Sunday, December 23, 2007

" P R E T O R "

P R E T O R




Pretor. Istilah ini ada di kerajaan Romawi kala masih berjaya. Dia di­kenal sebagai pembela orang­orang tak mampu di depan hu­kum. Membela manusia yang disangkakan bersalah. Tapi belum tentu bersalah sebelum ada putusan dari raja. Dalam membela, pretor tak meminta. bayaran. Tak ada juga succes fee. Karena, mereka berasal da­ri kalangan bangsawan.


Mereka rata-rata sudah ka­ya dan tak lagi mencari harta yang megah. Pretor berjuang demi menegakkan hukum, yang sudah disusun sebelum­nya. Pretor menjaga hukum agar tetap beijalan dan dipa­tuhi. Pretor menjaga kewiba­waan raja di depan para rak­yatnya. Pretor menjaga setiap orang Romawi cinta akan ne­gerinya karena keberadaban bisa terjaga tanpa takut akan ketertindasan dari sang penguasa. Pretor tak bertugas membebaskan orang yang bersalah. Namun menjaga agar orang yang bersalah itu diberikan sanksi sesuai dengan koridor kesalahannya. Tidak menambahi maupun mengurangi. Peranan pretor membuat Romawi jadi agung dan menjelma jadi imperi­um yang tangguh.

Karena Pretor bekerja mengikuti sistem yang ada. Setiap warga Romawi yang dituduh, pretor selalu ada untuk mempelajari dulu duduk masalahnya. Bila si ter­tuduh tak bersalah, pretor memperjuangkannya dengan segala alasan hukum, yang hidup di jaman itu.

Namun pretor cuma ada di jaman dulu. Hanya dida­pati di era imperium Romawi masih digdaya. Namun kisah kesuksesan pretor tetap jadi inspirasi. Adnan Bu­yung Nasution mengaku terilhami menjadi pretor ketika berlakon sebagai pengacara. Karena memang pretor hampir tak beda dengan pengacara.




Hanya saja nasibnya beda di Indonesia. Pengacara tak mampu menjaga agar hukum tetap berwibawa. Pengacara justru berlomba mencari harta agar berlimpah. Pengacara tak peduli hukum sudah ditegak­kan dan kebenaran materil be­nar diungkapkan. Pengacara hanya mengedepankan klien dengan motto agar menang di­setiap perkara. Pengacara le­bih peduli tersangka yang ber­harta ketimbang rakyat mis­kin jelata. Pengacara lebih mengunggulkan keahlian me­ngenali hakim ketimbang ke­ahlian hukum.


Cerita seperti itu bukan bu­alan semata. Banyak fakta membuktikannya. Bahkan ada yang sudah dipenjara karena ulahnya. Mereka. telah dinyata­kan bersalah telah menelikung profesinya. Ito baru yang ter­ungkap. Karena masih banyak kisah-kisah colas pengacara yang tak ketahuan hidung belangnya. Sebab banyak pengacara yang cuma mengejar kemenangan semata. Maju tak gentar membela yang bayar.

Peristiwa inilah yang menyebabkan hukum jadi tak berwibawa. Banyak orang tak percaya dengan penga­cara. Karena pengacara lebih mengarah jadi mafia per­adilan. Bukannya menjelma jadi pretor yang mulia.


Padahal Indonesia memimpikan menjadi negara hu­kum (rechtstaat) yang perkasa. Negeri yang sejatinya hi­dup dengan beradab dengan hukum sebagai panglima. Tapi, apa daya, pengacara lebih tak suka mengarahkan kesana. Orang-orang di bidang ini lebih suka memiliki mobil mewah, rumah megah, istri dua, nama tenar, ke­timbang membudayakan agar hukum bisa dijalankan, secara benar.


Berarti, tak salah juga bila Shakespeare juga punya angan-angan. "Let's Kill all the lawyers!!".
Begitu katanya.








Irawan Santoso
(Majalah FORUM Keadilan, 2006)

1 comment:

Anonymous said...

wow...saya terkesima membaca tulisan anda. Thanks....