(majalah FORUM Keadilan edisi 02 Mei 2006)
Misteri Suap Probosutedjo
Kasus Probosutejdo adalah fakta fenomenal kasus suap menyuap di dunia peradilan. Bukti Mafia peradilan memang bergentayangan. Tapi cerita yang terjadi tak sepenuhnya terungkap. Banyak kejadian janggal yang masih menyisakan teka-teki. Terutama antara KPK dan Probosutedjo. Termasuk hubungan Bagir Manan dalam peristiwa itu. Kini, pengadilan mencoba membuktikan. Sayang, tak semuanya bisa terungkap dengan benar.
Suap Membawa Petaka
September kelabu. Senandung sendu itu sangat cocok menggambarkan kondisi Mahkamah Agung. Di bulan itulah sebuah kasus fenomenal terbongkar. Baru pertama kali sejak bangsa ini berdiri, lima pegawai MA tertangkap tangan. Mereka berupaya melakukan penyuapan. Kelima laki-laki itu adalah Pono Waluyo (staf bagian kendaraan), Malem Pagi Sinuhadji (Kepala bagian kepegawaian MA), Sriyadi (staf bagian perdata), Suhartoyo (wakil sekretaris korpri MA) dan Sudi Ahmad (staf wakil sekretaris Korpri MA).
Orang-orang itulah yang membuat berita. Mereka ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kediamannya masing-masing. Di tangan mereka disita sejumlah uang dari Probosutedjo. Adik tiri mantan Presiden Soeharto inilah yang sedang berperkara. Dia tengah menghadapi proses hukum. Kasus korupsi di Hutan Tanaman Inclustri (HTI). Probo merugikan keuangan negara senilai Rp 100,931 Miliar. Karena kasus itu, Probo divonis empat tahun di PN Jakarta Pusat. Tapi dia banding. Di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, vonisnya berkurang. Tinggal dua tahun kurungan. Tapi, Probo tak mau menerima begitu saja. Dia mengajukan kasasi ke MA.
Nah, ketika di MA itulah dia berupaya agar bebas. Perkaranya dperiksa oleh tiga orang hakim agung. Bagir Manan, Parman Sugarman can Usman Karim. Untuk mengurus perkara itu, Probo menyewa seorang pengacara. Namanya Harini Wijoso. Umurnya 68 tahun. Dia adalah mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta. Wanita ini malam itu ikut ditangkap KPK. Juga di rumahnya. Keenam orang itulah yang membawa uang Probo. Jumlahnya Rp 5 Miliar.
Mulanya, mereka mengaku bisa bisa mengurus perkara Probo. Tentunya agar perkara kasasinya itu bisa bebas. Nah, inisiatif pertama datang dari Harini.
Selaku pengacara, dia pun sigap mengadvokasi kliennya. Sejak menerima kuasa dari Probo, dia pun mondar mandir di gedung MA. Tapi bukan untuk bersidang. Melainkan mencari "jalan" agar bisa menyuap para hakim agung itu. Sasaran yang paling utama adalah Bagir Manan. Ketua MA inilah yang paling sulit ditaklukan. Sayangnya, Harini tak berhasil.
Tapi wanita itu tak mau mengecewakan kliennya. Ternyata usahanya tak sia-sia. Tanggal 27 September 2005, dia pun ketemu Pono Waluyo. Kedua orang itu berjumpa di parkir barat MA. Tanpa basa-basi, Harini langsung mengutarakan niatnya. Tentu untuk mencari jalan agar bisa menyuap sang Ketua MA, Bagir Manan. Pono yang cuma staf bagian kendaraan itu langsung menyanggupinya. Tapi ketika di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pono membantah. Menurut versinya, waktu ketemu Harini, dia tak langsung menyanggupi. Tapi karena kebetulan waktu itu melintas Sudi Ahmad dan Suhartoyo. Pono pun menceritakan niat Harini pada Sudi. Laki-laki ini langsung menyanggupinya. Sejak itulah kesepakatan terbangun.
Harini pun pulang. Tapi ketiga pegawai MA itu langsung menggelar rapat. Mereka bertemu di ruangan Sudi. Bincang-bincang pun terjadi. Pelakunya Pono, Sudi dan Suhartoyo. Nah, kala itulah Sudi, menurut Pono, bisa meyakinkan bakal mulus. Mereka pun langsung bagi tugas. Pono menjadi penghubung dengan Harini. Sedangkan Sudi mengurusi "jalan" untuk ke Bagir.
