Monday, May 14, 2007

Misteri Suap Probosutedjo (Karya tulis Terbaik dalam ajang "Anugerah Adiwarta Sampoerna 2006" kategori feature sosial)

(majalah FORUM Keadilan edisi 02 Mei 2006)

Misteri Suap Probosutedjo

Kasus Probosutejdo adalah fakta fenomenal kasus suap menyuap di dunia peradilan. Bukti Mafia peradilan memang bergentayangan. Tapi cerita yang terjadi tak sepenuhnya terungkap. Banyak kejadian janggal yang masih menyisakan teka-teki. Terutama antara KPK dan Probosutedjo. Termasuk hubungan Bagir Manan dalam peristiwa itu. Kini, pe­ngadilan mencoba membuktikan. Sayang, tak semuanya bisa terungkap dengan benar.

Suap Membawa Petaka

September kelabu. Senandung sendu itu sangat cocok menggambarkan kondisi Mahkamah Agung. Di bulan itulah sebuah kasus fenomenal terbongkar. Baru pertama kali sejak bangsa ini berdiri, lima pegawai MA tertangkap tangan. Mereka berupaya melakukan penyuapan. Kelima laki-laki itu adalah Pono Waluyo (staf bagian kendaraan), Malem Pagi Sinuhadji (Kepala bagian kepegawaian MA), Sriyadi (staf bagian perdata), Suhartoyo (wakil sekre­taris korpri MA) dan Sudi Ahmad (staf wakil sekretaris Korpri MA).

Orang-orang itulah yang membuat berita. Mereka di­tangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di ke­diamannya masing-masing. Di tangan mereka disita sejumlah uang dari Probosutedjo. Adik tiri mantan Presiden Soeharto inilah yang sedang berperkara. Dia tengah meng­hadapi proses hukum. Kasus korupsi di Hutan Tanaman In­clustri (HTI). Probo merugikan keuangan negara senilai Rp 100,931 Miliar. Karena kasus itu, Probo divonis empat tahun di PN Jakarta Pusat. Tapi dia banding. Di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, vonisnya berkurang. Tinggal dua tahun kurung­an. Tapi, Probo tak mau menerima begitu saja. Dia mengaju­kan kasasi ke MA.

Nah, ketika di MA itulah dia berupaya agar bebas. Perka­ranya dperiksa oleh tiga orang hakim agung. Bagir Manan, Parman Sugarman can Usman Karim. Untuk mengurus per­kara itu, Probo menyewa seorang pengacara. Namanya Hari­ni Wijoso. Umurnya 68 tahun. Dia adalah mantan hakim ting­gi Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta. Wanita ini malam itu ikut ditangkap KPK. Juga di rumahnya. Keenam orang itulah yang membawa uang Probo. Jumlahnya Rp 5 Miliar.

Mulanya, mereka mengaku bisa bisa mengurus perkara Probo. Tentunya agar perkara kasasinya itu bisa bebas. Nah, inisiatif pertama datang dari Harini.

Selaku pengacara, dia pun sigap mengadvokasi kliennya. Sejak menerima kuasa dari Probo, dia pun mondar mandir di gedung MA. Tapi bukan untuk bersidang. Melainkan mencari "jalan" agar bisa menyuap para hakim agung itu. Sasaran yang paling utama adalah Bagir Manan. Ketua MA inilah yang paling sulit ditaklukan. Sayangnya, Harini tak berhasil.

Tapi wanita itu tak mau mengecewakan kliennya. Ternyata usahanya tak sia-sia. Tanggal 27 September 2005, dia pun ketemu Pono Waluyo. Kedua orang itu berjumpa di parkir ba­rat MA. Tanpa basa-basi, Harini langsung mengutarakan niat­nya. Tentu untuk mencari jalan agar bisa menyuap sang Ke­tua MA, Bagir Manan. Pono yang cuma staf bagian kendaraan itu langsung menyanggupinya. Tapi ketika di sidang Pengadil­an Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pono membantah. Menurut versinya, waktu ketemu Harini, dia tak langsung menyang­gupi. Tapi karena kebetulan waktu itu melintas Sudi Ahmad dan Suhartoyo. Pono pun menceritakan niat Harini pada Sudi. Laki-laki ini langsung menyanggupinya. Sejak itulah kesepakatan terbangun.

Harini pun pulang. Tapi ketiga pegawai MA itu langsung menggelar rapat. Mereka bertemu di ruangan Sudi. Bincang-­bincang pun terjadi. Pelakunya Pono, Sudi dan Suhartoyo. Nah, kala itulah Sudi, menurut Pono, bisa meyakinkan bakal mulus. Mereka pun langsung bagi tugas. Pono menjadi peng­hubung dengan Harini. Sedangkan Sudi mengurusi "jalan" untuk ke Bagir.

