Sunday, December 23, 2007

" P R E T O R "

P R E T O R




Pretor. Istilah ini ada di kerajaan Romawi kala masih berjaya. Dia di­kenal sebagai pembela orang­orang tak mampu di depan hu­kum. Membela manusia yang disangkakan bersalah. Tapi belum tentu bersalah sebelum ada putusan dari raja. Dalam membela, pretor tak meminta. bayaran. Tak ada juga succes fee. Karena, mereka berasal da­ri kalangan bangsawan.


Mereka rata-rata sudah ka­ya dan tak lagi mencari harta yang megah. Pretor berjuang demi menegakkan hukum, yang sudah disusun sebelum­nya. Pretor menjaga hukum agar tetap beijalan dan dipa­tuhi. Pretor menjaga kewiba­waan raja di depan para rak­yatnya. Pretor menjaga setiap orang Romawi cinta akan ne­gerinya karena keberadaban bisa terjaga tanpa takut akan ketertindasan dari sang penguasa. Pretor tak bertugas membebaskan orang yang bersalah. Namun menjaga agar orang yang bersalah itu diberikan sanksi sesuai dengan koridor kesalahannya. Tidak menambahi maupun mengurangi. Peranan pretor membuat Romawi jadi agung dan menjelma jadi imperi­um yang tangguh.

Karena Pretor bekerja mengikuti sistem yang ada. Setiap warga Romawi yang dituduh, pretor selalu ada untuk mempelajari dulu duduk masalahnya. Bila si ter­tuduh tak bersalah, pretor memperjuangkannya dengan segala alasan hukum, yang hidup di jaman itu.

Namun pretor cuma ada di jaman dulu. Hanya dida­pati di era imperium Romawi masih digdaya. Namun kisah kesuksesan pretor tetap jadi inspirasi. Adnan Bu­yung Nasution mengaku terilhami menjadi pretor ketika berlakon sebagai pengacara. Karena memang pretor hampir tak beda dengan pengacara.




Hanya saja nasibnya beda di Indonesia. Pengacara tak mampu menjaga agar hukum tetap berwibawa. Pengacara justru berlomba mencari harta agar berlimpah. Pengacara tak peduli hukum sudah ditegak­kan dan kebenaran materil be­nar diungkapkan. Pengacara hanya mengedepankan klien dengan motto agar menang di­setiap perkara. Pengacara le­bih peduli tersangka yang ber­harta ketimbang rakyat mis­kin jelata. Pengacara lebih mengunggulkan keahlian me­ngenali hakim ketimbang ke­ahlian hukum.


Cerita seperti itu bukan bu­alan semata. Banyak fakta membuktikannya. Bahkan ada yang sudah dipenjara karena ulahnya. Mereka. telah dinyata­kan bersalah telah menelikung profesinya. Ito baru yang ter­ungkap. Karena masih banyak kisah-kisah colas pengacara yang tak ketahuan hidung belangnya. Sebab banyak pengacara yang cuma mengejar kemenangan semata. Maju tak gentar membela yang bayar.

Peristiwa inilah yang menyebabkan hukum jadi tak berwibawa. Banyak orang tak percaya dengan penga­cara. Karena pengacara lebih mengarah jadi mafia per­adilan. Bukannya menjelma jadi pretor yang mulia.


Padahal Indonesia memimpikan menjadi negara hu­kum (rechtstaat) yang perkasa. Negeri yang sejatinya hi­dup dengan beradab dengan hukum sebagai panglima. Tapi, apa daya, pengacara lebih tak suka mengarahkan kesana. Orang-orang di bidang ini lebih suka memiliki mobil mewah, rumah megah, istri dua, nama tenar, ke­timbang membudayakan agar hukum bisa dijalankan, secara benar.


Berarti, tak salah juga bila Shakespeare juga punya angan-angan. "Let's Kill all the lawyers!!".
Begitu katanya.








Irawan Santoso
(Majalah FORUM Keadilan, 2006)

"TIME KALAH, MA DIBELAH" (Karya Tulis Terbaik dalam ajang ANUGERAH ADIWARTA SAMPOERNA 2007 kategori feature hukum)

Gugatan Soeharto terhadap majalah TIME Asia dimenangkan Mahkamah Agung (MA). Kalangan pers protes. Penunjukkan ketua majelis hakim disoalkan.


Rabu, 12 September 2007 lalu. Sore itu, jarum jam menunjukkan pukul 18.20 WIB. Lima mobil bergantian memasuki gerbang rumah Soeharto di Jalan Cendana No 8, Jakarta. Yang pertama datang adalah kendaraan yang ditunggangi pengacara OC Kaligis. Tak lama kemudian datang mobil lainnya. Keluar dari kendaraan itu sosok Prof. DR. Indriyanto Seno Adji. Selang sekitar lima menit, datang lagi mobil berikutnya milik Wimboyono Seno Adji. Saat bersamaan masuk meluncur tenang mobil Denny Kailimang. Yang terakhir datang tampak Juan Felix Tampubolon.


Sore itu serempak mereka berada di rumah mantan presiden Indonesia tersebut. Soalnya, ada panggilan dari Soeharto untuk segera menghadap. Tepat pukul 18.35 WIB, kelimanya sudah ada di hadapan Pak Harto. Sebenarnya ada satu pengacara lagi. Namanya M Assegaf yang sore itu juga diminta datang. Tetapi, lantaran mobilnya terjebak macet, dia tidak berhasil sampai di Cendana.


Mereka semua adalah para pengacara Soeharto. Sore itu, mereka diminta datang untuk menjelaskan seputar putusan Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah TIME Asia. Saat itu, Indriyanto yang pertama kali bicara. Putera bekas ketua MA, Oemar Seno Adji, itu menjelaskan tentang pemberitaan media bahwa gugatan terhadap majalah TIME dimenangkan MA. Kemudian Kaligis ganti berbicara. Dia sekaligus memberi selamat kepada bekas Presiden Indonesia itu. Pak Harto tampak menyimak. Tak lama kemudian, Soeharto berkata-kata. Mulutnya terbata-bata mengatakan, “Terima kasih atas kerja kerasnya (tim kuasa hukum).”


Pak Harto menegaskan semula diberitahu oleh anak-anaknya setelah membaca di koran. Juan Felix kemudian menimpali. Pengacara Batak ini menjelaskan perihal teknis pelaksanaan eksekusi. Katanya, urusan eksekusi putusan ini masih panjang. Ia pun berujar, “Untuk bisa eksekusi diperlukan surat kuasa lagi.” Soeharto menjawab, “Iya, nanti saya berikan.” Pembicaraan pun berlanjut masih seputar persoalan itu. Setelah sekitar 20 menit bertemu, mereka membubarkan diri.


Memang, pertengahan September lalu, MA membeberkan kemenangan gugatan Soeharto atas TIME Asia. Pengumuman itu dilakukan Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi. “Gugatan Soeharto dikabulkan dengan ganti kerugian Rp1 triliun," katanya kepada Ombudsman. Sebelum dibacakan Nurhadi, putusan itu sudah diambil dalam rapat permusyawaratan hakim agung di MA. Yang melakukannya adalah tiga hakim agung yang ditunjuk sebagai majelisnya. Mereka adalah German Hoediarto, Muhammad Taufik dan M Bahaudin Qaudry. Pada 30 Agustus 2007, majelis mengambil putusan tersebut dengan suara bulat. Sidang itu sendiri tak dihadiri kedua pihak yang berperkara. Cuma para hakim agung itu saja yang ada. Dua pekan berselang baru Nurhadi mengumumkan hasil putusannya ke berbagai media.


Di situ dinyatakan gugatan Soeharto dikabulkan sebagian. Amar putusannya menjelaskan sebelas petitum, dari 12 yang diajukan, diamini majelis hakim. Para tergugat, TIME Inc Asia, Donald Marisson (editor), John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis dan Jason Tedjasukmana, dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum. Mereka dihukum secara tanggung renteng membayar kerugian immateril senilai Rp1 triliun.
Pangkal persoalannya sendiri bersumber dari pemberitaan di majalah TIME edisi 24 Mei 1999. Di situ, media berbahasa Inggris tersebut menyajikan berita dengan judul cover “Special Report, Suharto Inc. How Indonesia longtime boss built a family fortune.” Banner itu menjelaskan gambar Soeharto yang dibuat dengan ilustrasi dimana jenderal besar itu digambarkan tengah tersenyum dengan gaya khasnya. Lalu, mengenakan jas, berpeci dan mendekap beragam barang-barang seperti karung beras, piring porselen bergambar perempuan Jawa dan rumah mewah bergaya Eropa. Perempuan di piring porselen itu adalah Siti Hartinah alias Ibu Tien. Dengan seabrek barang itu, Soeharto dikesankan tidak bersedia melepasnya. Di bawah ilustrasi itu tertulis The smiling general. Di edisi itu, TIME menjadikan kisah harta Soeharto sebagai laporan utama. Beritanya terbentang dari halaman 16 hingga 28.

Isi liputan majalah itu, sesuai dengan judulnya, memang dramatik. TIME menggolongkan Soeharto sebagai diktator korup di Asia. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, kekayaan Keluarga Cendana ditaksir sekitar US$ 15 miliar. Kekayaan itu terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya.


Padahal, gaji Soeharto sendiri hanya sekitar Rp15 juta perak per bulan. Tak hanya itu, menurut TIME, kekayaan Soeharto tersimpan di bank di Swiss. Hasil penelusuran TIME menemukan kekayaan Keluarga Cendana tak hanya berupa deposito atau duit, tetapi juga benda berharga, tanah, dan properti. Tak hanya di Indonesia, tapi juga berserakan di sejumlah negara lain seperti Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.


Berita itulah yang membuat Soeharto dan keluarga besarnya gerah. Bahkan, Soeharto sempat nampang di stasiun Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), 6 September 1998, khusus membantah berita tersebut. Waktu itu, kala dirinya masih segar bugar dan TPI masih dimiliki anaknya, Soeharto mengatakan tak memiliki uang sepeser pun di luar negeri, termasuk seluruh kekayaan seperti yang ditulis TIME. Sejak itu Soeharto bertekad untuk menggugat TIME. Waktu sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, gugatan itu kandas. Begitu juga kala putusan banding Pengadilan Tinggi diputus. Soeharto kalah. Tetapi, ketika di MA, kemenangan berpihak padanya.
MA menyatakan TIME telah melampaui batas kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati dalam menulis berita tentang Soeharto. Yang disebut tidak hati-hati dan patut itu adalah ilustrasi rumah dan berita yang menyebut Soeharto mentransfer US$ 9 miliar (sekitar Rp108 triliun saat itu) dari bank di Swiss ke sebuah bank di Austria pada Juli 1998.
MA menghukum wartawan yang terlibat dalam penulisan laporan itu. Mereka adalah Donald Marrison (editor), John Colmey, David Liebhold, Lisa Rose Weaver, Zamira Lubis, dan Jason Tedjasukmana. Dua yang terakhir adalah warga Indonesia. Selain membayar secara tanggung renteng Rp1 triliun, mereka pun harus menyatakan permintaan maaf kepada Soeharto yang dimuat dalam lima koran dan majalah nasional plus majalah TIME edisi Asia, Eropa, dan Amerika selama tiga kali berturut-turut. Masih ada perintah lain: permintaan maaf itu disiarkan di lima televisi nasional selama tujuh hari berturut-turut.


Sontak, putusan itu membuat heboh. Yang paling kebakaran jenggot tentu kubu TIME sendiri. Lewat kuasa hukumnya, Todung Mulya Lubis, mereka memprotes mentah-mentah putusan kasasi tersebut. "Ini bagai petir di siang bolong, tidak ada hujan, tidak ada angin," tandas Todung kepada Ombudsman dengan gusar. Menurut Todung, pihaknya tidak akan menerima putusan tersebut, sebabnya tidak ada fakta dan dasar hukum yang kuat untuk menyalahkan kliennya. "Fungsi pers sebagai lembaga kontrol sosial sudah diakui oleh seluruh dunia," katanya lagi. Tak hanya itu, Todung bahkan berani menyatakan putusan MA itu menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers yang mulai dikembangkan. “Harusnya MA menjaga kebebasan pers, karena itu merupakan perintah konstitusi,” ujar Todung lagi.


Di pihak lain, pembela Soeharto pun tak mau tinggal diam. Denny Kailimang, misalnya, berani mengatakan tidak ada urusan dengan kebebasan pers dalam kasus ini. “Mereka panik karena kalah. Jangan seolah-olah mereka (pers) harus menang,” katanya kepada Ombudsman. Sebaliknya, menurut Kailimang, justru pihak majalah TIME yang tidak tunduk kepada aturan hukum pers. "Kita sebelumnya sudah somasi dua kali, tetapi tidak ditanggapi," terang Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) tersebut. Sejatinya, somasi itu berisikan bahwa majalah TIME mesti meralat beritanya.