Dua hari berselang, Pono mulai bekerja. Pagi-pagi, dia mengontak Harini. Pegawai MA itu memberi kabar gembira. Katanya, putusan Probo segera keluar. Dan bakal dikirimkan ke PN Jakarta Pusat. Tapi, untuk tahu hasilnya, Pono meminta agar uang sogok segera dibayarkan. Harini sempat ragu. Pikirannya antara percaya dan tidak. Tapi dia langsung minta ketemu.
Mobilnya pun langsung diarahkan ke gedung MA di J1. Medan Merdeka Utara, Jakarta. Sampai di sana. Harini tak langsung masuk. Dia meminta ketemu keluar gedung. Keduanya kemudian berjalan ke areal parkir Bank Rakyat Indonesia yang tak jauh dari MA. Di sana, Harini sempat ragu. "Saya tak berani sebelum melihat isi putusannya," katanya. Tapi Pono tak menyerah. Dia tetap mendesak agar uang sogok dibayarkan.
Tanpa mau ambil pusing, Harini langsung membawa Pono ke Gedung Kedaung di JI.Diponegoro, Menteng, Jakarta. Di sinilah Probo sehari-hari berkantor. Harini ingin mempertemukan Pono dengan Probo. Tentunya untuk memuluskan permintaan Pono tadi.
Sampai di sana, Harini memperkenalkan Pono pada Tri Widodo. Dia acalah "tangan kanan" Probo. Tri langsung menyampaikannya ke "bosnya" itu. Probo pun keluar. Pono ditemuinya. Percakapan pun terjadi. Mulanya, Probo sempat menanyakan apakah Pono utusan Bagir. Pono membenarkan. "Betul besok putusan bakal dikirimkan?" tanya Probo lagi. Pono juga mengiyakan. Tapi dia langsung ke pokok persoalan. Pono mengaku menyampaikan pesan dari Bagir. Pono berdalih Ketua MA itu meminta uang sebesar Rp 5 Miliar.
Mendengar itu, Probo memang sempat ragu. Tapi dia tak membantah titah Pono itu. Uang yang diminta langsung disanggupinya. Tapi Probo minta diberi tenggang waktu. Tentunya buat mengumpulkan uang sebanyak itu. Probo minta sampai jam 12 siang.
Pono pun kembali ke MA. Dia diantar Harini. Nah, jam 12.30 WIB, Tri mengontak Harini. Pesannya bahwa uangnya sudah disiapkan. Tri minta agar Pono segera datang lagi.
Titah itu pun diikuti. Pono sumringah ketika tiba di rumah Probo itu. Uang yang dimintanya ternyata sudah disiapkan dalam dua kardus. Di kardus pertama ada Rp 800 juta plus US$ 100 ribu. Kardus kedua berisikan uang senilai US$ 300 ribu.
Tanpa banyak menunggu, uang itu pun diboyong Pono. Dia membawanya ke sekretariat Korpri di MA. Tapi sebelum itu, Probo berpesan agar fotocopi putusan diserahkan padanya siang itu juga. Pono tak membantah. Dia berjanji bakal menyanggupinya.
Di MA, ternyata Sudi telah menanti. Selama Pono bekerja, Sudi juga sudah menyiapkan tim. Dia merekrut Malem Pagi, Sriyadi, dan Suhartoyo. Ketiga orang itu juga telah memiliki tugas masing-masing.
Sampai di MA, Pono langsung memanggil Sudi. Lalu uang itu pun diboyong ke ruangan Sudi. Di sana, uang itu dibagi-bagi. Tapi hanya untuk kardus yang berisikan Rp.800 juta dan US$ 300 itu. Sudi memberi mereka masing-masing sebesar Rp. 1,25 Miliar. Uang itu sebagai tanda awal mulai bekerja. Oleh mereka. uang itu kemudian dibawa pulang ke rumah. Sudi juga demikian.
Nah, untuk kardus satu lagi, ceritanya juga berbeda. Yang ini dibawa Pono sendiri. Tapi sebelum itu, Harini menagih putusan yang bakal diberikan. Ternyata Sudi telah menyiapkannya. Putusan itu diserahkan siang itu juga. Pono dan Harini langsung yang memberikan kepada Probo. Penyerahannya sekitar jam 15.00 WIB siang. Transaksi selesai. Pono pun berniat kembali ke MA. Harini pulang ke rumahnya.
