Saturday, December 29, 2012

1453, Kala Islam Menaklukkan Romawi



1453, Kala Islam Menaklukkan Romawi

Bila menelisik sejarah, agaknya tahun 1453 M, dianggap tak terjadi sesuatu yang berarti. Padahal, sejatinya alkisah yang terjadi di tahun itu, sangat mempengaruhi perkembangan dunia hingga seperti ini.

Di tahun 1453 itu, sebuah pertempuran dahsyat terjadi. Perang besar antara Utsmaniyah (Ottoman) dan Romawi. Perang itu memperebutkan kota Konstantinopel (kini Istambul). Seberapa penting Konstantinopel era itu? Napoleon  Bonaperte, pelaut Perancis menggambarkannya terang. Dia bilang, "Bila seluruh dunia ini adalah sebuah negara, maka kota yang pantas menjad i ibukotanya adalah Konstantinopel". George Trapezuntios, sejarawan Inggris juga berkisah serupa. "Tahta kekaisaran Romawi adalah Konstantinopel", katanya.

Konstantinopel kala itu adalah kota penting di dunia. Hampir seperti New York atau Washington era kini. Letaknya ada di belahan Asia, setengahnya lagi di daratan Eropa. Bagi masyarakat Eropa, kota itu jadi pusat perekonomian dunia. Seluruh barang yang dari Asia, yang jadi kebutuhan Eropa, diperdagangkan di Konstantinopel. Tak heran, kota itu menjelma jadi ibukota yang diburu siapapun.

Keindahan kota itu juga luar biasa. Sebuah gereja dibangun megah disana. Nama gereja itu adalah  Aya Sophia. Gereja itu jadi simbol kekuasaan Konstantinopel yang di tahun 1453 itu dikuasai Kaisar Justinian.

Penduduk Konstantinopel mulanya dikuasai oleh penganut Nasrani. Kaisar Justinian sangat taat pada agamanya. Mereka dibawah singgasana Romawi. Tapi kalangan penulis Barat menyebut kerajaan ini dengan Byzantium, bukan Romawi. Pasalnya Romawi yang berpusat di Roma, sudah hancur sejak abad 4 M. Tapi belahan dunia lainnya menyebut Byzantium ini sebagai Romawi Timur.

Medio Mei 1453, ribuan pasukan Utsmaniyah, sebuah imperium raksasa di era itu, melakukan pengepungan terhadap Konstantinopel. Perang dua negeri adidaya pun terjadi. Perang antara Utsmaniyah dan Romawi itu menyita perhatian seluruh dunia.

Tentara Utsmaniyah, dibawah pimpinan Sultan Mehmet II (Muhammad Al Fatih) melakukan pengepungan selama 59 hari. Seluruh dunia menyaksikan pengepungan itu. Eropa terdiam. Nusantara tertegun. Kalangan jazirah arab bersatu dibawah Utsmaniyah, mengepung Konstantinopel.

Sultan Al Fatih (sang Penakluk), memiliki ambisi tersendiri dalam penaklukan itu. Pasalnya Konstantinopel adalah kota yang dijanjikan Allah SWT bakal jatuh ke tangan umat Islam. Janji itu diucapkan Nabi Muhammad SAW di abad 6 Masehi. Dalam sebuah Hadist, Nabi SAW sempat berkata, "Suatu saat Konstantinopel akan takluk di tangan seorang pemimpin (Islam). Ditangannya dialah sebaik-baiknya pemimpin dan sebaik-baiknya pasukan".

Sabda Rasul itu menjadi pemantik kaum muslimin di seluruh dunia untuk ikut dalam barisan tentara Utsmaniyah. "Bila ada orang yang ditolak masuk bergabung dalam tentara Utsmaniyah, bisa dibilang dia akan malu sekali," tutur Feliz Siau, seorang penulis buku “1453 Muhammad al Fatih” kepada Mahkamah.co. Jadi, sambung Felix lagi, gambaran saat itu di kalangan umat Islam sangat berlomba-lomba masuk dalam tentara Utsmaniyah untuk menaklukan Konstantinopel. "Karena itu adalah kota yang dijanjikan jatuh ke tangan Islam," tukasnya lagi.

