Monday, May 14, 2007

Wawancara Khusus Bagir Manan

Prof, Dr. Bagir Manan, SH, MCL,
Ketua Mahkamah Agung RI

“Saya Dihakimi oleh Pers”

Tahun 2005 ini, sejarah baru tertorehkan di repub­lik ini. Untuk pertama kalinya, Ketua Mahka­mah Agung di periksa atas perbuatannya. Peme­riksaan itulah yang sempat membuat heboh. Bukan saja di MA. Tapi juga seantero negeri ini. Bukan apa-apa, pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu masih menimbulkan perde­batan. Pasalnya yang diperiksa adalah seorang Ketua MA. Pemimpin tertinggi di lembaga yudikatif Secara ketatane­garaan, posisinya tak beda dengan Presiden dan Ketua DPR.

Kala itulah nama. Bagir Manan terus menjadi sorotan. Karena dia menolak untuk menghadiri panggilan pemeriksaan. Penolakan itu sempat menuai kecaman. Padahal, katanya, dia hanya mempertahankan marta­bat MA. Karena KPK memang bu­kanlah lembaga yang sederajat MA. Terlebih lagi, pemeriksaan itu karena adanya isu suap yang sempat menghampiri dirinya. Kasus suap perkara Probosu­tedjo yang melibatkan 5 orang pegawai MA. Nama Bagir pun disebut-sebut. Karena dia ada­lah ketua majelis hakim agung yang memeriksa perkara Probo.
Nah, sejak itulah nama Ba­gir tak henti-hentinya meng­hiasi mass media. Ta­pi, kesannya cenderung negatif. "Pers seolah telah menyata­kan bahwa saya meneri­ma suap itu," ujarnya menge1uh. Padahal fakta hukumnya tak ada satupun yang membuk­tikan Bagir terlibat. Tapi, kini dirinya merasa telah dicemari. Dia merasa terkena trial by the masalah itu. Hal itu diutarakan sepenuhnya kepada Irawan Santoso dari FORUM. Padahal, di jam itu Bagir juga menerima panggilan dari Komisi Yudisial untuk kedua kalinya. Komisi Yudisial berniat memeriksanya. Sekaligus menggelontorkan beberapa pertanyaan kepada Bagir seputar dirinya selaku hakim agung perkara Probo. Tapi Bagir menolak hal itu. Dirinya lebih memilih menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan FORUM. Berikut petikannya.


Saya memiliki tiga kebiasaan, yakni saya selalu menerima wartawan, dan menolak wartawan kalau sedang sibuk, Kedua, menerima maha­siswa bimbingan saya. Ketiga, menerima hakim-­hakim, baik hakim yang pensiun atau pun mantan hakim. Mayoritas hakim pensiun.

Secara hukum ketatanegaraan, bagaimana sebenarnya posisi Mah kamah Agung?
Ada dua aspek yang harus kita pahami ketika kita bicara tentang sistem hukum dan penegakan hukum. Pertama, tentang sistem hukum. Sistem hukum itu komponennya banyak, meliputi pendidikan hukum, profesi hukum dan pengacara, notaris. Penegak hukum itu meliputi hakim pengacara, jaksa. Jadi kalau kita berbicara tentang sistem hukun yang memasukkan budaya hukum. Jadi kalau kita ingin membangun sistem hukum yang modern, maka semua komponen harus kita bangun dengan baik. Aturan hukum sendiri merupakan sistem hukum. Kalau kita ingin membangun sistem hukum yang baik, berarti pendidikan hukumnya harus kita perbaiki . Mutu undang-undangnya harus bagus. Penegak hukum dan profesi hukum seperti advokat dan notaris harus dapat bekerja dengan baik.
Dan di sisi lain, ada yang menyebut sub sistem hukum. Karena masyarakat itu pengaruhnya sangat besar dalam penegak­an hukum.Ada tiga peran dari masyarakat. Pertama, bagai­mana kita membangun masyarakat yang sadar hukum. Sema­kin banyak masyarakat taat pada hukum, maka semakin ber­kuranglah.persoalan hukum kita, misalnya kalau lampu merah, ya berhentilah. Kedua, bagaimana kita membangun masyara­kat yang dapat menyelesaikan sengketanya sendiri, tidak usah ke pengadilan. Oleh karena itu MA mendorong berkembangnya mediasi. Kita mendorong arbitrase dan cara penyelesaian damai lainnya. Sebab hal lebih menguntungkan.

