Monday, September 22, 2008

AEROPAGUS

Rechstaat





Aeropagus

Dihukumnya seseorang yang tak bersalah merupakan urusan semua orang yang berpikir” (La Bruyerre, ahli hukum Perancis, abad 17 M)

Siapa yang pertama kali menciptakan pengadilan? Ternyata dewa-dewa yang membuatnya. Mereka-lah dalang hingga pengadilan ada di dunia. Dewa dewi-lah yang pertama kali mengadili. Aeropagus tempatnya. Disana, mereka sempat menggelar persidangan. Aeschylus (525-426 SM) yang mencatatkan kisahnya. Orang ini, katanya, seorang penulis drama Yunani Kuno. Karangannya mengkisahkan tentang pengadilan pertama di dunia. Dia cerita, Aeropagus pertama kali jadi tempat menyidangkan perkara. Kasus Orestes yang kali pertama disidang disana. Ketua majelis hakimnya Dewi Athena. Dewan jurinya berjejer dua belas dewa. Orestes adalah anak laki-laki Agamemnon. Dia ini bekas penguasa tunggal Mycenaea (Yunani). Sang penakluk Troya juga. Orestes diadili karena menikam ibu kandungnya, Clytemnestra. Dewi kahyangan jadi berang karenanya. Penyidikan dilakukan. Furies yang melakoni. Dia ini dewi keadilan. Selain Themis tentunya. Furies itulah jaksa penuntutnya. Sejak itu, Aeropagus jadi tempat bersejarah. Eposnya menyebar kemana-mana. Orang Yunani sangat percaya.

Abad berjalan, Aeropagus jadi keramat. Lokasi ini dijadikan pengadilan orang Yunani betulan. Tak lagi buat dewa dewi kahyangan. Tempatnya diatas bukit kecil (bukit Ares). Dia ada disebelah barat Athena. Tak ada gedung atau bangunan disana. Melainkan batu-batu cadas dengan ukuran besar. Itulah podium tempat Arkhon dan lainnya berdiri.

Terdakwa diletakkan ditengah-tengah. Arkhon yang memimpin sidang. Semacam hakim. Arkhai yang menyiapkan administrasi persidangan. Inilah cikal bakal panitera pengadilan. Diantara arkhai tadi, dibentuk sebelas orang yang mengurusi eksekusi. Isitilahnya “dewan sebelas”. Kawanan ini punya daya untuk menahan dan menangkap. Tapi khusus buat kasus yang ‘ep autophoro (tertangkap tangan).

Arkhon pertama bernama Draco. Dia ini yang menyusun aturan dan hukuman. Setiap terdakwa yang disidang, Draco yang menentukan hukuman. Selama Draco menjabat, orang Yunani banyak yang sambat. Draco dianggap terlalu kejam. Hukuman yang ditentukan, tak sebanding dengan perbuatan. Draco kemudian diganti. Karena dia dianggap mempraktekkan pengadilan sesat. Draco menerapkan hukum tanpa belas kasih. Terdakwa pencuri, dihukumnya mati. Padahal mencuri karena lapar, bukan mengejar materi. Pelacur, juga dihukum mati. Alhasil Draco tak menjelma jadi arkhon yang mulia. Draco berperan bak dewa pencabut nyawa. Warga Yunani resah karenanya. Aristoteles yang menceritakan begitu.

Solon kemudian mewarisi tahtanya. Dia jadi Arkhon kedua. Orang ini menyusun hukum baru. Tapi Aeropagus tak berubah. Tempat mengadili warga Yunani juga.

Beberapa abad kemudian, Aeropagus menyebar ke seantero dunia. Merambah hingga Eropa. Jerman salah satunya. Orang sana menggelar pengadilan pertama di bawah pohon-pohon oak dan Keltik. Namanya pengadilan Thing. Tapi sama saja. Yang diadili, tetap tak dapat membela diri. Siapa bersalah dan jadi terdakwa, vonisnya langsung mati. Rakyat yang jadi jurinya. Kala jumlah warga membanyak, pengadilan Thing berubah. Peradilan kemudian dilakoni dewan terpilih dari para tetua.

Zaman berubah. Aeropagus ditinggalkan. Thing disingkirkan. Pengadilan dibuat di gedung dan bangunan. Tapi rujukannya tetap Aeropagus. Hampir setiap negara memilikinya. Tapi sistemnya terbagi dua. Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Dua sistem ini yang menyebar kemana-mana. Sumbernya orang Eropa. Inggris dan Perancis yang memulai. Dua negara ini yang mengenalkan ke negara-negara jajahannya.

Inggris percaya sistem juri lebih memberikan keadilan. Sedang kontinental yakin hakim lebih menguasai soal kebenaran. Dua-duanya berjalan hingga kini. Tapi tetap saja, peradilan sesat terjadi.

