis itulah “pembunuh” puteri semata wayangnya. Themis itulah yang membinasakan keluarganya. Themis itulah, penyebab dia tak punya ahli waris kerajaannya.

Di nusantara ini, Themis terus disembah tanpa pamrih. Themis jadi simbol keadilan, yang tak jelas hikayatnya dalam mengusung keadilan. Justru yang ada, Themis adalah penyebab kebatilan. Justru kala dirinya memberi angin, jutaan tentara Sparta dan Troya mati sia-sia. Dia tak pantas jadi simbol keadilan.




IRAWAN SANTOSO
(majalah MAHKAMAH, 28 Februari 2009)
Mengapa harus rechtstaats?

Seolah rechtstaats adalah harga mati. Di negeri ini reschtstaats, tak bisa ditawar lagi. Semua jaksa, hakim, pengacara, serempak selalu berkata bahwa rechtstaats, harus dikedepankan, tanpa boleh dikebiri. Hampir seluruh akademisi, jagoan hukum di kampus, pernah mengawali paper-nya dengan rechtstaats sebagai pembuka tulisan. Kata itu begitu dipuja. Rechstaats yang sering diterjemahkan dengan “negara hukum”, adalah prinsip yang tak boleh ditentang. Seorang blogger ternama, membuat judul blognya dengan kata rechtstaats, diatasnya dengan rasa bangga. Para mahasiswa hukum berdemonstrasi didepan Mahkamah Agung, selalu meneriakkan rechtstaats, walau tak jarang salah mengucapkan.

Ironisnya, rechtstaats masuk dalam konstitusi. Dia hadir dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Seluruh sarjana sepakat, rechtstaats merupakan lawan maachtstaat (negara kekuasaan). Tapi Rechtstaats dianggap lebih baik ketimbang maachstaat. Rechtstaats selah lebih sempurna dibanding maachstaat. Padahal, muasal rechtstaats itu sungguh tak elok bila dibawa ke alam kita. Karena kata itu bersumber dari sebuah pertempuran merebutkan kekuasaan. Kata itu dijadikan alat untuk mendapatkan kemenangan. Rechtstaats justru sejatinya dijadikan alasan untuk “menindas” sebagian orang-orang.

Cuma, Indonesia tak sadar. Karena pertiwi hanya mengekor Belanda dengan Eropa Kontinental-nya. Dengan rasa bangga pula. Padahal, rechtstaats lahir kala kegelapan melanda Eropa sana. Frederich Julius Stahl, orang pertama yang mencetuskannya. Dia pengacara sekaligus politikus, yang lahir di Munich, Jerman. Stahl putera Yahudi asli. Konsep Stahl soal rechtstaats, selalu diagungkan dalam setiap cuap-cuap sarjana hukum. Stahl bilang, ciri negara rechtstaats itu mencakup empat hal. Penegakan HAM, trias politica, pemerintahan berdasar hukum (wetmatigheid van bestuur), dan adanya sistem peradilan. Negara kita, karena bercita dan mimpi menjadi rechtstaats, tergopoh-gopoh mengaplikasikan empat omongan Stahl tadi. Stahl awalnya menjadikan rechtstaats sebagai alasan untuk membuat perlawanan.

Kala usianya 18 tahun, Stahl sempat mendaftar jadi guru di Munich Gymnasium. Tapi Stahl terbengkalai. Karena di era itu, orang Yahudi tak boleh duduk sebagai pegawai negeri. Stahl tak kehilangan akal. 6 November 1819 di Erlangen, dia masuk Kristen. Entah memang agama bagi Stahl hanya dianggap sebagai alat, tak tahu juga. Dia dibabtis di Gereja Lutheran.

Sejak menjadi Kristen, posisi Stahl menanjak tajam. Dia bisa belajar hukum di Universitas Würzburg, Heidelberg, dan Erlangen. 1827, Stahl sukses jadi privatdozent di University of Munich. Selang itu, 1840, Stahl menjadi pengacara Gereja di Berlin.

Posisi itulah yang membuat Stahl bergeliat. Sebagai advokat, Stahl banyak mengeluarkan pemikiran ekstrem. Dia menyatakan bahwa kerajaan Jerman mesti menjadi negara Kristen.
Stahl menempatkan dasar hukumnya lewat kitab Injil yang dia pelajari. Misi Stahl itu dapat dukungan penuh Kaisar Jerman era itu, William IV.

