Sunday, December 23, 2007

" P R E T O R "

P R E T O R




Pretor. Istilah ini ada di kerajaan Romawi kala masih berjaya. Dia di­kenal sebagai pembela orang­orang tak mampu di depan hu­kum. Membela manusia yang disangkakan bersalah. Tapi belum tentu bersalah sebelum ada putusan dari raja. Dalam membela, pretor tak meminta. bayaran. Tak ada juga succes fee. Karena, mereka berasal da­ri kalangan bangsawan.


Mereka rata-rata sudah ka­ya dan tak lagi mencari harta yang megah. Pretor berjuang demi menegakkan hukum, yang sudah disusun sebelum­nya. Pretor menjaga hukum agar tetap beijalan dan dipa­tuhi. Pretor menjaga kewiba­waan raja di depan para rak­yatnya. Pretor menjaga setiap orang Romawi cinta akan ne­gerinya karena keberadaban bisa terjaga tanpa takut akan ketertindasan dari sang penguasa. Pretor tak bertugas membebaskan orang yang bersalah. Namun menjaga agar orang yang bersalah itu diberikan sanksi sesuai dengan koridor kesalahannya. Tidak menambahi maupun mengurangi. Peranan pretor membuat Romawi jadi agung dan menjelma jadi imperi­um yang tangguh.

Karena Pretor bekerja mengikuti sistem yang ada. Setiap warga Romawi yang dituduh, pretor selalu ada untuk mempelajari dulu duduk masalahnya. Bila si ter­tuduh tak bersalah, pretor memperjuangkannya dengan segala alasan hukum, yang hidup di jaman itu.

Namun pretor cuma ada di jaman dulu. Hanya dida­pati di era imperium Romawi masih digdaya. Namun kisah kesuksesan pretor tetap jadi inspirasi. Adnan Bu­yung Nasution mengaku terilhami menjadi pretor ketika berlakon sebagai pengacara. Karena memang pretor hampir tak beda dengan pengacara.




Hanya saja nasibnya beda di Indonesia. Pengacara tak mampu menjaga agar hukum tetap berwibawa. Pengacara justru berlomba mencari harta agar berlimpah. Pengacara tak peduli hukum sudah ditegak­kan dan kebenaran materil be­nar diungkapkan. Pengacara hanya mengedepankan klien dengan motto agar menang di­setiap perkara. Pengacara le­bih peduli tersangka yang ber­harta ketimbang rakyat mis­kin jelata. Pengacara lebih mengunggulkan keahlian me­ngenali hakim ketimbang ke­ahlian hukum.


Cerita seperti itu bukan bu­alan semata. Banyak fakta membuktikannya. Bahkan ada yang sudah dipenjara karena ulahnya. Mereka. telah dinyata­kan bersalah telah menelikung profesinya. Ito baru yang ter­ungkap. Karena masih banyak kisah-kisah colas pengacara yang tak ketahuan hidung belangnya. Sebab banyak pengacara yang cuma mengejar kemenangan semata. Maju tak gentar membela yang bayar.

Peristiwa inilah yang menyebabkan hukum jadi tak berwibawa. Banyak orang tak percaya dengan penga­cara. Karena pengacara lebih mengarah jadi mafia per­adilan. Bukannya menjelma jadi pretor yang mulia.


Padahal Indonesia memimpikan menjadi negara hu­kum (rechtstaat) yang perkasa. Negeri yang sejatinya hi­dup dengan beradab dengan hukum sebagai panglima. Tapi, apa daya, pengacara lebih tak suka mengarahkan kesana. Orang-orang di bidang ini lebih suka memiliki mobil mewah, rumah megah, istri dua, nama tenar, ke­timbang membudayakan agar hukum bisa dijalankan, secara benar.


Berarti, tak salah juga bila Shakespeare juga punya angan-angan. "Let's Kill all the lawyers!!".
Begitu katanya.








Irawan Santoso
(Majalah FORUM Keadilan, 2006)

"TIME KALAH, MA DIBELAH" (Karya Tulis Terbaik dalam ajang ANUGERAH ADIWARTA SAMPOERNA 2007 kategori feature hukum)

Gugatan Soeharto terhadap majalah TIME Asia dimenangkan Mahkamah Agung (MA). Kalangan pers protes. Penunjukkan ketua majelis hakim disoalkan.


Rabu, 12 September 2007 lalu. Sore itu, jarum jam menunjukkan pukul 18.20 WIB. Lima mobil bergantian memasuki gerbang rumah Soeharto di Jalan Cendana No 8, Jakarta. Yang pertama datang adalah kendaraan yang ditunggangi pengacara OC Kaligis. Tak lama kemudian datang mobil lainnya. Keluar dari kendaraan itu sosok Prof. DR. Indriyanto Seno Adji. Selang sekitar lima menit, datang lagi mobil berikutnya milik Wimboyono Seno Adji. Saat bersamaan masuk meluncur tenang mobil Denny Kailimang. Yang terakhir datang tampak Juan Felix Tampubolon.


Sore itu serempak mereka berada di rumah mantan presiden Indonesia tersebut. Soalnya, ada panggilan dari Soeharto untuk segera menghadap. Tepat pukul 18.35 WIB, kelimanya sudah ada di hadapan Pak Harto. Sebenarnya ada satu pengacara lagi. Namanya M Assegaf yang sore itu juga diminta datang. Tetapi, lantaran mobilnya terjebak macet, dia tidak berhasil sampai di Cendana.


