Monday, January 11, 2016

KONSTANTINOPEL

Bismillahirrahmanirrahim




Sebuah epos di abad pertengahan. Kala dinar dirham masih menyala. Kala bankir belum bernama. Konstantinopel adalah sebuah kota bak surga. Ibukota Imperium Romawi. Didirikan oleh Byzas, orang Yunani, 324 SM. Romawi punya sekuel panjang. Sebelumnya Roma pusat Romawi. Tapi abad 4, hancur lebur. Terbelah menjadi kerajaan di Eropa. Arthur memimpin pemberontakan di Inggris. Germana juga berdiri. Romawi pun bergeser ke Konstantinopel. Antara Roma dan Konstantinopel banyak beda. Terlebih karena ajaran Nasrani yang era itu begitu berjaya. Di Roma menganut Trinitas. Konstantinopel berpaham unitarian, satu Tuhan. Keduanya kerap saling berperang. Abad 13, pasukan Roma yang semua hendak berperang melawan pasukan Utsmaniyah, mendadak menyerbu Konstantinopel. Karena mereka terkesima keindahaan kotanya. 

Di dalamnya ada Gereja Katolik Santa Sophia yang melegenda. Di sana banyak berdiri hipodrum yang megah. Istana kerajaan begitu banyak, yang jumlahnya lebih banyak ketimbang jumlah hari dalam setahun. Kota itu berisikan pualam dan kristal, emas tempaan dan mozaik indah. Orang barbar dari Eropa sering datang dan terkesima. Bahkan ternganga kagum, karena Konstantinopel adalah kota impian seluruh dunia. Fulcher dan Chartres, dua orang Eropa mampir ke sana di abad 11, “betapa indah kota ini, betapa banyak biara, banyak istana yang dibangun di jalan utama dan gangnya, berlimpah karya seninya. Sungguh melelahkan menyebut semua hal bagus disini, emas dan perak, pakaian model terbaru, dan relik-relik suci. Tak ada kebutuhan manusia yang tak dibawah ke sini,” mereka bergumam. Keindahannya nyata. Bahkan Napoleon Bonaperte, kaisar Perancis di abad 18, masih terkesima. “Seandainya seluruh dunia ini adalah sebuah negara, yang layak jadi ibukotanya adalah Konstantinopel,” katanya. 

Kala Islam datang, abad 7, Konstantinopel masih gagah. Rasulullah Shallalahuallaihi Wassalam beroperasi di Makkah dan Madinah. Dua kota itu tak seberapa luasnya. Romawi itulah imperiumnya. Tapi Konstantinopel sudah dijanjikan bakal ditaklukkan umat Islam. Kala menjelang perang Qandaq, muslimin tengah mempersiapkan parit sepanjang 8 kilometer di Madinah. Kala itulah Rasulullah Shallahuallaihi wassalam bersabda, “Dari Abdullah bin Amru Bin Ash ‘Bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah SAW untuk menulis, beliau SAW ditanya tentang kota manakah yang akan futuh terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma. Rasulullah menjawab, "Kota Heraklius terlebih dahulu (maksudnya Konstantinopel).” Rasulullah Shallahuallaihi wassalam juga bilang, “Kalian pasti akan membebaskan Konstantinopel, sehebat-hebat Amir (panglima perang) adalah Amir-nya dan sekuat-kuatnya pasukan adalah pasukannya.”

Sabda adalah jaminan. Karena pasti terbukti. Tahun 674, segerombolan pasukan Kekhalifahan Ummayah sudah menyerbu Konstantinopel. Disitulah sahabat Rasulullah, Abu Ayyub al Anshari ikut serta. Dia memaksa diri, walau telah renta. Alhasil dia meninggal di perjalanan. Abu Ayyub –semoga Allah memberkatinya—minta dikebumikan di depan benteng kota itu. Tahun 717, Maslamah bin Abdul Malik memimpin ekspedisi pengepungan. Kota itu masih belum tertembus. 811, era Khalifah Harun Al Rasyid, pengepungan Konstaninopel kembali dilakukan. Tapi masih gagal. Utsmaniyah berdiri. Beyazid I menjadi Sultan. Tahun 1396, dia memimpin pengepungan. Tapi masih gagal. Murad II menjadi Sultan Utsmaniyah. Tahun 1422, dia mengomandani pengepungan Konstantinopel, tapi belum berhasil. 

Murad wafat. Romawi kegirangan. Karena dikiranya Utsmaniyah melemah. Sebab Al Fatih menjabat sebagai Sultan. Dia masih kecil. Usianya belia. Tapi Romawi lupa, dalam Islam Sultan hanya pengeksekusi, bukan pembuat sistem. Utsmaniyah adalah sebuah sistem Madinah al Munawarah yang berjalan. Siapapun sang Sultan, sejauh living law masih merujuk pada Islam, tentu akan kuat. 