Dua hari berselang, Pono mulai bekerja. Pagi-pagi, dia me­ngontak Harini. Pegawai MA itu memberi kabar gembira. Ka­tanya, putusan Probo segera keluar. Dan bakal dikirimkan ke PN Jakarta Pusat. Tapi, untuk tahu hasilnya, Pono meminta agar uang sogok segera dibayarkan. Harini sempat ragu. Pikir­annya antara percaya dan tidak. Tapi dia langsung minta kete­mu.

Mobilnya pun langsung diarahkan ke gedung MA di J1. Medan Merdeka Utara, Jakarta. Sampai di sana. Harini tak lang­sung masuk. Dia meminta ketemu keluar gedung. Keduanya kemudian berjalan ke areal parkir Bank Rakyat Indonesia yang tak jauh dari MA. Di sana, Harini sempat ragu. "Saya tak berani sebelum melihat isi putusannya," katanya. Tapi Pono tak menyerah. Dia tetap mendesak agar uang sogok dibayar­kan.

Tanpa mau ambil pusing, Harini langsung membawa Pono ke Gedung Kedaung di JI.Diponegoro, Menteng, Jakarta. Di sinilah Probo sehari-hari berkantor. Harini ingin mempertemu­kan Pono dengan Probo. Tentunya untuk memuluskan per­mintaan Pono tadi.

Sampai di sana, Harini memperkenalkan Pono pada Tri Wi­dodo. Dia acalah "tangan kanan" Probo. Tri langsung me­nyampaikannya ke "bosnya" itu. Probo pun keluar. Pono dite­muinya. Percakapan pun terjadi. Mulanya, Probo sempat menanyakan apakah Pono utusan Bagir. Pono membenarkan. "Betul besok putusan bakal dikirimkan?" tanya Probo lagi. Pono juga mengiyakan. Tapi dia langsung ke pokok persoal­an. Pono mengaku menyampaikan pesan dari Bagir. Pono berdalih Ketua MA itu meminta uang sebesar Rp 5 Miliar.

Mendengar itu, Probo memang sempat ragu. Tapi dia tak membantah titah Pono itu. Uang yang diminta langsung di­sanggupinya. Tapi Probo minta diberi tenggang waktu. Tentu­nya buat mengumpulkan uang sebanyak itu. Probo minta sampai jam 12 siang.

Pono pun kembali ke MA. Dia diantar Harini. Nah, jam 12.30 WIB, Tri mengontak Harini. Pesannya bahwa uangnya sudah disiapkan. Tri minta agar Pono segera datang lagi.

Titah itu pun diikuti. Pono sumringah ketika tiba di rumah Probo itu. Uang yang dimintanya ternyata sudah disiapkan dalam dua kardus. Di kardus pertama ada Rp 800 juta plus US$ 100 ribu. Kardus kedua berisikan uang senilai US$ 300 ribu.

Tanpa banyak menunggu, uang itu pun diboyong Pono. Dia membawanya ke sekretariat Korpri di MA. Tapi sebelum itu, Probo berpesan agar fotocopi putusan diserahkan padanya siang itu juga. Pono tak membantah. Dia berjanji bakal me­nyanggupinya.

Di MA, ternyata Sudi telah menanti. Selama Pono bekerja, Sudi juga sudah menyiapkan tim. Dia merekrut Malem Pagi, Sriyadi, dan Suhartoyo. Ketiga orang itu juga telah memiliki tugas masing-masing.

Sampai di MA, Pono langsung memanggil Sudi. Lalu uang itu pun diboyong ke ruangan Sudi. Di sana, uang itu dibagi­-bagi. Tapi hanya untuk kardus yang berisikan Rp.800 juta dan US$ 300 itu. Sudi memberi mereka masing-masing se­besar Rp. 1,25 Miliar. Uang itu sebagai tanda awal mulai bekerja. Oleh mereka. uang itu kemudian dibawa pulang ke ru­mah. Sudi juga demikian.

Nah, untuk kardus satu lagi, ceritanya juga berbeda. Yang ini dibawa Pono sendiri. Tapi sebelum itu, Harini menagih pu­tusan yang bakal diberikan. Ternyata Sudi telah menyiapkan­nya. Putusan itu diserahkan siang itu juga. Pono dan Harini langsung yang memberikan kepada Probo. Penyerahannya sekitar jam 15.00 WIB siang. Transaksi selesai. Pono pun berniat kembali ke MA. Harini pulang ke rumahnya.