“Somasi itu bukan hak jawab,” timpal Todung tak puas. Selain itu, Todung menuding Ketua MA Bagir Manan sengaja memilih German sebagai ketua majelis perkara tersebut. Sekadar informasi, German adalah Ketua Muda Bidang Hukum Militer di MA. Todung menganggap latar belakang German ikut “mempengaruhi” putusan. Namun, Bagir membantah tudingan tersbeut. “Saya sudah katakan berkali-kali, kita (MA) tidak menggunakan sistem kamar. Setiap hakim agung berkompeten untuk memeriksa perkara,” terang Bagir kepada Ombudsman di ruangan kerjanya, pertengahan bulan lalu.

Selain itu, dalam pandangan Bagir, German adalah hakim agung yang sudah lama (senior). “Dia seorang sarjana hukum yang sudah lama. Bahkan, dia juga sudah memutus ribuan perkara perdata. Jadi, tidak ada yang istimewa,” tambah Ketua MA itu. Ia menegaskan, ketika perkara dibagikan, yang dilihat hanya nomornya saja. Itu berarti majelis hakim tidak melihat siapa para pihaknya. Tidak melihat-lihat juga majelisnya yang mana. “Maksudnya agar objektifitasnya terjaga,” jelasnya lagi. German sendiri ogah berkomentar. Kepada Ombudsman, dia tak mau ngomong banyak. “Saya sudah berbicara dalam putusan,” katanya sambil berlalu.


****************************

Buah Kiprah Lawyer Cendana

Kemenangan Soeharto terhadap TIME Asia membuktikan ketanggguhan para ˜advokat cendana”. Dua kali Soeharto dibuat senang.

Law Office Kailimang & Pontoh mendadak riuh. Selasa itu, 11 September 2007, kesibukan di kantor hukum yang berada di Menara Kuningan, Jakarta, itu tampak lain. Tumpukan kardus berisi kertas-kertas mendadak dibongkar. Yang dicari adalah berkas perkara gugatan Soeharto melawan TIME Asia. Yang menyuruh mencarinya tentu saja Denny Kailimang yang termasuk salah satu kuasa hukum Soeharto. Denny memerlukan berkas perkara tersebut karena telepon selulernya terus dihubungi wartawan yang menanyakan tentang kasus tersebut. Terlebih setelah MA menyatakan mengabulkan gugatan kliennya.

“Saya mesti mencari dulu berkas perkara itu,” akunya kepada Ombudsman. Soalnya, sejak tahun 2001 berkas perkara itu sudah dikandangkan. Apalagi ia pun baru saja pindahan kantor. Maklum, sejak akhir 2006 lalu, Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) ini berpisah dengan partner lamanya, Rudhy A Lontoh. Kini Denny membentuk kantor sendiri dengan duet bersama Harry Pontoh. “Saya hampir lupa kasus itu ada,” tambahnya.

Denny memang sempat kaget, utamanya saat disodorkan pertanyaan seputar ikhwal gugatan tersebut. Namun, walaupun sudah tak ingat, ternyata perkara itu dimenangkan pihaknya. Itulah hebatnya. Hanya saja, Kailimang tak sendiri, melainkan bersama dengan Prof. DR. Indriyanto Seno Adji, Wimboyono Seno Adji, OC. Kaligis, Juan Felix Tampubolon dan M Assegaf membela bekas penguasa Orde Baru itu. Mereka ini yang dikenal sebagai penjaga gawang Cendana, khususnya untuk menghalau setiap serangan hukum diarahkan ke sana.

Pertengahan bulan lalu, upaya mereka berbuah. Gugatan terhadap majalah TIME Asia yang dinilai memfitnah Soeharto berhasil dimenangkan. Bahkan, Soeharto bakal ketiban uang Rp1 triliun sebagai uang ganti rugi dari TIME Asia. Harus diakui, dalam menangani kasus ini, para pengacara Soeharto memang tergolong lihai. Pasalnya, dalam dua persidangan di Pengadilan Negeri dan Tinggi, mereka justru kalah. Tetapi, kala di MA, kemenangan ada dipihak Soeharto. Buktinya, dalam putusan kasasi itu, majelis hakim kasasi banyak mengutip pendapat para lawyer tersebut.
Dalam putusan itu, TIME dinilai terbukti melakukan perbuatan melawan hukum lewat penurunan berita yang mencemarkan nama baik Soeharto. Pasalnya, TIME menyebut "adanya pengalihan uang dalam jumlah besar terkait Indonesia dari bank Swiss ke Austria, yang dianggap surga yang aman untuk deposito-deposito rahasia.” Menurut Soeharto, pernyataan itu tidak benar sama sekali. Begitu juga dengan kutipan yang berbunyi, “TIME telah mengetahui bahwa USD 9 miliar uang Soeharto telah ditransfer dari Swiss ke sebuah rekening tertentu di Austria." Kutipan tersebut dinilai Soeharto sebagai perbuatan melawan hukum. Atas ulah tersebut, Soeharto lewat gugatannya meminta majalah berbahasa Inggris itu membayar kerugian materiil Rp280 juta dan kerugian imateriil Rp189 triliun. Namun, yang dikabulkan hanya sebesar Rp1 Triliun saja.

Keberhasilan lawyers Cendana ternyata bukan di kasus ini saja. Dalam perkara pidana, mereka juga berhasil ˜menghentikan” persidangan lebih lanjut terhadap mantan Presiden Soeharto. Buktinya, pada 2006 lalu, Kejaksaan Agung dibuat mesti mengeluarkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) terhadap Soeharto. Alhasil, sang “Bapak Pembangunan” itu pun kini nyaman di rumahnya berkat kepiawaian para advokatnya.

Kini, memang serangan terhadap Soeharto sempat datang lagi. Bentuknya ketika Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata. Tapi, hingga kini, kelanjutannya masih belum jelas. Kedua pihak masih terlibat dalam proses mediasi. Di sini, kiprah para advokat Cendana kembali dipertontonkan. Buktinya, proses mediasi antara pihak Kejakgung dengan mereka sempat berjalan alot.

Komunitas lawyers Cendana sebenarnya tak sebatas menangani Soeharto semata. Medio April 2006, mereka sempat menjadi penjaga gawang kawanan hakim agung di MA. Tepatnya ketika 31 hakim agung mengajukan judicial review terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. T tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Uji materil itu dilakukan ke Mahkamah Konsitusi (MK) yang memutuskan kedua beleid tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Saat itu, lawyers Cendana membela mati-matian para hakim agung. Kebetulan waktu itu, perang antara MA dan Komisi Yudisial (KY) tengah panas-panasnya. Pihak KY, kala itu, dibentengi kalangan lawyer yang tak kalah tangguh. Ada Amir Syamsuddin, Bambang Widjojanto, Trimoelja D Soerjadi dan lainnya. Untungnya, kedua pihak tak ketahuan siapa yang menang, karena putusan MK memerintahkan agar kedua UU direvisi oleh DPR. Namun, di antara 31 hakim agung yang memberi kuasa kepada lawyer Cendana itu, tiga hakim agung yang menjadi majelis perkara Soeharto masuk di dalamnya. Jadi, sebelum perkara itu diputus, ketiganya adalah klien dari lawyer Cendana.
“Tak ada hubungan antara perkara ini (Soeharto vs TIME) dengan kasus itu,” jelas Denny. “Kedua perkara itu jauh berbeda. Jangan dihubung-hubungkan.” Denny boleh bergeming, tetapi agaknya advokat lain tak setangguh komunitas mereka dalam menaklukan TIME. Buktinya, ada pada 2004 lalu, ketika Abu Bakar Baasyir melayangkan gugatan perdata kepada TIME Asia. Gugatan Baasyir itu ditangani oleh Tim Pengacara Muslim (TPM) yang dikomandani Mahendradatta.
Kala itu, Baasyir protes terhadap berita TIME edisi edisi 23 September 2002. Dalam edisi tersebut, ada sebuah tulisan yang berjudul Confessions of an al-Qaedah Terrorist. Tulisan itu memuat laporan CIA yang mengutip pernyataan Umar al Faruk yang menyatakan bahwa Abu Bakar Ba'asyir adalah pimpinan Jamaah Islamiyah dan terlibat dalam sejumlah pemboman di antaranya pemboman di Masjid Istiqlal. “Baasyir tidak pernah dikonfirmasi. Tokoh Umar Al-Farouk juga diragukan keberadaannya,” terang Mahendradatta ikhwal gugatannya itu kepada Ombudsman.
Merasa dirugikan, Baasyir lalu menuntut TIME mesti ganti rugi sebesar Rp100 triliun. Sama seperti gugatan Soeharto, dia pun mematok para tergugat, yaitu Time Asia, Greenseld (editor Time Asia), Romesh Ratnesar (penulis), dan Jason Tejasukmana (reporter Time untuk Indonesia). Gugatan itu digelar di PN Jakarta Selatan. Sialnya, gugatan Baasyir ditolak majelis hakim yang diketuai Sudaryatno. Alasan hakim, gugatan itu kurang pihak dan error in persona. Pasalnya, Time Asia yang berkantor di Hongkong dianggap bukan badan hukum yang mandiri, melainkan di bawah Time inc New York.
Hakim merujuk pada UU Pers yang menyebutkan bahwa penanggung jawab perusahaan adalah pemimpin redaksi. Karena itu, menurut hakim, TIME Asia tidak bertanggungjawab terhadap isi berita. Hakim berpandangan, tidak masukkannya TIME Inc New York sebagai tergugat membuat gugatan menjadi kurang pihak dan error in persona. Ketika gugatan dikandaskan hakim, waktu itu, Todung Mulya Lubis, kuasa hukum majalah TIME Asia, berkomentar, “Putusan hakim sudah tepat.”

Padahal, bila dibandingkan, gugatan Soeharto yang disusun Lawyers Cendana terhadap TIME juga tidak memasukkan pihak TIME Inc New York. Hanya sebatas TIME Asia yang bermarkas di Hongkong semata. Namun, majelis hakim agung memenangkan Soeharto selaku penggugat. Kondisi inilah yang membuat Todung mencak-mencak. “Putusan ini mengancam kemerdekaan pers kita,” ujarnya.

Namun agaknya Denny Kailimang tak terlalu memusingkan hal tersebut. Ketika bertemu Soeharto, dia menyampaikan berita kemenangan ini dengan sumringah. Soeharto pun mengucap syukur. Uang sebanyak itu, oleh Soeharto, bakal disumbangkan buat pendidikan, kegiatan sosial, museum dan lainnya. Sah-sah saja memang, tapi kemenangan ini membuktikan keperkasaan lawyers Cendana.

********************************

Akibat Beleid yang Tak Komplit

Soeharto memilih jalur perdata ketika menggugat majalah TIME Asia. Pihak TIME mencak-mencak. UU Pers dituding sebagai biang keladi.

Kantor advokat Lubis, Santosa & Maulana mendadak ramai. Banyak wartawan yang tiba-tiba menuju ke sana. Selasa, 11 September 2007, kantor hukum yang ada di gedung Mayapada Tower, Jakarta, itu dipenuhi para kuli tinta. Mereka menemui sang empu-nya, Todung Mulya Lubis, yang juga kuasa hukum majalah TIME Asia. Di siang hari itu, Todung memang bermaksud menggelar jumpa pers seputar “kalahnya” klien pengacara itu akibat digugat Soeharto.

MA menghukum TIME Asia untuk membayar ganti rugi. Jumlahnya tak kepalang tanggung Rp1 triliun. Termasuk meminta maaf melalui sejumlah media nasional. Itu yang membuat kuping Todung memerah. Di depan para wartawan, Todung mengeluarkan protesnya atas putusan kasasi itu. “Putusan ini bukan saja kekalahan TIME, tetapi kekalahan pers kita,” katanya gusar.

Todung mengaku kekecewaannya lantaran majelis hakim agung tak mengenakan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam memutus kasus tersebut. Todung beralasan, kliennya termasuk perusahaan pers. “Jadi mesti mengacu pada UU Pers,” ujarnya. Menurut Todung, sebelumnya MA telah memutus perkara pers dengan sangat baik. Advokat bekas ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu menegaskan majelis kasasi mestinya mengacu pada putusan TEMPO dengan Tommy Winata. “Dalam putusan itu ditegaskan semua delik pers harus menggunakan UU Pers,” tandasnya. Sekadar mengingatkan, saat itu Bagir Manan yang menjadi ketua majelis. “Oleh sebab itu, kita menggugat lagi komitmen Bagir Manan,” ungkapnya.

Tentu sah-sah saja bila Todung meradang. Namun Ketua MA Bagir Manan pun memiliki jawaban. Kepada Ombudsman, pertengahan bulan lalu, Bagir berkata, “ ni kan gugatan perdata. Dasarnya perbuatan melawan hukum (PMH). Jadi, tidak ada hubungannya dengan Undang-Undang Pers,” tandasnya. Dalam kasus TEMPO melawan Tommy Winata, lanjut Bagir, memang sengaja dihadapkan dengan UU Pers. “Karena itu ketentuan pidana,” jelasnya. Sedangkan dalam perdata yang diusung adalah hak individual. Artinya, sesuai penuturan Bagir, di sini yang dituntut adalah apakah terbukti atau tidaknya perbuatan melawan hukum tersebut. “Di negara manapun biasa seseorang menggugat pers dalam arti perbuatan melawan hukum,” terangnya.
Cuma, di mata Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, vonis MA terhadap TIME tetap dianggap tidak masuk akal. Menurutnya, denda itu seharusnya tidak melebihi angka Rp500 juta. “Karena itu merujuk pada UU Pers,” katanya kepada Ombudsman. Leo tak salah memang. Pasal 18 UU Pers menyebutkan pers bisa dikenakan pidana denda bila melanggar beberapa ketentuan. Namun, hukuman yang ada cuma pidana denda. “Dalam pidana denda, ganti ruginya masuk ke kas negara,” terang Prof.Andi Hamzah. Menurut pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti itu, pidana denda itu memang dikenal dalam KUHP. “Dia lahir karena Pasal 10 KUHP,” ujarnya lagi kepada Ombudsman. Dengan begitu, hukuman yang ada dalam UU Pers adalah bersifat pidana, bukan perdata.