Tapi, di perjalanan sampai di Tugu Tani, Harini ternyata terjebak macet. Saat itulah Pono menghubunginya. Pono meminta agar dia diantarkan pulang ke rumahnya di Bekasi. Alasannya karena dia membawa uang dalam jumlah banyak. Harini menyanggupi. Mobilnya pun berbalik arah. Kembali ke MA.
Harini pun tak jadi pulang. Dia lebih dulu mengantarkan Pono. Di tengah perjalanan, Pono menyuruh Harini mengambil bagian. Besarnya senilai US$ 50 ribu. Tujuannya untuk ditukarkan ke rupiah.
Ternyata Harini mengiyakan. Uang itu pun dibawanya pulang ke rumahnya juga. Ternyata uang itulah yang membawanya sial. Malam hari, di rumahnya dia kedatangan tamu tak diundang. Rumahnya di bilangan Cipete, Jakarta Selatan diketuk malam-malam. Suara ketukan itulah yang membangunkan Harini. Mulanya, memang bukan dia yang membukakan pintu, melainkan pembantunya. Sang pembantu menyanyakan maksud kedatangan tamu larut malam itu. Tapi sang tamu langsung menjelaskan identitasnya. "Saya dari KPK ingin bertemu dengan lbu Harini," kata itulah yang keluar dari mulut tamu itu.
Benar saja, ternyata malam itu penyidik KPK langsung datang mencokok Harini. Nah, pembicaraan antara pembantu dan petugas KPK itu ternyata membangunkan Harini. Dia langsung terjaga dari ticurnya. "Siapa?" teriak Harini dari kamarnya. Suara itulah yang membuat penyidik KPK yakin Harini ada di rumah. Padahal sebelumnya sang pembantu menyuruh penyidik KPK itu untuk pergi.
Karena suara itu, penyidik yang terdiri dari empat orang tersebut langsung menghampiri Harini. Mereka menunjukkan Surat penangkapan. Tuduhannya, Harini telah melakukan upaya penyuapan dan tindak pidana korupsi.
Tapi Harini tak langsung mengaku. Dia sempat membantah. Hampir dua jam saling bantah pun terjadi. Harini bersikeras tak mau dibawa ke KPK. Tujuannya tentu saja untuk disidik. Tapi, kemudian Harini menyerah. Dia rela diboyong malam itu juga.
Mulanya, nama Harini bisa ketahuan KPK karena nyanyian Pono. Dia lebih dulu ditangkap. Penyidik KPK langsung meminta penjelasan Pono tentang aliran uang Probo itu. Pono pun menceritakan.
Dari Pono lah keluar nama Harini dan empat orang rekan sejawatnya itu. Mereka diciduk satu demi satu malam itu juga. KPK ternyata juga langsung menyiapkan Surat penangkapan secara resmi.
Sejak itulah MA menjadi gempar. Tragedi penyuapan di peradilan terbesar berhasil dibongkar. Bahkan nama Bagir disebut-sebut. Inilah yang kemudian membuat badai serangan tak henti-hentinya menerpa MA.
Terbukti memang. Sepekan berselang, KPK tak berhenti bertindak. Lembaga negara khusus menangani korupsi itu langsung bertindak sigap. Mereka mencoba mengembangkan tersangka. Terutama keterlibatan para hakim agung dan Ketua MA. Gebrakan pun dilakukan. MA digeledah oleh KPK. Termasuk ruangan tiga orang hakim agung itu. Tak hanya itu. KPK juga memeriksa Bagir, Usman dan Parman. Tentu untuk membuktikan keterlibatan mereka dalam suap menyuap itu.
Sayangnya, ketika melakukan penggeledahan di MA, KPK tak banyak mengindahkan aturan hukum. Begitu juga ketika memeriksa Bagir. Karena posisinya sebagai petinggi yudikatif, KPK melupakan satu hal. Bagir mesti diperiksa di luar orang biasa. Pendapat itu setidaknya muncul dari Mayasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. Dia menjelaskan bahwa pemeriksaan yang dilakukan terhadap seorang Ketua MA, tak boleh sama dengan orang biasa. "Karena dia memiliki tanggungjawab yang berbeda juga," demikian argumennya.
Tapi KPK seolah tak peduli. Dalam penggeledahan, KPKjuga sempat menyita adviesblaad. Ini adalah pendapat hukum para hakim agung tentang perkara Probo itu. Sejatinya, pendapat hukum itu adalah rahasia negara. Dia tidak boleh diketahui siapapun selain hakim itu sendiri. Jadi sebelum putusan dibacakan, adviesblaad sama sekali tak boleh diketahui siapapun. Sayangnya, KPK seolah tak peduli. Demi memberantas korupsi, mereka tetap menyita pendapat hukum itu.
