Sunday, September 13, 2009

Mengapa harus rechtstaats?

Seolah rechtstaats adalah harga mati. Di negeri ini reschtstaats, tak bisa ditawar lagi. Semua jaksa, hakim, pengacara, serempak selalu berkata bahwa rechtstaats, harus dikedepankan, tanpa boleh dikebiri. Hampir seluruh akademisi, jagoan hukum di kampus, pernah mengawali paper-nya dengan rechtstaats sebagai pembuka tulisan. Kata itu begitu dipuja. Rechstaats yang sering diterjemahkan dengan “negara hukum”, adalah prinsip yang tak boleh ditentang. Seorang blogger ternama, membuat judul blognya dengan kata rechtstaats, diatasnya dengan rasa bangga. Para mahasiswa hukum berdemonstrasi didepan Mahkamah Agung, selalu meneriakkan rechtstaats, walau tak jarang salah mengucapkan.

Ironisnya, rechtstaats masuk dalam konstitusi. Dia hadir dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945. Seluruh sarjana sepakat, rechtstaats merupakan lawan maachtstaat (negara kekuasaan). Tapi Rechtstaats dianggap lebih baik ketimbang maachstaat. Rechtstaats selah lebih sempurna dibanding maachstaat. Padahal, muasal rechtstaats itu sungguh tak elok bila dibawa ke alam kita. Karena kata itu bersumber dari sebuah pertempuran merebutkan kekuasaan. Kata itu dijadikan alat untuk mendapatkan kemenangan. Rechtstaats justru sejatinya dijadikan alasan untuk “menindas” sebagian orang-orang.

Cuma, Indonesia tak sadar. Karena pertiwi hanya mengekor Belanda dengan Eropa Kontinental-nya. Dengan rasa bangga pula. Padahal, rechtstaats lahir kala kegelapan melanda Eropa sana. Frederich Julius Stahl, orang pertama yang mencetuskannya. Dia pengacara sekaligus politikus, yang lahir di Munich, Jerman. Stahl putera Yahudi asli. Konsep Stahl soal rechtstaats, selalu diagungkan dalam setiap cuap-cuap sarjana hukum. Stahl bilang, ciri negara rechtstaats itu mencakup empat hal. Penegakan HAM, trias politica, pemerintahan berdasar hukum (wetmatigheid van bestuur), dan adanya sistem peradilan. Negara kita, karena bercita dan mimpi menjadi rechtstaats, tergopoh-gopoh mengaplikasikan empat omongan Stahl tadi. Stahl awalnya menjadikan rechtstaats sebagai alasan untuk membuat perlawanan.

Kala usianya 18 tahun, Stahl sempat mendaftar jadi guru di Munich Gymnasium. Tapi Stahl terbengkalai. Karena di era itu, orang Yahudi tak boleh duduk sebagai pegawai negeri. Stahl tak kehilangan akal. 6 November 1819 di Erlangen, dia masuk Kristen. Entah memang agama bagi Stahl hanya dianggap sebagai alat, tak tahu juga. Dia dibabtis di Gereja Lutheran.

Sejak menjadi Kristen, posisi Stahl menanjak tajam. Dia bisa belajar hukum di Universitas Würzburg, Heidelberg, dan Erlangen. 1827, Stahl sukses jadi privatdozent di University of Munich. Selang itu, 1840, Stahl menjadi pengacara Gereja di Berlin.

Posisi itulah yang membuat Stahl bergeliat. Sebagai advokat, Stahl banyak mengeluarkan pemikiran ekstrem. Dia menyatakan bahwa kerajaan Jerman mesti menjadi negara Kristen.
Stahl menempatkan dasar hukumnya lewat kitab Injil yang dia pelajari. Misi Stahl itu dapat dukungan penuh Kaisar Jerman era itu, William IV.

Tapi, suara diseberang tak setuju. Kelompok Calvinis pesimis dengan ide Stahl. Di zaman itu, kelompok Kristen Jerman memang terbagi. Penduduk asli banyak menganut Kristen Lutheren. Aliran ini mengambil ilham dari buah otak Marthin Luther, pria Jerman juga yang hidup di abad ke-16. Luther mereformasi teologi Kekristenan Roma. “Perpecahan” antara Lutheren dan Gereja Katolik Roma timbul karena doktrin pembenaran di hadapan Tuhan. Namun Lutherenisme tak seperti puluhan Gereja reformasi lainnya. Mereka tetap mempertahankan praktek liturgis dan sakramental ajaran Gereja dari Roma.