Itu berarti UU Pers tidak mengenal ganti rugi terhadap individu apalagi bila pers melanggar ranah personal. “Jalan keluarnya tetap dengan perdata,” kata Bagir lagi. Pertanyaannya kini salahkah majelis hakim MA memutus tanpa merujuk pada UU Pers? Ketika gugatan Soeharto terhadap TIME di daftarkan ternyata UU Pers belum diundangkan. TIME yang disoalkan, terbit dalam volume 153 edisi 24 Mei 1999. Sedangkan UU Pers mulai berlaku sejak 23 September 1999. Pengakuan Denny Kailimang, kuasa hukum Soeharto, menyebutkan, pendaftaran gugatan dilakukan dua bulan setelah TIME terbit. Yang berarti berkisar Juni 1999. saat itu jelas UU Pers No. 40 Tahun 1999 belum lahir. “UU Pers tidak berlaku surut,” kata Andi Hamzah.

Menurut Andi, tempos delicty perkara ini memang jauh sebelum UU Pers lahir. Jadi, atas perkara ini boleh-boleh saja dilakukan upaya hukum perdata. “Pakai KUHP pun boleh,” katanya lagi. Andi beralasan, karena memang UU Pers tidak mengatur secara rinci setiap delik pers berikut dengan sanksi yang diberikannya. “UU (Pers) itu tidak lengkap. Jadi mesti mengacu pada UU yang lebih lengkap,” katanya. Sebaliknya, Leo menilai denda yang wajar dikenakan kepada pers tidak lebih dari Rp500 juta. Karena semangatnya untuk melindungi perusahaan pers. “Bila jumlah (dendanya) lebih, maka semangatnya adalah semangat membredel dan mematikan,” katanya. Kondisi itu yang dilakukan MA dengan menetapkan denda Rp1 triliun.
Menurut Leo, kendati TIME media asing, namun denda sebesar itu tidak layak dikenakan di negara demokrasi seperti Indonesia. “Tapi justru akan lumrah di negara-negara diktator,” ujarnya. Yang harus ditekankan di sini, tegas Leo, semangat filosofinya. Bila TIME dianggap bersalah tentu sangat wajar jika didenda Rp200 juta saja. “Yang terpenting TIME mengaku mau bersalah kalau dia bersalah, bukan diukur dengan jumlah uang yang sangat besar seperti itu,” terangnya.

Kailimang menampik mentah-mentah argumen Leo. Menurutnya, denda sebesar itu untuk mengganti kerugian akibat berita tidak benar yang telah disebarluaskan oleh TIME. “Klien kami itu bekas Presiden, panglima besar dan tokoh sejarah penting di Indonesia, wajar ganti ruginya juga besar,” terang Kailimang. Berbeda misalnya, lanjut pendiri kantor hukum Kailimang & Pontoh ini, bila yang dicemarkan nama baiknya hanyalah orang biasa. “Tentu ganti rugi yang diminta tidak sebesar itu,” tandasnya.

Kailimang menggambarkan betapa pemberitaan TIME itu sempat membuat repot pemerintah Indonesia. Memang kala itu, Jaksa Agung Andi Ghalib dan Menteri Kehakiman di era Habibie, sempat beberapa kali terbang ke Austria dan Swiss untuk mengecek keberadaan harta Soeharto seperti ditulis TIME. “Tapi mana hasilnya? Kejaksaan tidak menemukan? Ini karena beritanya yang tidak benar,” Kailimang tegas. Jadi, menurut Kailimang, sangat benar bila majelis hakim agung memutus TIME mesti ganti rugi dan minta maaf.

Namun sikap protes tetap saja datang. Kali ini datang dari Heru Hendratmoko. Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu menilai putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi insan pers. Putusan itu dinilai lebih sebagai pembredelan secara tidak langsung karena angka yang diminta sangat fantastis. Bahkan, bila menimpa perusahaan pers di Indonesia bisa dipastikan membuat bangkrut. Heru khawatir putusan itu akan dijadikan rujukan untuk membangkrutkan media massa di negeri ini.

MF Siregar menilai lain. Dalam pandangan mantan anggota Dewan Pers itu kisruh ini hanya disebabkan satu hal: lemahnya UU Pers. Menurutnya, pemberitaan yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang semestinya bisa diselesaikan lebih dulu lewat UU Pers. Mekanismenya melalui hak jawab. Sayangnya, lanjut Siregar, aturan tentang hak jawab pun tidak disebutkan secara tegas dalam UU Pers. “Sisi lemahnya ada dalam Penjelasan Pasal 12 UU Pers, “ katanya. Isinya, “Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Itu berarti bila terjadi perkara pidana yang berkaitan dengan pers, maka dibolehkan merujuk pada KUHP. “Inilah bukti nyata UU Pers bukan lex specialist dari KUHP,” terangnya lagi.

Pendapat itu diamini Wina Armada Sukardi. Anggota Dewan Pers itu bahkan berani mengatakan kalau UU Pers tidak mengandung unsur lex specialist derogat legi generalis. “UU itu dibuat dengan terburu-buru,” tandasnya kepada Ombudsman. Waktu itu, cerita Wina, pada 1999 pemerintah sangat bernafsu menyusun peraturan buat kalangan pers. Cuma pembuatannya tidak maksimal dan terburu-buru. Karena itu, kata mantan Pemred Merdeka itu, peraturan yang termaktub dalam UU Pers banyak yang tidak lengkap dan tidak mengatur seluruh kegiatan yang berhubungan dengan pers.


**************************

Prof. DR. Bagir Manan, SH, MCL, Ketua Mahkamah Agung RI :

Saya Tidak Berbuat Apa-apa kok Terus Disalahkan”

Ketika Soeharto menang dalam gugatan terhadap majalah TIME Asia, Mahkamah Agung (MA) RI kembali menjadi sorotan. Lembaga ini dianggap melakukan kesengajaan agar mantan Presiden Republik Indonesia itu menorehkan kemenangan. Padahal, dalam perkara pers sebelumnya, MA justru memenangkan pers. Sorotan itu mengarah pada penetapan hakim agung yang berbasis hukum militer, bukan hukum perdata. Penetapan hakim agung dalam setiap perkara yang disidangkan di MA tentu dilakukan oleh Bagir Manan selaku ketua lembaga judikatif tertinggi tersebut. maka tak heran bila Bagir dianggap melakukan “kesengajaan” ketika memilih German Hoediarto sebagai ketua majelis hakim dalam perkara tersebut.

Di ruangan kerjanya, lantai 2 Gedung Mahkamah Agung, Bagir menjawab semua teka-teki itu dalam wawancara khusus dengan Ombudsman. Beragam persoalan lain seputar masalah yang terjadi di MA pun dijawabnya secara blak-blakan. “Dalam kasus sebelumnya, memang kita hadapkan dengan UU Pers, karena itu ketentuan pidana. Kita mengatakan bahwa UU Pers itu lex specialist. Sedangkan dalam perdata itu masalah hak individual,” kata Bagir kepada Irawan Santoso dari Ombudsman pertengahan September lalu. Berikut petikan wawancara khusus dengan Ketua MA tersebut secara lengkap.

Dalam kasus majalah TIME Asia vs Soeharto, MA mengalahkan pers. Sementara di kasus sebelumnya, Anda sempat memenangkan pers. Mengapa terjadi putusan yang tidak sama?
Perjalanan (kasus tersebut) kan belum selesai. Masih ada Peninjauan Kembali (PK). Pihak TIME masih bisa melakukan upaya hukum luar biasa. Selain itu, ini gugatan perdata dengan dasar perbuatan melawan hukum (PMH). Jadi tidak ada hubungannya dengan Undang-Undang Pers. Sedangkan dalam perdata itu masalah hak individual. Nah, disini yang dituntut adalah apakah terbukti atau tidaknya perbuatan melawan hukum tersebut. Di negara manapun biasa seseorang menggugat pers dalam arti perbuatan melawan hukum. Jadi, jangan campur aduk. Bila pers tidak bisa digugat, maka (pers) akan menjadi kekuatan absolut. Itu berarti tidak bagus. Pers di alam demokrasi pun harus bisa dikontrol.

Apakah anda sengaja menunjuk German Hoediarto sebagai ketua majelis hakim dalam perkara tersebut. Padahal, beliau adalah ketua muda bidang militer MA (Kumdil)?
Saya sudah katakan berkali-kali bahwa kita tidak menggunakan sistem kamar. Setiap hakim agung berkompeten untuk memeriksa perkara. Pak German adalah hakim agung yang sudah lama (senior). Dia seorang sarjana hukum yang sudah lama, bahkan dia sudah memutus ribuan perkara perdata. Jadi, tidak ada yang istimewa. Ketika membagikan perkara, saya tidak melihat perkara jenis apa. Yang dilihat adalah nomor perkaranya saja. Tidak melihat siapa para pihaknya. Juga tidak melihat-lihat majelisnya yang mana. Maksudnya agar objektifitasnya terjaga. Bila segala sesuatu dijadikan dalil untuk menyalahkan saya ya tentu akan bisa. Pengalaman saya, sepertinya semua dijadikan purbasangka untuk menyalahkan pengadilan. Semua dijadikan purbasangka.

Ada kalangan pers menilai putusan ini akan menjadi momok bagi pers. Benarkah seperti itu?
Mengapa pers mesti takut. Sejauh pers tidak menghina orang ya tidak perlu takut. Pers tidak boleh beranggapan bahwa seolah-olah dia boleh menghina atau mencerca orang. Jadi tolong pers juga mempunyai kewajiban menjaga nama baik orang lain. Di Amerika Serikat juga biasa pers digugat oleh orang yang merasa dihina. Di sana mereka (pers) biasa saja. Kok kita sepertinya (pers) harus kebal hukum. Sampai menyalah-nyalahkan Mahkamah Agung seperti itu.

Bahkan, muncul yang komentar bahwa putusan perkara ini akan menjadi jurisprudensi untuk perkara pers?
Di Indonesia tidak menganut sistem itu (jurisprudensi). Artinya, dari waktu ke waktu, dalil dan dasar pengambilan putusan bisa berbeda. Hakim dibebaskan untuk mengambil dasar hukum yang akurat. Artinya, tudingan seperti itu terlalu dilebih-lebihkan. Kita tidak perlu ketakutan seperti itu, karena memang kita tidak mengenal sistem jurisprudensi tersebut.

Anda juga dikritik banyak kalangan soal kenaikan tunjangan Ketua MA. Bagaimana itu?
Nah, kan saya disalahkan lagi. Padahal, kenaikan itu untuk 33.000 pegawai pengadilan dan hakim di seluruh Indonesia. Kok Ketua MA saja yang disalahkan? Kenaikannya 100 persen atau 50 persen adalah untuk mereka (pegawai dan hakim). Jadi, hanya untuk mencari kesalahan Ketua MA, maka kenaikan untuk Ketua MA saja yang disoroti. Ini kan tidak benar. Terus terang saja, saya bingung kenapa Ketua MA begitu tidak disukai. Padahal, saya ini tidak pernah berbuat apa-apa. Presiden sendiri pernah mengatakan gaji Ketua MA yang terkecil di antara pejabat tinggi lainnya.
Bahkan, ketika saya diminta berapa persen kenaikannya, saya menyarankan agar dinaikkan yang ditingkat bawah (hakim dan hakim tinggi). Jadi yang terakhir (dinaikkan) baru hakim agung dan Ketua MA. Itu policy-nya. Jangan dikira saya mendahulukan perjuangan kenaikan gaji saya. Orang-orang itu terlalu rendah memandang saya. Terus terang saja saya agak marah tentang itu. Seolah-olah yang ditonjolkan kenaikan untuk Ketua MA saja. Padahal untuk 33.000 orang secara keseluruhan. Kok ndak habis-habis untuk mencerca saya. Nggak habis-habisnya mendera saya. Sedangkan saya ini tidak pernah berbuat apa-apa.

Siapa sebenarnya yang merancang kenaikan gaji itu?
Masak Ketua MA mengurusi hal-hal yang begitu. Itu hasil perundingan Menteri Keuangan, Menteri PAN, dan DPR. Berapa angka yang dicapai masak Ketua MA yang mengurusi. Tentu tidak logis. Lagi-lagi tuduhan itu sangat kejam. Apakah Presiden mengurusi masalah gajinya? Sama juga dengan Ketua MA. Tidak mungkin mengurusi hal-hal semacam itulah. Bahwa kita memperjuangkan kenaikan gaji hakim memang kita perjuangankan. Tapi, berapa jumlahnya, itu urusan DPR dengan pemerintah yang mengurusi anggaran. Bukan Ketua MA!