Nah, ketika adviesblaad disita, Bagir pun bertindak. Dia langsung mengganti majelis yang memeriksa perkara Probo. Sebagai Ketua MA, Bagir membentuk majelis baru. Susunannya adalah Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, Harifin A Tumpa, Rehngena Purba, dan Aca Sonjaja. Mereka inilah yang kemudian memeriksa kasasi kasus Probo itu.
Sebulan sejak pergantian, ternyata majelis ini bekerja cepat. Putusan langsung dibacakan. Majelis yang baru itu menyatakan kasasi Probo ditolak. Berarti hukuman Probo tetap empat tahun penjara.
Putusan ini langsung dieksekusi kejaksaan. Probo pun masuk bui. Kini dia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung. Memang akhirnya sang penyuap dipenjara. Tapi dia dihukum bukan karena ulahnya memberi uang kepada Pono dan Harini. Untuk kasus itu, agaknya Probo tak tersentuh. Dia sama sekali tak disalahkan. Padahal bila dilihat secara pidana, unsur-unsur pelaku penyuapan sudah terpenuhi dari tingkah Probo.
Beda dengan Harini dan lima orang pegawai MA itu. Kini mereka tengah diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jerat hukum yang di tujukan agaknya tlk mampu melepaskan mereka dari bui.
Sementara itu, bagi Bagir memang dia sama sekali tak terbukti. Tapi citranya sebagai Ketua MA tak secemerlang sebelumnya. Pasalnya serangan bertubi-tubi terus menderanya hingga kini. Bahkan, gara-gara ulah penyuapan itu, dia dan lembaganya mesti berseteru dengan Komisi Yudisial (KY). Lembaga ini sengaja dibentuk untuk mengawasi dan menjaga martabat hakim. Tapi, merebaknya kasus suap menyuap itu membuat mereka juga jatuh hati untuk memeriksa Bagir dan dua hakim agung lainnya. Hanya Bagir urung datang. Setelah dipanggil tiga kali pun, laki-laki asal Lampung itu tetap enggan melangkahkan kakinya ke gedung KY. Puncaknya, kedua lembaga penegak hukum itu sempat bersitegang sampai ke Mabes Polri. Terbukti dengan adanya saling lapor antara hakim agung dan anggota KY. Kini, keduanya juga masih berseteru. Tempatnya di Mahkamah Konstutusi. Di sana, para hakim agung meminta UU KY diuji materil. Tentunya agar KY tak lagi bisa mengawasi hakim agung.
Yang pasti, kejadian ini bukan sebuah peristiwa biasa. Hal ini merupakan sejarah dalam dunia hukum kita. Hanya, ternyata tak sedikit aparat hukum yang tak siap menghadapinya. Jadi jangan harap rechstaat yang didambakan bisa terwujud dalam sekejap.
DIMANAKAH POSISI BAGIR MANAN?
Hakim menyatakan Bagir tak pantas dijadikan saksi. Tapi jaksa sangat ngotot. KPK juga kecewa. Benarkah Ketua Mahkamah Agung itu terilbat?
Harapan Khaidir Ramli seolah pupus sudah. Karirnya sebagai jaksa bisa dibilang tak begitu berhasil. Mulanya, ketika kasus Harini dan lima pegawai Mahkamah Agung ditanganinya, dia terlihat begitu sumringah. Pikirnya, perkara ini bisa sedikit melambungkan namanya. Yang membuat mencuat itu tak lain karena ada tersangkuat Ketua MA, Bagir Manan.
Sebagai penuntut, dia pun berupaya membuktikan kesalahan dari para terdakwa itu. Daftar saksi-saksi juga telah disiapkan. Termasuk Bagir Manan juga. Ketika persidangan memasuki pemeriksaan saksi-saksi, Khaidir pun langsung tancap gas. Berondongan pertanyaan kepada para terdakwa dan orang-orang yang menjadi saksi, diarahkan langsung ke Bagir. Dia seolah-olah ingin mencari benang merah keterlibatan Bagir dalam perkara ini. Sayangnya, upayanya itu sia-sia. Pasalnya dari enam orang terdakwa, tak satupun yang menyebutkan Bagir ikut memiliki peran. Hanya Harini saja. Itupun dia hanya mengatakan pernah bertemu Bagir waktu pamitan sebagai hakim Tinggi. Tapi tak ada hubungannya dengan perkara yang tengah diurusnya itu.