Tapi, di perjalanan sampai di Tugu Tani, Harini ternyata ter­jebak macet. Saat itulah Pono menghubunginya. Pono me­minta agar dia diantarkan pulang ke rumahnya di Bekasi. Alasannya karena dia membawa uang dalam jumlah banyak. Harini menyanggupi. Mobilnya pun berbalik arah. Kembali ke MA.

Harini pun tak jadi pulang. Dia lebih dulu mengantarkan Pono. Di tengah perjalanan, Pono menyuruh Harini mengam­bil bagian. Besarnya senilai US$ 50 ribu. Tujuannya untuk ditukarkan ke rupiah.

Ternyata Harini mengiyakan. Uang itu pun dibawanya pu­lang ke rumahnya juga. Ternyata uang itulah yang membawa­nya sial. Malam hari, di rumahnya dia kedatangan tamu tak diundang. Rumahnya di bilangan Cipete, Jakarta Selatan di­ketuk malam-malam. Suara ketukan itulah yang memba­ngunkan Harini. Mulanya, memang bukan dia yang membu­kakan pintu, melainkan pembantunya. Sang pembantu me­nyanyakan maksud kedatangan tamu larut malam itu. Tapi sang tamu langsung menjelaskan identitasnya. "Saya dari KPK ingin bertemu dengan lbu Harini," kata itulah yang kelu­ar dari mulut tamu itu.

Benar saja, ternyata malam itu penyidik KPK langsung datang mencokok Harini. Nah, pembicaraan antara pembantu dan petugas KPK itu ternyata membangunkan Harini. Dia langsung terjaga dari ticurnya. "Siapa?" teriak Harini dari kamarnya. Suara itulah yang membuat penyidik KPK yakin Ha­rini ada di rumah. Padahal sebelumnya sang pembantu me­nyuruh penyidik KPK itu untuk pergi.

Karena suara itu, penyidik yang terdiri dari empat orang ter­sebut langsung menghampiri Harini. Mereka menunjukkan Su­rat penangkapan. Tuduhannya, Harini telah melakukan upaya penyuapan dan tindak pidana korupsi.

Tapi Harini tak langsung mengaku. Dia sempat memban­tah. Hampir dua jam saling bantah pun terjadi. Harini bersike­ras tak mau dibawa ke KPK. Tujuannya tentu saja untuk disi­dik. Tapi, kemudian Harini menyerah. Dia rela diboyong malam itu juga.

Mulanya, nama Harini bisa ketahuan KPK karena nyanyian Pono. Dia lebih dulu ditangkap. Penyidik KPK langsung me­minta penjelasan Pono tentang aliran uang Probo itu. Pono pun menceritakan.

Dari Pono lah keluar nama Harini dan empat orang rekan sejawatnya itu. Mereka diciduk satu demi satu malam itu ju­ga. KPK ternyata juga langsung menyiapkan Surat penangkap­an secara resmi.

Sejak itulah MA menjadi gempar. Tragedi penyuapan di per­adilan terbesar berhasil dibongkar. Bahkan nama Bagir dise­but-sebut. Inilah yang kemudian membuat badai serangan tak henti-hentinya menerpa MA.

Terbukti memang. Sepekan berselang, KPK tak berhenti bertindak. Lembaga negara khusus menangani korupsi itu langsung bertindak sigap. Mereka mencoba mengembang­kan tersangka. Terutama keterlibatan para hakim agung dan Ketua MA. Gebrakan pun dilakukan. MA digeledah oleh KPK. Termasuk ruangan tiga orang hakim agung itu. Tak hanya itu. KPK juga memeriksa Bagir, Usman dan Parman. Tentu untuk membuktikan keterlibatan mereka dalam suap menyuap itu.

Sayangnya, ketika melakukan penggeledahan di MA, KPK tak banyak mengindahkan aturan hukum. Begitu juga ketika memeriksa Bagir. Karena posisinya sebagai petinggi yudikatif, KPK melupakan satu hal. Bagir mesti diperiksa di luar orang biasa. Pendapat itu setidaknya muncul dari Mayasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. Dia menjelaskan bahwa pemerik­saan yang dilakukan terhadap seorang Ketua MA, tak boleh sama dengan orang biasa. "Karena dia memiliki tanggung­jawab yang berbeda juga," demikian argumennya.

Tapi KPK seolah tak peduli. Dalam penggeledahan, KPKju­ga sempat menyita adviesblaad. Ini adalah pendapat hukum para hakim agung tentang perkara Probo itu. Sejatinya, pen­dapat hukum itu adalah rahasia negara. Dia tidak boleh dike­tahui siapapun selain hakim itu sendiri. Jadi sebelum putusan dibacakan, adviesblaad sama sekali tak boleh diketahui sia­papun. Sayangnya, KPK seolah tak peduli. Demi memberan­tas korupsi, mereka tetap menyita pendapat hukum itu.