Alhasil pengepungan pun dilakukan. Ternyata menaklukan Konstantinopel tak semudah membalikkan telapak tangan. Kota itu sudah pengalaman dalam pengepungan. Hampir puluhan kali kota itu dikepung musuh-musuhnya. Tapi tak pernah berhasil. Pasalnya Konstantinopel dikeliling benteng berlapis tiga, yang mustahil ditaklukan dengan alat perang biasa-biasa.

Sultan Al Fatih kemudian menggunakan Meriam sebagai metode baru dalam peperangan. Meriam  tercatat pertama kali digunakan dalam perang, adalah dalam pertempuran itu. Eropa sendiri belum pernah mengenal meriam, Utsmaniyah menggunakannya.

Selama 59 hari, akhirnya pasukan Islam berhasil menjebol tembok Konstantinopel. Meriam dan peralatan perang itu mampu menembus kota terindah di dunia itu.

Tanggal 29 Mei 1453, Sultan Muhammad Al Fatih memasuki gerbang Konstantinopel untuk pertama kalinya. Kemenangan Utsmaniyah ini disambut hangat seluruh umat Islam di dunia. Namun kalangan Eropa berlomba-lomba mengutuknya. Di era itulah Islam berjaya menguasai dunia. Peralatan militer Utsmaniyah adalah tercanggih di dunia. Selain meriam, Utsmaniyah mengenalkan pada dunia sebuah pasukan khusus. Namanya janisari. Pasukan khusus inilah yang kemudian ditiru menjadi lembaga intelijen di dunia, termasuk CIA, Mossad dan lainnya.

Kemenangan Utsmaniyah ini hampir mirip dengan menangnya Sparta atas Troya, pertempuan yang terjadi di tempat yang sama, 1700 SM. Kala itu, Troya dikepung selama 10 tahun oleh Sparta. Tapi Agamemnon, Raja Sparta berhasil menang karena memakai medote licik, kuda Troya. Setelah 10 tahun mengepung Troya, tentara Sparta tak kunjung bisa menjebol tempok Troya. Akhirnya mereka frustasi. Tapi cara licik dimainkan. Sparta membangun sebuah kuda raksasa. Didalamnya ratusan tentara Sparta berdiam diri. Kuda itu kemudian dimasukkan ke dalam gerbang kota Troya. Troya tertipu. Mereka merayakan kemenangan besar-besaran karena merasa sudah berhasil menang perang.

Di malam hari, kala tentara Troya mabuk kemenangan, para tentara Sparta yang berdiam dalam kuda itu pun turun. Mereka menyerang pasukan Troya. Ribuan tentara Sparta sudah menanti di gerbang Troya untuk masuk. Troya pun terbakar. Sparta menang perang.

Tapi kemenangan Utsmaniyah kali ini bisa dibilang gentlement. Tembok Konstantinopel benar-benar hancur oleh taktik militer yang canggih, peralatan tempur mumpuni dan pasukan yang bersemangat luar biasa. “Karena seluruh tentara Utsmaniyah yakin dengan Bisyarah, sebuah janji Allah SWT,” tutur Felix lagi. Bisyarah inilah yang dimiliki Al Fatih untuk menaklukkan Konstantinopel.

www.mahkamah.co 

Saturday, April 21, 2012


“La Busca de Averroes”
(Carilah Averroes Itu)

Dante Alighieri (1265-1321). Sosoknya membahana. Dia dipuja para sarjana. Barat mendewakannya sebagai filosof yang berpengaruh di dunia. Dante seorang penyair Italia. Dia pejabat tinggi di Fiorentina. 

Dia bernapas di era Italia mulai merangkak bernegara. Tapi Dante disembah karena karyanya, “Die Monarchia” (1313). Karya itu dianggap anti Gereja. Dante menolak negara dibawah kungkungan Paus. Dante setuju negara adalah urusan dunia. Gereja lebih baik cukup mengawasi masalah rohani saja. Gara-gara Dante, Gereja dan Raja sempat berperang kata-kata. Gereja akhirnya kalah. Raja membahana, menjadi penguasa urusan dunia. Paus dan Gereja sebatas mengurusi orang bertobat semata. Tak boleh ikut campur mengurusi negara. 