Mereka semua adalah para pengacara Soeharto. Sore itu, mereka diminta datang untuk menjelaskan seputar putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah TIME Asia. Saat itu, Indriyanto yang pertama kali bicara. Putera bekas ketua MA, Oemar Seno Adji, itu menjelaskan tentang pemberitaan media bahwa gugatan terhadap majalah TIME dimenangkan MA. Kemudian Kaligis ganti berbicara. Dia sekaligus memberi selamat kepada bekas Presiden Indonesia itu. Pak Harto tampak menyimak. Tak lama kemudian, Soeharto berkata-kata. Mulutnya terbata-bata mengatakan, “Terima kasih atas kerja kerasnya (tim kuasa hukum).”


Pak Harto menegaskan semula diberitahu oleh anak-anaknya setelah membaca di koran. Juan Felix kemudian menimpali. Pengacara Batak ini menjelaskan perihal teknis pelaksanaan eksekusi. Katanya, urusan eksekusi putusan ini masih panjang. Ia pun berujar, “Untuk bisa eksekusi diperlukan surat kuasa lagi.” Soeharto menjawab, “Iya, nanti saya berikan.” Pembicaraan pun berlanjut masih seputar persoalan itu. Setelah sekitar 20 menit bertemu, mereka membubarkan diri.


Memang, pertengahan September lalu, MA membeberkan kemenangan gugatan Soeharto atas TIME Asia. Pengumuman itu dilakukan Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi. “Gugatan Soeharto dikabulkan dengan ganti kerugian Rp1 triliun," katanya kepada Ombudsman. Sebelum dibacakan Nurhadi, putusan itu sudah diambil dalam rapat permusyawaratan hakim agung di MA. Yang melakukannya adalah tiga hakim agung yang ditunjuk sebagai majelisnya. Mereka adalah German Hoediarto, Muhammad Taufik dan M Bahaudin Qaudry. Pada 30 Agustus 2007, majelis mengambil putusan tersebut dengan suara bulat. Sidang itu sendiri tak dihadiri kedua pihak yang berperkara. Cuma para hakim agung itu saja yang ada. Dua pekan berselang baru Nurhadi mengumumkan hasil putusannya ke berbagai media.


Di situ dinyatakan gugatan Soeharto dikabulkan sebagian. Amar putusannya menjelaskan sebelas petitum, dari 12 yang diajukan, diamini majelis hakim. Para tergugat, TIME Inc Asia, Donald Marisson (editor), John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis dan Jason Tedjasukmana, dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Mereka dihukum secara tanggung renteng membayar kerugian immateril senilai Rp1 triliun.
Pangkal persoalannya sendiri bersumber dari pemberitaan di majalah TIME edisi 24 Mei 1999. Di situ, media berbahasa Inggris tersebut menyajikan berita dengan judul cover “Special Report, Suharto Inc. How Indonesia longtime boss built a family fortune.” Banner itu menjelaskan gambar Soeharto yang dibuat dengan ilustrasi dimana jenderal besar itu digambarkan tengah tersenyum dengan gaya khasnya. Lalu, mengenakan jas, berpeci dan mendekap beragam barang-barang seperti karung beras, piring porselen bergambar perempuan Jawa dan rumah mewah bergaya Eropa. Perempuan di piring porselen itu adalah Siti Hartinah alias Ibu Tien. Dengan seabrek barang itu, Soeharto dikesankan tidak bersedia melepasnya. Di bawah ilustrasi itu tertulis The smiling general. Di edisi itu, TIME menjadikan kisah harta Soeharto sebagai laporan utama. Beritanya terbentang dari halaman 16 hingga 28.

Isi liputan majalah itu, sesuai dengan judulnya, memang dramatik. TIME menggolongkan Soeharto sebagai diktator korup di Asia. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, kekayaan Keluarga Cendana ditaksir sekitar US$ 15 miliar. Kekayaan itu terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya.


Padahal, gaji Soeharto sendiri hanya sekitar Rp15 juta perak per bulan. Tak hanya itu, menurut TIME, kekayaan Soeharto tersimpan di bank di Swiss. Hasil penelusuran TIME menemukan kekayaan Keluarga Cendana tak hanya berupa deposito atau duit, tetapi juga benda berharga, tanah, dan properti. Tak hanya di Indonesia, tapi juga berserakan di sejumlah negara lain seperti Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.


Berita itulah yang membuat Soeharto dan keluarga besarnya gerah. Bahkan, Soeharto sempat nampang di stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), 6 September 1998, khusus membantah berita tersebut. Waktu itu, kala dirinya masih segar bugar dan TPI masih dimiliki anaknya, Soeharto mengatakan tak memiliki uang sepeser pun di luar negeri, termasuk seluruh kekayaan seperti yang ditulis TIME. Sejak itu Soeharto bertekad untuk menggugat TIME. Waktu sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan itu kandas. Begitu juga kala putusan banding Pengadilan Tinggi diputus. Soeharto kalah. Tetapi, ketika di MA, kemenangan berpihak padanya.
MA menyatakan TIME telah melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati dalam menulis berita tentang Soeharto. Yang disebut tidak hati-hati dan patut itu adalah ilustrasi rumah dan berita yang menyebut Soeharto mentransfer US$ 9 miliar (sekitar Rp108 triliun saat itu) dari bank di Swiss ke sebuah bank di Austria pada Juli 1998.
MA menghukum wartawan yang terlibat dalam penulisan laporan itu. Mereka adalah Donald Marrison (editor), John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tedjasukmana. Dua yang terakhir adalah warga Indonesia. Selain membayar secara tanggung renteng Rp1 triliun, mereka pun harus menyatakan permintaan maaf kepada Soeharto yang dimuat dalam lima koran dan majalah nasional plus majalah TIME edisi Asia, Eropa, dan Amerika selama tiga kali berturut-turut. Masih ada perintah lain: permintaan maaf itu disiarkan di lima televisi nasional selama tujuh hari berturut-turut.