Nah, ketika adviesblaad disita, Bagir pun bertindak. Dia langsung mengganti majelis yang memeriksa perkara Probo. Sebagai Ketua MA, Bagir membentuk majelis baru. Susunan­nya adalah Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, Harifin A Tumpa, Rehngena Purba, dan Aca Sonjaja. Mereka inilah yang kemu­dian memeriksa kasasi kasus Probo itu.

Sebulan sejak pergantian, ternyata majelis ini bekerja ce­pat. Putusan langsung dibacakan. Majelis yang baru itu me­nyatakan kasasi Probo ditolak. Berarti hukuman Probo tetap empat tahun penjara.

Putusan ini langsung dieksekusi kejaksaan. Probo pun ma­suk bui. Kini dia ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Su­kamiskin, Bandung. Memang akhirnya sang penyuap dipen­jara. Tapi dia dihukum bukan karena ulahnya memberi uang kepada Pono dan Harini. Untuk kasus itu, agaknya Probo tak tersentuh. Dia sama sekali tak disalahkan. Padahal bila dili­hat secara pidana, unsur-unsur pelaku penyuapan sudah terpenuhi dari tingkah Probo.

Beda dengan Harini dan lima orang pegawai MA itu. Kini mereka tengah diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jerat hukum yang di tujukan agaknya tlk mampu melepaskan mereka dari bui.

Sementara itu, bagi Bagir memang dia sama sekali tak ter­bukti. Tapi citranya sebagai Ketua MA tak secemerlang sebe­lumnya. Pasalnya serangan bertubi-tubi terus menderanya hingga kini. Bahkan, gara-gara ulah penyuapan itu, dia dan lembaganya mesti berseteru dengan Komisi Yudisial (KY). Lembaga ini sengaja dibentuk untuk mengawasi dan menjaga martabat hakim. Tapi, merebaknya kasus suap menyuap itu membuat mereka juga jatuh hati untuk memeriksa Bagir dan dua hakim agung lainnya. Hanya Bagir urung datang. Setelah dipanggil tiga kali pun, laki-laki asal Lampung itu tetap enggan melangkahkan kakinya ke gedung KY. Puncaknya, kedua lem­baga penegak hukum itu sempat bersitegang sampai ke Ma­bes Polri. Terbukti dengan adanya saling lapor antara hakim agung dan anggota KY. Kini, keduanya juga masih berseteru. Tempatnya di Mahkamah Konstutusi. Di sana, para hakim agung meminta UU KY diuji materil. Tentunya agar KY tak lagi bisa mengawasi hakim agung.

Yang pasti, kejadian ini bukan sebuah peristiwa biasa. Hal ini merupakan sejarah dalam dunia hukum kita. Hanya, ter­nyata tak sedikit aparat hukum yang tak siap menghadapinya. Jadi jangan harap rechstaat yang didambakan bisa terwujud dalam sekejap.



DIMANAKAH POSISI BAGIR MANAN?

Hakim menyatakan Bagir tak pantas dijadikan saksi. Tapi jaksa sangat ngotot. KPK juga kecewa. Benarkah Ketua Mahkamah Agung itu terilbat?

Harapan Khaidir Ramli seolah pupus sudah. Karirnya sebagai jaksa bisa dibilang tak begitu berhasil. Mula­nya, ketika kasus Harini dan lima pegawai Mahka­mah Agung ditanganinya, dia terlihat begitu sumringah. Pikir­nya, perkara ini bisa sedikit melambungkan namanya. Yang membuat mencuat itu tak lain karena ada tersangkuat Ketua MA, Bagir Manan.

Sebagai penuntut, dia pun berupaya membuktikan kesa­lahan dari para terdakwa itu. Daftar saksi-saksi juga telah di­siapkan. Termasuk Bagir Manan juga. Ketika persidangan memasuki pemeriksaan saksi-saksi, Khaidir pun langsung tancap gas. Berondongan pertanyaan kepada para terdakwa dan orang-orang yang menjadi saksi, diarahkan langsung ke Bagir. Dia seolah-olah ingin mencari benang merah keterli­batan Bagir dalam perkara ini. Sayangnya, upayanya itu sia­-sia. Pasalnya dari enam orang terdakwa, tak satupun yang menyebutkan Bagir ikut memiliki peran. Hanya Harini saja. Itupun dia hanya mengatakan pernah bertemu Bagir waktu pamitan sebagai hakim Tinggi. Tapi tak ada hubungannya de­ngan perkara yang tengah diurusnya itu.

Tapi Ramli seolah tak mau menyerah. Begitu juga dengan rekannya, Suharto. Laki-laki ini juga gencar mengarahkan pertanyaan buat saksi dan terdakwa hanya agar "kata" Bagir bisa terucap dari mulut mereka. Karena bila sudah terucap, maka dia berhak mendudukkan Ketua MA itu sebagai saksi.

Namanya pun akan semakin membumbung tinggi. Sayang­nya upaya itu gagal. Rabu pekan lalu, Ketua majelis hakim, Kresna Menon, menyatakan Bagir tak perlu dijadikan saksi. Alas hak yang di­pakai "wakil Tuhan" itu ada dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1985 tentang seleksi terhadap saksi-sak­si yang diperintahkan untuk hadir di persidangan. Hakim me­nilai kesaksian Bagir sama sekali tak diperlukan. Tak ada re­levansinya dengan perkara ini. Nah jika begitu, bila merujuk pada SEMA itu maka jika saksi tak dibatasi, bisa menimbul­kan pemborosan. Tidak sesuai pula dengan asas peradilan sederhana, cepat dan berbiaya ringan.

Itulah sikap tegas hakim di persidangan. Sayang, ulah itu banyak diprotes kalangan di luar persidangan. Salah satunya dari Denny Indrayana. Laki-laki yang gencar memberikan kri­tikan terhadap MA ini menilai SEMA yang dijadikan rujukan itu tak lebih tinggi dari undang-undang. Bila merujuk pada KUHAP, katanya, maka Bagir tak bisa disalahkan untuk dija­dikan saksi. Aturan itu ada dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. Isinya, "Dalam hal ada saksi baik yang menguntung­kan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam Surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasehat hukum atau penuntut umum sela­ma berlangsung sidang aatu sebelum dijatuhkannya putu­san, hakim ketua sidang wajib mendengar kesaksian tersebut. "

Bila merujuk beleid itu, maka Bagir memang sah-sah saja dijadikan saksi. Lalu seperti apa kualifikasi orang yang bisa dijadikan saksi? Pasal 1 ayat (26) KUHAP menjawabnya. Isinya, "saksi adalah orang yang dapat memberikan kete­rangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan per­adilan tentang suatu perkara pidana yang is dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri".

Berarti ada tiga unsur yang harus terpenuhi bila seseorang, tergolong sebagai saksi. Unsur itu yakni, melihat, mende­ngar dan mengetahui. Nah, apakah posisi Bagir termasuk kategori tersebut? Benarkah Bagir mengetahui, melihat dan mendengar terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh Ha­rini dan lima orang pegawai MA itu?

Untuk menjawab hal itu maka perlu dilihat dulu posisi ka­susnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan terhadap enam orang. Selain lima orang pegawai MA itu, sa­tu orang lagi adalah Harini Wijoso. Harini adalah hakim ting­gi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pengacara Probosutedjo untuk kasus da­na reboisasi. Harini kemudian mempraktekkan cara beraca­ra yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis ha­kim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Ma­nan.

Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya un­tuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesaikannya sendirian. Diri­nya mental. Terbukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bu­lan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya telah membunyikannya ke­pada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.

Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi ke­inginan Harini. Pono menurunkan 'order' itu ke beberapa re­kannya di MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengon­tak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono me­minta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiap­kan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kar­dus. Satu kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ternyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sempat memba­wa uang, itu ke rumahnya.

Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-ma­sing. Sewaktu ditangkap, Pono ternyata masih menyimpan uang itu. Begitu juga dengan Harini. Berarti enam orang ter­sebut terbukti telah tertangkap tangan. Berclasarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menciduk me­reka tanpa surat perintah.

Kasus pun berkembang. Setelah melakukan penangka­pan, KPK tentunya memiliki bukti awal. Yakni berupa uang yang di tangan Pono dan Harini. Lalu kasus dikembangkan dengan meminta keterangan dari yang tertangkap. Dari sini­lah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang ter­libat dalam tindak pidana itu.

Dari keterangan Pono, disebutkan bahwa dirinya mengakui meminta uang kepada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mulut Harini. Pengacara itulah yang membawa Pono menemui Probo. Dia melakukannya karena Pono mengucap­kan bahwa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.
Lalu dilihat pula dari keterangan Probosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Probo memang memberi uang kepada Pono.

Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki­-laki itu memang suruhan Bagir. Namun, walaupun belum ser­atus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlahnya sangat besar.

Lalu dari serangkaian peristiwa itu, dimanakah posisi Ba­gir? Apakah ia tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap menyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari keterangan orang-orang yang telah memberikan kesaksian­nya.

Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku ti­dak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang merasa pernah ber­temu dengan Ketua MA itu.
Setali tiga uang dengan Harini. Pengacara ini hanya berha­sil ketemu Bagir ketika pamitan untuk meninggalkan dunia hakim. Tapi semenjak menerima uang Probo, dirinya juga tak lagi bertemu dengan Bagir.

Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presi­den Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan de­ngan Bagir. Sama sekali belum bertemu atau melakukan hu­bungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membukti­kan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Be­lum satu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum menerima sesuatu apapun.

Nah, ketika Probo diperdengarkan kesaksiannya dua pe­kan Ialu, tak satupun kalimat darinya yang mengatakan bah­wa dia pernah bertemu Bagir. Probo juga tak pernah berhu­bungan dengan Bagir. Pengakuannya, dia langsung yakin ke­tika Pono datang mengatasnamakan utusan dari Ketua MA.

Dan, cuma Harini-lah yang pernah menyebut kata Bagir da­ri mulutnya. Di tengah sidang, Harini berucap bahwa dia per­nah ketemu Bagir. Tapi pertemuan itu, kata Harini, hanya pa­mitan karena dirinya telah pensiun sebagai hakim tinggi di Yogyakarta. Nah, disela-sela pamitan itulah Harini sempat mengatakan bahwa Probo itu adalah saudaranya. Maksud Harini agar Bagir sebagai ketua majelis perkara Probo itu mau sedikit membantu. Tapi Harini kaget. Ekspresi wajah Bagir tampak marah. "Mukanya masam dan kecut," katanya di persidangan. Ketika itu, Bagir juga cuma berujar pendek. "Kita lihat nanti sajalah." Hanya itu.

Nah, kalimat itulah yang dijadikan jaksa untuk menghadir­kan Bagir sebagai saksi. Padahal, dalam serangkaian peris­tiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak mengambil peran. Diri­nya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. Dengan posisi seperti itu, berarti Bagir bukan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sama sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu kok jaksa tetap ngotot untuk melakukan pemeriksaan terhadap Bagir? Entah untuk motif apa. Yang pasti, mencuatnya kasus ini sempat menjadi sorotan seluruh pers di tanah air. Bila jaksa berhasil menghadirkan Bagir, bisa jadi namanya akan dicatat di setiap lembaran koran-koran. Inilah bukti substansi pene­gakan hukum bisa luntur hanya karena ingin nampang di Koran.



Antara KPK dan Probosutedjo

KPK dianggap berhasil membongkar kasus suap di tubuh Mahkamah Agung. Padahal banyak melakukan pelanggaran hukum.

Sriyadi tampak tenang. Laki-laki ini duduk santai di luar ruang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di ge­dung Upindo, Jakarta, dua pekan lalu. Penampilannya tak seperti terdakwa korupsi. Pakaiannya juga tak necis. Ba­dannya cuma dibalut kemeja dan jeans seadanya. Siang itu, dia bakal memberikan kesaksian. Khusus untuk terdakwa Pono Waluyo.

Tapi Sriyadi tampak tak canggung. Tak ada rasa takut di mi­mik wajahnya. Biasa saja. "Paling-paling pertanyaannya itu-itu saja," katanya kepada FORUM. Memang, dia sudah sering memberikan kesaksian. Jadi dia sudah terlatih. Selain itu, dia juga tergolong salah satu terdakwa. Dia juga di penjara. Ditu­duh melakukan praktek korupsi.

Memang kala itu dia tampak biasa saja. Namun sebenarnya kekesalan menumpuk di dadanya. Sriyadi sempat menggeru­tu. "Saya ini sebagai apa, kok dituduh melakukan korupsi, pa­dahal uangnya tak pernah saya nikmati," katanya. Tapi KPK sebagai penyidik dan penuntut seolah tak peduli keluhan laki-laki yang bekerja sebagai staf bagian perdata di MA itu.

Dia tetap saja didakwa dengan tuduhan yang sama. Dia di­anggap melanggar Pasal 5 ayat (1) can (2) juncto Pasal 6 ayat (1) huruf a juncto Pasal 1 juncto Pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 juncto UU No. 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 clan junc­to Pasal 53 KUHP.

Tuduhan itu juga yang ditujukan buat Harini Wijoso, Malem Pagi Sinuhaji, Pono Waluoyo, Sudi Ahmad dan Suhartoyo. Itu­lah yang disesalkan Sriyadi. Padahal dia cuma sempat meme­gang sebentar uang Probosutedjo itu. Itu pun setelah Malem Pagi yang menitipkan uang itu kepadanya. Karena sewaktu ingin pulang ke rumahnya di Bekasi, kebetulan hari itu dia me­numpang dengan Malem. Nah, Malem meminta Sriyadi mem­bawa uang Probo itu. Malamnya, petugas KPK langsung men­cokoknya. "Harusnya saja ini cuma ikut membantu melaku­kan, bukan korupsi, kok disamakan," ceritanya kepada FORUM lagi.