Muasal otak Dante, terpengaruh pemikiran seorang filosof sebelumnya. Averroes namanya. Dia hidup jauh sebelum Dante. Averroes hidup di era 1126-1198. Dante tergila-gila dengan Averroes. Dia mengidolakan Averroes. Tak heran, dalam karya Dante, “The Divine Comedy”, Averroes itu digambarkannya terang benderang. 

Dante tak beda dengan Thomas Aquino. Dia filosof juga. Secermerlang Dante juga. Thomas malah lebih membahana. Dia hidup di tahun 1224 hingga 1274. Ia filosof kebanggaan Italia juga. Di Naples (Napoli), dia lahir. Kala muda, Thomas kemudian hijrah ke Paris, kuliah di Universitas Paris, Perancis. Era itu Universitas Paris belum kesohor. Para profesornya masih berguru di Universitas Cordoba, Andalusia (kini Spanyol). Di Cordoba itulah pengetahuan segala arah diulas banyak orang Eropa. Paris pun terpengaruh iklim filosof Cordoba. Thomas itulah kisah nyatanya. 

Di Paris, Thomas melahap buku-buku Averroes. Thomas terpengaruh pemikiran Averroes. Kisah ini diprasastikan resmi oleh Prof. Dr. John Gillissen, guru besar Universitas Belgia, kampus yang berbahasa Belanda. Gillisen tak ragu bilang Thomas mengikuti pikirannya Avveroes.

Selepas kuliah, Thomas menjadi uskup di Roma. Disitulah dia menuangkan buah pikirannya. Thomas mengajar di biara-biara Dominican di Roma. Semenjak itulah namanya mulai membahana seantero eropa. Gereja sangat senang kepadanya. Karena Thomas menuliskan Summa Teologia (Ajaran Ketuhanan). Dia juga menuliskan De Regimme Prinsipun (Pemerintahan Raja-Raja). Tapi Thomas pembela kaum Gereja. Thomas mentasbihkan kedudukan Paus tak berbeda dengan Raja. Paus juga berhak mengurusi negara, selain Raja. Gereja harus menjadi pengawal Raja, dalam bernegara. Begitulah Thomas berkisah. Malah, teori Thomas itu kemudian membidani lahirnya adagium Tweez waarden theorie (ajaran dua belah pedang). Adagium ini dianut Eropa di abad 12. Pedang yang satu, dipegang sang raja. Satunya lagi dikendalikan sang Gereja. 

Kala itu, Eropa di masa suram. Sejak Romawi jatuh, 476 M, Eropa hilang kendali. Belantara Barat itu kebingungan mencari bentuk negeri. Antara kaum raja dan Gereja saling berebut kuasa. Sistem raja pemegang kuasa, mulai dibantah. Karena dibawah Raja, dirasa tak juga sejahtera. Era Romawi berjaya, sistem negara berganti tiga kali. Dari kuasa Kaisar, Raja hingga republik. Germana, era pasca Romawi, lebih memilih Raja yang memerintah. Mereka tak mau Gereja jadi singgasana utama urusan negara. Tapi kaum Ortodoks lebih doyan Gereja memimpin. Alhasil, Eropa terbelah dua. Romawi Timur (Barat menyebutnya Byzantium) tetap berkuasa dibawah wewenang Gereja. Raja dan Kaum Gereja memegang kendali Konstantinopel.
 
Sejak itulah, orang Eropa belajar lagi. Dante menilai negara bisa diperintah siapa saja. Tak mesti utusan Tuhan. Karena, kata Dante, setiap manusia dibekali kemampuan memimpin. Dia menganut hukum alam. Thomas menawarkan jalan tengah. Summa Dei dan kehidupan Gereja bisa sejalan. Keduanya menganut paham Aristoteles, filosof Yunani kuno yang hidup 384-322 SM. 

Tapi Dante dan Thomas tak mengenal Aristoteles secara langsung. Mereka bisa tahu fisolof kesohor itu lewat Averroes. Sosok inilah yang menyambung lidah Aristoteles di belantara Eropa. 