Sontak, putusan itu membuat heboh. Yang paling kebakaran jenggot tentu kubu TIME sendiri. Lewat kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis, mereka memprotes mentah-mentah putusan kasasi tersebut. "Ini bagai petir di siang bolong, tidak ada hujan, tidak ada angin," tandas Todung kepada Ombudsman dengan gusar. Menurut Todung, pihaknya tidak akan menerima putusan tersebut, sebabnya tidak ada fakta dan dasar hukum yang kuat untuk menyalahkan kliennya. "Fungsi pers sebagai lembaga kontrol sosial sudah diakui oleh seluruh dunia," katanya lagi. Tak hanya itu, Todung bahkan berani menyatakan putusan MA itu menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers yang mulai dikembangkan. “Harusnya MA menjaga kebebasan pers, karena itu merupakan perintah konstitusi,” ujar Todung lagi.


Di pihak lain, pembela Soeharto pun tak mau tinggal diam. Denny Kailimang, misalnya, berani mengatakan tidak ada urusan dengan kebebasan pers dalam kasus ini. “Mereka panik karena kalah. Jangan seolah-olah mereka (pers) harus menang,” katanya kepada Ombudsman. Sebaliknya, menurut Kailimang, justru pihak majalah TIME yang tidak tunduk kepada aturan hukum pers. "Kita sebelumnya sudah somasi dua kali, tetapi tidak ditanggapi," terang Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) tersebut. Sejatinya, somasi itu berisikan bahwa majalah TIME mesti meralat beritanya.


“Somasi itu bukan hak jawab,” timpal Todung tak puas. Selain itu, Todung menuding Ketua MA Bagir Manan sengaja memilih German sebagai ketua majelis perkara tersebut. Sekadar informasi, German adalah Ketua Muda Bidang Hukum Militer di MA. Todung menganggap latar belakang German ikut “mempengaruhi” putusan. Namun, Bagir membantah tudingan tersbeut. “Saya sudah katakan berkali-kali, kita (MA) tidak menggunakan sistem kamar. Setiap hakim agung berkompeten untuk memeriksa perkara,” terang Bagir kepada Ombudsman di ruangan kerjanya, pertengahan bulan lalu.

Selain itu, dalam pandangan Bagir, German adalah hakim agung yang sudah lama (senior). “Dia seorang sarjana hukum yang sudah lama. Bahkan, dia juga sudah memutus ribuan perkara perdata. Jadi, tidak ada yang istimewa,” tambah Ketua MA itu. Ia menegaskan, ketika perkara dibagikan, yang dilihat hanya nomornya saja. Itu berarti majelis hakim tidak melihat siapa para pihaknya. Tidak melihat-lihat juga majelisnya yang mana. “Maksudnya agar objektifitasnya terjaga,” jelasnya lagi. German sendiri ogah berkomentar. Kepada Ombudsman, dia tak mau ngomong banyak. “Saya sudah berbicara dalam putusan,” katanya sambil berlalu.


****************************

Buah Kiprah Lawyer Cendana

Kemenangan Soeharto terhadap TIME Asia membuktikan ketanggguhan para ˜advokat cendana”. Dua kali Soeharto dibuat senang.

Law Office Kailimang & Pontoh mendadak riuh. Selasa itu, 11 September 2007, kesibukan di kantor hukum yang berada di Menara Kuningan, Jakarta, itu tampak lain. Tumpukan kardus berisi kertas-kertas mendadak dibongkar. Yang dicari adalah berkas perkara gugatan Soeharto melawan TIME Asia. Yang menyuruh mencarinya tentu saja Denny Kailimang yang termasuk salah satu kuasa hukum Soeharto. Denny memerlukan berkas perkara tersebut karena telepon selulernya terus dihubungi wartawan yang menanyakan tentang kasus tersebut. Terlebih setelah MA menyatakan mengabulkan gugatan kliennya.

“Saya mesti mencari dulu berkas perkara itu,” akunya kepada Ombudsman. Soalnya, sejak tahun 2001 berkas perkara itu sudah dikandangkan. Apalagi ia pun baru saja pindahan kantor. Maklum, sejak akhir 2006 lalu, Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) ini berpisah dengan partner lamanya, Rudhy A Lontoh. Kini Denny membentuk kantor sendiri dengan duet bersama Harry Pontoh. “Saya hampir lupa kasus itu ada,” tambahnya.

Denny memang sempat kaget, utamanya saat disodorkan pertanyaan seputar ikhwal gugatan tersebut. Namun, walaupun sudah tak ingat, ternyata perkara itu dimenangkan pihaknya. Itulah hebatnya. Hanya saja, Kailimang tak sendiri, melainkan bersama dengan Prof. DR. Indriyanto Seno Adji, Wimboyono Seno Adji, OC. Kaligis, Juan Felix Tampubolon dan M Assegaf membela bekas penguasa Orde Baru itu. Mereka ini yang dikenal sebagai penjaga gawang Cendana, khususnya untuk menghalau setiap serangan hukum diarahkan ke sana.

Pertengahan bulan lalu, upaya mereka berbuah. Gugatan terhadap majalah TIME Asia yang dinilai memfitnah Soeharto berhasil dimenangkan. Bahkan, Soeharto bakal ketiban uang Rp1 triliun sebagai uang ganti rugi dari TIME Asia. Harus diakui, dalam menangani kasus ini, para pengacara Soeharto memang tergolong lihai. Pasalnya, dalam dua persidangan di Pengadilan Negeri dan Tinggi, mereka justru kalah. Tetapi, kala di MA, kemenangan ada dipihak Soeharto. Buktinya, dalam putusan kasasi itu, majelis hakim kasasi banyak mengutip pendapat para lawyer tersebut.
Dalam putusan itu, TIME dinilai terbukti melakukan perbuatan melawan hukum lewat penurunan berita yang mencemarkan nama baik Soeharto. Pasalnya, TIME menyebut "adanya pengalihan uang dalam jumlah besar terkait Indonesia dari bank Swiss ke Austria, yang dianggap surga yang aman untuk deposito-deposito rahasia.” Menurut Soeharto, pernyataan itu tidak benar sama sekali. Begitu juga dengan kutipan yang berbunyi, “TIME telah mengetahui bahwa USD 9 miliar uang Soeharto telah ditransfer dari Swiss ke sebuah rekening tertentu di Austria." Kutipan tersebut dinilai Soeharto sebagai perbuatan melawan hukum. Atas ulah tersebut, Soeharto lewat gugatannya meminta majalah berbahasa Inggris itu membayar kerugian materiil Rp280 juta dan kerugian imateriil Rp189 triliun. Namun, yang dikabulkan hanya sebesar Rp1 Triliun saja.

Keberhasilan lawyers Cendana ternyata bukan di kasus ini saja. Dalam perkara pidana, mereka juga berhasil ˜menghentikan” persidangan lebih lanjut terhadap mantan Presiden Soeharto. Buktinya, pada 2006 lalu, Kejaksaan Agung dibuat mesti mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terhadap Soeharto. Alhasil, sang “Bapak Pembangunan” itu pun kini nyaman di rumahnya berkat kepiawaian para advokatnya.

Kini, memang serangan terhadap Soeharto sempat datang lagi. Bentuknya ketika Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata. Tapi, hingga kini, kelanjutannya masih belum jelas. Kedua pihak masih terlibat dalam proses mediasi. Di sini, kiprah para advokat Cendana kembali dipertontonkan. Buktinya, proses mediasi antara pihak Kejakgung dengan mereka sempat berjalan alot.

Komunitas lawyers Cendana sebenarnya tak sebatas menangani Soeharto semata. Medio April 2006, mereka sempat menjadi penjaga gawang kawanan hakim agung di MA. Tepatnya ketika 31 hakim agung mengajukan judicial review terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. T tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Uji materil itu dilakukan ke Mahkamah Konsitusi (MK) yang memutuskan kedua beleid tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Saat itu, lawyers Cendana membela mati-matian para hakim agung. Kebetulan waktu itu, perang antara MA dan Komisi Yudisial (KY) tengah panas-panasnya. Pihak KY, kala itu, dibentengi kalangan lawyer yang tak kalah tangguh. Ada Amir Syamsuddin, Bambang Widjojanto, Trimoelja D Soerjadi dan lainnya. Untungnya, kedua pihak tak ketahuan siapa yang menang, karena putusan MK memerintahkan agar kedua UU direvisi oleh DPR. Namun, di antara 31 hakim agung yang memberi kuasa kepada lawyer Cendana itu, tiga hakim agung yang menjadi majelis perkara Soeharto masuk di dalamnya. Jadi, sebelum perkara itu diputus, ketiganya adalah klien dari lawyer Cendana.
“Tak ada hubungan antara perkara ini (Soeharto vs TIME) dengan kasus itu,” jelas Denny. “Kedua perkara itu jauh berbeda. Jangan dihubung-hubungkan.” Denny boleh bergeming, tetapi agaknya advokat lain tak setangguh komunitas mereka dalam menaklukan TIME. Buktinya, ada pada 2004 lalu, ketika Abu Bakar Baasyir melayangkan gugatan perdata kepada TIME Asia. Gugatan Baasyir itu ditangani oleh Tim Pengacara Muslim (TPM) yang dikomandani Mahendradatta.
Kala itu, Baasyir protes terhadap berita TIME edisi edisi 23 September 2002. Dalam edisi tersebut, ada sebuah tulisan yang berjudul Confessions of an al-Qaedah Terrorist. Tulisan itu memuat laporan CIA yang mengutip pernyataan Umar al Faruk yang menyatakan bahwa Abu Bakar Ba'asyir adalah pimpinan Jamaah Islamiyah dan terlibat dalam sejumlah pemboman di antaranya pemboman di Masjid Istiqlal. “Baasyir tidak pernah dikonfirmasi. Tokoh Umar Al-Farouk juga diragukan keberadaannya,” terang Mahendradatta ikhwal gugatannya itu kepada Ombudsman.
Merasa dirugikan, Baasyir lalu menuntut TIME mesti ganti rugi sebesar Rp100 triliun. Sama seperti gugatan Soeharto, dia pun mematok para tergugat, yaitu Time Asia, Greenseld (editor Time Asia), Romesh Ratnesar (penulis), dan Jason Tejasukmana (reporter Time untuk Indonesia). Gugatan itu digelar di PN Jakarta Selatan. Sialnya, gugatan Baasyir ditolak majelis hakim yang diketuai Sudaryatno. Alasan hakim, gugatan itu kurang pihak dan error in persona. Pasalnya, Time Asia yang berkantor di Hongkong dianggap bukan badan hukum yang mandiri, melainkan di bawah Time inc New York.
Hakim merujuk pada UU Pers yang menyebutkan bahwa penanggung jawab perusahaan adalah pemimpin redaksi. Karena itu, menurut hakim, TIME Asia tidak bertanggungjawab terhadap isi berita. Hakim berpandangan, tidak masukkannya TIME Inc New York sebagai tergugat membuat gugatan menjadi kurang pihak dan error in persona. Ketika gugatan dikandaskan hakim, waktu itu, Todung Mulya Lubis, kuasa hukum majalah TIME Asia, berkomentar, “Putusan hakim sudah tepat.”