Tapi Ramli seolah tak mau menyerah. Begitu juga dengan rekannya, Suharto. Laki-laki ini juga gencar mengarahkan pertanyaan buat saksi dan terdakwa hanya agar "kata" Bagir bisa terucap dari mulut mereka. Karena bila sudah terucap, maka dia berhak mendudukkan Ketua MA itu sebagai saksi.
Namanya pun akan semakin membumbung tinggi. Sayangnya upaya itu gagal. Rabu pekan lalu, Ketua majelis hakim, Kresna Menon, menyatakan Bagir tak perlu dijadikan saksi. Alas hak yang dipakai "wakil Tuhan" itu ada dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1985 tentang seleksi terhadap saksi-saksi yang diperintahkan untuk hadir di persidangan. Hakim menilai kesaksian Bagir sama sekali tak diperlukan. Tak ada relevansinya dengan perkara ini. Nah jika begitu, bila merujuk pada SEMA itu maka jika saksi tak dibatasi, bisa menimbulkan pemborosan. Tidak sesuai pula dengan asas peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan.
Itulah sikap tegas hakim di persidangan. Sayang, ulah itu banyak diprotes kalangan di luar persidangan. Salah satunya dari Denny Indrayana. Laki-laki yang gencar memberikan kritikan terhadap MA ini menilai SEMA yang dijadikan rujukan itu tak lebih tinggi dari undang-undang. Bila merujuk pada KUHAP, katanya, maka Bagir tak bisa disalahkan untuk dijadikan saksi. Aturan itu ada dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. Isinya, "Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam Surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum selama berlangsung sidang aatu sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar kesaksian tersebut. "
Bila merujuk beleid itu, maka Bagir memang sah-sah saja dijadikan saksi. Lalu seperti apa kualifikasi orang yang bisa dijadikan saksi? Pasal 1 ayat (26) KUHAP menjawabnya. Isinya, "saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang is dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri".
Berarti ada tiga unsur yang harus terpenuhi bila seseorang, tergolong sebagai saksi. Unsur itu yakni, melihat, mendengar dan mengetahui. Nah, apakah posisi Bagir termasuk kategori tersebut? Benarkah Bagir mengetahui, melihat dan mendengar terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Harini dan lima orang pegawai MA itu?
Untuk menjawab hal itu maka perlu dilihat dulu posisi kasusnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan terhadap enam orang. Selain lima orang pegawai MA itu, satu orang lagi adalah Harini Wijoso. Harini adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pengacara Probosutedjo untuk kasus dana reboisasi. Harini kemudian mempraktekkan cara beracara yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis hakim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Manan.
Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya untuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesaikannya sendirian. Dirinya mental. Terbukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bulan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya telah membunyikannya kepada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.
Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi keinginan Harini. Pono menurunkan 'order' itu ke beberapa rekannya di MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengontak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono meminta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiapkan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kardus. Satu kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ternyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sempat membawa uang, itu ke rumahnya.
Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-masing. Sewaktu ditangkap, Pono ternyata masih menyimpan uang itu. Begitu juga dengan Harini. Berarti enam orang tersebut terbukti telah tertangkap tangan. Berclasarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menciduk mereka tanpa surat perintah.
Kasus pun berkembang. Setelah melakukan penangkapan, KPK tentunya memiliki bukti awal. Yakni berupa uang yang di tangan Pono dan Harini. Lalu kasus dikembangkan dengan meminta keterangan dari yang tertangkap. Dari sinilah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang terlibat dalam tindak pidana itu.
Dari keterangan Pono, disebutkan bahwa dirinya mengakui meminta uang kepada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mulut Harini. Pengacara itulah yang membawa Pono menemui Probo. Dia melakukannya karena Pono mengucapkan bahwa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.
Lalu dilihat pula dari keterangan Probosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Probo memang memberi uang kepada Pono.
Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki-laki itu memang suruhan Bagir. Namun, walaupun belum seratus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlahnya sangat besar.
Lalu dari serangkaian peristiwa itu, dimanakah posisi Bagir? Apakah ia tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap menyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari keterangan orang-orang yang telah memberikan kesaksiannya.
Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku tidak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang merasa pernah bertemu dengan Ketua MA itu.