Tapi, suara diseberang tak setuju. Kelompok Calvinis pesimis dengan ide Stahl. Di zaman itu, kelompok Kristen Jerman memang terbagi. Penduduk asli banyak menganut Kristen Lutheren. Aliran ini mengambil ilham dari buah otak Marthin Luther, pria Jerman juga yang hidup di abad ke-16. Luther mereformasi teologi Kekristenan Roma. “Perpecahan” antara Lutheren dan Gereja Katolik Roma timbul karena doktrin pembenaran di hadapan Tuhan. Namun Lutherenisme tak seperti puluhan Gereja reformasi lainnya. Mereka tetap mempertahankan praktek liturgis dan sakramental ajaran Gereja dari Roma.

Beda dengan kaum pendatang, pengungsi dari Bohemia, Huguenot (Perancis), Wallona, Belanda, Polandia, Swiss dan lainnya, memegang teguh Kristen Calvinis. Keturunan mereka sebagian besar dari Calvinis di Brandenburg. Aliran ini dikembangkan teolog Martin Bucer, Heinrich Bullinger, Peter Martyr Vermigli, dan Ulgrich Zwingli. Tapi yang paling tenar adalah John Calvin, orang Perancis. Makanya kemudian dikenal dengan Calvinis.

Dua aliran ini, sama-sama menguasai Jerman. Keduanya berebut pengaruh. Alhasil kaisar William III menyatukannya. Lutheren dan Calvinis disatukan menjadi Prusia Gereja Injili. Dalam Prusia, doktrin kedua aliran itu disatukan.

Tapi, “perang” antara Luthern dan Calvinis berlangsung dingin. Stahl membela habis-habisan Luthern agar berjaya. Posisi Stahl juga sudah lumayan. Orang Yahudi, tak banyak yang bisa se-eksis Stahl di Jerman sana. Bahkan dia berhasil memetik hati sang Kaisar. 1849, Stahl diberi hadiah sebagai anggota Kamar Pertama. Di Jerman dikenal sebagai “Herrenhaus”. Bahkan 1852-1858, Stahl menjadi anggota “Evangelischer Oberkirchenrat” (penasehat Sinode).
Posisi itulah yang dipakai mempengaruhi tokoh Luthern untuk membubarkan Konstitusi Prusia tadi.

Dari Calvinis, Von Brussen, adalah lawan tangguh Stahl. Dia itu menteri Uni Injili. Tapi “peperangan” itu dimenangkan Stahl. Berkat kepiawaiannya, entah karena memang dia seorang Yahudi, Stahl berjaya. Dia mengeluarkan tulisan panjang. “Die Philosophie des Rechts geschichtlicher nach Ansicht. Isinya pandangan tentang sejarah filsafat hukum. Dalam tulisannya itulah dia menelorkan ide soal konsep negeri Kristen versi Luthern, dan membubarkan Uni Injili. Disitulah Stahl memperkenlkan konsep negara hukum pertama kalinya. Konsep itu hanya ditujukan agar pengaruh Luthern bisa lebih membahana. Stahl menang. Alhasil, Gereja Prussia Uni Injili berhasil dibubarkan, 1858.

Seabad berikutnya, “negara hukum” Stahl ditiru oleh Paul Scholten, hakim di Belanda. Scholten mengembangkan pikiran Stahl tadi. Dia menyebutkan ciri utama negara hukum sebagai “er is recht tegenover den staat”. Negara memiliki hak terhadap negara. Individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Dia juga bilang, negara hukum itu, er is scheiding van machten, ada pemisahan kekuasaan. Scholen-lah yang membawa nama rechtstaats pertama kalinya. Tapi dalam “Over den Rechtsstaats”, sebuah buku yang ditulis Verzamelde Gessriften, 1935, Scholten diakui mengadopsi pemikiran Stahl.

Kini, rechtstaats disembah kita. Dia dipuja hingga masuk konstitusi negara. Padahal, Stahl membuat konsep itu agar bisa memenangkan peperangannya dengan Calvinis. Bukan demi mewujudkan welfare state, negeri kesejahteraan. Toh di Jerman sendiri, konsep Stahl cuma bertahan beberapa tahun saja. Era Kaisar William, kemudian membuangnya. Mereka kembali ke cara lama.