Padahal, bila dibandingkan, gugatan Soeharto yang disusun Lawyers Cendana terhadap TIME juga tidak memasukkan pihak TIME Inc New York. Hanya sebatas TIME Asia yang bermarkas di Hongkong semata. Namun, majelis hakim agung memenangkan Soeharto selaku penggugat. Kondisi inilah yang membuat Todung mencak-mencak. “Putusan ini mengancam kemerdekaan pers kita,” ujarnya.

Namun agaknya Denny Kailimang tak terlalu memusingkan hal tersebut. Ketika bertemu Soeharto, dia menyampaikan berita kemenangan ini dengan sumringah. Soeharto pun mengucap syukur. Uang sebanyak itu, oleh Soeharto, bakal disumbangkan buat pendidikan, kegiatan sosial, museum dan lainnya. Sah-sah saja memang, tapi kemenangan ini membuktikan keperkasaan lawyers Cendana.

********************************

Akibat Beleid yang Tak Komplit

Soeharto memilih jalur perdata ketika menggugat majalah TIME Asia. Pihak TIME mencak-mencak. UU Pers dituding sebagai biang keladi.

Kantor advokat Lubis, Santosa & Maulana mendadak ramai. Banyak wartawan yang tiba-tiba menuju ke sana. Selasa, 11 September 2007, kantor hukum yang ada di gedung Mayapada Tower, Jakarta, itu dipenuhi para kuli tinta. Mereka menemui sang empu-nya, Todung Mulya Lubis, yang juga kuasa hukum majalah TIME Asia. Di siang hari itu, Todung memang bermaksud menggelar jumpa pers seputar “kalahnya” klien pengacara itu akibat digugat Soeharto.

MA menghukum TIME Asia untuk membayar ganti rugi. Jumlahnya tak kepalang tanggung Rp1 triliun. Termasuk meminta maaf melalui sejumlah media nasional. Itu yang membuat kuping Todung memerah. Di depan para wartawan, Todung mengeluarkan protesnya atas putusan kasasi itu. “Putusan ini bukan saja kekalahan TIME, tetapi kekalahan pers kita,” katanya gusar.

Todung mengaku kekecewaannya lantaran majelis hakim agung tak mengenakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam memutus kasus tersebut. Todung beralasan, kliennya termasuk perusahaan pers. “Jadi mesti mengacu pada UU Pers,” ujarnya. Menurut Todung, sebelumnya MA telah memutus perkara pers dengan sangat baik. Advokat bekas ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu menegaskan majelis kasasi mestinya mengacu pada putusan TEMPO dengan Tommy Winata. “Dalam putusan itu ditegaskan semua delik pers harus menggunakan UU Pers,” tandasnya. Sekadar mengingatkan, saat itu Bagir Manan yang menjadi ketua majelis. “Oleh sebab itu, kita menggugat lagi komitmen Bagir Manan,” ungkapnya.

Tentu sah-sah saja bila Todung meradang. Namun Ketua MA Bagir Manan pun memiliki jawaban. Kepada Ombudsman, pertengahan bulan lalu, Bagir berkata, “ ni kan gugatan perdata. Dasarnya perbuatan melawan hukum (PMH). Jadi, tidak ada hubungannya dengan Undang-Undang Pers,” tandasnya. Dalam kasus TEMPO melawan Tommy Winata, lanjut Bagir, memang sengaja dihadapkan dengan UU Pers. “Karena itu ketentuan pidana,” jelasnya. Sedangkan dalam perdata yang diusung adalah hak individual. Artinya, sesuai penuturan Bagir, di sini yang dituntut adalah apakah terbukti atau tidaknya perbuatan melawan hukum tersebut. “Di negara manapun biasa seseorang menggugat pers dalam arti perbuatan melawan hukum,” terangnya.
Cuma, di mata Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, vonis MA terhadap TIME tetap dianggap tidak masuk akal. Menurutnya, denda itu seharusnya tidak melebihi angka Rp500 juta. “Karena itu merujuk pada UU Pers,” katanya kepada Ombudsman. Leo tak salah memang. Pasal 18 UU Pers menyebutkan pers bisa dikenakan pidana denda bila melanggar beberapa ketentuan. Namun, hukuman yang ada cuma pidana denda. “Dalam pidana denda, ganti ruginya masuk ke kas negara,” terang Prof.Andi Hamzah. Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti itu, pidana denda itu memang dikenal dalam KUHP. “Dia lahir karena Pasal 10 KUHP,” ujarnya lagi kepada Ombudsman. Dengan begitu, hukuman yang ada dalam UU Pers adalah bersifat pidana, bukan perdata.