Setali tiga uang dengan Harini. Pengacara ini hanya berhasil ketemu Bagir ketika pamitan untuk meninggalkan dunia hakim. Tapi semenjak menerima uang Probo, dirinya juga tak lagi bertemu dengan Bagir.
Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presiden Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan dengan Bagir. Sama sekali belum bertemu atau melakukan hubungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membuktikan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Belum satu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum menerima sesuatu apapun.
Nah, ketika Probo diperdengarkan kesaksiannya dua pekan Ialu, tak satupun kalimat darinya yang mengatakan bahwa dia pernah bertemu Bagir. Probo juga tak pernah berhubungan dengan Bagir. Pengakuannya, dia langsung yakin ketika Pono datang mengatasnamakan utusan dari Ketua MA.
Dan, cuma Harini-lah yang pernah menyebut kata Bagir dari mulutnya. Di tengah sidang, Harini berucap bahwa dia pernah ketemu Bagir. Tapi pertemuan itu, kata Harini, hanya pamitan karena dirinya telah pensiun sebagai hakim tinggi di Yogyakarta. Nah, disela-sela pamitan itulah Harini sempat mengatakan bahwa Probo itu adalah saudaranya. Maksud Harini agar Bagir sebagai ketua majelis perkara Probo itu mau sedikit membantu. Tapi Harini kaget. Ekspresi wajah Bagir tampak marah. "Mukanya masam dan kecut," katanya di persidangan. Ketika itu, Bagir juga cuma berujar pendek. "Kita lihat nanti sajalah." Hanya itu.
Nah, kalimat itulah yang dijadikan jaksa untuk menghadirkan Bagir sebagai saksi. Padahal, dalam serangkaian peristiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak mengambil peran. Dirinya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. Dengan posisi seperti itu, berarti Bagir bukan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sama sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu kok jaksa tetap ngotot untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bagir? Entah untuk motif apa. Yang pasti, mencuatnya kasus ini sempat menjadi sorotan seluruh pers di tanah air. Bila jaksa berhasil menghadirkan Bagir, bisa jadi namanya akan dicatat di setiap lembaran koran-koran. Inilah bukti substansi penegakan hukum bisa luntur hanya karena ingin nampang di Koran.
Antara KPK dan Probosutedjo
KPK dianggap berhasil membongkar kasus suap di tubuh Mahkamah Agung. Padahal banyak melakukan pelanggaran hukum.
Sriyadi tampak tenang. Laki-laki ini duduk santai di luar ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di gedung Upindo, Jakarta, dua pekan lalu. Penampilannya tak seperti terdakwa korupsi. Pakaiannya juga tak necis. Badannya cuma dibalut kemeja dan jeans seadanya. Siang itu, dia bakal memberikan kesaksian. Khusus untuk terdakwa Pono Waluyo.
Tapi Sriyadi tampak tak canggung. Tak ada rasa takut di mimik wajahnya. Biasa saja. "Paling-paling pertanyaannya itu-itu saja," katanya kepada FORUM. Memang, dia sudah sering memberikan kesaksian. Jadi dia sudah terlatih. Selain itu, dia juga tergolong salah satu terdakwa. Dia juga di penjara. Dituduh melakukan praktek korupsi.
Memang kala itu dia tampak biasa saja. Namun sebenarnya kekesalan menumpuk di dadanya. Sriyadi sempat menggerutu. "Saya ini sebagai apa, kok dituduh melakukan korupsi, padahal uangnya tak pernah saya nikmati," katanya. Tapi KPK sebagai penyidik dan penuntut seolah tak peduli keluhan laki-laki yang bekerja sebagai staf bagian perdata di MA itu.
Dia tetap saja didakwa dengan tuduhan yang sama. Dia dianggap melanggar Pasal 5 ayat (1) can (2) juncto Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 1 juncto Pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No. 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 clan juncto Pasal 53 KUHP.
Tuduhan itu juga yang ditujukan buat Harini Wijoso, Malem Pagi Sinuhaji, Pono Waluoyo, Sudi Ahmad dan Suhartoyo. Itulah yang disesalkan Sriyadi. Padahal dia cuma sempat memegang sebentar uang Probosutedjo itu. Itu pun setelah Malem Pagi yang menitipkan uang itu kepadanya. Karena sewaktu ingin pulang ke rumahnya di Bekasi, kebetulan hari itu dia menumpang dengan Malem. Nah, Malem meminta Sriyadi membawa uang Probo itu. Malamnya, petugas KPK langsung mencokoknya. "Harusnya saja ini cuma ikut membantu melakukan, bukan korupsi, kok disamakan," ceritanya kepada FORUM lagi.