Siapa sejatinya Averroes itu? Kok dia menjadi rujukan Dante dan Aquinas? Dialah filosof Islam yang berjaya di Abad XII. Di era mereka, Eropa yang lagi bingung mencari bentuk negara. Islam justru lagi jaya-jayanya. Islam menjelma jadi Imperium terbesar sepanjang sejarah. Saat itu, Islam membentang digdaya, dari India hingga sepanjang jazirah Arab, Afrika sampai pula ke Andalusia. Dibanding Macedonia, Romawi, Sparta, Mongol, Mesopotamia, imperium Islam lebih megah. Era itu, di bawah Dinasti Abbasiyah, Islam hampir menguasai separuh dunia. 

Ilmu pengetahuan pun berkembang luar biasa. Averroes hidup di era Islam tengah membahana luar biasa. Ratusan filosof hebat berdebat sepanjang masa. Averroes itu hanya kisah kecilnya saja. Tapi dia sangat mempengaruhi Eropa. 

Averroes itulah yang membangkitkan lagi pemikiran Aristoteles. Dia berkisah, metode pikiran Aristoteles tak bertentangan dengan sistem Islam yang khilafah. Di Imperium Islam itu, hanya dengan sistem Khilafah semata. Tak berbentuk raja, kaisar atau republik. Islam dipimpin seorang Sultan, sebagai pusat kekuasaan. Hukum yang dipakai, terang hukum Tuhan. Tak pula dengan demokrasi, yang basa-basi itu. Hukum Tuhan ternyata mampu membuat sebuah imperium yang tangguh. Negeri gemah ripah, rakyat sejahtera. Dengan khilafah, Islam bisa digdaya dari Abad 6 hingga Abad 19. Terlama sepanjang sejarah. 

Patung Ibnu Rusyd di Cordoba

Dante, Thomas dan pemikir Eropa mulai sadar. Averroes itulah tokoh yang mereka puja. Averroes berani bilang, Islam juga bisa dimatematika-kan. Islam juga agama yang sesuai logika. Hukum alam juga bisa sejalan dengan hukum ilahi, begitu Averroes berteori. Penganut ini tak Averroes sendiri. Bersama Avempace (Ibn Bajja), Ibnu Tufail, Ibnu Zhyr dan Maimonides (Ibnu Maymun), mereka membedah filsafat Aristoteles. Mereka menemukan, pemikiran Aristoteles, tak bertentangan secara Islam. 

Perdebatan memang sempat terjadi. Al Ghazali, filosof kesohor lainnya, sempat tak sepakat dengan Aristoteles. Dia menilai, Aristoteles itu bertentangan dengan Khilafah. Ghazali memang tak salah. Kalah Aristoteles berjaya, ”Politeia” karangannya, hanyalah kisah oportunisnya semata. Begitu Plato, sang Guru Aristoteles mati, dia menetap di Macedonia. Pria itu diangkat jadi penasehat Iskandar Yang Agung, penguasa Macedonia. Tapi kemudian dia dipecat Iskandar. Karena Aristoteles mengembangkan hukum bahwa setiap manusia dibekali kemampuan memimpin. Bentuk negara yang baik, kata Aristoteles, bisa dengan Republik, dengan bungkus demokrasi. Tak mesti keturunan raja semata. Iskandar tak suka pikiran itu. Aristoteles pun dibuang. Dia pulang ke Athena.   

Sebagai filosof sejati, Averroes menggali lagi. Dia menulis setiap hari. Menyebarkan pemikiran dan ide cemerlangnya. Hanya kala menikah dan di hari ayahnya meninggal, dia tak menulis. Selebihnya, buah karyanya selalu menghiasi. Karyanya, Tahafut al Tahafut (Ketaklurusan dari Ketaklurusan), banyak diterjemahkan Eropa. Isinya tentang pembelaan atas karya Aristoteles itu. Lewat buah pikirannya, FasL al Maqal (diterjemahkan sebagai “The Treatise Tegas”), Averroes menukiskan pentingnya berpikir analitis sebagai prasyarat menafsirkan Al Quran. Dia juga menelorkan pemikiran keselarasan antara filsafat dan agama. Averroes menulis, “Karena filsafat adalah benar dan suci terungkap adalah benar tidak ada ketidakharmonisan antara mereka”.