Memang kisah Sriyadi itu salah satu kejanggalan dalam per­kara ini. Enam orang yang dijadikan terdakwa, KPK menuntut­nya dengan beleid yang sama. Mereka disetarakan melanggar tindak pidana korupsi. Padahal, bila dilihat lagi peran yang di­mainkan antara sesama terdakwa itu tidaklah sama. Sriyadi sendiri mengaku tidak mengenal Harini. Tapi di mata KPK, ulahnya itu tak beda dengan yang dilakukan Harini dan Pono. Sejatinya, kedua orang inilah yang menjadi aktor utamanya.

Tak hanya itu. Satu hal yang belum terungkap adalah "kong­kalikong" antara KPK dan Probosutedjo. Ini bisa dilihat dari tempos delicty merebaknya perkara ini.

Tanggal 29 September 2005. Hari itulah transaksi terjadi antara Probo dan Pono. Dengan disaksikan oleh Harini dan TriWidodo. Laki-laki inilah "tangan ka­nan" Probo. Siang itu, Probo lang­sung menyerahkan uang yang disiap­kan dalam dua kardus. Di kardus per­tama ada Rp 800 juta plus US$ 100 ribu. Kardus kedua memuat US$ 0 300 ribu. Pengakuan Probo, uang­-uang itu sudah disiapkan khusus. Termasuk nomor serinya. Tujuannya agar uang itu langsung bisa dilacak. Mantan adik tiri mantan Presiden Soeharto itu juga menyebutkan bah­wa uang yang berseri itu merupakan titah dari KPK.

Tapi jauh sebelumnya, tanggal 23 Juli 2005, Probo menemui KPK. Dia mengatakan menjadi korban peme­rasan di MA. Karena banyaknya calo perkara yang menawarkan putusan kasasi MA tentang kasus dirinya itu. Laporan Probo ke KPK itu atas saran teman dekatnya, Sri Edi Swasono. Dia adalah guru besar ekonomi dari Universitas Indonesia.

Berarti, penyuapan yang dilakukannya itu atas dasar kehen­dak KPK. Probo hanya diperalat KPK untuk mendapat tangka­pan besar. Pasalnya KPK menyadari bahwa tujuan yang disuap itu adalah majelis perkara kasasi Probo. Mereka adalah Bagir Manan, Parman Suparman dan Usman Karim. Jadi, dalam waktu dua bulan itulah Probo sengaja rnemancing para calo agar catang padanya.

Dengan begitu, berarti Probo mendapat tempat khusus bagi KPK. Karena dia melapor, maka diberikan perlindungan saksi. Alas haknya ada dalam Pasal 15 huruf a UU no. 30 tahun 2002 tentang KPK. Bunyinya, "Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban : a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberi­kan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi".

Lalu pantaskan Probo diberikan perlindungan saksi? Lihat tempos de/icty yang terjadi. Tanggal 29 September 2005. Se­mentara Probo melapor ke KPK dua bulan sebelumnya. Nah, ketika Probo melapor berarti tindak pidana belum terjadi. Se­mentara beleid itu menegaskan pelindungan saksi hanya dibe­rikan kepada saksi atau pelapor yang memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana. Jadi jelaslah KPK mem­berikan standar ganda buat sang pengusaha itu.

Tak hanya itu. Terhadap perlindungan KPK kepada Probo agaknya tak hanya sekedar perlindungan saksi saja. Termasuk perlindungan untuk ditetapkan sebagai tersangka. Alias pela­ku penyuapan. Padahal hal itu seharusnya tidak lazim dilaku­kan. Sebab, bila merujuk pada Penjelasan Pasal 15 huruf a UU KPK tadi, perlindungan yang boleh diberikan KPK adalah “pemberian jaminan keamanan dengan rneminta bantuan ke­polisian atau penggantian identitas pelapor atau melakukan evakuasi termasuk perlindungan hukum”.

Jadi sama sekali tak ada perlindungan untuk menghapuskan tindak pidana yang dilakukan oleh Probo.

Nah, dalam drama transaksi tadi, jelaslah peran Probo tak bisa dibilang kecil. Ketika dia menyerahkan uang kepada Pono, berarti Probo jelas melanggar Pasal 5 UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas un­dang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Probo bisa cianggap menyu­ap pejabat negara. Karena Pono ber­status sebagai pegawai MA. Tapi, KPK sampai kini tak mengindahkan hal itu. Probo tetap dilindungi KPK. Tindak pidana yang dilakukannya, se­olah dilupakan oleh lembaga pem­berangus korupsi itu.
Konyolnya lagi, aksi-aksi selanjutnya KPK ternyata banyak melabrak aturan hukum. Itu terlihat ketika lembaga itu melakukan penggeledahan di MA. Penggeledahan itu dilakukan di tiga ru­angan kerja. Yakni ruangan kerja Bagir, Parman dan Usman.