Negeri ini terlalu memuja Barat. Rechtstaats yang dicita-citakan, tak pernah mengarah. Justru hukum kita makin sengsara. Hanya karena mengikut barat yang sesat.


Irawan Santoso
majalah MAHKAMAH (September, 2009)

Tuesday, June 16, 2009

Nullum Delictum, Nulla poena sine praevia lege poenali

Rechstaat

Nullum Delictum,
Nulla poena sine praevia lege poenali

Kalimat ini begitu sangat berarti. Kalimat ini, begitu disanjung tinggi. Bagi mahasiswa hukum, susunan kalimat ini wajib dihapal mati. Karena memang maknanya sangat penting. Sebuah perbuatan tidak bisa dipidana sebelum ada aturan yang mengaturnya. Begitu artinya. Begitu makna yang tersirat didalamnya. Cuma, siapa yang mendatangkan kalimat itu didunia pertama kalinya, entah. Tapi yang jelas, sumbernya adalah Eropa.

Di nusantara, kalimat itu begitu sahih. Dalam KUHP, dia diletakkan pertama. Dia diberi penghargaan yang sangat tinggi. Dia di keramatkan di Pasal 1 ayat 1 KUHP. Kita menyembahnya sebagai azas legalitas. Azas itu tak boleh disanggah. Padahal, dia entah bagaimana bisa tercipta.

Kata wikipedia, kalimat itu disanjungkan pertama oleh Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach. Orang ini yang menuliskannya dalam The Bavarian Criminal Code di 1813.
Paul menelorkan pikiran demikian juga. Paul tak setuju degan teori kekutan sipil-nya Thomas Hobbes. Dalam kuliahnya soal jurisprudence criminal, dia mengemukakan teorinya yang terkenal. Paul mengumandangkan nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Gara-gara omongannya itu, partai Paul, Rigorits, pun bangkit seketika. Suaranya merangkak tanpa lewat survei dan segala tetek bengeknya. Partai itu bermodalnya teori pembaruan yang dilantunkan Paul itu. Sang profesor di Jena dan Kiel, Jerman, di 1804 lalu.

Buah pikiran Paul ini pun diadopsi dunia. Nullum crimen masuk sebagai hukum dasar alam criminal internasional. Makanya ex post facto laws pun dilarang dilakukan. Inilah yang menimbulkan pertentangan dikalangan pengacara-pengacara dunia.

Namun, muasal teori ini ternyata ada yang mendongengkannya beda pula. Emeritus John Gilsen bilang berbeda. Katanya, kalimat itu aslinya ialah nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Penciptanya Cesare Beccaria (1738-1794). Pria ini orang Italia. Orang ini, disebutkan sangat luar biasa. Di usia muda, 25 tahun, dia mampu menyusun buku pidana lengkap. Judulnya Dei delitti pene (tentang beragam kejahatan dan hukuman). Buku itu, kemudian diterbitkan lagi oleh Voltaire yang menggubahnya dalam berbagai bahasa Eropa.

Beccaria terpengaruh Contrat Social-nya JJ Rousseau. Dalam otaknya, setiap orang wajib menyerahkan sebagian kemerdekaannya kepada raja. Tapi bagi sang penguasa, tidak oleh berbuat seenaknya tanpa ada aturan yang disusun oleh undang-undang.

Ternyata, ide Beccaria ini banyak diterima akal orang Barat sana. Perancis yang pertama mengadopsi. Dalam Declaration des Droits de I’Homme (UUD Perancis) tahun 1789, 1795 dan 1810, buah pikiran Beccaria itu disahkan sebagai aturan.

Cuma Beccaria ternyata tak orisinil juga. Manusia sebelum dia, sempat berpikiran sama. Paus dari abad III A.D. (Anno Domini –tarikh sebelum Masehi--). Dia sempat mengumandangkannya pula. Ada tulisannya yang berbunyi begini : non ex regulis ius sumatur, sed ex iure quod est regula fiat (kita menjabarkan hukum tidak dari aturan-aturan hukum, tapi hukum dari apa yang merupakan aturan).