Keuntungan mediasi adalah waktunya singkat, biaya tidak mahal, secara moral dan spiritual, mediasi itu mempererat hu­bungan yang semula retak. Di samping hal itu mediasi banyak berkembang di luar negeri. Lalu kita mendorong adanya kon­solidasi advokat, sehingga memiliki organisasi yang bagus. Ter­masuk mendorong adanya LBH (Lambaga Bantuan Hukum), suapaya rakyat kecil kita ini ada yang membantu. Sebab raky­at kecil kita biasanya terpinggirkan untuk masalah hukum.

sekarang tentang penegakan hukum. Penegakan hukum itu tidak saja hakim, tetapi meliputi proses peradilan dan ada yang di luar proses peradilan. Kita mulai dari proses yang di luar peradilan. Imigrasi adalah proses hukum. Fungsi pelayanan hukum itu terdiri dari SIM dan segala macam. semua itu ha­rus bagus dan semua itu melibatkan rakyat banyak. Bila itu melibatkan macam-macam maka rakyat akan agak sulit, dan ini adalah sisi yang kurang disoroti. Jadi fungsi pelayanan pe­negakan hukum di luar penegakan hukum yang kita sebut se­bagai hakim dan sebagainya. Sebab itu akumulasinya besar se­kali. Itu sesuatu hal yang harus kita soroti. Jadi menurut saya ada missleading kalau Anda menulis penegakan hukum yang seolah-olah hanya pengadilan saja.

Apa yang sudah dikerjakan MA di bawah kepemimp­inan Anda?
Kita khususkan pada pengadilan kita yang memang tidak hanya ditangani oleh MA, tetapi juga ditangani oleh pemerin­tah. Sampai 2004 kemarin, mulai masalah kepegawaian keuan­gan, organisasi itu semua diurusi oleh departemen. Peradilan hukum ada di bawah Departemen Hukum dan HAM, peradilan agama ada di bawah Departemen Agama. Peradilan militer ada di bawah Mabes TNI. Untuk kunci pengawasan, kita tidak memiliki kewenangan menindak hakim, seperti supaya, hakim diturunkan pangkat dan ditunda kenaikan pangkatnya. Jadi hingga 2004 kemarin, MA hanya menjadi pengawas teknis peradilan.

Setelah satu atap yang prosesnya pada September 2004, maka baru ada pengawasan yang lebih dari MA. Jadi sebetul­nya, kerjaan MA untuk menangani dari seluruhnya itu baru dimulai pada akhir tahun 2004. Tahun itu kita mengalihkan kepegawaian, aset dan sebagainya. Orang selalu melihat hakim yang pekerjaannya memutus perkara. Tetapi Anda-Anda tidak pernah melihat bagaimana kondisi pengadilan kita. Sejak men­jadi Ketua MA tahun 2001, setiap ada seminar atau forum maka akan selalu mengingatkan tentang kondisi peradilan kita.

Saya selalu mengatakan bahwa pengadilan kita ini terlalu la­ma terlantar, dan sudah terlalu lama diterlantarkan. Bayang­kan, gedung peradilan kita pada umumnya dibangun pada ta­hun 1982. Peralatan peradilan kita juga dibeli pada tahun 1982, misalnya ada mesin ketik tua. Kalau anda pergi ke daerah, ma­ka Anda akan menemukan mesin ketik tua di pengadilan. Fasi­litas lainnya, misalnya perumahan yang buruk, maka hal itu kita sampaikan. Tentu ini membutuhkan anggaran. Jatah sek­itar 700 pengadilan, untuk tahun 2005 sebesar Rp 1,3 triliun. Ini sangat kecil. Padahal kami mangajukan anggaran Rp 5,5 triliun, dimana besar anggaran itu bila dipenuhi maka dana itu digunakan untuk memperbaiki hal-hal yang sudah sangat rusak.