Anglo Saxon tak jarang memvonis manusia tak berdosa. Italia salah satunya. Penganut Saxon ini sering salah mengadili. Kasus Lesurques jadi buktinya. Inggris begitu juga. Bahkan warga sana selalu memimpikan adanya Emile Zola dalam setiap perkara. Dia ini wartawan yang membongkar keadilan buat Dreyfus, orang yang divonis bersalah hakim sana. Tapi Zola membuktikan sebaliknya, lewat tulisan-tulisannya. Jerman apalagi. Kasus Ewald Schlitt yang termashyur. Orang ini yang membuat Hitler, sang Nazi- bertindak bak Draco di negaranya. Gara-gara, tanggal 26 April 1942, pengadilan Jerman tak menghukum Ewald yang menganiaya istrinya puluhan tahun, tapi cuma dihukum lima tahun. Hitler berang. Seluruh hakim diingatkan. Bila tak menghukum penjahat dengan berat, akan dipecat. Untungnya Hitler kemudian terjungkal.
Emile Zola

Tapi Eropa tetap tak menemui keadilannya. Amtsgerichtrat Sello, sarjana hukum Eropa memberi pesan. Dia mencatat, pasca Revolusi Perancis, pengadilan sesat kerap melanda benua itu. Jumlahnya mencapai 1.911 perkara. 36 di Jerman, 15 di Austria-Hongaria, 7 di Swiss, 1 Luxemburg, 117 ada di Inggris, 5 Amerika Serikat, 53 Perancis, 3 di Belgia, 6 di Italia, dan 34 di negara-negara lainnya. Tapi, itu catatan di abad lama. Sekitar 17 Masehi tahunnya. Sekarang pasti bertambah pula.

Eh, Indonesia tak beda. Yang anyar terjadi bulan lalu. Orang mengenalnya dengan kasus Ryan. Laki-laki yang dituduh membunuh berantai ini, mengaku membantai Asrori. Ryan “bernyanyi” Asrori mati ditangannya. Tapi, bertahun-tahun lalu, polisi, jaksa dan pengadilan telah menghukum orang yang dituduh menikam Asrori. Ini kesesatan pengadilan yang kedua. Kasus Sengkon-Karta yang membludak pertama. Pengadilan Indonesia salah memvonis juga. Negara ini tak beda dengan Eropa. Karena sistem yang dipakai, mengikuti Belanda. Eropa Kontinental, turunan Aeropagus juga.

Betapapun, pengadilan buatan manusia tak bisa dijamin kebenarannya. Beda dengan pengadilan Tuhan. Seperti yang dijanjikan, semua umat akan diadili, di suatu saat nanti. Bukan di Aeropagus atau Thing. Bukan pula dengan cara kontinental atau saxon. Padang Mashyr tempatnya. Arkhon-nya juga bukan manusia. Tapi Tuhan Sang Pencipta. Dia menentukan hukuman-nya. Ukurannya dari perbuatan manusia juga. Penuntutnya adalah Rakib dan Atid. Keduanya malaikat, sang panitera sejati. Catatan ditangannya tak kenal sesat atau salah. Tak bisa disuap juga. Tak ada pula advokat pembela. Umat dihukum sesuai kesalahannya. Juga diberi hadiah, seperti perbuatan baiknya. Itulah pengadilan ter-adil didunia. Baik dan benar diberi imbalan yang sesuai. Mashyr menjamin hukum ditegakkan secara benar. Karena hanya pengadilan ini yang tak mengikuti epos khayalan kahyangan. Andai negeri mengikuti sistem ini, mungkin kasus Asrori tak terjadi.
Irawan Santoso
(Majalah MAHKAMAH, edisi II, Oktober 2008)










Tuesday, September 2, 2008

TIADA LAGI ADVOKAT PEJUANG.....

Rechstaat


Tiada Lagi Advokat Pejuang .....

Dulu, advokat selalu didepan membela negara. Skill bersidang dan membuat kontrak, dipergunakan untuk mengalahkan Belanda dalam perundingan. Kini, advokat tak lagi berjuang. Sibuk mencari materi tanpa peduli nasib negeri.

14 April 1949. Tiga orang advokat duduk didepan. Mereka berhadap-hadapan. Didepannya beberapa orang berambut pirang. Mereka tengah bersidang. Tapi bukan di pengadilan. Melainkan bertempat di hotel Des Indies, Batavia. Sejak pagi mereka bersidang disana. Tak ada hakim ataupun jaksa. Melainkan seorang utusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Karena ditempat itu tengah digelar perundingan antara negara.