Tak pelak, tulisan Averroes pun digandrungi Eropa. Michael Scotus, filosof Skotlandia, di abad 13 salah satunya. Hermannus Alemannus, ahli filsafat Jerman juga serupa. Mereka belajar dari cara berpikir Averroes. Di Italia, Siger dan Brabant secara terbuka menyatakan diri pengikut Averroist. Gerakan ini mulai membahana hingga seantero Eropa. Kalangan Gereja pun marah luar biasa. Mereka tak terima ahli pikir Islam, jadi panutan. Tapi di kelompok lain, pemikiran Averroes jadi ilham pengembangan rasionalisme di Eropa. Bukan mereka saja. Filosof Yahudi, Musa Maumonides, Samuel Ben Tibbon, Yehuda Ben salomo Choen, Sem Tob Ben, Yusuf Falaquera, termasuk pengikut Averroes.  

Berabad-abad, pikiran Averroes menusuk Eropa. Voltaire dan JJ Rousseau, filosof Perancis, pun terpengaruh. Mereka menggilai metode logika berpikir Averroes itu. Tak heran, Rousseau berani mewacanakan Rennaisance di Eropa. 

Karena karya Averroes tersebar lebar. Sekitar 20 ribu karyanya, mulai dari filsafat Islam, Arab kedokteran, Matematika, Astronomi, tata bahasa Arab, teologi Islam, Syariah, Fiqih, mempengaruhi Eropa. 

Tak heran, Averroes pun punya banyak nama. Hampir di setiap negara Eropa, dia dijuluki nama beda berbeda. Ernest Renan, ahli sejarah Perancis, dalam bukunya “Et l'averroisme” (1852), menjabarkannya. Nama Averroes dikenal juga sebagai Ibin Ros Din, Filius Rosadis, Ibnu Rusid, Ben Raxid, Den Resched, Aben Rassad, Aben Rois, Aben Rust, Avenrosdy, Adveroys, Benroist, Avenroyth, Averroysta, dan lainnya.
Sepanjang bumi ini ada, tak ada filosof yang punya nama julukan seperti itu di setiap negara. Inilah hebatnya Averroes. Tapi sejatinya, pemikir Islam ini bernama lengkap Abu I-Walid Muhammad Bin Ahmad Bin Rusd. Di Islam, dia dikenal dengan Ibnu Rusyd. Barat memujanya sebagai master filsafat Aristoteles. 

Tahun 1169, Averroes sempat jadi Qadhi (hakim) di Sevilla. Dua tahun kemudian dia jadi Qadhi di Cordoba. Dia tak hanya menguasai filsafat. Dia juga seorang dokter, ahli matematika, fisika, astronomi, psikologi. Dia juga sarjana hukum yang beraliran Maliki. 

Averroes berhasil menyihir Eropa. Dia digandrungi berabad-abad lamanya. Novelis Inggris James Joyce, “Ulysses”, Averroes menjadi tokohnya. Di puisi penyair Spanyol, Alamgir Hasmi, “Dalam Cordoba”, Averroes dikisahkan menunggu di luar tembok Cordoba. Sebuah asteroid pun dipersembahkan dengan namanya, “Asteroid 8318 Averroes”, sebagai penghormatan untuk kemegahan pemikirannya. 

Sayang, di nusantara ini Averroes tak membahana. Kampus dan pemuja filsafat Indonesia, seolah tak mengenalnya. Averroes tak digandrungi. Mahasiswa, pengacara, hakim, jaksa, profesor di Indonesia, seolah hanya memuja Dante, Thomas, Rousseau semata. Mereka lupa sesosok yang sejatinya mengilhami filosof Eropa itu. Nusantara ini tak mau menggali. Averroes itulah sesosok yang sejatinya layak dipelajari. 

Dan, Dante dan Aquinas sudah terbukti tergila-gila dengannya. Averroes menjelma jadi pemikir kesohor dunia. Jorge Luis Borges, novelis Argentina, pun terang memujanya. Dia menabalkan sosok pesohor itu sebagai judul karnya, “La Busca de Averroes” (Carilah Averroes itu).