Soal gaji hakim yang mau dinaikkan?
Mengenai gaji, saya tidak pernah mau bicara. Karena semua orang sudah tabu bahwa gaji pegawai negeri di Indone­sia itu kecil, maka gaji hakim juga kecil. Ini sebuah sistem ma­ka saya tidak mau bicara, saya juga tidak menuntut untuk dinaikkan. Kami senang pada gagasan KPK, supaya presiden memberikan perhatian kepada kesejahteraan hakim. Kalau dulu sepertinya hanya saya yang berbicara sendirian. Namun sekarang KPK juga bicara, DPR, komisi anggaran lalu presiden sendiri. Ini adalah kemajuan yang besar.

Persoalan kita macam-macam, mulai mutu pengadilan, mutu keputusan dan lain-lain. salah satu lembaga baru yang kita kenal adalah adanya lembaga pengawasan. Tetapi saat itu, kita hanya teknis saja. Karena tindakan administrasinya masih ada di pemerintah. Temanya satu kita harus membersihkan pengadilan. Pengadilan harus memulihkan kepercayaan ma­syarakat. Maka kalau kita menemukan kesalahan, maka kita tidak boleh ragu-ragu untuk bertindak.

Kini image publik di MA tak lebih sebagai tempat da­gang perkara, bagaimana anda memandang itu?
Ada orang yang mengatakan MA itu seperti pasar, sehingga saya mengatakan kok seperti bursa. Maka saya ada kebijakan bahwa hakim dan pegawai MA menerima tamu untuk urusan perkara. Itu kita jalankan. Sebenarnya kantor ini mulai ter­tib. Dan ada garis yang tegas bahwa hakim dilarang membica­rakan perkara dengan siapa pun. Karena itu saya masih heran kalau ketua MA dipurbasangkai membicarakan perkara. Kalau pun ada pihak yang datang, untuk membicarakan perkara maka diwajibkan membawa lawannya. Karena itu saya tidak pernah membicarakan perkara oleh siapa pun.
Kemudian ada yang mengatakan kenapa perkara lama. Disi­ni perkara banyak. Tidak sekedar perkaranya Probo. Ada ri­buan perkara. Ada perkara tahun 2000 yang sekarang masih kita periksa. Meskipun kita sudah bekerja mati-matian. Namun mulai Januari sampai Oktober ini kita sudah memutus 9342 perkara. Laporan publik MA seperti tahun lalu pada bulan Maret , saya berharap bahwa kita bisa memutus 12 ribu per­kara. Dibandingkan dengan 5-6 ribu perkara yang masuk. Se­hingga kita ingin mengikis tunggakan itu. Jadi setelah bekerja normal selama dua tahun, maka perkara itu sudah bisa kelar. Apalagi kalau kita sukses dengan mediasi.

Nah, posisi KPK dalam struktur ketatanegaraan kita sebenarnya bagaimana?
KPK itu adalah suatu lembaga yang kita buat berdasarkan Undang-Undang (UU). UU memberikan posisi KPK sebagai penyidik dan penuntut yang independen. Kalau kita melihat dia sebagai penyidik dan penuntut, maka fungsi dia itu termasuk pemerintahan. Namun dia diberi kedudukan yang khas, bahwa dia independen terhadap eksekutif. Namun fungsinya sebagai penyidikan dan penuntutan itu adalah fungsi dari pemerintah. Bukan fungsi yudisial.

Bagaimana ketika dia melakukan tugas yang melang­kahi struktur lembaga yang lebih tinggi?
Segala hal yang berlaku di negara di mana pun di dunia ini, tidak selalu memenuhi kaidah yang ada di Undang-Undang Dasar. Karena ada kaidah-kaidah yang universal dan umum berlaku. KPK memang diberi wewenang untuk memeriksa sia­pa saja, namun ada dalam soal memeriksa itu ada tata cara­nya. Jadi itu yang perlu kita atur. Supaya eksistensi dan inte­gritas lembaga negara itu tidak terganggu oleh pekerjaan itu.

Jadi KPK tidak boleh memeriksa MA?
Bukan masalah boleh atau tidak boleh. Karena sebuah lem­baga baru yang dibentuk itu tentu memiliki tujuan yang baik. Hanya masalah pengaturannya saja.