Beda dengan kaum pendatang, pengungsi dari Bohemia, Huguenot (Perancis), Wallona, Belanda, Polandia, Swiss dan lainnya, memegang teguh Kristen Calvinis. Keturunan mereka sebagian besar dari Calvinis di Brandenburg. Aliran ini dikembangkan teolog Martin Bucer, Heinrich Bullinger, Peter Martyr Vermigli, dan Ulgrich Zwingli. Tapi yang paling tenar adalah John Calvin, orang Perancis. Makanya kemudian dikenal dengan Calvinis.

Dua aliran ini, sama-sama menguasai Jerman. Keduanya berebut pengaruh. Alhasil kaisar William III menyatukannya. Lutheren dan Calvinis disatukan menjadi Prusia Gereja Injili. Dalam Prusia, doktrin kedua aliran itu disatukan.

Tapi, “perang” antara Luthern dan Calvinis berlangsung dingin. Stahl membela habis-habisan Luthern agar berjaya. Posisi Stahl juga sudah lumayan. Orang Yahudi, tak banyak yang bisa se-eksis Stahl di Jerman sana. Bahkan dia berhasil memetik hati sang Kaisar. 1849, Stahl diberi hadiah sebagai anggota Kamar Pertama. Di Jerman dikenal sebagai “Herrenhaus”. Bahkan 1852-1858, Stahl menjadi anggota “Evangelischer Oberkirchenrat” (penasehat Sinode).
Posisi itulah yang dipakai mempengaruhi tokoh Luthern untuk membubarkan Konstitusi Prusia tadi.

Dari Calvinis, Von Brussen, adalah lawan tangguh Stahl. Dia itu menteri Uni Injili. Tapi “peperangan” itu dimenangkan Stahl. Berkat kepiawaiannya, entah karena memang dia seorang Yahudi, Stahl berjaya. Dia mengeluarkan tulisan panjang. “Die Philosophie des Rechts geschichtlicher nach Ansicht. Isinya pandangan tentang sejarah filsafat hukum. Dalam tulisannya itulah dia menelorkan ide soal konsep negeri Kristen versi Luthern, dan membubarkan Uni Injili. Disitulah Stahl memperkenlkan konsep negara hukum pertama kalinya. Konsep itu hanya ditujukan agar pengaruh Luthern bisa lebih membahana. Stahl menang. Alhasil, Gereja Prussia Uni Injili berhasil dibubarkan, 1858.

Seabad berikutnya, “negara hukum” Stahl ditiru oleh Paul Scholten, hakim di Belanda. Scholten mengembangkan pikiran Stahl tadi. Dia menyebutkan ciri utama negara hukum sebagai “er is recht tegenover den staat”. Negara memiliki hak terhadap negara. Individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Dia juga bilang, negara hukum itu, er is scheiding van machten, ada pemisahan kekuasaan. Scholen-lah yang membawa nama rechtstaats pertama kalinya. Tapi dalam “Over den Rechtsstaats”, sebuah buku yang ditulis Verzamelde Gessriften, 1935, Scholten diakui mengadopsi pemikiran Stahl.

Kini, rechtstaats disembah kita. Dia dipuja hingga masuk konstitusi negara. Padahal, Stahl membuat konsep itu agar bisa memenangkan peperangannya dengan Calvinis. Bukan demi mewujudkan welfare state, negeri kesejahteraan. Toh di Jerman sendiri, konsep Stahl cuma bertahan beberapa tahun saja. Era Kaisar William, kemudian membuangnya. Mereka kembali ke cara lama.

Negeri ini terlalu memuja Barat. Rechtstaats yang dicita-citakan, tak pernah mengarah. Justru hukum kita makin sengsara. Hanya karena mengikut barat yang sesat.


Irawan Santoso
majalah MAHKAMAH (September, 2009)

1 comment:

Kedai Bang Edi said...

Hmmm... Jadi teringat teman saya yang tidak doyan telor karena menurutnya, betapapun bagusnya, telor itu keluar dari pantat ayam...