Perang kata-kata berlangsung sampai tiga pekan. Berunding memutuskan soal wilayah negara, antara Indonesia dan Belanda. Pihak Indonesia diwakili beberapa orang. Tak ada Soekarno maupun Hatta. Karena mereka lagi ditahan penjajah. Pribumi diwakili advokat dan sejumlah tokoh lainnya. Ada Mr. Mohammad Roem, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr. Johanes Latuharhary, Prof. Dr. Supomo, Leimena, dan A.K. Pringgodigdo. Dua nama didepan itulah advokat-nya. Mereka berada digaris depan perundingan. Sementara Belanda tak mau kalah. Sejumlah penjabatnya diturunkan ke Batavia. Tim Londo itu dipimpin oleh Dr. J.H. van Royen dengan anggota-anggota Mr. N.S. Blom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. van der Velde, dan empat orang penasihat.

Belanda menuntut Indonesia berhenti bergerilya dan mengijinkan mereka masuk lagi. Tapi Roem dan Sastroamidjojo, mementahkan tawaran itu. Pihak Indonesia meminta Belanda mengakui pengembalian pemerintah RI disertai dengan pengakuan kedaulatan atas wilayah tertentu dari mereka. Semula Belanda tak setuju. Tapi dalil dan argumentasi Roem cs tak bisa dikalahkan Belanda. PBB menyetujui. Akhirnya Indonesia menoreh kemenangan dalam perundingan itu. Sejarah kemudian mencatatnya sebagai “perjanjian Roem-Royen”.

Kisah itu menunjukkan kehebatan advokat kita era dulu. Kepiawaian Roem dan Sastroamidjojo sebagai advokat, dibaktikan untuk menyelamatkan Indonesia. Begitu juga diperundingan berikutnya, Konferensi Meja Bundar (KMB). Para advokat kita banyak berperan disana. Merekalah yang menyusun pembelaan Indonesia disana. Padahal mereka adalah jebolan Universitas di Belanda. Keduanya lulusan Meester in de Raechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden, Belanda.

Tak hanya mereka saja. Sejumlah advokat lainnya juga berkiprah serupa. Ada Iwa Koesoemasoemantri, AA Maramis, Tumenggung Wongsonagoro, Mas Besar Martokusumo, Mas Susanto Tirtoprojo, Muhammad Yamin, Raden Ahmad Subarjo, Raden Hindromartono, Raden Mas Sartono, Raden Panji Singgih, Raden Samsudin, Raden Suwandi, Raden, Sastromulyono, Raden Ayu Maria Ulfah Santoso, Iskak Cokroadisuryo, Djodi Gondokusumo, RM. Sartono, dan R. Sastro Mulyono.Merekalah advokat generasi pertama Indonesia.

Tapi, di era itu advokat tak langsung bersidang dan membela klien. Melainkan berjuang dulu untuk republik yang masih dirong-rong Belanda. Masing-masing memainkan perannya. Keahlian sebagai advokat dipakai untuk mengalahkan Belanda. Mereka beracara hanya kala membela tokoh republik yang lagi diadili pengadilan landraad Belanda.

Termasuk ketika membela Soekarno. Waktu itu, Bung Karno diadili karena dituding melanggar pidana buatan Belanda. Dia ditahan beberapa lama. Kemudian disidangkan untuk diberi hukuman. Bung Karno disidangkan dengan hakim ketua Mr. Siegenbeek van Heukelom, ditambah dua hakim pribumi yakni R.Kartakoesoemah dan R. Wiranataatmadja, dengan Jaksa Penuntut R. Soemadisoerja

Kala itulah advokat Indonesia datang sebagai pembela. Bukan hanya seorang, tapi mereka berlomba ingin mendampingi Soekarno di landraad Bandung (kini gedung “Indonesia menggugat”). Tercatat R. Idih Prawiradipoetra, Sartono, Sastromoeljono, Lukman Wiriadinata, Iskaq Tjokrohadisurjo dan lainnya sebagai pengacara Soekarno. Mereka tak dibayar sepeserpun oleh klien-nya. Murni membela karena melihat kelaliman penjajah. Disaat itulah, Bung Karno menyampaikan pleidoi yang kemudian dikenal dengan “Indonesia Menggugat”.

Walau Soekarno tetap dihukum, tapi semangat advokat era itu patut dipedomi. Mereka bersatu melawan kekuatan kompeni. Ilmu hukum dan keahlian yang diperoleh, tidak semata demi mengejar materi dan harta yang megah. Sebagai advokat, mereka berjuang dulu membela bangsa. Baru kemudian membuka law firm sendiri untuk menghidupi keluarga.