Artinya kemarin itu KPK tidak memenuhi administra­si pemeriksaan?
Mereka hanya berpegang pada undang- undang untuk mela­kukan segala tugas. Namun kenyataannya lembaga yang ber­hubungan dengan KPK itu kan bermacam-macam. Bisa saja sasarannya itu lembaga negara, pejabat dan sebagainya. Oleh karena itu butuh aturan yang bagus. Saya berpikir begini, ne­gara ini sedang tumbuh dan sedang mencari bentuk yang paling bagus, baik dalam hal demokrasi dan Hak asasi Manusia. Oleh karena itu bila dilihat dari sana-sini, semua tidak harus sempurna. Tetapi, jangan juga kita ini tidak mau menyempur­nakannya. Seolah-olah kita senang dengan keadaan seperti ini.

Kita ini harus tunduk pada sistem baku yang sifatnya uni­versal yang menandakan peradaban kita yang berlaku di mana­-mana. Jadi saya tidak memutuskan bahwa ini benar dan ini salah. Karena saya berada dalam alam pikiran sebagai pejabat dan akademisi, bahwa negara ini masih dalam posisi tumbuh. Apalagi dalam delapan tahun terakhir ini kita sedang berubah dalam segala macamnya. Semua ini membutuhkan ketekunan, kesabaran dan saling pengertian.

Pertama, negara ini tidak akan kita bangun kalau kita se­lalu mengedepankan kekuasaan. Kedua, kalau kita selalu me­ngedepankan tujuan tanpa cara yang baik. Ketiga, kalau da­lam menjalankan kekuasaan itu kehilangan sikap rendah hati. Keempat, kita akan sulit kalau kita selalu melihat posisi kita tanpa mau melihat posisi orang lain. Selanjutnya kita harus berani mengkoreksi diri. Kita tidak hanya belajar dari diri sendiri tetapi juga dari kelaziman- kelaziman yang ada. Kalau kita mengklaim dari bagian pergaulan, maka kita berada da­lam tatanan dunia.

Anda tidak khawatir langkah KPK kemarin itu akan menjadi preseden buruk ke depan?
Kalau kita membuat hal itu menajdi preseden, maka akan menjadi presenden. Kita menganggap hal itu adalah preseden yang akan diteruskan atau preseden yang tidak diteruskan? Orang bila bicara preseden, maka seolah-olah hal itu akan diteruskan. Padahal tidak demikian. Preseden itu adalah sesu­atu yang akan kita teruskan karena kita anggap baik atau segala sesuatu yang tidak perlu dilanjutkan. Saya senang KPK melihat hal ini, sehingga ketika saya sengaja tidak hadir. Maka KPK dengan segala kerendahan hatinya datang ke sini. Sehingga semua persoalan yang tadinya kurang harmonis, ma­ka akan kita selesaikan dengan baik.

Ketika Anda menerima pemeriksaan dari KPK, sebe­lumnya sudah menerima penjelasan dari KPK?
Tidak. Memang mereka mengatakan saya akan diperiksa. Se­perti dugaan yang mengatakan bahwa sejak peristiwa itu bahwa MA memberikan kebijakan memberikan akses sepenuh­nya kepada KPK. Saya mengatakan bahwa saya siap diperik­sa. Namun KPK harus mengerti bahwa saya sebagai ketua MA yang dari segala posisinya harus dipelihara oleh siapa saja.
Sebab MA sendiri sangat berkepentingan supaya masalah ini selesai secara tuntas. Kami merasa dibantu karena selama ini saya bertahun-tahun bekerja untuk membersihkan pengadilan. Namun itu bukan perkara yang mudah. Sekarang ada KPK mau membantu. Kenapa kita menutup diri, asalkan bantuan itu dilakukan dengan cara-cara yang tepat.