Memang kisah Sriyadi itu salah satu kejanggalan dalam perkara ini. Enam orang yang dijadikan terdakwa, KPK menuntutnya dengan beleid yang sama. Mereka disetarakan melanggar tindak pidana korupsi. Padahal, bila dilihat lagi peran yang dimainkan antara sesama terdakwa itu tidaklah sama. Sriyadi sendiri mengaku tidak mengenal Harini. Tapi di mata KPK, ulahnya itu tak beda dengan yang dilakukan Harini dan Pono. Sejatinya, kedua orang inilah yang menjadi aktor utamanya.
Tak hanya itu. Satu hal yang belum terungkap adalah "kongkalikong" antara KPK dan Probosutedjo. Ini bisa dilihat dari tempos delicty merebaknya perkara ini.
Tanggal 29 September 2005. Hari itulah transaksi terjadi antara Probo dan Pono. Dengan disaksikan oleh Harini dan TriWidodo. Laki-laki inilah "tangan kanan" Probo. Siang itu, Probo langsung menyerahkan uang yang disiapkan dalam dua kardus. Di kardus pertama ada Rp 800 juta plus US$ 100 ribu. Kardus kedua memuat US$ 0 300 ribu. Pengakuan Probo, uang-uang itu sudah disiapkan khusus. Termasuk nomor serinya. Tujuannya agar uang itu langsung bisa dilacak. Mantan adik tiri mantan Presiden Soeharto itu juga menyebutkan bahwa uang yang berseri itu merupakan titah dari KPK.
Tapi jauh sebelumnya, tanggal 23 Juli 2005, Probo menemui KPK. Dia mengatakan menjadi korban pemerasan di MA. Karena banyaknya calo perkara yang menawarkan putusan kasasi MA tentang kasus dirinya itu. Laporan Probo ke KPK itu atas saran teman dekatnya, Sri Edi Swasono. Dia adalah guru besar ekonomi dari Universitas Indonesia.
Berarti, penyuapan yang dilakukannya itu atas dasar kehendak KPK. Probo hanya diperalat KPK untuk mendapat tangkapan besar. Pasalnya KPK menyadari bahwa tujuan yang disuap itu adalah majelis perkara kasasi Probo. Mereka adalah Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim. Jadi, dalam waktu dua bulan itulah Probo sengaja rnemancing para calo agar catang padanya.
Dengan begitu, berarti Probo mendapat tempat khusus bagi KPK. Karena dia melapor, maka diberikan perlindungan saksi. Alas haknya ada dalam Pasal 15 huruf a UU no. 30 tahun 2002 tentang KPK. Bunyinya, "Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi".
Lalu pantaskan Probo diberikan perlindungan saksi? Lihat tempos de/icty yang terjadi. Tanggal 29 September 2005. Sementara Probo melapor ke KPK dua bulan sebelumnya. Nah, ketika Probo melapor berarti tindak pidana belum terjadi. Sementara beleid itu menegaskan pelindungan saksi hanya diberikan kepada saksi atau pelapor yang memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana. Jadi jelaslah KPK memberikan standar ganda buat sang pengusaha itu.
Tak hanya itu. Terhadap perlindungan KPK kepada Probo agaknya tak hanya sekedar perlindungan saksi saja. Termasuk perlindungan untuk ditetapkan sebagai tersangka. Alias pelaku penyuapan. Padahal hal itu seharusnya tidak lazim dilakukan. Sebab, bila merujuk pada Penjelasan Pasal 15 huruf a UU KPK tadi, perlindungan yang boleh diberikan KPK adalah “pemberian jaminan keamanan dengan rneminta bantuan kepolisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum”.
Jadi sama sekali tak ada perlindungan untuk menghapuskan tindak pidana yang dilakukan oleh Probo.
Nah, dalam drama transaksi tadi, jelaslah peran Probo tak bisa dibilang kecil. Ketika dia menyerahkan uang kepada Pono, berarti Probo jelas melanggar Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Probo bisa cianggap menyuap pejabat negara. Karena Pono berstatus sebagai pegawai MA. Tapi, KPK sampai kini tak mengindahkan hal itu. Probo tetap dilindungi KPK. Tindak pidana yang dilakukannya, seolah dilupakan oleh lembaga pemberangus korupsi itu.