Sialnya, bila dirunut lagi, Paus juga tak berdiri sendiri. Dia terpengaruh oleh Romawi. Dan Romawi pun berkiblat pada Yunani kuno. Barat banyak menjiplak Yunani kuno menjadi bahan untuk menuntun kehidupan. Mereka mengadopsi aturan Yunani untuk menjalankan kenegaraan. Tak heran, Barat pun sempat mengalami kesesatan.

Siapapun pencetus kalimat itu, tetap saja Barat yang menjadi sumbernya. Ironisnya, mereka sendiri tak sejati menerapkannya. Di Jerman, azas itu sempat dikesampingkan. Tatkala Barat ingin mengadili penjahat perang Nazi, prinsip itu dibuang. Seluruh kawanan anak buah Hitler diadili. Mereka dituduh melakukan perbuatan kriminal. Padahal, tragedi Nazi terjadi jauh sebelum prinsip ini lahir. Jauh sebelum undang-undang Jerman melarangnya. Bahkan, di era Hitler sendiri, tindakan Nazi justru disahkan oleh peraturan. Mereka bukan dianggap melakukan pelanggaran. Tapi, karena Barat yang berkehendak, maka azas itu pun dipinggirkan. Penjahat Nazi diadili. Mereka dihukum mati.

Jerman ternyata tetap dalam kesialan. Setelah era Nazi, kasus Tembok Berlin juga serupa. Begitu tembok pemisah itu rubuh, pelaku-nya diadili. Hukuman diterapkan walau dibuat belakangan. Jerman sial duakali. Mereka kalah karena kehendak Inggris dan antek-anteknya.

Kejadian itu berlaku sejak Nuremberg Trials. Saat itu, seluruh Eropa sepakat mengenyampingkan soal nullum crimen (nullum dilectum) demi bisa menghukum Hitler berikut para pengikutnya.

Era kini, sempat terjadi lagi. Saddam Hussein jadi korban berikutnya. Setelah Slobodan Molisevic, dia diadili oleh Barat juga. Saddam dianggap melakukan kejahatan kemanusiaan. Dia dituntut melakukan kriminal berat. Saddam pun mati ditiang gantungan. Padahal, tindakan Saddam dilandasi oleh aturan. Tindakan Saddam, tak menyalahi kriminal di negaranya. Tapi, dianggap melanggar kriminal di Eropa. Barat tak mau mengikuti nullum crimen. Barat tak mengakui nullum dilectum tadi.

Kita, justru ironis sekali. Azas itu seolah harga mati. Dalam pidana kita, dia diletakkan pertama tanpa boleh diusik sama sekali. Padahal, nullum dilectum hanyalah mulut manis Barat semata. Di negeri sana, nullum dilectum diperkosa dengan sesuka hatinya. Bila Barat ingin, maka dia disanjung paling tinggi. Tapi bila mereka ingin menggantung sang teroris, azas itu dianggap tak pernah lahir.

Tentu sial juga buat nusantara ini. Selalu mengekor Barat yang sesat. Tak heran, hukum di negeri ini jauh dari supremasi.


(MAHKAMAH, Juli 2009)

Tuesday, March 10, 2009

Fiat Justitia Ruat Caelum

Rechstaat


Fiat Justitia Ruat Caelum

Kalimat itu, disanjung dimana-mana. Jaksa selalu bangga mengumandangkannya. Hakim tak henti melantunkannya. Advokat juga tak beda. OC Kaligis, pengacara kawakan, melabelkan kalimat tadi di beranda depan website kantornya. Tahun 1950 lalu, ada hakim di pengadilan negeri Jakarta Pusat mengejar seorang pengacara pagi-pagi. Sebelum sidang, pengacara itu datang lebih pagi menemui hakim tadi. Dia menawarkan uang agar kliennya menang. Hakim itu tak senang, pengacara itu dikejar sampai ke jalanan Gajah Mada, Jakarta. Dia ingin menamparnya. Pengadilan heboh. Hakim itu berujar singkat, “fiat justitia ruat caelum”.
Kalimat itulah yang dijadikan alasan. Untaian kalimat itu, dipuja banyak pengacara. Mereka mengkeramatkan fiat justitia ruat caelum sebagai kalimat yang suci. Mereka percaya, “hukum harus ditegakkan walau langit akan runtuh”. Mereka yakin, kalimat ini harus disanjung setinggi langit biar hukum bisa tegak. Padahal, kalimat itu dikumandangkan karena salah mengadili. Tak jelas juga mengapa dia identik dengan keadilan. Yang jelas, Barat-lah yang berkisah pertama. Mereka yang mempopulerkannya.