Memang pada 2005, sejak merebaknya kasus suap-menyuap Probosutedjo di MA, anda terus diserang oleh berbagai pihak, termasuk pers....
Itulah yang saya tidak mengerti. (Kasus) Probosutedjo saya jelas tidak terlibat. Kenapa saya terus disakiti seperti itu? Keluarga saya merasa dihina. Saya merasa yakin. Tolong dicatat, Allah SWT teman saya. Saya tidak berbuat apa-apa, tetapi mengapa saya difitnah terus-menerus? Ketika saya memutus perkara Manulife atau perkara besar lainnya, semisal kasus Neloe cs, mengapa tidak ada yang memberi komentar? Ironisnya saya tidak berbuat apa-apa kok terus disalahkan. Ketika IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) mengusul hakim agung berusia 70 tahun, saya katakan itu tidak berlaku bagi kami. Tapi kok saya yang diserang. Itu tidak berlaku bagi kami (hakim agung) yang sudah beranjak 65 tahun.

Jadi anda merasa korban trial by the press?
Ini bukan lagi trial. Tapi sudah merupakan pembunuhan terhadap hidup saya. Saya merasa terus disakiti. Saya sudah berkomitmen atas kebebasan pers, saya tetap tabah. Apapun yang dilakukan pers, meskipun menyakitkan, saya cukup diam saja. Karena saya tidak mau mengurangi komitmen saya untuk mengurangi kebebasan pers. Itulah sebabnya saya memutus TEMPO (kasus TEMPO vs Tommy Winata-red) seperti itu. Bukan karena dibuat-buat.

Apa karena bertepatan dengan hari kemerdekaan pers?
Hahaha... Hari kemerdekaan pers, saya tidak tahu hari itu. Saya tidak mengurusi hal-hal seperti itu. Komitmen mengusung kemerdekaan pers memang saya lakukan sejak mahasiswa dan kuliah di Amerika. Itu memang bagian dari kuliah saya. Jadi, bukan hal yang tumbuh sehari-dua hari. Selama ini saya tidak pernah ngomong, karena tidak ingin mengurangi komitmen saya terhadap kebebasan pers. Karena kebebasan pers itu sama dengan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara. Dia tidak bisa diintervensi pihak manapun. Itu komitmen saya.

Ketika Rakernas, MA mengeluarkan SK Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Anda bisa jelaskan?
Ini hal yang biasa saja. Sesuai dengan tuntutan bahwa kita sekarang pasang IT (Information Technology). Kita mengusung kebebasan informasi. Kini alamnya untuk terbuka. Di situ akan ketahuan bila kita dalam memutus perkara, misalnya, 1.000 perkara per bulan. Tapi nanti mungkin ada juga yang ngomong, ah cuma itu saja kerjanya, yang lain-lain tidak dikerjakan. Tetap saja salah. Ada hakim di Papua menyeleweng. Yang disalahkan Ketua MA. Bagimana cara berpikir logisnya? Apakah ada seorang pegawai departemen di Papua berbuat salah, menterinya harus tanggung jawab? Kok kalau menyangkut peradilan, saya mesti tanggung jawab. Jadi, pikiran logisnya tidak ada. Ini yang menyedihkan sekali. Tapi ya sudahlah saya cuma menunggu waktu untuk pensiun saja. Dan saya tidak perlu dihargai oleh siapapun. Hanya Allah SWT teman saya semata.

Thursday, May 24, 2007

LEX CERTA

FORUM KEADILAN: NO. 17, 20 AGUSTUS 2006

"L E X C E R T A"

Sebuah kisah dari abad lama. Ketika dua negara masih digdaya. Di Selatan ada Troya, di utara Sparta berkuasa. Keduanya sejahtera. Rakyatnya gemah ripah. Sang raja aman sentosa. Keduanya juga punya jagoan bersejarah. Achilles di Troya dan ada Hector di Sparta. Dua-duanya hidup berdampingan dengan damai. Berjanji saling menjaga dan menghargai. Berjanji saling menjaga martabat kerajaan masing‑masing. Karena dua-duanya punya kekuatan yang sama.

Hingga suatu ketika, kedamaian itu. terusik. Seorang pangeran Sparta, Paris, menculik istri Maneleus. Dia ini salah seorang penguasa di Troya. Dia juga adik kan­dung Agamemnon. Dialah sang raja yang menguasai jagat Troya.Alhasil, genderang perang pun tertabuh. Sang raja merasa harga dirinya diinjak. Tapi pangeran lebih mengedepankan cinta. Tak peduli mengusik kedamaian yang ribuan tahun su­dah tertanam.Perang memang memuncak. Tanpa bisa dielakkan, Troya pun menyerang Sparta. Seluruh pasukan yang ada dibawa. Sparta tak kalah. Setiap prajurit dikeluarkan. Keduanya ber­perang berhadap-hadapan. Hasilnya Sparta terpanggang. Ri­buan prajurit dan penduduk Troya mati tanpa arti.

Semuanya bermula karena Sparta dianggap tak mampu menjaga aturan yang sudah dibuat bersama. Semacam Lex Certa. Sebuah prin­sip yang mestinya dipatuhi antara keduanya.Memang, di jaman itu, Lex Certa tak mencuat dalam sebuah aturan tertulis. Dia hanya bersifat lisan. Tapi juga sebuah per­aturan yang mesti ditaati. Bagi yang melanggarnya, pertanda ajakan berperang.

Kini, Lex Certa kembali jadi masalah. Locus delicty-nya ada di negara kita sendiri. Gara-gara Lex Certa, perang memang terjadi. Tapi bentuknya tak saling panah dan mengayunkan pedang bak tentara Sparta dan Troya. Melainkan lewat peratu­ran perundang-undangan. Pemainnya juga bukan kerajaan. Namun dua lembaga hukum nan perkasa. Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).Dua-duanya memang digdaya. Karena keduanya dibentuk berlandasakan UUD 1945. Tepatnya Pasal 24 UUD 1945. Beleid itulah dasarnya.

Kedua lembaga itu memang tak akur. Mereka saling serang. KY yang mulai. Lembaga ini sering mengayunkan rekomendasi. Tapi tak satupun dipatuhi MA. Alasannya banyak. MA menilai rekomen­dasi KY tak bijak. KY dinilai sering memasuki wilayah perkara ketika memeriksa seorang hakim.Tapi KY tak mau disalahkan begitu saja. Busyro Muqqodas, Ke­tua KY memberi alasan pasti. Dia menilai sangat muskil memeriksa keanehan hakim bila tak memasuki wilayah perkara. Alasan inilah yang membuat MA tak terima. KY dinilai menyalahi prinsip Lex Certa.

Alhasil, keduanya terus berpe­rang. Bahkan sampai saling mela­porkan ke Mabes Polri. Tindakan itu pernah dilakoni oleh delapan o-rang hakim. agung. Tentu buah ulah KY juga. Gara-garanya 13 nama hakim agung diumumkan ke media massa. Hakim agung itu dianggap bermasalah. Karena dilaporkan masyarakat ke KY, maka hakim agung lalu tak terima. Karena mereka baru dilaporkan. Dan, laporan itu belum diperiksa. Tapi sudah digolongkan sebagai hakim agung bermasalah.

Tak cukup, itu. KY bahkan sempat melesakkan senjata bombastis. Mereka mengajukan peraturan pengganti undang-undang (Perppu) ke Presiden selaku kepala negara. Salah satunya untuk mengocok ulang seluruh hakim agung yang ada. Namun usulan itu kemudian ditolakKini, perang masih berlangsung. Medannya ada di Mah­kamah Konstitusi. Di lembaga itu, MA yang menyerang. Mere­ka menuntut kewenangan KY agar ditetapkan.

Hingga tak merambah ke wilayah hakim agung. Tapi cukup sampai di 'ha­kim' semata. Berarti untuk "wakil Tuhan" yang ada di Penga­dilan Negeri dan Pengadilan Tinggi saja. Namun, permohonan itu belum dikabulkan.Tapi peperangan belum juga berakhir. Entah sampai kapan. Keduanya juga tak punya target yang jelas. MA tak ingin di­awasi dengan cara seperti selama ini. Sementara KY ingin ce­pat memberantas mafia peradilan. Walau dengan menyerang blak-blakan.

Padahal bila keduanya mau belajar dari sang raja Sparta, Priam, perang mungkin bisa dinafikkan.Sebelum Sparta diserang Troya, Priam sempat berkisah pa­da puteranya, Paris. “Selama menjadi raja dan berperang, tak satupun yang membuat diriku tenang. Tak ada perang yang membuat hidup ini lebih berarti. Tapi lebih logis bila kita berperang demi cinta”. Sang anakpun riang menyimaknya। Bagaimana dengan MA dan KY? Rakyat mungkin akan senang melihatnya bila memang mereka berperang demi cinta. Cinta terhadap rechstaat belaka.

Monday, May 21, 2007

Wawancara Marianna Sutadi, wakil Ketua Mahkamah Agung

Marianna Sutadi, wakil Ketua MA :
“Pengadilan Dibenci, tapi di rindu”


Belakangan, Mahkamah Agung te­rus menjadi sorotan. Terlebih sete­lah adanya usulan Komisi Yudisial tentang kocok ulang hakim agung de­ngan alasan lembaga tertinggi yudikatif ini dianggap sudah darurat. Bila itu terja­di, peluang pergantian kepemimpinan ju­ga makin terbuka. Apalagi periode kepe­mimpinan Bagir Manan sebagai Ketua MA bakal segera berakhir.

Edisi lalu, FORUM memperkenalkan sejumlah hakim agung yang berpeluang menggantikan Bagir Manan. Di antara nama-nama yang muncul, ada seorang wanita. Dialah Marianna Sutadi yang ki­ni menjabat sebagai Wakil Ketua MA. Namun, diajukan sebagai calon penggan­ti Bagir, Marianna justru menolak. Pe­rempuan berdarah Batak ini mengaju­kan alasan, tak berambisi menjadi Ketua MA.

Sebagai salah satu penguasa yudikatif, Marianna tentu saja mengerti keberatan­nya itu bisa saja dilampiaskannya lewat jalur pidana maupun perdata. Tapi, ter­nyata dia lebih mengikuti mekanisme yang tertuang dalam UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Wakil Ketua MA itu memilih menggunakan hak jawab. Fakta ini tentu menggembirakan. Pasalnya pu­cuk pimpinan MA saja sudah meles­tarikan penggunaan hak jawab dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Semoga ini bisa menjadi ‘juris­prudensi' bagi penyelesaian sengketa pers kedepannya.

Ternyata, sumbangan Marianna tak hanya itu saja. Marianna juga menceri­takan "dapurnya" selama mengabdi di MA. Termasuk perkembangan terakhir yang terjadi di lembaga benteng terakhir keadilan itu. Rabu pekan lalu, keberatan itu disampaikan dalam wawancara den­gan Irawan Santoso dari FORUM. Berikut petikan wawancaranya:

Anda keberatan dengan poin ma­na?

Tentang tulisan (FORUM edisi No.38 hal.13) ".....sudah siap dana dan dukun­gan dari para hakim agung lain untuk menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung". Terus terang, saya tidak pernah bertemu siapa pun yang menunjukkan saya berambisi menjadi Ketua MA. Untuk duduk menjabat posisi wakil Ketua MA saja, sejak Indonesia merdeka, baru sayalah yang pertama. Mungkin orang lain tidak tahu. Orang melihat bahwa jabatan itu banyak. Tapi MA seba­gai badan peradilan, dia agak konvensio­nal. Mengapa? Lihat saja pengadilan di Inggris. Negaranya sudah maju, tapi hakimnya tetap pakai wig. Buat apa itu? Karena memang pengadilan itu konven­sional. Di Amerika juga hakimnya tetap pakai toga. Bahkan untuk badan peradi­lan, Amerika sendiri belum pernah ada pimpinannya yang perempuan. Sempat memang mereka memiliki satu orang ha­kim agung perempuan. Tapi kini telah mengundurkan diri. Karena ini memang jabatan yang sulit.

Jabatan Ketua MA adalah jabatan pri­mes interpares. Dituakan karena semua lama. Mengapa dituakan? Karena ke­mampuannya, integritasnya, perilakun­ya. Kalau seorang Ketua MA tidak me­menuhi persyaratan itu, pasti dia tidak akan dihormati anggotanya. Termasuk jabatan Wakil Ketua MA ini. Karena itu, untuk saya, kata-kata 'dengan menyiap­kan dana' itu sangat menyinggung sekali.

Dengan jabatan seperti ini, bagai­mana sebenarnya keseharian Anda?
Menduduki posisi Wakil Ketua MA, sa­ya sangat mensyukuri ini dari Allah SWT. Saya tinggal di JI. Denpasar Raya, Jakarta Itu rumah jabatan kompleks menteri. Mobil yang saya pakai,Toyota Camry. Itu setara dengan mobil jabatan yang dipakai menteri. Saya mau apa la­gi? Saya tidak punya pikiran lain-lain la­gi kecuali bekerja. Saya hanya memikir­kan agar bisa selamat, bisa menyelesai­kan tugas saya yang saya impi-impikan ini, sampai ke akhir masa jabatan. Hanya itu saja.

Sebenarnya mimpi-mimpi saya banyak. Tentu saya ingin agar hakim-ha­kim kita itu betul-betul dapat menjadi hakim yang dihormati karena putusan­nya. Kita lihat di negara lain misalnya. Dalam kasus OJ Simpson di Amerika. Orang kulit hitam yang didakwa membunuh mantan istrinya dan pacar mantan istrinya. Keduanya itu orang kulit putih. Oleh pengadilan di sana dibebaskan. Ka­rena putusan itu, terjadi keributan an­tara orang kulit hitam dan kulit putih. Tapi presiden mereka berkata, kita harus tunduk pada putusan pengadilan. Seper­ti itulah yang jadi mimpi saya. Nah, kon­disi itu bisa dicapai di sini. Kuncinya, pro­fesionalitas ditingkatkan.

Kabarnya Anda sering berpergian ke luar negeri, apa saja yangAnda la­kukan?
Saya memang sempat pergi ke Jepang. Waktu itu sebenarnya tidak pantaslah pimpinan MA untuk ikut. Kenapa? Kare­na membicarakan mediasi. Yaitu antara Wakai dan Chotei. Nah, kasus ini yang ingin saya ambil. Tujuannya untuk diba­has guna dibuat sebuah peraturan MA. Sekarang sudah ada PERMA (Peraturan MA, red) yang mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mengutamakan mediasi. Tujuannya untuk mendamaikan pihak yang berperkara di pengadilan. Konsep itu memang banyak juga yang menolak. Tapi memang itu belum berja­Ian. Untuk itu pula, hari Minggu lalu sa­ya pergi ke Semarang. Hari libur saya itu sengaja saya pakai. Di sana melakukan sosialisasi terhadap sistem mediasi itu. Bukan hanya untuk hakim, tapi juga akademisi, advokat, LSM, LBH dan lain­nya. Untuk merangkul agar kita punya pandangan sama, betapa pentingnya me­diasi itu.

Menyelesaikan perkara dengan sing­kat, tidak usah banding atau kasasi. Se­cara tidak langsung akan membatasi per­kara-perkara kasasi. Jadi secara alamiah akan menurun. Para pihak juga pasti se­nang. Karena kesepakatan mediasi itu kan dibuat para pihak. Kalau para pihak sudah setuju, lalu dibuat putusan perda­maian, tidak akan ada yang bilang itu pu­tusan direkayasa, uang bermain dan lain­nya. Makelar perkara juga bisa dihindari. ­Itulah terobosan yang saya inginkan sekarang ini. Jadi, jangan dikira kalau saya ke luar negeri itu untuk berjalan-ja­lan belaka. Nah, ini yang penting agar publik tahu. Karena saya memang mena­ngani bidang yudisial, maka saya khusus menjadikan putusan hakim agar benar­-benar memenuhi rasa keadilan. Itu bu­kan pekerjaan gampang.

Anda mengorbankan hari libur un­tuk bekerja?
Nah, apakah orang yang sampai hari liburnya dikorbankan, masih diragukan juga integritasnya? Masa sih masih cari dana. Bahkan Sabtu pekan ini saya be­rangkat ke Kalimantan. Di sana bertemu dengan seluruh hakim se-Kalimantan. Itu kan berarti menggunakan waktu ke­luarga. Hari libur, bayangkan! Mengapa saya bisa begitu, wong suami saya sudah pensiun kok. Anak-anak saya sudah ber­diri sendiri. Jadi tak ada lagi yang perlu diurus.

Apa agenda Anda pergi ke sana?
Karena di sana ada masalah. Pengadi­lan Negeri (PN)-nya dirusak orang. Sebe­tulnya sasaran utamanya bukan penga­dilan, tapi kantor polisi. Kebetulan mas­sa yang sambil berjalan itu melewati PN. Nah, di PN itu lagi disimpan truk-truk illegal logging. Maka mereka berteriak­teriak meminta agar truk-truk itu dikem­balikan dan terdakwa dibebaskan. Kare­na tidak bisa, maka kaca-kaca pengadi­lannya dipecahkan. Karena itulah saya ke sana. Saya ingin sampaikan, kalau seandainya gedung pengadilan kita kecil, mengapa barang bukti seperti itu mesti kita yang simpan. Tidak barus. Bisa diti­tipkan di kejaksaan atau di polisi. Karena di sana kan ada penjagaan. pengadilan tidak bisa melakukan itu. Karena me­mang risikonya besar. Padahal waktu itu, ketika petugas pengadilan sedang meng­ambil kunci, ternyata massa masuk keru­angan pengadilan. Ketika masuk, mere­ka mengambil barang bukti kasus lain. Jadi hilanglah. Memang tidak gampang kan jadi hakim?

Ada yang mengatakan, Anda tidak mengakar di kalangan hakim agung MA, benarkah begitu?
Tidak mengakar? Seyogianya terhadap penilaian seperti itu, saya tidak wajar berkomentar. Orang bisa mengatakan sa­ya cantik, buruk juga bisa. Itu sah-sah sa­ja. Hanya, saya agak bingung. Padahal kalau di tulisan itu (FORUM edisi No. 38 hal. 14-red) di atasnya dikatakan, "Saya sebelumnya didaulat oleh para hakim agung untuk jadi wakil Ketua MA". Lalu di bawahnya dicantumkan bahwa saya ti­dak mengakar. Ini kan kontradiksi. Peni­laiannya dari mana? Ha ... ha ... ha...

Waktu MA diserang terus-menerus, Anda terkesan sama sekali tidak me­lakukan pembelaan, memberikan penjelasan pada pers misalnya?
Banyak wartawan yang datang kepada saya, bagaimana komentarnya tentang pemeriksaan Ketua MA? Selalu saya menjawab, "Saya tidak berkomentar". Karena sudah terlalu banyak orang ber­komentar. Hasilnya juga bukan malah meluruskan keadaan. Makin mericuhkan keadaan. Jadi untuk apa? Wong yang di­minta komentar kok. Kalau saya dibilang cenderung menghindar, memang meng­hindar. Tapi bukan karena saya ingin me­nyelamatkan orang lain, hanya untuk meluruskan keadaan.

Terhadap kondisi hukum kita se­karang, banyak yang malah tidak percaya lagi terhadap pengadilan, apa tanggapan Anda terhadap hal ini?
Saya senang sekali menjawabnya. Ke­marin saya ke Semarang. Ada diskusi pa­nel. Pembicaranya dari beberapa kalang­an. Saya katakan, kalau saya tarik ke­simpulan dari penanya-penanya itu, inti­nya satu, bahwa kepercayaan kepada pe­ngadilan menurun jumlahnya. Tapi mari kita lihat. Jumlah perkara yang masuk ke PN senantiasa meningkat. Fenomena apa ini. Sebelumnya Anda mengatakan, kepercayaan terhadap pengadilan menurun. Tapi kok jumlah perkara naik. Mes­tinya kan turun. Jadi kondisi ini mirip, de­ngan lagu, judulnya benci tapi rindu. Tidak ada yang bisa memutus suatu sengketa selain pengadilan. Jadi semua orang me­merlukan penga­dilan. Marilah ki­ta sama-sama memperbaiki ke­kurangan. Tapi bukan dibakar pe­ngadilan itu. Itu kan seperti udara (Marianna menghirup udara dalam-dalam). Semua manusia perlu udara. Pada waktu normal, tidak ada manusia yang menghargai udara. Begitu ada polusi, baru orang-orang re­pot. Semua orang berduyun-duyun bagai­mana mengatasi pencemaran itu. Nah, kalau itu yang kita rasakan sekarang, mengapa bukan sama-sama kita mem­perbaikinya. Bukan dengan menghujat atau membakarnya.

Beberapa pekan lalu. hakim PN Ja­karta Selatan, Herman Allositondi, ditangkap Kejaksaan, tapi MA malah membiarkannya?

Sebenarnya saya yang memerintahkan agar dilakukannya pemeriksaan itu. Sa­ya usulkan kepada Ketua MA, lalu perin­tah dikeluarkan. Karena memang kalau ada kejadian begini, kami tidak meng­umumkannya. Lho, Ketua PN Semarang yang sudah ditindak itu, saya yang me­merintahkan, kok. Tapi masalah lain kita memang tidak umumkan. Hanya masalah itu saja.

Namun kondisi sekarang sudah ber­ubah. Kalau kita tidak bertindak, nanti dikira orang tidak bekerja. Maka, waktu kejadian di PN Jaksel, saya langsung me­nelepon Ketua PN Jaksel (Seodarto, red). Saya minta dia supaya sore itu agar da­tang untuk melaporkan. Waktu itu kebe­tulan kita sedang rapat pimpinan. Sete­lah mendengar penjelasan dia, saya usul­kan kepada Pak Ketua MA, saya bilang ini tidak bisa tidak, majelis harus diganti semuanya. Karena kita juga menghorma­ti azas praduga tidak bersalah. Yang baru tertangkap tangan kan paniteranya. Ha­kimnya belum ada cerita. Tapi, dari kete­rangan KPN, ini (hakimnya) pasti terka­it. Malam itu juga perintah Ketua MA ke­pada Ketua PN Jaksel adalah tarik se­mua perkara dari hakim tersebut, ganti majelis hakimnya. Lalu, KPN berkata, apa tidak ketuanya saja, hakim anggotanya kita jadikan ketua. Sa­ya bilang, tidak. Harus semuanya diganti. Karena ki­ta perlu public trust. Karena itu konsekwensinya luas.

Esoknya Jaksa Agung menelepon Ketua MA. Hasil reka­man jelas petunjuknya (Herman terli­bat). Karena itu Jaksa Agung mohon agar petunjuk Ketua MA untuk memeriksa Herman. Lalu Pak Ketua memanggil saya. Karena dia akan segera berangkat meninjau PN di Lampung. Kemudian Jaksa Agung menelepon saya lagi siangnya. Saya bilang, saya setuju. Saya juga bilang, tolong buat surat pe­nangkapannya segera. Setelah itu saya langsung press conference. Kan cepat pro­sesnya. Nah, sebenarnya itu proses stan­dar saja. Cuma selama ini tidak kita la­kukan terbuka seperti itu.

Berarti MA perlu public trust juga dong?
Memang butuh.

Kalau begitu, kenapa hakim-ha­kim selalu sulit untuk berbicara, ter­utama di depan wartawan. Apakah masih relevan tentang adagium bah­wa hakim itu hanya ’berbicara' lewat putusannya?
Tetap seperti itu. Perkara yang sedang berjaan, tidak boleh dikomentari oleh siapa pun juga. Jadi bila ketika menanga­ni putusan, ada dugaan-dugaan terhadap hakimnya bermain. Nah, di sinilah diper­lukan kemahiran seseorang menarik be­nang kusut itu, tapi (diusahakan) tidak menumpahkan tepungnya. Bagaimana caranya. Yang jelas tidak boleh meng­ganggu kemandirian hakim, tapi hakim itu harus diperiksa. Contoh waktu perka­ra Akbar Tandjung. Sebenarnya bukan perkara Akbar Tandjung-nya, tapi per­kara Rahardi Ramelan. Ada surat kabar memberitakan, Rahardi minta penahan­an luar, tapi tidak diizinkan karena tidak mau membayar sejumlah uang. Rahardi bilang, "Masa sih saya harus membayar seperti Akbar Tandjung". Itu kata koran. Melihat itu, kita langsung bentuk tim (pemeriksa). Waktu itu saya masih Ketua Muda Bidang Pengawasan MA. Kita me­meriksa hakim perkara Rahardi Rame­lan itu. Nah, itu publik tidak boleh tahu. Karena bisa mengganggu kepercayaan publik. Tapi kalau terbukti, kita akan berhentikan langsung seperti Herman kemarin. Tapi setelah diperiksa, kelima majelis hakim itu ternyata tidak terbuk­ti. Jadi perkara tetap dipegangnya. Saya justru ingin bertanya, bisakah lembaga lain melakukan proses semacam itu? La­in memang. Karena itu, hal semacam ini tidak mungkin bakal bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial. Nah, yang seperti ini kan memang tidak perlu diumumkan. Hanya saja orang mengira MA itu seolah tidak melakukan apa-apa, tidak tersen­tuh reformasilah.

Soal public trust. Sewaktu terung­kap kasus suap menyuap di MA yang melibatkan Pono cs, ternyata ada perbedaan antara fakta dan berita pers. Terutama tentang keterkaitan Ketua MA Bagir Manan terhadap su­ap-menyuap itu. Apa yang bisa di la­kukan MA agar public trust itu terja­ga?

Inilah yang sedang kita upayakan. Hingga kini kita tengah mencari juru bicara MA. Ini yang belum ada. Karena dari jaman dulu, di mana pun di muka bumi ini, MA itu tidak perlu juru bicara. Tapi kondisi di negeri ini sekarang berbe­da.

Siapa Saja pengganti Bagir?