Konyolnya lagi, aksi-aksi selanjutnya KPK ternyata banyak melabrak aturan hukum. Itu terlihat ketika lembaga itu melakukan penggeledahan di MA. Penggeledahan itu dilakukan di tiga ruangan kerja. Yakni ruangan kerja Bagir, Parman dan Usman.
Walaupun sempat mendapat protes, tapi KPK tetapmelaju. Protes itu disebabkan KPK dianggap tidak mengindahkan aturan hukum. Ketika menggeledah, KPK sama sekali tidak membawa serta surat ijin dari Ketua Pengadilan Jakarta Pusat.Memang tindakan seperti itu, KPK juga berhak melakukannya. Alas haknya ada dalam pasal 47 UU KPK. Isinya, "Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. "
Nah, apakah KPK memiliki bukti permulaan yang cukup untuk menggeledah ruangan ketiga hakim agung tadi? Lihat saja hasil tangkapan KPK di malam tanggal 29 September 2005 lalu itu. KPK hanya mendapatkan uang ditangan Harini, Pono dan para pegawai MA lainnya. Uang itu masih utuh di tangan mereka semua. Tak satupun yang hinggap di tangan para hakim agung itu. Terutama Bagir. Berarti bukti KPK untuk menggeledah ruangan ketua MA, sama sekali tak dilengkapi dengan bukti permulaan yang cukup. Inilah kontroversinya.
Parahnya lagi, KPK ternyata sempat menyita adviesblaad ketiga hakim agung tadi. Padahal adviesblaad itu berupa pendapat hakim yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Selain hakim itu sendiri. Tapi KPK telah menyitanya.
Nah, ketika Harini dan Pono cs itu disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dari alat bukti yang disampaikan, penuntut dari KPK sama sekali tidak menyertakan hasil temuannya dalam penggeledahan di MA itu. Berarti penggeledahan oleh KPK itu tak menghasilkan apa-apa. Hanya menyisakan kontroversi kinerjanya sendiri.
Ironisnya, ketika majelis hakim Tipikor mengumumkan bahwa Bagir tak perlu dijadikan saksi, KPK juga sempat berceloteh. KPK meyayangkan sikap hakim tersebut. "Kita kecewa berat, karena sebetulnya ialah hak jaksa untuk menghadirkan alat bukti, termasuk saksi dipersidangan," kata Tumpak Hatorangan Panggabean, wakil ketua KPK.
Memang sah-saja Tumpak berceloteh demikian. Hanya, heran juga dia berpikiran demikian. Padahal ketika KPK menggeledah MA, tak menghasilkan apa-apa. "Memang lembaga ini tak profesional," kata Indra Sahnun Lubis, wakil ketua umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
2 comments:
Jadi kejadiannya seperti ini:
Saya tidak tahu persisnya kapan tapi pastinya lebih dari dua minggu dari kejadian tsb, Pak Probo didekati oleh kawannya yang menawarkan untuk menjebak orang-orang kehakiman yang korupsi.
Pak Probo yang memang sifatnya seperti itu mau saja. Dipanggil lah orang KPK. Lalu sepakat agar rumah Pak Probo disadap, dengan syarat KPK menjamin Pak Probo. Kejadian tersebut mengambil tempat di ruang tamu utama rumah. Biasanya Pak Probo menerima tamu2 khusus di ruangan itu. Alat sadap ada di kamar sebelah, saya sendiri kurang tahu sadap tersebut berupa apa tapi kabelnya kelihatan sekali, saya rasa orang2 itu sibuk lihat uang jadi tidak perhatikan kabel putih yang ujungnya mencuat diantara ukiran dan pas menghadap mereka.
Yah the rest as the say is history. Tapi saat Pak Probo ditahan KPK lepas tangan. Uang yang disita KPK pun tidak balik. Lucunya saat keluarga Pak Probo mau bayar 100 milyar tsb, MENHUT bingung mau setorkan kemana. Pakai acara minta cash lagi, hi hi hi. Saya kurang jelas, tapi memang sudah disetor ke rekening DEPHUT yang bersangkutan. Sedangkan uang 5 M yang disita KPK? tidak pernah balik, dan saya tidak tahu apakah dijanjikan balik atau tidak. Tapi di saat - saat terakhir saya dapat melihat bahwa Pak Probo tahu itu. Seperti biasa dia beranggapan sedikit gebrakan lebih berarti daripada tidak ada sama sekali. Paling tidak sempat buat heboh kan?
Boleh percaya, boleh tidak ;)
mas, boleh tau sumber datanya gak?
perlu buat tugas kuliahh,, thanksss...
Post a Comment