Charler Sumner, politisi Inggris di abad 19, berceloteh bahwa susunan kata-kata itu bermula dari epos Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM). Dia ini yang melantunkan pertama. Lucius bilang, di eranya langit adalah kekuatan yang menakutkan. Kala Kaisar Alexandria bertahta, sang raja penguasa Laut Merah, ada seorang pelaut yang menghadap padanya. Pelaut itu duta besar Celtae dari Laut Adriatik. Alexandria bertanya kepadanya, “Apa yang paling menakutkan bagimu?”. Ternyata pelaut itu menjawab berbeda. Alexandria berharap dirinya sosok paling ditakuti siapa saja. Pelaut itu malah berkata, “Jika langit runtuh menimpa mereka, itulah yang paling mengerikan”. Alexandria ternganga. Karena hambanya lebih takut pada langit ketimbang dirinya. Epos ini diprasastikan oleh Arian. Bukunya tentang Operasi Militer Alexandria (Buku I,4) mencatatkan drama ini.

Di jaman itu, langit seolah jadi sosok yang mengancam siapa saja. Sejak itu, adagium ini jadi terkenal di seantero Romawi berjaya. “Quid si redeo ad illos qui aiunt, ‘Quild si nuc caelum ruat?’” (“Bagaimana jika aku berpaling kepada mereka yang berkata, ‘Bagaimana jika sekarang langit akan runtuh?’”). Karena, jaman itu manusia masih percaya sosok Atlas yang memegang bumi dipundaknya. Bila Atlas keseleo tangannya, maka bumi akan hancur dan langit pun runtuh.

Cuma, ada kisah yang berbeda. Katanya, adagium itu bermua dari drama “Piso’s Justice”. Seneca, penyair Romawi, mengceritakan dalam De Ira (Saat Marah). Dia mengarang tentang Gnaeus Piso, seorang Gubernur dan anggota legislatif Romawi. Konon, Piso salah mengadili. Keliru menghukum orang. Dia menghukum serdadu yang tak bersalah. Piso marah melihat ada serdadu yang kembali dari cuti tapi tak bersama dua temannya. Anggapan Piso, jika prajurit itu tak muncul, serdadu itu pasti telah membunuhnya. Dia pun mentitahkan agar serdadu tadi dihukum mati. Tapi begitu hendak dieksekusi, dua serdadu yang diduga mati, muncul tiba-tiba. Komandan prajurit yang hendak mengeksekusi, menghadap Piso. Piso naik ke mimbar seraya berkata, hukuman telah ditetapkan. Piso menetapkan si komandan harus dihukum mati juga. Karena telah menunda eksekusi. Prajurit tadi, di hukum mati juga. Dua serdadu itu? Di hukum mati jua oleh Piso. Alasannya, karena menyebabkan kematian dua orang yang tak berdosa itu.
Sejak itulah, fiat justitia ruat caelum jadi melegenda. Kalimat itu diagungkan buat mengeksekusi apa saja. Kalimat itu dijadikan alasan pembenar, menghukum siapa saja. Asalkan, ada hukuman yang telah ditetapkan.

Abad berjalan. Kalimat itu disanjung banyak orang. Barat yang mulai pertama. Di Inggris, William Watson, sastrawan juga, menuliskannya dalam buah karyanya, “Ten Quodlibetical Quotations Concerning Religion and State” (1601). Dia menyatakan “Anda melanggar istilah yang lazim dalam perundangan, yaitu Fiat justitia et ruant coeli’”. Inilah untuk pertama kalinya kalimat itu muncul didunia modern. Selanjutnya, banyak penyair Inggris yang menirunya juga. William Prynne dalam buku “Fresh Discovery of Prodigious Wandering New-Blazing Stars” (1646). Setahun kemudian, Nathaniel Ward (“Simple Cobbler of Agawam).