Posisi Bagir memang lagi kritis. Selain banyak pihak yang terns menyudutkannya, mass jabatannya juga bakal berakhir Mei 2006 nanti. Tapi, akhir Februari ini harusnya MA sudah bersiap-siap men­gadakan pesta pemilihan Ketua MA. Hingga kini memang belum ada satu pun hakim agung yang mendeklarasikan diri. Namun, bukan berarti tak ada yang diam-diam mencari dukungan. Gambaran itu terlihat jelas di MA. Beberapa hakim agung bahkan sudah mempersiapkan diri. Hanya saja belum berani membukanya ke publik. Kira-kira siapa saja yang memiliki peluang untuk menggantikan posisi Bagir. Inilah gambarannya.

Artidjo Alkostar

Laki-laki ini dulunya dikenal aktivis jalanan. Sempat menjadi wakil direktur Lemba­ga Bantuan Hukum (LBH) Yog­yakarta tahun 1978. Kala itulah Artidjo tampil terdepan membe­la kematian misterius Udin, sang wartawan harian Bernas. Jiwa aktivis itulah yang mem­buat Artidjo menjadi hakim a­gung. Di periode sebelumnya, memang dia sempat mencalon­kan diri. Tapi kandas waktu fit and proper test di DPR. ICni a­gaknya peluang laki-laki kela­hiran Situbondo, 22 Mei 1948 itu terbuka lebar.

Masalah dukungan, bukan sulit untuk didapatkan. Terutama dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Laki-laki ini memiliki popularitas. Artidjo, dan sebelumnya ada Abdul Rahman Saleh yang kini jadi jaksa agung, adalah dua sosok ha­kim dari kalangan LSM yang bisa masuk ke kalangan MA. Santer terdengar, kini banyak kalangan LSM yang menjagokan dia. Uli Parulian Sihombing, direktur LBH Jakarta bahkan langsung menggaransi bahwa Artidjo sebagai satu-satunya ha­kim yang bersih di MA. Itu bukti alumnus Universitas Islam In­donesia (UII) Yogyakarta ini sangat kuat di kalangan luar MA.

Tapi, di kalangan hakim agung, ketenaran Artidjo bukan jam­inan. Tak banyak juga hakim agung yang menyukainya. Bisa juga Ketua MA. Buktinya, tak banyak kasus yang dipercayakan padanya. Terutama yang banyak menyedot perhatian publik. Yang terakhir dipegangnya, hanyalah perkara kasasi Abdullah Puteh. Di sanalah peran Artidjo sangat kentara untuk menolak kasasi Puteh.

Namun yang menarik dari Artidjo, dia mampu menjaga rit­menya di MA. Hingga kini namanya belum tersangkut perkara yang bernada miring. Itu bukti mantan anggota dewan kehormatan IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia) Cabang Yogyakarta ini memiliki integritas yang tinggi. Sayangnya, ada sisi yang hilang sejak Artidjo masuk ke MA. Di sana, kevokalannya jauh menurun. Tapi dia punya alasan. "Sebagai hakim saya dituntut untuk silent, berbicara lewat putusan. Padahal waktu dulu, kucing mati pun saya komentari", katanya kepada FORUM. Nah, sikap "diam" Artidjo itu ternyata tak mampu men­dongkrak citra MA yang terpuruk. Hingga kini lembaganya banyak dikritik, Artidjo juga tak mau tampil di depan. Agaknya ini memang sengaja dijaganya. Barangkali, bila tetap seperti ini, peluangnya menggantikan Bagir sangat terbuka lebar.

Marianna Sutadi

Posisiny-a kini sebagai wakil ketua MA Sebelumnya dia menjabat sebagai Ketua Muda Pen­gawasan dan Pembinaan Hakim. Tapi, seluruh hakim agung di MA kemudian men­daulatnya untuk menjadi wakil Bagir. Marianna meru­pakan hakim karir. Posisi sebagai wakil ketua, diraih­nya dari bawah.

Ia adalah istri Sutadi Djajakusuma, yang pernah menjadi salah seorang pejabat di Bappenas dan juga bekas pejabat teras Partai Golkar.Sebagaiwakil ketua MA,agaknya Marianna tak banyak melekat di hati hakim agung lainnya. Perempuan ini dikenal lamban dalam menangani perkara. Marianna lebih cenderung bepergian ke luar negeri. Baik menghadiri seminar dan acara yang mewakiliMA.Kondisi itulah yang membuat dirinya tak mengakar di kalangan hakim agung MA. Tapi, secara struktural, dia memiliki kekuatan tersendiri. Pengaruhnya sebagai hakim senior bisa dimanfaatkan untuk mengkampanyekan sebagai calon ketua MA. Sayangnya, ketika MA banyak diserang, Marianna juga tak banyak memberikan sumbangan pembelaan, bahkancenderung menghindar. Terutama untuk menyelamatkan muka sang ketua.

Paulus Effendy Lotulung

Hakim agung yang satu ini berasal dari komunitas Universitas Indonesia (UI). Periode sebelum­nya, dirinya juga sempat mencalon­kan diri. Doktor hokum administrasi negara lulusan Sorbonne, Perancis ini, pernah menjadi hakim di Peng­adilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Dirinya sempat dipuji waktu jadi hakim di PN Jakarta Pusat. Di sana, dia memenangkan gugatan Wahana Lingkunga Hidup Indonesia (WALHI) terhadap PT Inti Indorayon Utama. Lotulung mengakui hak WALHI sebagai penggugat. Tapi, ternyata itu tak mampu menjaga stabilitas namanya. Na­manya sempai disangkutkan dengan kasus putusan palsu di M.A.

Tapi, kini fakta itu tak terlalu berpengaruh. Di kalangan hakim agung, posisinya cukup disegani. Pasalnya beberapakali ker­jasama yang dilakukan MA dengan lembaga donor, tak lepas da­ri perannya. Selain itu, Paulus juga memegang tampuk pimpin­an untuk hakim agung PTUN. Nah, ternyata hakim agung PTUN sangat solid. Tak tergoyahkan. Pastinya, bila Paulus ber­tekad maju, seluruh hakim agung dari bidang itu akan memback-up-nya.

Djoko Sarwoko

Hakim ini dikenal sangat vokal di lingkungan MA. Padahal dia adalah-hakim karir. Djoko tak pelit berbicara. Tak seperti hakim-hakim karir lainnya. Kemampuan retorikanya cukup mumpuni. Sehingga, untuk berhadapan dengan pers sekalipun, Djoko dikenal sangat lihai. Inilah salah satu kelebi­han Djoko.

Sebelum jadi hakim agung, dirinya menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Semarang. Selepas bertugas disana, tanggal 8 Juni 2004 lalu, Djoko pun terpilih sebagai salah satu hakim agung oleh Dewar Perwakilan Rakyat (DPR).

Yang menarik dari Djoko adalah ketika dia menjadi salah seo­rang hakim pemeriksa perkara Peninjauan Kembali (PK) Tommy Soeharto bersama dua hakim agung lainnya, German Hadijanto dan Arbijoto. Tapi kemudian ketiganya mengun­durkan diri. Alasannya karena tidak merasa nyaman. Maklum, banyak pihak yang terns mencoba menghubungi, pendeknya merecoki. Karena itulah, dirinya lalu mengambil inisiatif mundur. Langkah itu dianggap strategis. Buktinya hingga kini namanya belum terdengar sama sekali untuk perkara yang berbau soap menyuap dan sejenisnya.
Track reccord yang seperti itulah yang membuat Djoko jadi salah satu hakim agung kepercayaan Bagir. Buktinya untuk menangam beberapa kasus yang carat sorotan publik, Bagir malah memilihnya. Kasus lain yang dia tangani adalah kasus sengketa Pilkada Depok dan perkara Probosutedjo.

Sebenarnya, posisi Djoko bertugas di gedung bundar memang belum lama. Tapi, langkahnya terbilang cepat. Itulah agaknya yang membuat Djoko memiliki peluang menggantikan Bagir. Langkah itu juga telah. diperhitungkannya. Menurut sumber FORUM di MA, Djoko beberapa kali terlihat "me-lobby" bebera­pa hakim agung. Tujuannya untuk dapat dukungan. Bahkan, dalam lobby-nya itu, menurut sumber itu lagi, Djoko sempat mengutarakan bahwa dirinya telah mendapat dukungan dari Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Itu bukti Djoko sangat berambisi.
Kini langka itu mulai terlihat. Misalnya, Djoko berani mem­bela mati-matian MA ketika tengah diserang dari berbagai pen­juru, termasuk serangan dari Komisi Yudisial (KY). Djoko malah dengan gagah tampil mengusung nama MA. Contohnya, Kamis pekan lalu, dirinya mewakili MA berdialog dalam sebuah acara diskusi. Hal yang jarang dilakukan hakim-hakim. lainnya. Langkah Djoko itu sangat strategis untuk mendapatkan du­kungan. Sato hal lagi, Djoko termasuk salah satu hakim agung "kesayangan" Bagir. Bila saja dia tak salah melangkah, suara kubu Bagir bisa tertuju padanya.

Gunanto Suryono

Gunanto belum lama menjabat sebagai ha­kim agung. Dia terpilih berbarengan dengan Djo­ko. Tapi, di MA, dia terbi­lang orang lama. Sebelum jadi hakim agung, dia menjabat sebagai Panite­ra dan Sekretaris Jende­ral MA.

Gunanto juga termasuk hakim karir. Sebelum ma­suk gedung MA di Medan Merdeka Utara, dia men­jabat hakim tinggi di Pe­ngadilan Tinggi Jawa Te­ngah. Kini, posisinya cu­kup empuk. Dia duduk sebagai Ketua Muda Bidang Pengawasan.
Namur, ketika posisi itu. dipegang Gunanto, MA juga tak ba­nyak berubah,. Justru orang meragukan kemampuan bidang pengawasan MA yang dinilai melempem. Padahal, aku Gunan­to, dirinya telah banyak menindak hakim-hakim nakal. Hanya saja dirinya tak pernah mempublikasikannya ke pihak mana­pun.

Pernah sewaktu jadi Sekjen MA, namanya sempat disebut­sebut oleh Himpunan Masyarakat untuk Hukum dan HAM (Humanis), sebagai orang yang terlibat tender proyek pembu­atan logo dan pagar gedung MA. Humanis mendemo MA untuk masalah teresebut. Diduga di sana terjadi korupsi. Nah, nama Gunanto disingung. Memang hingga kini tuduhan itu tak ter­bukti. Tapi setidaknya sedikit mempengaruhi citranya.
Sekarang, waktu MA diserang, Gunanto tak diam. Dia mam­pu membuktikan kinerjanya. Tengoklah, Gunanto berani me­ngumumkan bahwa MA telah menindak seorang staf pegawai yang terlibat makelar perkara. Padahal pengungkapan itu jus­teru di tengah serangan yang lagi gencar ke MA. Tapi Gunanto dengan gagah membeberkan hasil kerjanya. Tentu saja untuk membela citra MA. Di mata Bagi.r, hakim yang memiliki tipikal keras ini tak terlalu disayang. Tak juga tidak terlalu dijauhi

Sebagai Apa Bagir Diperiksa?

Bagir Manan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal dirinya bukanlah tergolong sebagai saksi. KPK melabrak aturan hukum?

Jumat pekan lalu, gedung Mahkamah Agung kembali mencatat sejarah. Baru pertama kalinya se­jak bangsa ini berdiri, MA didatangi penyidik. Tak tangg-ung-tanggung, yang di­periksa langsung adalah Ketua MA, Ba­gir Manan. Bagir diperiksa dengan status sebagai saksi. Saksi atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan lima orang ang­gotanya yakni Pono Waluyo, Suhartoyo (wakil sekretaris Korpri), Sriyadi (staf ba­gian perdata), Sudi Abroad (staf Korpri), dan Malem Pagi Sinuhaji (Kepala Biro Umum dan kepegawaian). Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya. Secara hukum, apakah penempatan Ketua MA itu sebagai saksi telah sesuai? Untuk me­ngetahui hal itu, maka diperlukan anali­sis secara juridis.

Untuk membaca hal itu maka perlu di­lihat dulu posisi kasusnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan ter­hadap enam orang. Selain lima orang pe­gawai MA itu, satu orang lagi adalah Ha­rini Wijoso. Harini adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pe­ngacara Probosutedjo untuk kasus dana reboisasi. Harini kemudian mempraktek­kan cara beracara yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis hakim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Manan. Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya untuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesai­kannya sendirian. Dirinya mental. Ter­bukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bulan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya te­lah “membunyikannya” kepada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.

Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi keinginan Harini. Pono menurunkan “order” itu ke beberapa re­kannya. di- MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengontak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono meminta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiapkan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kardus. Sato kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ter­nyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sem­pat membawa uang itu kerumahnya.

Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-masing. Sewaktu ditang­kap, Pono ternyata tak menampik. Sama seperti Harini. Berarti enam orang tersebut terbukti telah tertangkap tangan. Berda­sarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menangkap mereka tanpa surat perintah.

Kasus pun berkembang. Setelah mela­kukan penangkapan, KPK tentunya me­miliki bukti awal. Yakni berupa uang yang ditangan Pono dan Harini. Lalu ka­sus dikembangkan dengan meminta ke­terangan dari yang tertangkap. Dari si­nilah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang terlibat dalam tindak pidana itu.