Itu berarti UU Pers tidak mengenal ganti rugi terhadap individu apalagi bila pers melanggar ranah personal. “Jalan keluarnya tetap dengan perdata,” kata Bagir lagi. Pertanyaannya kini salahkah majelis hakim MA memutus tanpa merujuk pada UU Pers? Ketika gugatan Soeharto terhadap TIME di daftarkan ternyata UU Pers belum diundangkan. TIME yang disoalkan, terbit dalam volume 153 edisi 24 Mei 1999. Sedangkan UU Pers mulai berlaku sejak 23 September 1999. Pengakuan Denny Kailimang, kuasa hukum Soeharto, menyebutkan, pendaftaran gugatan dilakukan dua bulan setelah TIME terbit. Yang berarti berkisar Juni 1999. saat itu jelas UU Pers No. 40 Tahun 1999 belum lahir. “UU Pers tidak berlaku surut,” kata Andi Hamzah.

Menurut Andi, tempos delicty perkara ini memang jauh sebelum UU Pers lahir. Jadi, atas perkara ini boleh-boleh saja dilakukan upaya hukum perdata. “Pakai KUHP pun boleh,” katanya lagi. Andi beralasan, karena memang UU Pers tidak mengatur secara rinci setiap delik pers berikut dengan sanksi yang diberikannya. “UU (Pers) itu tidak lengkap. Jadi mesti mengacu pada UU yang lebih lengkap,” katanya. Sebaliknya, Leo menilai denda yang wajar dikenakan kepada pers tidak lebih dari Rp500 juta. Karena semangatnya untuk melindungi perusahaan pers. “Bila jumlah (dendanya) lebih, maka semangatnya adalah semangat membredel dan mematikan,” katanya. Kondisi itu yang dilakukan MA dengan menetapkan denda Rp1 triliun.
Menurut Leo, kendati TIME media asing, namun denda sebesar itu tidak layak dikenakan di negara demokrasi seperti Indonesia. “Tapi justru akan lumrah di negara-negara diktator,” ujarnya. Yang harus ditekankan di sini, tegas Leo, semangat filosofinya. Bila TIME dianggap bersalah tentu sangat wajar jika didenda Rp200 juta saja. “Yang terpenting TIME mengaku mau bersalah kalau dia bersalah, bukan diukur dengan jumlah uang yang sangat besar seperti itu,” terangnya.

Kailimang menampik mentah-mentah argumen Leo. Menurutnya, denda sebesar itu untuk mengganti kerugian akibat berita tidak benar yang telah disebarluaskan oleh TIME. “Klien kami itu bekas Presiden, panglima besar dan tokoh sejarah penting di Indonesia, wajar ganti ruginya juga besar,” terang Kailimang. Berbeda misalnya, lanjut pendiri kantor hukum Kailimang & Pontoh ini, bila yang dicemarkan nama baiknya hanyalah orang biasa. “Tentu ganti rugi yang diminta tidak sebesar itu,” tandasnya.

Kailimang menggambarkan betapa pemberitaan TIME itu sempat membuat repot pemerintah Indonesia. Memang kala itu, Jaksa Agung Andi Ghalib dan Menteri Kehakiman di era Habibie, sempat beberapa kali terbang ke Austria dan Swiss untuk mengecek keberadaan harta Soeharto seperti ditulis TIME. “Tapi mana hasilnya? Kejaksaan tidak menemukan? Ini karena beritanya yang tidak benar,” Kailimang tegas. Jadi, menurut Kailimang, sangat benar bila majelis hakim agung memutus TIME mesti ganti rugi dan minta maaf.

Namun sikap protes tetap saja datang. Kali ini datang dari Heru Hendratmoko. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu menilai putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi insan pers. Putusan itu dinilai lebih sebagai pembredelan secara tidak langsung karena angka yang diminta sangat fantastis. Bahkan, bila menimpa perusahaan pers di Indonesia bisa dipastikan membuat bangkrut. Heru khawatir putusan itu akan dijadikan rujukan untuk membangkrutkan media massa di negeri ini.

MF Siregar menilai lain. Dalam pandangan mantan anggota Dewan Pers itu kisruh ini hanya disebabkan satu hal: lemahnya UU Pers. Menurutnya, pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang semestinya bisa diselesaikan lebih dulu lewat UU Pers. Mekanismenya melalui hak jawab. Sayangnya, lanjut Siregar, aturan tentang hak jawab pun tidak disebutkan secara tegas dalam UU Pers. “Sisi lemahnya ada dalam Penjelasan Pasal 12 UU Pers, “ katanya. Isinya, “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Itu berarti bila terjadi perkara pidana yang berkaitan dengan pers, maka dibolehkan merujuk pada KUHP. “Inilah bukti nyata UU Pers bukan lex specialist dari KUHP,” terangnya lagi.

Pendapat itu diamini Wina Armada Sukardi. Anggota Dewan Pers itu bahkan berani mengatakan kalau UU Pers tidak mengandung unsur lex specialist derogat legi generalis. “UU itu dibuat dengan terburu-buru,” tandasnya kepada Ombudsman. Waktu itu, cerita Wina, pada 1999 pemerintah sangat bernafsu menyusun peraturan buat kalangan pers. Cuma pembuatannya tidak maksimal dan terburu-buru. Karena itu, kata mantan Pemred Merdeka itu, peraturan yang termaktub dalam UU Pers banyak yang tidak lengkap dan tidak mengatur seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pers.