Al Fatih punya ambisi menaklukkan Konstantinopel. Sebelum mengepung, dia buat benteng di Rumeli Hisari, yang berhadapan dengan benteng Anadolu Hisari. Kaisar Romawi sempat protes. Tapi tak berdaya, karena Utsmaniyah tengah kuat-kuatnya. Kedua benteng itu menghambat jalur di selat Bosphorus, pintu masuk menuju Konstantinopel. Tanggal 6 April 1453, Sultan Al Fatih memimpin ribuan muslimin mengepung kota itu. Pengepungan dari tiga titik, tembok Konstantinopel –yang tak pernah tertembus--, Golden Horn dan Laut Marmara. Pasukan Utsmaniyah bak lautan mengelilingi Konstantinopel. Tapi Romawi masih yakin, karena tembok mereka tak pernah tertembus musuh sejak berdiri. 

Al Fatih persiapkan senjata ampuh. Meriam paling besar di era itu diciptakan. Dia menyewa arsitek Romawi, yang rela dibayar siapapun. Senjata itu jadi andalan. 250 ribu pasukan Islam mengepung. Tapi sebulan lebih, Konstantinopel tak runtuh juga. 

Drama pengepungan itu begitu mencekam, bagi kaum Romawi. Mereka bilang, pasukan Islam jika malam menari-nari seperti orang gila, jika siang berperang bak orang tak takut mati. Romawi tak paham siapa yang berperang. Tarian itu adalah hadrah yang dilakoni para muslimin setiap malam. Beragam tareqah menyatuh dengan pasukan Al Fatih. Hadrah itulah dzikir panjang dan mendalam menuju Allah semata. Selepas hadra, terasa hati tenang siap untuk berperang. Kematian pun siap disambut, tanpa perlu ditangisi. 

Al Fatih lalu melakukan langkah out of the box. Dia putar arah. 72 kapal perangnya dipindah, melewati bukit dari Bosphorus menujut Selat Tanduk. Itu dalam satu malam. Romawi keheranan. Mereka pasrah. 29 Mei 1453, Al Fatih menyiapkan penyerangan puncak. Konstantinopel diserbu habis-habisan. Kota itu pun jatuh di pukul 7 pagi. Al Fatih menjadikannya ibukota Utsmaniyah. Dia merubah namanya: Istanbul. Konstantinopel berakhir kisah. Sabda Rasulullah Shallahuallaihi wassalam terbukti. Istanbul tetap jadi idaman. Hagia Sophia jadi masjid. 

Di Spanyol, 1490, Kesultanan Andalusia ambruk. Gerakan reconquesta (balas dendam) dilancarkan. Eropa mulai keluar dari kegelapan. Mereka mencari jalan menuju nusantara dan India, mencari rempah-rempah. Tapi mesti memutar lewat Cape Town, Afrika. Karena jalur dari Istanbul dikuasai Utsmaniyah. Serbuan baru datang. Kesultanan Islam melemah. Utsmaniyah dikudeta, tanpa militer, 1840. Tanzimat dilakukan. Istanbul berubah. Hagia Sophia jadi museum sejarah. Bukan lagi Masjid atau Gereja. Reconquesta membawa serta bankir dibelakangnya. Mereka meluluhlantakkan Kesultanan, tanpa lewat perang. 

Kini Istanbul hanya kisah. Utsmaniyah tiada. Hukum Allah Subhanahuwataala tak hidup. Hanya tersisa Makkah dan Madinah, kota suci yang jadi ajang rebutan orang beribadah, untuk diri sendiri. Tak ada lagi Daulah, karena terkudeta oleh state

Shaykh Abdal Qadir as sufi memberikan jalur untuk kembali. Muslimin mesti merujuk lagi Amal Ahlul Madinah. Jalurnya bisa dideteksi lewat Al Muwatta, kitab Imam Malik. Dari situlah riba, sebagai dalang hancurnya Islam, bisa dideteksi. Mahdhab mesti kembali dijalankan. Tareqah layak diikuti, agar bisa berperang bak pasukan Utsmani yang tak takut mati. Muamalah adalah pintu masuk menuju tegaknya Sultaniyya. Karena musuh Islam kini adalah sebuah sistem. Mengalahkannya bukan dengan bom atau kekuatan militer. Sistem mesti dilawan dengan sistem. Sistem Madinah, itulah modul kembali pada Sultaniyya. Istanbul layak direbut kembali.