Namun, usaha itupun tak tak berjalan mulus. Karena ditahun 1930-an, Belanda masih menerapkan sistem ketat buat advokat Indonesia. Bahkan awalnya kompeni tak mendorong orang pribumi untuk bekerja sebagai advokat. Pribumi yang bersekolah di Belanda, hanya bisa berpraktek di negeri sana. Tak bisa ke Indonesia untuk beracara. Baru di tahun 1909, mendirikan Rechtsschool di Batavia. Mereka membuka pendidikan hukum bagi orang Indonesia hingga tahun 1922. Itupun kebanyakan yang mengikuti berasal dari golongan priyayi.

Jadi, praktis sebelum itu, advokat yang ada di Indonesia semuanya adalah orang Belanda. Salah satunya bernama Van Den Brand. Dialah advokat asal Belanda yang dikenal membela pribumi. Van Den Brand sempat membeberkan kebobrokan pemerintah Hindia Belanda ke Eropa. Khususnya terkait soal perdagangan buruh di tanah Deli (Sumatera Utara).
Nah, sejak itulah era advokat pribumi dimulai. Karena generasi Roem cs telah meluluskan kuliahnya di Belanda termasuk Rechtsschool Batavia. Hampir tercatat 150-an advokat pribumi yang dilantik. Mereka semua menyebar ke seantero negeri.
Di tahun, 1930-an, barulah advokat kita diijinkan beracara. Mr. Besar Martokusumo yang pertama kali membuka law firm di negeri ini. Dia membukanya di kampung halamannya, Tegal. Selanjutnya baru M Iskaq menyusul membangun kantor hukum sendiri di Batavia. Iwa K tak mau ketinggalan. Dia membuka law firm juga di Medan. Kemudian pindah lagi ke Batavia.

Selepas kemerdekaan, kiprah para advokat itu tak diam. Mereka terus berjuang mengawal republik. Tak heran para advokat tadi menduduki posisi penting pemerintahan. Ali Sastroamidjojo beberapa kali duduk sebagai perdana menteri. Roem juga mengabdi sebagai menteri. Iwa Koesoemasoemantri juga langganan di kursi menteri. AA Maramis sebagai Menteri negara Kabinet I, Mas Besar Martokusumo menjabat walikota Tegal, Raden Ahmad Subarjo mengabdi jadi Menteri Luar negeri kabinet I, Raden Mas Sartono juga duduk sebagai menteri. Sementara Yohanes Latuharhary di posisi Gubernur Maluku dan Raden Ayu Maria Ulfah Santoso mengabdi jadi menteri tahun 1946.

Ternyata, jiwa perjuangan advokat ini diwarisi kepada advokat generasi kedua. Tak heran, nama-nama seperti Suardi Tasrif, Yap Thian Hien, Ani Abbas Manoppo, Hasjim Mahdan, Djamaludin Datuk Singomangkuto, Sukardjo, Harjono Tjitrosoebeno, Nani Razak, tetap mengedepankan pengabdian kala sebagai advokat. Di generasi ini, mereka tetap menunjukkan kegigihan membela kebenaran, walau terkadang mendapat lawan dan godaan uang.

Sayangnya, prinsip itu tak ditemui lagi pada advokat sekarang. Sejumlah nama besar semisal OC Kaligis, Hotman Paris Hutapea, Todung Mulya Lubis, Denny Kailimang, Rudhy Lontoh, Henry Yosodiningrat, Indra Sahnun Lubis, Otto Hasibuan dan lainnya, tak kelihatan batang hidungnya dalam membela rakyat yang tertindas. Mereka asyik mengurusi perut sendiri, mencari harta berlimpah dan ketenaran nama. Tak beda juga dengan advokat sekelas Nono Anwar Makarim, Kartini Muljadi, Tuti Dewi Hadinoto, Sri Indrastuti Hadiputranto, Arief T Surowidjojo dan lainnya. Advokat ini cenderung memilih membela perusahaan asing dengan bayaran dollar, bukan rupiah. Mereka tak pernah nongol membela negara yang dicecar di dunia internasional.

Ironisnya lagi, advokat sekarang justru lebih asyik bermain di “kandang sendiri”. Asyik berkelahi merebutkan organisasi advokat dan saling serang demi membela klien dengan bayaran segudang. Tak ada lagi saling dukung membela Indonesia yang wilayah kedaulatannya dirong-rong Malaysia. Mereka seolah lupa para advokat pendahulu, jago hukum tapi tak melupakan pengabdian untuk negara. Makanya tak ada lagi orang muda yang bercita-cita menjadi advokat pejuang. Mereka lebih ingin jadi advokat agar bisa kaya, ber-jaguar, punya rumah mewah dan harta berlimpah.


Irawan Santoso
(Majalah MAHKAMAH edisi 1 September 2008)