**************************

Prof. DR. Bagir Manan, SH, MCL, Ketua Mahkamah Agung RI :

Saya Tidak Berbuat Apa-apa kok Terus Disalahkan”

Ketika Soeharto menang dalam gugatan terhadap majalah TIME Asia, Mahkamah Agung (MA) RI kembali menjadi sorotan. Lembaga ini dianggap melakukan kesengajaan agar mantan Presiden Republik Indonesia itu menorehkan kemenangan. Padahal, dalam perkara pers sebelumnya, MA justru memenangkan pers. Sorotan itu mengarah pada penetapan hakim agung yang berbasis hukum militer, bukan hukum perdata. Penetapan hakim agung dalam setiap perkara yang disidangkan di MA tentu dilakukan oleh Bagir Manan selaku ketua lembaga judikatif tertinggi tersebut. maka tak heran bila Bagir dianggap melakukan “kesengajaan” ketika memilih German Hoediarto sebagai ketua majelis hakim dalam perkara tersebut.

Di ruangan kerjanya, lantai 2 Gedung Mahkamah Agung, Bagir menjawab semua teka-teki itu dalam wawancara khusus dengan Ombudsman. Beragam persoalan lain seputar masalah yang terjadi di MA pun dijawabnya secara blak-blakan. “Dalam kasus sebelumnya, memang kita hadapkan dengan UU Pers, karena itu ketentuan pidana. Kita mengatakan bahwa UU Pers itu lex specialist. Sedangkan dalam perdata itu masalah hak individual,” kata Bagir kepada Irawan Santoso dari Ombudsman pertengahan September lalu. Berikut petikan wawancara khusus dengan Ketua MA tersebut secara lengkap.

Dalam kasus majalah TIME Asia vs Soeharto, MA mengalahkan pers. Sementara di kasus sebelumnya, Anda sempat memenangkan pers. Mengapa terjadi putusan yang tidak sama?
Perjalanan (kasus tersebut) kan belum selesai. Masih ada Peninjauan Kembali (PK). Pihak TIME masih bisa melakukan upaya hukum luar biasa. Selain itu, ini gugatan perdata dengan dasar perbuatan melawan hukum (PMH). Jadi tidak ada hubungannya dengan Undang-Undang Pers. Sedangkan dalam perdata itu masalah hak individual. Nah, disini yang dituntut adalah apakah terbukti atau tidaknya perbuatan melawan hukum tersebut. Di negara manapun biasa seseorang menggugat pers dalam arti perbuatan melawan hukum. Jadi, jangan campur aduk. Bila pers tidak bisa digugat, maka (pers) akan menjadi kekuatan absolut. Itu berarti tidak bagus. Pers di alam demokrasi pun harus bisa dikontrol.

Apakah anda sengaja menunjuk German Hoediarto sebagai ketua majelis hakim dalam perkara tersebut. Padahal, beliau adalah ketua muda bidang militer MA (Kumdil)?
Saya sudah katakan berkali-kali bahwa kita tidak menggunakan sistem kamar. Setiap hakim agung berkompeten untuk memeriksa perkara. Pak German adalah hakim agung yang sudah lama (senior). Dia seorang sarjana hukum yang sudah lama, bahkan dia sudah memutus ribuan perkara perdata. Jadi, tidak ada yang istimewa. Ketika membagikan perkara, saya tidak melihat perkara jenis apa. Yang dilihat adalah nomor perkaranya saja. Tidak melihat siapa para pihaknya. Juga tidak melihat-lihat majelisnya yang mana. Maksudnya agar objektifitasnya terjaga. Bila segala sesuatu dijadikan dalil untuk menyalahkan saya ya tentu akan bisa. Pengalaman saya, sepertinya semua dijadikan purbasangka untuk menyalahkan pengadilan. Semua dijadikan purbasangka.

Ada kalangan pers menilai putusan ini akan menjadi momok bagi pers. Benarkah seperti itu?
Mengapa pers mesti takut. Sejauh pers tidak menghina orang ya tidak perlu takut. Pers tidak boleh beranggapan bahwa seolah-olah dia boleh menghina atau mencerca orang. Jadi tolong pers juga mempunyai kewajiban menjaga nama baik orang lain. Di Amerika Serikat juga biasa pers digugat oleh orang yang merasa dihina. Di sana mereka (pers) biasa saja. Kok kita sepertinya (pers) harus kebal hukum. Sampai menyalah-nyalahkan Mahkamah Agung seperti itu.

Bahkan, muncul yang komentar bahwa putusan perkara ini akan menjadi jurisprudensi untuk perkara pers?
Di Indonesia tidak menganut sistem itu (jurisprudensi). Artinya, dari waktu ke waktu, dalil dan dasar pengambilan putusan bisa berbeda. Hakim dibebaskan untuk mengambil dasar hukum yang akurat. Artinya, tudingan seperti itu terlalu dilebih-lebihkan. Kita tidak perlu ketakutan seperti itu, karena memang kita tidak mengenal sistem jurisprudensi tersebut.