Anda diperiksa KPK sebagai apa?
Itu kan permulaan yang tidak jelas. Mungkin juga saya di­duga sebagai penerima suap. Sebetulnya dari segi fakta hal itu tidak ada, karena uang yang akan disuapkan itu sudah ada di tangan KPK. Tetapi karena ada dugaan. Namun biarlah. Ka­rena publik juga memiliki penilaian sendiri. Terus terang saja, karena Anda-Anda ini (wartawan-red), maka publik tidak ber­pihak pada kita (MA). Kita ini hampir pasti diopinikan terlibat dalam suap, sehingga apa pun penjelasan saya, tetap saja yang keluar tidak mengakomodasi keadaan kita.
Paclahal, kalangan pers tahu bagaimana sikap saya terhadap pers. Saya mencoba melindungi pers. Dalam setiap kesempatan, saya selalu menjelaskan bahwa pers bebas. Dan setiap berte­mu dengan hakim, saya menyatakan bahwa pers harus kita lin­dungi. Pers yang bebas itu esensinya sama dengan hakim yang bebas. Namun ketika saya diperlakukan seperti itu, saya men­jadi termenung. Apakah saya masih perlu membela pers. Apa­kah pers bebas yang saya bela itu menjadi seperti ini. Namun itu sekedar renungan saja dan tidak menghilangkan prinsip­nya. Untung saja FORUM tidak begitu, Saya tahu media anda ini berpatokan pada hukum. Jadi FORUM juga harus meman­dang masalah ini berdasarkan hukum. Saya harap FORUM tetap begitu.

Waktu anda ketemu Harini Wijoso, pengacara Probo, apa sebenarnya yang dibicarakan?
Ya. Pertanyaan itu perlu, karena saya tidak pernah membi­carakan perkara dengan siapa pun. Yang kedua, dalam bentuk konkret saya tidak pernah tahu bahwa Harini (bekas hakim
tinggi di Jogjakarta, red) itu adalah pengacara. Apalagi penga­caranya Probosutedjo. Saya sama sekali tidak tahu. Karena dia ada di Jogja. Dan dia datang melalui sekretaris. Dia mengata­kan, sebagai mantan hakim tinggi dan dia membawa seorang hakim yang minta tolong supaya mutasinya ditinjau kembali.

Sekarang Komisi Yudisial (KY) malah sibuk memanggil anda. Ada apa?
Mereka sekarang mereka memanggil ketua MA untuk dipe­riksa sebagai ketua. majelis. Lho? Semua orang sudah tahu bah­wa sepanjang itu urusan suap dengan Probo, maka saya tidak ada hubungannya. Melalui KPK, semua orang juga tabu, ba­gaimana sikap saya terhadap kasusnya Probosutedjo.
Tetapi KY berniat. Bahasanya begini, yang kami panggil bukan ketua MA, namun Hakim Agung Bagir Manan sebagai Ketua Majelis. Itu keliru. Majelis yang saya pimpin itu adalah Majelis Ketua MA. Bukan Majelis Hakim Agung Bagir Manan.
Kedua, kita ini tidak bisa menjadi berpikir secara kimiawi. Jangan diopinikan bahwa dia datang sebagai Hakim Agung, lalu sebagai MA, padahal orangnya kan Bagir Manan juga yang mewakili MA. Lembaga negara ini harus dijaga untuk membe­rikan keterangan kepada suatu hal yang tidak diperdebatkan. Seperti tadi dikatakan kami akan diperiksa tentang etika.

Tentang kondisi putusan hakim kita di pengadilan, me­ngapa yang cenderung hanyalah pengungkapan kebe­naran formil, padahal pengadilan-kan wadah meng­ungkapkan kebenaran materil?
Kalau pertentangan antara tuntutan keadilan dan tuntutan hukum, maka akan memilih kebenaran keadilan. Itu sudah menjadi petunjuk. Prinsip yang kedua, kebenaran itu harus selalu materiil. Ketika kita belajar hukum acara perdata, kebenar­an perdata itu kebenaran formal. Kemudian pidana adalah kebenaran materiil.
Sava tidak pernah menganut itu. Menurut saya kedua-dua­nya adalah kebenaran materiil. Lebih-lebih lagi untuk masya­rakat Indonesia, sebab masyarakat Indonesia itu bukan masya­rakat yang tertulis. Kebenarannya itu materiil. Misalnya itu anak saya, tidak karena dia punya surat. Itu adalah anaknya dia karena ada pohon yang ditanam di sana. Itu tanda-tanda materiil. Dalam mencari kebenaran materiil itu sering timbul sengketa. Sengketanya itu sejak jaman Plato, karena itu me­nyangkut filosofi.