Dari keterangan Pono, disebutkan bah­wa dirinya mengakui meminta uang ke­pada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mu­lut Harini. Pengacara itulah yang mem­bawa Pono menemui Probo. Dia melaku­kannya. karena Pono mengucapkan bah­wa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.

Lalu dilihat pula dari keterangan Pro­bosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Pro­bo memang memberi uang kepada Pono. Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki-laki itu memang su­ruhan Bagir. Namun, walaupun belum seratus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlah­nya sangat besar.

Dari basil keterangan itu, maka bisa diambil kesimpulan tentang status Bagir. Karena Bagir dianggap sebagai saksi, maka dirinya mesti memenuhi unsur yang termaktub dalam KUHAP Nah, da­lam Pasal 1 ayat (12) disebutkan “saksi adalah orang yang dapat memberikan ke­terangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Berarti unsurnya ada tiga hal. Mendengar, me­lihat, dan mengalami. Lalu dari serangkaian peristiwa itu, di­manakan posisi Bagir? Apakah ia tergo­long orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap me­nyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari bukti awal dan keterangan dari yang ter­tangkap serta keterangan Probo.

Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku ti­dak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang rnerasa pernah bertemu dengan Ketua MA itu.

Setali tiga uang dengan Ha­rini. Pengacara ini hanya ber­hasil ketemu Bagir ketika pa­mitan untuk meninggalkan du­nia hakim. Tapi semenjak me­nerima uang Probo, dirinya ju­ga tak lagi bertemu. dengan Ba­gir.
Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presiders Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan dengan Bagir. Sama sekali belum pernah atau melakukan hubungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membuktikan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Belum sa­tu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum mener­ima sesuatu apapun.
Berarti dalam serangkaian peristiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak meng­ambil peran. Dirinya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. De­ngan posisi seperti itu, berarti Bagir bu­kan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sa­ma sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu. kok KPK tetap ngotot untuk mela­kukan pemeriksaan terhadap Bagir? Yang jelas pemeriksaan yang dilakukan di ruangan kerjanya itu tegas telah men­dudukkan Bagir sebagai saksi.

Harifin A Tumpa, Direktur Hukum Pi­dana MA menegaskan, KPK mencoba mencari keterangan kepada Ba­gir tentang kehadiran Harini waktu menemuinya. Termasuk meneliti prosedur penerimaan tamudi MA. Itulah yang jadi target KPK.

Namun, fakta itu menegas­kan bahwa lembaga ini tak mengindahkan aturan hukum formal. Hal itu ditegaskan Ma­yasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. "Kalau Bagir dipe­riksa sebagai saksi, apa landa­san hukumnya," ujarnya me­ngomentari.
Protes senada juga datang dari Indra Sahnun Lubis. Ketua umum Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) itu tidak mengerti dengan kinerja KPK yang memeriksa Bagir. "Ini semakin menunjukkan bahwa KPK adalah lembaga yang tidak profesional," ujarnya kepada FORUM. Pasalnya, sam­bung Sahnun, tidak ada satupun fakta hukum yang membuktikan Bagir terlibat dalam peristiwa ini. "KPK telah merun­tuhkan martabat Mah-kamah Agung," katanya tegas.

Namun Otto Hasibuan berkomentar berbeda. Ketua umum Perhimpunan Ad­vokat Indonesia (PERADI) itu justru bisa memaklumi dilakukannya pemeriksaan terhadap Bagir. "Hanya saja tidak perlu diumumkan ke publik," tandasnya kepa­da FORUM. Hal itu, katanya lagi, demi pengungkapan tindak pidana korupsi yang telah terjadi di lembaga tinggi nega­ra itu. Namun Otto mengharapkan agar KPK juga turut menjaga wibawa lemba­ga peradilan. "Tentunya demi menegak­kan supremasi hukum di negeri ini agar tidak semakin runtuh," katanya.

Yang jelas, menguaknya peristiwa ini hanya disebabkan nyanyian dari Probo­sutedjo. Bulan lalu. laki-laki itu telah memberikan gambaran akan praktek pe­merasan yang dialaminya selaku terdak­wa. Dirinya berupaya bisa bebas dari hu­kuman. Termasuk melakukan upaya praktek penyuapan. Berarti secara hu­kum Probo telah berkehendak untuk me­lakukan tindak pidana (onmagh). Sa­yangnya, hingga kini tokoh Orde Baru itu tetap anteng di rumahnya. Belum ada sa­tupun lembaga yang menyatakan dirinya sebagai pelaku tindak pidana. Termasuk KPK..

Wawancara Maiyasjak Johan, anggota Komisi III DPR

Maiyasjak Johan, SH, MH, anggota Komisi III DPR RI :
“MA dan KPK Tidak Sederajat”

Peristiwa hukum yang menimpa Ketua MA, Bagir Manan merupa­kan masalah menarik. Baru kali pertama sejak bangsa ini berdiri. Karena itu, penyeles­aiannya pun masih mengun­dang perdebatan. Di satu pi­hak banyak yang mengingin­kan agar Ketua MA itu dipe­riksa. Tapi ternyata secara hukum ketatanegaraan, posisinya adalah pemegang kekuasaan tertinggi yudika­tif. Berarti sama dengan Pre­siden sebagai pemegang ke­kuasaan eksekutif. Nah, bila Presiden melakukan pelang­garan hukum, maka proses­nya juga tidak sama. Dia le­bih dulu menghadapi im­peachment. Bukan langsung diadili. Harusnya Ketua MA juga berada dalam posisi yang sama. Karena sifatnya adalah sejajar. Hal itu jelaskan secara gamblang oleh Maiyasjak Johan. Laki­laki yang juga berprofesi sebagai pen­gacara ini menjelaskan berdasarkan filosofis hukum. Termasuk memberi jalan keluar polemik yang terjadi. Seperti apa pendapatnya, berikut petikan wawan­caranya dengan Irawan Santoso dari FORUM.

Bagaimana pandangan anda meni­lai penseteruan antara Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK) dan Mahka­mah Agung (MA) ini?
Saya melihat masalah ini bukan se­buah konflik antara KPK dan MA. Ini persoalan yang menarik. Karena secara kademis ini pengalaman pertama bangsa ini dimana penyidik (KPK-red) harus menghadapi pemegang kekuasaan yudi­sial (MA). Nah, kita belum pernah punya pengalaman dengan kasus seperti ini. Ja­di modal yang kita miliki adalah hanya­lah pengetahuan hukum. Kita berharap pengetahuan hukum inilah yang bisa menuntun kita untuk menyelesaikan persoalan ini.

Apa ukuran yang dipakai untuk melihat hal tersebut?
Ukurannya ada tiga hal. Pertama, norma hukum. Kedua, fatsun dan ketiga konsistensi penegakan hukum.

Anda mengatakan bahwa KPK ha­nyalah sebuah subsistem sedangkan MA merupakan sistem, apa maksud­nya?
Kita hidup dalam suatu negara. Nega­ra itu merupakan organisasi kekuasaan. Sebagai organisasi kekuasaan, sejarah mengajarkan, secara akademis lahirlah adagium bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan. Agar tidak terjadi ke­cenderungan kekuasaan, lambat laun la­hirlah teori yang berdasarkan pengala­man hidup orang. Karena pada mulanya negara dipimpin oleh seorang raja. Ada­gium yang lahir kala itu adalah The King Can Do No Wrong. Kemudian bergeser la­gi dengan jangka waktu yang lama bahkan sampai terjadinya Perang Dunia I dan Perang Dunia II, mem­berikan pengalaman yang sangat berharga tentang ke­kuasaan yang tidak terken­dali. Sehingga pada abad itu lahirlah teori JJ Rosseou hingga. Montesque. Teori kontrak social. Kemudian se­buah organisasi kekuasaan itu dikenal sebagai sebuah sistem. Sistem itu kemudian dikenal sebagai checks and balances system. Akhirnya kekuasaan dalam suatu ne­gara dipecah menjadi tiga. Kekuasaan membuat UU ada dalam parlemen. Kekua­saan untuk menjalankan UU ada dalam eksekutif dan kekuasaan untuk menjaga jalannya UU ada dalam yu­dikatif. Jadi MA berada pada sistem di yudikatif. Sedangkan KPK hanya berada dalam subsistem eksekutif. Jadi jelas secara ketatanegaraan, posisi antara MA dan KPK tidaklah sama.
Kalau begitu, apakah KPK tidak diperbolehkan menggeledah MA yang konon berada diatasnya?
Pertanyaan itu sama dengan, bisakah Istana Presiden di geledah? Tidak bisa dong. Untuk bisa melakukannya, tentu ada aturan main tersendiri. Tapi Indone­sia belum memiliki pengalaman. Walau­pun begitu, bukan otomatis secara mu­tlak tidak bisa digeledah. Kita contohkan pada Amerika. Di Amerika penggeleda­han terhadap Gedung Putih dilakukan dengan membentuk Jaksa Khusus. Itu pernah dalam kasus Clinton, Kenneth Star. Jadi jaksa yang ditunjuk bukan jak­sa yang biasa. Mesti Jaksa Khusus.

Tapi kan KPK memiliki hak-hak khusus sehingga disebut superbody, berarti kan bisa melakukan hal-hal khusus juga?
Boleh saja KPK mengatakan dirinya superbody. Seyogyanya, dalam suatu ne­gara diharamkan adanya kekuasaan yang bersifat 'super'. Karena, kalau ada yang super berarti ada yang imperior. Ja­di penggunaan istilah itu hanya pemaka­ian terminologi yang hasil lompatan dari terminologi yang ekstrim dengan termo­nologi lainnya.
Seemergency bagaimanapun keadaan negara, sistem harus dijaga. Sistem tidak boleh rusak. Oleh karena itu keadaan ­keadaan khusus seperti ini biasanya di­tanggulangi oleh tim ad hoc. Nah, kini ada sebuah peristiwa hukum yang me­nunjukkan adanya dugaan terhadap Ke­tua MA. Nah kata 'dugaan' adalah sebu­ah suku kata yang biasanya dipakai da­lam penyelidikan. Kalau proses penyeh­dikan adalah bagian yang paling awal da­ri proses penegakan hukum, pertanyaan­nya, bisakah proses tersebut dilakukan dengan melakukan pelanggaran hukum.

Lalu apa yang salah terhadap pe­nyidikan yang dilakukan oleh KPK itu?
Dalam penyelidikan, asas yang paling fundamental adalah presumtion of inno­cent. Praduga tak bersalah. Asas ini ha­rus diletakkan pada to subjek. Bukan pa­da to avvidendts (alat bukti). Pada kasus ini, barang buktinya ada pada sebuah institusi yakni MA. MA itu adalah peme­gang kekuasaan tertinggi dalam yudika­tif. Kalau kita lihat, posisi MA dalam pe­merintahan kita, kedudukan MA sebagai pemegang kekuasaan. Teorinya seubah konfergensi separation of power (pemisa­han kekuasaan). Nah, KPK berada da­lam sistem mana? Jawabannya dalam praktek pemerintahan KPK adalah ba­gian dari sub sistem eksekutif. Dia meru­pakan kuasi dari eksekutif itu. Bukan berarti bertanggungjawab langsung ke­pada Presiden. Seperti BPK misalnya, lembaga itu merupakan sub sistem dari Parlemen. Jadi KPK juga seperti itu. Ma­ka bagaimana logikanya bila sub sistem melanggar sistem? Lalu apakah MA ti­dak bisa diperiksa? Bukan itu permasala­hannya. Saya hanya ingin melindungi rakyat dari kemungkinan terjelek. Bu­kan untuk membela satu subjek.

Tapi kan banyak pihak yang meng­inginkan KPK tetap melakukan pe­meriksaan terhadap Ketua MA?
Peristiwa itu memang terjadi. Saya ingin katakan, secara psyco, politik sesuai dengan suara orang banyak (massa). Tapi hukum itu bukan bicara suara orang ba­nyak. Karena suara orang banyak itu, di Bekasi seorang pencuri, maka dibakar. Itulah kalau mengikuti suara orang ba­nyak. Nah, untuk menghindarkan hal itulah hukum lahir. Agar segala masalah bisa ditangani secara beradab.

Berarti ada penyingkiran dari sub­stansi?
Di sinilah dilemanya. Antara substansi dengan prosedur. Sejarah ilmu hukum di dunia, tak satu pun yang mentolerir pe­langgaran hukum. Itu dibuktikan dengan keluarnya adagium "Lebih bagus membe­baskan seribu orang bersalah ketimbang menghukum satu orang tidak bersalah". Ini membuktikan bahwa untuk mencegah kekuasaan sekecil apapun jika diberikan kesempatan untuk dipakai tanpa batas pasti akan cenderung disalahgunakan. Persoalannya adalah orang akan kata­kan bahwa KPK memiliki bukti. Tapi me­nurut saya, proses ini belum sampai ke pengadilan. Silahkan kalau KPK me­miliki bukti. Karena itu proses harus dilakukan. Tapi untuk membuktikan, ha­nya bisa dilakukan di depan pengadilan. Jadi jangan sampai melahirkan "lemba­ga-lembaga peradilan" baru lagi.

Dalam posisi seperti itu, KPK telah salah langkah dengan menyudutkan Bagir?
Orang harus dalam posisi merdeka da­lam memberikan keterangan apapun. Ketika itulah baru kita bisa disebut da­lam posisi beradab. Karena bisa meng­hargai. sesama manusia. Ketika kita ber­diri dalam posisi berkuasa dan orang ber­ada dalam posisi suspect kemudian kita menggunakan kekuasaan kita, pada hari itulah kita berarti telah membunuh ma­nusia. Karena itu untuk menjadi penyi­dik itu bukan persyaratan yang mudah. Yang dibutuhkan adalah orang terbaik. Pengertian orang terbaik itu adalah orang yang memiliki pengetahuan. Tetapi juga harus paham seni dari pengetahuan itu.

Anda membela Ketua MA?
Saya bukan berada dalam posisi untuk membela satu lembaga. Tapi hanya ingin menyempurnakan. Karena kita memang tidak punya pengalaman yang cukup da­lam memproses orang-orang yang meme­gang kekuasaan secara hukum. Tidak pernah.

Terhadap langkah KPK yang me­manggil Bagir Manan untuk dimin­tai keterangannya, apakah hal itu dibenarkan?
Kembali dilematis. Kalau seandainya Presiden melakukan kesalahan. Makes prosesnya adalah melalui impeachment. Pertanyannya, bagaimana jika seorang Ketua MA yang berada dalam posisi yang sama? Jadi harus berusaha memikirkan masalah ini dengan jernih. Kita jangan sampai merusak sistem. Tapi bagaimana agar mekanismenya dibuat. Prosedurnya itu harus sedemikian rupa. Jadi kalau ki­ta lihat kondisi yang ada sekarang me­nunjukkan dengan jelas kepada kita bah­wa saat ini bangsa ini masih President oriented. Kita memang menganut sistem presidensial. Tapi bukan berarti harus President oriented. Semua orang memang harus bersifat sama kedudukannya da­lam hukum. Tapi kata "sama" tadi lahir dan diterjemahkan dalam posisi sistem.
Dan itulah sebabnya di beberapa nega­ra, mereka menyelesaikannya secara ber­adab. Lahirlah sebuah tradisi hukum yang namanya disebut jurisprudensi. Jadi ki­ta belum pernah dalam sejarah ketatane­garaan selama 60 tahun, kejadian ini ba­ru pertama kali. Tentunya yang me­nyangkut Ketua MA. Bukan berarti Ke­tua MA tak boleh disentuh. Saya tidak setuju juga. Kalau itu yang terjadi maka akan melanggar sistem check and balan­ces. Jadi itukan segitiga yang simbiosis. Yang sederajat. Presiden bisa dijatuhkan lewat impeachment. Ketua DPR juga bisa diproses secara hukum. Begitu juga de­ngan Ketua MA. Tapi ingat, caranya tentu berbeda.
Tapi kan belum ada undang-un­dang yang mengatur proses hukum terhadap Ketua MA?
UU itu tidak bisa dibuat semuanya. Amerika itu tidak kaya dengan UU. Tapi mereka lebih kaya terhadap jurispruden­si. Jusrisprudensi itu kan melahirkan adagium-adagium baru. Itulah yang dise­but star decisis. Kalau di Indonesia dise­but dengan landmark decision. Artinya kasus-kasus besar yang bisa dijadikan contoh. Hanya kesulitan yang paling be­sar adalah bangsa ini berani meletakkan penyelesaian persoalan ini kepada orang yang tidak ahli hukum yakni KPK.

Jadi, terhadap penggeledahan itu MA bisa melakukan praperadilan?
Ke depan masalah ini bakal tambah ru­mit. Kalau seandainya, MA melakukan itu, atau pengadilan menyatakan pengge­ledahan itu tidak sah, orang pasti menga­takan itu merupakan subjektifitas lemba­ga peradilan. Kita tidak boleh membiar­kan pendapat seperti ini berkembang. Karena yang paling sulit itu adalah logi­ka awam yang kurang mengerti hukum berhadapan dengan logika hukum. Pada­hal logika hukum itu harus prosedural dan tertib. Logika awam itu adalah pera­saan semata. Padahal logika hukum un­tuk menjaga agar jangan sampai berkem­bang perilaku sewenang-wenang. Jadi tu­juan logika hukum itu melindungi semua orang.

Terhadap posisi kasusnya, Anda menilai memang ada kertlibatan da­ri sejumlah hakim agung itu?
Mari kita lihat dari kedudukan ma­sing-masing. Kedudukan Probo, Harini, dan Pono Cs. Probo secara hukum orang yang punya motif melakukan tindak pi­dana. Karena dia yang punya motif, ma­ka posisinya minimal adalah penyuap. Karena motifnya itu di manupulate. Ke­dua, dia juga punya motif ingin bebas, motifnya itulah yang di manipulate oleh Harini dan Pono Cs. Itu bisa dilihat dari pengacara yang dia pakai, Harini. Penga­cara yang punya akses ke lembaga pe­ngadilan. Karena dianggapnya dia seba­gai orang yang punya akses, maka “dipa­kainya”. Ternyata Harini tidak memiliki akses langsung kepada Majelis hakim. Melainkan dia menggunakan Pono Cs. Dengan begitu kelihatanlah ini merupa­kan manipulasi situasi. Kasus posisinya adalah Pono dan Harini berada dalam po­sisi dader bersama-sama memanipulasi keadaan. Bahasa hukumnya menyalah­gunakan keadaan. Keadaan pertama adalah memanipulasi motifnya keingi­nan Probo. Kedua adalah memanfaatkan keadaan Pono sebagai pegawai dan kedu­dukannya sebagai mantan hakim.

Jadi posisi Bagir sebagai saksi ju­ga tidak tepat sama sekali?
Nah, mereka itu kan tertangkap ta­ngan. Untuk kejadian seperti itu saksi otomatis tidak diperlukan. Saksi verbal. Saksinya adalah penyidik yang me­nangkap mereka itu saja. Tidak ada hu­bungannya dengan majelis hakim itu.

Mengapa anda lebih menyarankan untuk melakukan pendekatan sis­tem untuk menyelesaikan masalah ini?
Kenapa harus ada pendekatan sistem. Karena kita ingin membangun tradisi pe­negakan hukum. Inilah yang saga sebut­kan sebagai kultur. Sehingga kita tahu bagaimana penegakan hukum secara be­nar.

Sebagai Apa Bagir Diperiksa?

Bagir Manan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal dirinya bukanlah tergolong sebagai saksi. KPK melabrak aturan hukum?

Jumat pekan lalu, gedung Mahkamah Agung kembali mencatat sejarah. Baru pertama kalinya se­jak bangsa ini berdiri, MA didatangi penyidik. Tak tangg-ung-tanggung, yang di­periksa langsung adalah Ketua MA, Ba­gir Manan. Bagir diperiksa dengan status sebagai saksi. Saksi atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan lima orang ang­gotanya yakni Pono Waluyo, Suhartoyo (wakil sekretaris Korpri), Sriyadi (staf ba­gian perdata), Sudi Abroad (staf Korpri), dan Malem Pagi Sinuhaji (Kepala Biro Umum dan kepegawaian). Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya. Secara hukum, apakah penempatan Ketua MA itu sebagai saksi telah sesuai? Untuk me­ngetahui hal itu, maka diperlukan anali­sis secara juridis.

Untuk membaca hal itu maka perlu di­lihat dulu posisi kasusnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan ter­hadap enam orang. Selain lima orang pe­gawai MA itu, satu orang lagi adalah Ha­rini Wijoso. Harini adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pe­ngacara Probosutedjo untuk kasus dana reboisasi. Harini kemudian mempraktek­kan cara beracara yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis hakim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Manan. Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya untuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesai­kannya sendirian. Dirinya mental. Ter­bukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bulan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya te­lah “membunyikannya” kepada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.

Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi keinginan Harini. Pono menurunkan “order” itu ke beberapa re­kannya. di- MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengontak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono meminta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiapkan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kardus. Sato kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ter­nyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sem­pat membawa uang itu kerumahnya.

Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-masing. Sewaktu ditang­kap, Pono ternyata tak menampik. Sama seperti Harini. Berarti enam orang tersebut terbukti telah tertangkap tangan. Berda­sarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menangkap mereka tanpa surat perintah.

Kasus pun berkembang. Setelah mela­kukan penangkapan, KPK tentunya me­miliki bukti awal. Yakni berupa uang yang ditangan Pono dan Harini. Lalu ka­sus dikembangkan dengan meminta ke­terangan dari yang tertangkap. Dari si­nilah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang terlibat dalam tindak pidana itu.

Dari keterangan Pono, disebutkan bah­wa dirinya mengakui meminta uang ke­pada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mu­lut Harini. Pengacara itulah yang mem­bawa Pono menemui Probo. Dia melaku­kannya. karena Pono mengucapkan bah­wa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.

Lalu dilihat pula dari keterangan Pro­bosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Pro­bo memang memberi uang kepada Pono. Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki-laki itu memang su­ruhan Bagir. Namun, walaupun belum seratus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlah­nya sangat besar.

Dari basil keterangan itu, maka bisa diambil kesimpulan tentang status Bagir. Karena Bagir dianggap sebagai saksi, maka dirinya mesti memenuhi unsur yang termaktub dalam KUHAP Nah, da­lam Pasal 1 ayat (12) disebutkan “saksi adalah orang yang dapat memberikan ke­terangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Berarti unsurnya ada tiga hal. Mendengar, me­lihat, dan mengalami. Lalu dari serangkaian peristiwa itu, di­manakan posisi Bagir? Apakah ia tergo­long orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap me­nyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari bukti awal dan keterangan dari yang ter­tangkap serta keterangan Probo.

Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku ti­dak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang rnerasa pernah bertemu dengan Ketua MA itu.

Setali tiga uang dengan Ha­rini. Pengacara ini hanya ber­hasil ketemu Bagir ketika pa­mitan untuk meninggalkan du­nia hakim. Tapi semenjak me­nerima uang Probo, dirinya ju­ga tak lagi bertemu. dengan Ba­gir.
Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presiders Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan dengan Bagir. Sama sekali belum pernah atau melakukan hubungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membuktikan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Belum sa­tu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum mener­ima sesuatu apapun.
Berarti dalam serangkaian peristiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak meng­ambil peran. Dirinya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. De­ngan posisi seperti itu, berarti Bagir bu­kan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sa­ma sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu. kok KPK tetap ngotot untuk mela­kukan pemeriksaan terhadap Bagir? Yang jelas pemeriksaan yang dilakukan di ruangan kerjanya itu tegas telah men­dudukkan Bagir sebagai saksi.

Harifin A Tumpa, Direktur Hukum Pi­dana MA menegaskan, KPK mencoba mencari keterangan kepada Ba­gir tentang kehadiran Harini waktu menemuinya. Termasuk meneliti prosedur penerimaan tamudi MA. Itulah yang jadi target KPK.

Namun, fakta itu menegas­kan bahwa lembaga ini tak mengindahkan aturan hukum formal. Hal itu ditegaskan Ma­yasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. "Kalau Bagir dipe­riksa sebagai saksi, apa landa­san hukumnya," ujarnya me­ngomentari.
Protes senada juga datang dari Indra Sahnun Lubis. Ketua umum Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) itu tidak mengerti dengan kinerja KPK yang memeriksa Bagir. "Ini semakin menunjukkan bahwa KPK adalah lembaga yang tidak profesional," ujarnya kepada FORUM. Pasalnya, sam­bung Sahnun, tidak ada satupun fakta hukum yang membuktikan Bagir terlibat dalam peristiwa ini. "KPK telah merun­tuhkan martabat Mah-kamah Agung," katanya tegas.

Namun Otto Hasibuan berkomentar berbeda. Ketua umum Perhimpunan Ad­vokat Indonesia (PERADI) itu justru bisa memaklumi dilakukannya pemeriksaan terhadap Bagir. "Hanya saja tidak perlu diumumkan ke publik," tandasnya kepa­da FORUM. Hal itu, katanya lagi, demi pengungkapan tindak pidana korupsi yang telah terjadi di lembaga tinggi nega­ra itu. Namun Otto mengharapkan agar KPK juga turut menjaga wibawa lemba­ga peradilan. "Tentunya demi menegak­kan supremasi hukum di negeri ini agar tidak semakin runtuh," katanya.

Yang jelas, menguaknya peristiwa ini hanya disebabkan nyanyian dari Probo­sutedjo. Bulan lalu. laki-laki itu telah memberikan gambaran akan praktek pe­merasan yang dialaminya selaku terdak­wa. Dirinya berupaya bisa bebas dari hu­kuman. Termasuk melakukan upaya praktek penyuapan. Berarti secara hu­kum Probo telah berkehendak untuk me­lakukan tindak pidana (onmagh). Sa­yangnya, hingga kini tokoh Orde Baru itu tetap anteng di rumahnya. Belum ada sa­tupun lembaga yang menyatakan dirinya sebagai pelaku tindak pidana. Termasuk KPK..