Eropa jadi keranjingan. Kaisar Kerajaan Roma, Ferdinand I, mencontek juga. Dia membuat semboyan buat kerajaannya, “Fiat justitia et pereat mundus” (keadilan harus berkuasa sekalipun semua penjahat di dunia musnah). Ferdinand mengutip bukunya Philipp Melanchthons (1521) berjudul Loci Communes.

Lambat laun, kalimat itu merambah pengadilan. Inggris yang mulai pertama. Lord Masnfield, yang membuat debut. Di perkara Somersett, Juni 1772 yang menghapuskan perbudakan di Inggris, dia memasukkan kalimat itu dalam putusannya. Amerika meniru juga. “Fiat justitia” tertulis di bagian bawah lukisan Ketua Hakim Agung, John Marshall. Karya itu berada di ruang konferensi Mahkamah Agung (MA) sana. Di Tennessee, lebih gila lagi. Stempel MA-nya bertuliskan “fiat justitia”. Di lantai lobi bangunan pengadilan di Nashville, kalimat itu dituliskan lebar sekali.

Eh, nusantara ikut-ikutan juga. Semua advokat, dari yang hitam sampai legenda, menuliskan “fiat justitia” dalam pledoi buatannya. Di ranah facebook yang lagi membahana, kalimat ini dijadikan ucapan salam bagi sesama pengacara. Seolah mereka bangga dengannya.
Padahal, Islam telah mengajarkan. “Langit runtuh” pertanda kiamat datang. Pertanda, hukum Tuhan yang harus disanjung. Karena Mahsyar telah dibangkitkan. Tak ada satu manusia pun yang boleh memberikan hukuman. Karena itu cuma milik Tuhan.

Kita meniru, kalimat yang muncul dari Piso yang salah. Padahal Piso keliru mengadili. Piso membunuh tiga prajurit yang tak harus mati. Di bumi pertiwi ini, kalimat ini disanjung tinggi. Kita terus meniru Barat yang sesat. Tak heran, hukum kita pun tak pernah supremasi.


MAHKAMAH, 15 Maret 2009

Sunday, February 1, 2009

Rechstaat



Parthenon


Athena adalah sebuah nama. Kini menjelma jadi kota. Konon, nama itu bermula karena seorang dewi, Athene. Yunani percaya, Athene dewi kebijaksanaan, ahli strategi dan perang. Tapi Romawi meyakini, Athene sama dengan Minerva.

Athene perawan sejati. Epos-nya membahana sebagai gadis yang tak pernah disentuh dewa. Diapun diberi gelar pallas (gadis). Orang-orang menyebutnya Pallas Athene.

Dewi ini juga punya sejarah digdaya. Dia adalah puteri Zeus. Hasil persetubuhannya dengan Metis, maka lahirlah Athene. Metis sendiri, juga bukan dewi biasa-biasa. Dewi yang paling cerdik diantara semua dewi yang ada. Dewi Themis, kalah pandai dibanding dia. Hera juga, selalu takluk dengannya.
Parthenon

Tapi, Zeus sempat ketakutan. Ada ramalan bilang, lahirnya Athene, bakal mengancam singgasanya. Zeus takut, Athene bakal lebih kuat darinya. Padahal Zeus adalah raja-nya dewa-dewa. Penguasa kahyangan satu-satunya. Walau mahadewa, tapi Zeus percaya takhyul juga.

Zeus kalap. Dia menguntal perut Metis, biar Athene mati keguguran. Tapi dari belakang, Hephaistos, dewa sekandung Zeus, marah melihatnya. Hephaistos memukul kepala Zeus sampai terbelah. Keajaiban terjadi. Ternyata, dari situlah Athene lahir. Begitu muncul, bukan bayi bentuknya. Athene langsung sesosok dewasa dengan pakaian prajurit, ageis, tombak dan helm perang. Kenapa bisa? Tak ada yang tahu sebabnya. Tapi namanya juga dewa, beda dengan manusia, katanya.

Ditengah kejadian itu, halilintar dan petir, menyambar kuat-kuat. Menandakan Athene telah lahir dikahyangan. Athene pun siap menentang ayahnya, Zeus tadi. Sayang epos ini, berhenti disini. Ending kisah ini, entah bagaimana. Entah Athene berhasil mengkudeta, tak tahu juga. Karena sang Homer, sastrawan Yunani yang menceritakan dalam bukunya, Illiad, tak melanjutkannya.