Walaupun sempat mendapat protes, tapi KPK tetapmelaju. Protes itu disebabkan KPK dianggap tidak mengindahkan aturan hukum. Ketika menggeledah, KPK sama sekali tidak membawa serta surat ijin dari Ketua Pengadilan Jakarta Pusat.Memang tindakan seperti itu, KPK juga berhak melakukannya. Alas haknya ada dalam pasal 47 UU KPK. Isinya, "Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pen­gadilan Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya. "

Nah, apakah KPK memiliki bukti permulaan yang cukup un­tuk menggeledah ruangan ketiga hakim agung tadi? Lihat saja hasil tangkapan KPK di malam tanggal 29 September 2005 lalu itu. KPK hanya mendapatkan uang ditangan Harini, Pono dan para pegawai MA lainnya. Uang itu masih utuh di tangan mereka semua. Tak satupun yang hinggap di tangan para ha­kim agung itu. Terutama Bagir. Berarti bukti KPK untuk meng­geledah ruangan ketua MA, sama sekali tak dilengkapi dengan bukti permulaan yang cukup. Inilah kontroversinya.

Parahnya lagi, KPK ternyata sempat menyita adviesblaad ketiga hakim agung tadi. Padahal adviesblaad itu berupa pen­dapat hakim yang tidak boleh diketahui oleh siapapun. Selain hakim itu sendiri. Tapi KPK telah menyitanya.

Nah, ketika Harini dan Pono cs itu disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dari alat bukti yang disampaikan, pe­nuntut dari KPK sama sekali tidak menyertakan hasil temuan­nya dalam penggeledahan di MA itu. Berarti penggeledahan oleh KPK itu tak menghasilkan apa-apa. Hanya menyisakan kontroversi kinerjanya sendiri.

Ironisnya, ketika majelis hakim Tipikor mengumumkan bah­wa Bagir tak perlu dijadikan saksi, KPK juga sempat berce­loteh. KPK meyayangkan sikap hakim tersebut. "Kita kecewa berat, karena sebetulnya ialah hak jaksa untuk menghadirkan alat bukti, termasuk saksi dipersidangan," kata Tumpak Hato­rangan Panggabean, wakil ketua KPK.

Memang sah-saja Tumpak berceloteh demikian. Hanya, heran juga dia berpikiran demikian. Padahal ketika KPK mengge­ledah MA, tak menghasilkan apa-apa. "Memang lembaga ini tak profesional," kata Indra Sahnun Lubis, wakil ketua umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

2 comments:

Anonymous said...

Jadi kejadiannya seperti ini:
Saya tidak tahu persisnya kapan tapi pastinya lebih dari dua minggu dari kejadian tsb, Pak Probo didekati oleh kawannya yang menawarkan untuk menjebak orang-orang kehakiman yang korupsi.

Pak Probo yang memang sifatnya seperti itu mau saja. Dipanggil lah orang KPK. Lalu sepakat agar rumah Pak Probo disadap, dengan syarat KPK menjamin Pak Probo. Kejadian tersebut mengambil tempat di ruang tamu utama rumah. Biasanya Pak Probo menerima tamu2 khusus di ruangan itu. Alat sadap ada di kamar sebelah, saya sendiri kurang tahu sadap tersebut berupa apa tapi kabelnya kelihatan sekali, saya rasa orang2 itu sibuk lihat uang jadi tidak perhatikan kabel putih yang ujungnya mencuat diantara ukiran dan pas menghadap mereka.

Yah the rest as the say is history. Tapi saat Pak Probo ditahan KPK lepas tangan. Uang yang disita KPK pun tidak balik. Lucunya saat keluarga Pak Probo mau bayar 100 milyar tsb, MENHUT bingung mau setorkan kemana. Pakai acara minta cash lagi, hi hi hi. Saya kurang jelas, tapi memang sudah disetor ke rekening DEPHUT yang bersangkutan. Sedangkan uang 5 M yang disita KPK? tidak pernah balik, dan saya tidak tahu apakah dijanjikan balik atau tidak. Tapi di saat - saat terakhir saya dapat melihat bahwa Pak Probo tahu itu. Seperti biasa dia beranggapan sedikit gebrakan lebih berarti daripada tidak ada sama sekali. Paling tidak sempat buat heboh kan?

Boleh percaya, boleh tidak ;)

Anonymous said...

mas, boleh tau sumber datanya gak?
perlu buat tugas kuliahh,, thanksss...