Anda juga dikritik banyak kalangan soal kenaikan tunjangan Ketua MA. Bagaimana itu?
Nah, kan saya disalahkan lagi. Padahal, kenaikan itu untuk 33.000 pegawai pengadilan dan hakim di seluruh Indonesia. Kok Ketua MA saja yang disalahkan? Kenaikannya 100 persen atau 50 persen adalah untuk mereka (pegawai dan hakim). Jadi, hanya untuk mencari kesalahan Ketua MA, maka kenaikan untuk Ketua MA saja yang disoroti. Ini kan tidak benar. Terus terang saja, saya bingung kenapa Ketua MA begitu tidak disukai. Padahal, saya ini tidak pernah berbuat apa-apa. Presiden sendiri pernah mengatakan gaji Ketua MA yang terkecil di antara pejabat tinggi lainnya.
Bahkan, ketika saya diminta berapa persen kenaikannya, saya menyarankan agar dinaikkan yang ditingkat bawah (hakim dan hakim tinggi). Jadi yang terakhir (dinaikkan) baru hakim agung dan Ketua MA. Itu policy-nya. Jangan dikira saya mendahulukan perjuangan kenaikan gaji saya. Orang-orang itu terlalu rendah memandang saya. Terus terang saja saya agak marah tentang itu. Seolah-olah yang ditonjolkan kenaikan untuk Ketua MA saja. Padahal untuk 33.000 orang secara keseluruhan. Kok ndak habis-habis untuk mencerca saya. Nggak habis-habisnya mendera saya. Sedangkan saya ini tidak pernah berbuat apa-apa.

Siapa sebenarnya yang merancang kenaikan gaji itu?
Masak Ketua MA mengurusi hal-hal yang begitu. Itu hasil perundingan Menteri Keuangan, Menteri PAN, dan DPR. Berapa angka yang dicapai masak Ketua MA yang mengurusi. Tentu tidak logis. Lagi-lagi tuduhan itu sangat kejam. Apakah Presiden mengurusi masalah gajinya? Sama juga dengan Ketua MA. Tidak mungkin mengurusi hal-hal semacam itulah. Bahwa kita memperjuangkan kenaikan gaji hakim memang kita perjuangankan. Tapi, berapa jumlahnya, itu urusan DPR dengan pemerintah yang mengurusi anggaran. Bukan Ketua MA!

Memang pada 2005, sejak merebaknya kasus suap-menyuap Probosutedjo di MA, anda terus diserang oleh berbagai pihak, termasuk pers....
Itulah yang saya tidak mengerti. (Kasus) Probosutedjo saya jelas tidak terlibat. Kenapa saya terus disakiti seperti itu? Keluarga saya merasa dihina. Saya merasa yakin. Tolong dicatat, Allah SWT teman saya. Saya tidak berbuat apa-apa, tetapi mengapa saya difitnah terus-menerus? Ketika saya memutus perkara Manulife atau perkara besar lainnya, semisal kasus Neloe cs, mengapa tidak ada yang memberi komentar? Ironisnya saya tidak berbuat apa-apa kok terus disalahkan. Ketika IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) mengusul hakim agung berusia 70 tahun, saya katakan itu tidak berlaku bagi kami. Tapi kok saya yang diserang. Itu tidak berlaku bagi kami (hakim agung) yang sudah beranjak 65 tahun.

Jadi anda merasa korban trial by the press?
Ini bukan lagi trial. Tapi sudah merupakan pembunuhan terhadap hidup saya. Saya merasa terus disakiti. Saya sudah berkomitmen atas kebebasan pers, saya tetap tabah. Apapun yang dilakukan pers, meskipun menyakitkan, saya cukup diam saja. Karena saya tidak mau mengurangi komitmen saya untuk mengurangi kebebasan pers. Itulah sebabnya saya memutus TEMPO (kasus TEMPO vs Tommy Winata-red) seperti itu. Bukan karena dibuat-buat.

Apa karena bertepatan dengan hari kemerdekaan pers?
Hahaha... Hari kemerdekaan pers, saya tidak tahu hari itu. Saya tidak mengurusi hal-hal seperti itu. Komitmen mengusung kemerdekaan pers memang saya lakukan sejak mahasiswa dan kuliah di Amerika. Itu memang bagian dari kuliah saya. Jadi, bukan hal yang tumbuh sehari-dua hari. Selama ini saya tidak pernah ngomong, karena tidak ingin mengurangi komitmen saya terhadap kebebasan pers. Karena kebebasan pers itu sama dengan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Dia tidak bisa diintervensi pihak manapun. Itu komitmen saya.

Ketika Rakernas, MA mengeluarkan SK Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Anda bisa jelaskan?
Ini hal yang biasa saja. Sesuai dengan tuntutan bahwa kita sekarang pasang IT (Information Technology). Kita mengusung kebebasan informasi. Kini alamnya untuk terbuka. Di situ akan ketahuan bila kita dalam memutus perkara, misalnya, 1.000 perkara per bulan. Tapi nanti mungkin ada juga yang ngomong, ah cuma itu saja kerjanya, yang lain-lain tidak dikerjakan. Tetap saja salah. Ada hakim di Papua menyeleweng. Yang disalahkan Ketua MA. Bagimana cara berpikir logisnya? Apakah ada seorang pegawai departemen di Papua berbuat salah, menterinya harus tanggung jawab? Kok kalau menyangkut peradilan, saya mesti tanggung jawab. Jadi, pikiran logisnya tidak ada. Ini yang menyedihkan sekali. Tapi ya sudahlah saya cuma menunggu waktu untuk pensiun saja. Dan saya tidak perlu dihargai oleh siapapun. Hanya Allah SWT teman saya semata.