Ada berbagai aliran yang mendekati kebenaran itu. Misalnya aliran sosiologis. Kebenaran itu ada di kenyataan sosial. tidak selalu keadaan sosial itu mencerminkan kebenaran. Itu cermin kesesatan. Ada yang mengatakan kebenaran itu aliran positi­visme. Itu kebenaran dalam aturan hukum. jadi itu harus kita gali dari sana. Dan komprominya hakim itu harus memutus menurut hukum.
Tetapi hukum yang mana, yakni yang benar secara materiil. Bagaimana caranya, maka muncullah ajaran tentang penafsir­an, ajaran tentang konstruksi, ajaran bahwa dia harus meng­gali. Dan tetap bertolak dari aturan hukum. Kasusnya Pollycarpus itu harus diselesaikan dengan bekerja keras dan masyarakat membantu. Supaya kebenaran itu muncul. Menurut saya kasus itu belum selesai.


Apakah anda tipe orang yang terbuka?
Saya memiliki tiga kebiasan, yakni saya selalu menerima wartawan, dan menolak wartawan kalau sedang sibuk. Kedua, menerima mahasiswa bimbingan saya. Ketiga, menerima ha­kim-hakim, baik hakim yang pensiun atau pun mantan hakim. Mayoritas hakim pensiun. Saya mengatakan terima. Karena secara formalitas, scat itu dia mengatakan sebagai hakim pen­siun. Bahkan saya mengucapkan terima kasih sudah pensiun dengan baik. Saya sama sekali tidak mengerti bahwa dia itu pengacara Probosutedjo. Baru pada terakhirnya dia mengata‑
kan bahwa saya ini- anu familinya. Saya ketawa saja. Pertama, dalam diri saya ini ada kejengkelan yang dalam. Karena orang-orang ini datang untuk membicarakan perkara. Sebagai
Ketua MA masak saya langsung marah. Kan tidak. Dan saya memang dikenal tidak pernah marah. Saya hanya mengata­kan, ya sudahlah lihat nanti saja. Jadi kalau orang masih ngo­tot bahwa saya ini bekerja sama, maka saya tidak tabu. Se­hingga ada rekan Anda, wartawan lain yang bertanya, bagai­mana,bapak meyakinkan publik bahwa bapak tidak kenal de­ngan Harini? Lho? Bagaimana saya meyakinkan, karena cerita­nya memang begitu. Lalu mau apa lagi ? Karena saya sebagai guru, muslim, dan hakim, maka saya tidak dilatih untuk berbo­hong, saya katakan apa adanya. Jadi kalau ada orang yang me­ngatakan macam-macam itu menurut saya sangat aneh.


Beberapa kali FORUM sempat memuat tentang kasus Surat Sakti anda, pandangan anda tentang itu?
Pengertian surat Sakti itu adalah campur tangan Hakim Agung atau MA terhadap peradilan di bawahnya. Misalnya ada surat, ekskusi jangan dijalankan. Begitu saya menjadi MA maka kita tetapkan satu kebijakan bahwa ekskusi adalah wewenang sepenuhnya dari Ketua Pengadilan Negeri, bahwa itu tidak boleh dicampuri oleh MA.
Karena itu setiap surat, ada surat dari orang kepada MA un­tuk meminta bantuan ekskusi, maka jawabannya adalah sama yaitu ekskusi adalah wewenang dari KPN dibawah pengawasan KPD, oleh. Karena itu silahkan berhubungan ke sana. Kalau ada laporan bahwa sudah ada keputusan ekskusi sekian tahun teta­pi lama tidak dilaksanakan, maka kami akan turn ke bawah dan menanyakan mengapa Anda tidak melakukan ekskusi. Apa­lagi kalau ada yang mengaku sudah bayar tetapi tidak segera ekskusi. Maka kita akan turun.

Hingga kini anda terus diserang, apa Iangkah anda mengantisipasinya?
Ada pepatah, Pohon kelor itu tinggi sehingga mudah ditimpa angin dan saya ditakdirkan oleh Allah menjadi pohon kelornya penghadilan. Ha....ha... Ya, apa boleh buat. Hanya saya tidak menuntut untuk dibela. Dan marilah kita bicara hati nurani. Kalau sudah ada tanda-tandanya pak Bagir itu tidak terlibat, kok masih dipaksakan.

No comments: