Wednesday, May 7, 2008

Van Den Brand

Rechstaat

Advokat Van Den Brand

Jauh sebelum Indonesia merdeka, advokat sudah ada. Kala negeri masih dijajah Hindia Belanda, Advokat sudah berkisah. Walau republik belum merdeka, advokat telah membela. Tapi bukan untuk kalangan bangsawan Belanda atau kelompok raja nusantara. Dia membela rakyat jelata. Mengadvokasi orang pribumi yang ditindas penjajah.

Advokat itu orang Belanda. Bagian dari bangsa penjajah. Namanya Van Den Brand. Lulusan Universitas Amsterdam. Setelah menyandang gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum), dia menyeberang lautan. Meninggalkan Geervliet, kampung halamannya di Belanda. Den Brand memilih mengabdi di Indonesia. Tahun 1885, dia sampai di Semarang. Dia bekerja di kantor advokat disana. Sempat pula menetap beberapa saat di Batavia (Jakarta). Juga sebagai advokat.
Akhir Oktober 1897, di suatu petang yang panas, Den Brand menuju Medan, Sumatera Utara. Menyahuti ajakan J Hallerman. Pria Jerman yang mengajaknya menerbitkan koran Sumatera Post. Ini surat kabar ketiga di kota itu setelah Deli Courant dan De Ooskust (Emil Aulia, Berjuta-juta dari Deli, 2007)

Dua tahun jadi wartawan, Den Brand berubah haluan. Dia kembali jadi advokat. Dia menyewa sebuah ruangan kecil di Hautenbaghtwet, membuka firma hukum. Nalurinya yang membawanya kesana. Karena di tanah Deli, kala itu, banyak dijumpainya pelanggaran dan kejahatan tanpa pembelaan.

Dia melihat orang pribumi dikasari kala bekerja di perkebunan Deli Maastchappij. Dia menyaksikan orang Belanda menyiksa orang pribumi tanpa belas kasih. Dia tahu orang Belanda melanggar hukum kala memperbudak pribumi. Dia mengerti kesalahan Hindia ketika memperkerjakan penduduk jelata tanpa digaji. Den Brand tahu rezim Hindia menerapkan sistem perbudakan di tanah Deli lewat poenale sanctie.

Sebagai advokat, darahnya mendidih. Dia membongkar kekejian yang dibuat bangsanya sendiri. Den Brand menyusun brosur. Isinya menceritakan seluruh kekejian dan pelanggaran yang dibuat kaumnya. Brosur dan berita itu dilemparkannya ke Belanda. Karyanya itu dikenal dengan Millioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Begitu beredar, karya Den Brand menyulut pembicaraan politik berkepanjangan di negerinya. Di gedung Tweede Kamer (Majelis Rendah) yang megah, karya Den Brand dibincangkan. Skandal kekerasan tuan kebun yang diungkap Den Brand, membuat pemerintah Belanda beraksi. Mereka sadar pemerintahan kolonial melakukan banyak pelanggaran tehadap koeli contract. Pejabat kolonial pun dijatuhi sanksi. Seluruh pejabatnya diganti.

Gara-gara Den Brand lagi, Opsir Justitie (hakim yang menegakkan keadilan di Keresidenan Sumatera Timur), jadi kerepotan. Karena banyak buruh yang minta perlindungan. Di Batavia juga sama. Raad van Justitie (pengadilan) jadi ramai. Pribumi jadi berani menuntut ganti rugi. Den Brand juga yang membelanya.

Den Brand beraksi bak advokat sejati. Padahal saat itu tak banyak advokat yang mendukungnya. Karena buah karyanya, Den Brand banyak diserang dengan tuduhan pencemaran nama. Tapi Den Brand tak gentar. Kebenaran tetap diungkapnya walau belum ada organisasi advokat yang melindunginya. Den Brand telah memberi warisan buat kalangan advokat untuk bertindak semestinya. Dia telah menunjukkan officium nobile di tanah air sejak kita belum merdeka.

Tapi sayang, kini Den Brand pantas kecewa. Karena begitu Indonesia merdeka, advokat penerusnya tak mampu berbuat seperti dirinya. Advokat kini lebih banyak berkelahi. Mereka sibuk mengurusi dirinya sendiri. Sibuk beraksi demi sebuah organisasi. Saling sikut demi yang namanya gengsi. Saling serang padahal hanya membentuk organisasinya sendiri. Saling berlomba untuk merebut jabatan ketua di organisasi advokat. Bukan berebut membela kesengsaraan dan penderitaan yang dialami rakyat. Bukan melakoni advokasi kala penindasan dan pelanggaran hukum tak terkendali. Itulah ironi advokat kita kini.


Irawan Santoso
majalah NERACA Hukum, Mei 2008