Waktu berjalan, Athene banyak disembah. Namanya membahana. Karena manusia lebih percaya padanya. Parthenon pun berdiri di atas bumi. Dia ada di Troya. Ini kuil khusus untuk manusia menyembah Athene. Kuil ini berbentuk gedung dengan delapan pilar besar didepan.
Supreme Court di Amerika Serikat

Sekitar abad 5 SM, Athene pun dijadikan judul sebuah kota, Athena. Zeus sendiri, sampai kini tak ada yang mau menabalkan namanya. Entah jadi kota, merek ban, korek api, pengadilan, atau apapun namanya. Sang puteri, justru lebih menjulang citranya.

Lahirnya Athena juga, bukan tanpa cerita. Dulunya, kota ini sebagai pengganti Troya (kini Turki bagian Barat) yang terbakar. Troya hancur karena perang sepuluh tahun dengan Sparta (dulu Yunani). Perang itu, gara-gara rebutan pallas (gadis) belaka.

Awalnya, Helen, gadis Troya dibawa kabur Paris, putera raja Troya, Priam. Helen ialah permaisuri Menelaus, dia ini raja yang adik kandungnya Agamemnon, penguasa Sparta dan Myceneae. Antara Agamemnon dan Priam, adalah sahabat sejak lama. Titah Agamemnon agar Priam mengembalikan Helen, tak diindahkan. Dia pun murka. Seluruh balatentara yang ada, dibawanya. Menyeberang laut hitam, menyerbu Troya.

Agamemnon membawa semua prajurit tangguhnya, Achilles, Ajax, Patroclus, Teucer, Nestor, Oddysseus dan Diomedes. Drama sempat terjadi. Seribu kapal perang Agamemnon, sempat tak bisa berlayar. Karena tak ada angin dan hujan. Agamemnon lalu membunuh puteri semata wayangnya, Iphigenia. Gadis kecil ini dikorbankan untuk dewi Themis. Angin pun berhembus seketika. Tentara Sparta pun menyerbu Troya.

Begitu sampai di Troya, pasukan Sparta lansung digdaya. Mereka menguasai Acropolis, dataran tinggi Troya. Kebetulan, disana itulah Parthenon berdiri. Tak disangka, puteri Cassandra, bersembunyi didalamnya. Gadis ini anak perempuan Priam. Adiknya Paris. Cassandra lagi asyik menyembah Athene. Ajax melihat Cassandra. Dia lalu memperkosanya. Ajax menggagahi Cassandra di kuil dewi yang perawan. Parthenon pun ternoda. Tak ada kisah Ajax terkena karma. Dia sehat-sehat saja.

Selepas perang, Troya hancur. Agamemnon mati. Priam juga. Athena pun berdiri. Inilah kota pertama didunia. Parthenon di Acropolis itu, diperbaiki lagi. Abad berselang, Parthenon berubah fungsi. Bangunan berpilar delapan itu, ditiru Barat. Parthenon menjadi simbol gedung pengadilan. Di Amerika, bangunan Supreme Court­ (Mahkamah Agung)-nya, meniru habis Parthenon. Inggris juga sama. Perancis tak beda. sumber foto :www.bengkel13.com

Eh, Indonesia sama saja. Meniru juga. Lihat saja bangunan Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Gedung dengan sembilan pilar didepan itu, menjiplak Parthenon juga. Waktu diresmikan, bangunan itu katanya sangat elegan bernuansa gothic Romawi. Untuk membangun gedung itu, Rp196 Miliar digelontorkan. Mereka yakin, gedung itu sebagai ajang penjaga konstitusi kita. Mereka percaya, bangunan itu, membawa berkah konstitusi kita. Padahal, Parthenon aslinya tempat menyembah Athene. Padahal di bangunan serupa, Ajax memperkosa perawan Cassandra. Di dalam sana, Ajax berbugil ria, dengan sang wanita yang meronta. Di nusantara ini, kita yakin didalam “parthenon”, konstitusi
kita bisa lestari. Hanya karena, Barat yang kita dijadikan kiblat.
Hanya karena, kita selalu mengekor Barat yang sesat.




Majalah MAHKAMAH (edisi 1-15 Februari 2009)