Friday, January 23, 2015

KEMATIAN LEGALITAS



Ada berapa undang-undang yang berlaku aktif di negara ini? Kenapa kita butuh banyak undang-undang? 

Karena terjebak pada legalitas. Karena terjebak pada azas nullum dilectum nulla poena sine pravia lege poenali.  Azas ini terpaku dalam KUHP. Azas ini seolah keramat. Sumbernya konstitusi. Bukan kitab suci. Nullum dillectum mulai menggema sejak rezim “negara” menggeliat. Pasca Revolusi Perancis, abad 18, negara adalah bentuk baru bermasyarakat. Empat serangkai, Montesquei, JJ Rosseou, Cesare Becaria, John Locke, menjadi modul terbentuknya “state” itu.  Mereka melengkapi krisis kepercayaan Eropa terhadap “Suara Gereja Suara Tuhan”. Karena sudah bergeser menjadi “Suara Rakyat Suara Tuhan”. Rosseou mengira kedaulatan adalah di tangan rakyat. Bukan milik Gereja. Hukum yang dipakai juga tak lagi tunduk pada sistem Gereja. Pada sistem kitab suci, Alkitab.

Nullum dilectum kemudian menjadi idola baru. Paul Johann Anselm Ritter von Feuerbach, ahli hukum Jerman, menukiskan yang pertama. Dia memprasastikannya dalam The Bavarian Criminal Code di 1813. Paul tak setuju degan teori kekutan sipil-nya Thomas Hobbes. Dalam kuliahnya soal jurisprudence criminal, dia mengemukakan teorinya yang terkenal. Paul mengumandangkan nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Dia sang profesor di Jena dan Kiel, Jerman, tahun 1804. 

Buah pikiran Paul ini pun diadopsi dunia. Nullum crimen masuk sebagai hukum dasar alam criminal internasional. Makanya ex post facto laws pun dilarang dilakukan.
Tapi Beccaria (1738-1794) juga sudah pernah mengusungnya. Dialah desain dari kalimat nullum crimen, nulla poena sine pravia lege poenali. Si Italia itu memang jadi idola. Usianya 25 tahun tapi telah mampu menyusun kitab pidana lengkap, Dei Delitti Pene (tentang beragam kejahatan dan hukuman). Buku ini kemudian diterbitkan Voltaire, salah satu pengagumnya.

Republik Perancis, pasca Revolusi, langsung menerapkan kitab ini. Dalam Declaration des Droits de I’Homme (UUD Perancis) tahun 1789, 1795 dan 1810, buah pikiran Beccaria itu disahkan sebagai aturan.

Cuma Beccaria ternyata tak orisinil juga. Manusia sebelum dia, sempat berpikiran sama. Pau
lus dari abad III A.D. (Anno Domini –tarikh sebelum Masehi--). Dia sempat mengumandangkannya pula. Ada tulisannya yang berbunyi begini: non ex regulis ius sumatur, sed ex iure quod est regula fiat (kita menjabarkan hukum tidak dari aturan-aturan hukum, tapi hukum dari apa yang merupakan aturan).

Yang terang, legalitas adalah penolakan terhadap hukum Tuhan. Mereka seolah mulia, menolak tindakan eigenrichting (main hakim sendiri). Mereka menolak bloedwraak (balas dendam) dalam kasus pembunuhan. Inilah yang bertentangan dengan sistem hukum dari Tuhan. Karena qisas adalah model berdendam. Siapa membunuh, maka dibalas bunuh. Boleh tak dibalas, asal membayar diyat alias denda. Jumlahnya 2000 dinar, ketika di jazirah abad 7. 

Legalitas seolah lebih mulia dari qisas. Padahal, prinsip itu sudah diusung kala Hammurabi menjadi Raja Babilonia, 1700 SM. Hammurabi, peradaban penyembah pagan. Di Museum Lowre, Paris, terpampang Kodeks Hammurabi sebanyak 282 Pasal. Di bagian atas prasasti itu, sebuah relief lukisan Dewa Matahari Syamsi. Tulisannya, “Hakim Agung langit dan bumi”. Di penghujung Pasal, sebuah tulisan berkata, “Hammurabi raja hukum, yang kepadanya Syamsy telah menganugerahkan undang-undang”.
Empat serangkai, Montesquei, Rossoue, Beccaria, Locke, mengaggumi betul peradaban ini. Ide kedaulatan negara di tangan rakyat, merujuk pada Hammurabi. Karena Tuhan tak mengatur hukum secara langsung. Melainkan lewat perantara manusia. Empat serangkai itu menolak dominasi Gereja. Mereka tak mengakui lagi “Donatio Pippini”(dominasi Paus). Karena Hugo De Grott, abad 16,  mengeluarkan kitab “De Jure belli ac pacis” (tentang hukum perang dan damai) mempertanyakan hukum Tuhan. Bagaimana jika Tuhan tak ada? Begitu katanya. Disitulah legalitas makin membahana. 

Revolusi Perancis menjadi puncak segalanya. Dinatio Pippini disingkirkan. Legalitas sah diundangkan. Qisas jadi illegal. Semua aturan, mesti dibuat manusia lewat perwakilan. 5 abad berjalan, ternyata legalitas cuma mulut manis Barat semata. Seolah cuma bualan. Karena model hukum itu membuat segelintir kalangan terlindungi, sementara kaum lain tertindas. Sistem itu tak membuat kriminalitas berhenti. Justru makin menjadi. 

Padahal Islam telah membuktikan. Model sistem hukum Tuhan telah membuat peradaban berjalan tenang. Kekhilafahan berlangsung nyaman  dari abad 7 hingga 17. Hukum berbasis Al Quran, membuat keadilan benar terlakoni. Tak ada legalitas dalam sistem ini. Karena aturan hukum tak perlu dibuat banyak. Manusia, sebagai subjek hukumnya, cukup mengikuti aturan yang ada. Diluar aturan itu, adalah bid’ah. Tak perlu banyak undang-undang. Hukum berjalan tenang. 

Tapi memang hukum hanya bak “centeng” dalam peradaban. Hukum hanya seperti satpam dari ideologi yang berkuasa. Kala kapitalis yang merajai, maka legalitas menjadi kata kunci. Kala ideologi Islam yang berkembang, hukum syariat tegak, tanpa perlu teriak-teriak.  Kejayaan Kekhilafahan berjalan karena ideologinya berkembang menjadi peradaban. Karena sistem hukumnya dilaksanakan. Bukan diteriakkan. Shaykh Abdalqadir as Sufi memberi pesan, kala yang haq telah hadir, yang bathil otomatis musnah. Kematian legalitas telah diambang mata.


No comments: