Monday, May 21, 2007

Sebagai Apa Bagir Diperiksa?

Bagir Manan diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal dirinya bukanlah tergolong sebagai saksi. KPK melabrak aturan hukum?

Jumat pekan lalu, gedung Mahkamah Agung kembali mencatat sejarah. Baru pertama kalinya se­jak bangsa ini berdiri, MA didatangi penyidik. Tak tangg-ung-tanggung, yang di­periksa langsung adalah Ketua MA, Ba­gir Manan. Bagir diperiksa dengan status sebagai saksi. Saksi atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan lima orang ang­gotanya yakni Pono Waluyo, Suhartoyo (wakil sekretaris Korpri), Sriyadi (staf ba­gian perdata), Sudi Abroad (staf Korpri), dan Malem Pagi Sinuhaji (Kepala Biro Umum dan kepegawaian). Hal inilah yang menimbulkan tanda tanya. Secara hukum, apakah penempatan Ketua MA itu sebagai saksi telah sesuai? Untuk me­ngetahui hal itu, maka diperlukan anali­sis secara juridis.

Untuk membaca hal itu maka perlu di­lihat dulu posisi kasusnya. Mencuatnya kasus ini bermula dari penangkapan ter­hadap enam orang. Selain lima orang pe­gawai MA itu, satu orang lagi adalah Ha­rini Wijoso. Harini adalah hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang telah pensiun. Harini kemudian menjadi pe­ngacara Probosutedjo untuk kasus dana reboisasi. Harini kemudian mempraktek­kan cara beracara yang kotor. Dirinya berupaya untuk menyuap majelis hakim. Kebetulan hakim agung yang menangani perkara Probo itu adalah Usman Karim, Parman Suparman dan Bagir Manan. Nah, ketika putusan belum dibacakan, Harini berupaya untuk bisa menyogok ketiga orang itu. Untuk mewujudkan itu, Harini ternyata tak mampu menyelesai­kannya sendirian. Dirinya mental. Ter­bukti ketika dia bertemu dengan Bagir, di bulan Mei 2005 lalu. Kala itu dirinya te­lah “membunyikannya” kepada Bagir. Tapi Bagir justru menolaknya. Harini pun mencari jalan lain.

Ketemulah dia dengan Pono. Pono lalu menyanggupi keinginan Harini. Pono menurunkan “order” itu ke beberapa re­kannya. di- MA. Tanggal 28 September 2005, Pono mengontak Harini. Mereka sepakat untuk minta uang pada Probo. Ternyata berhasil. Probo mengucurkan rupiahnya. Pono meminta uang sebanyak Rp 5 miliar. Probo kemudian menyiapkan uang tersebut. Uang itu diletakkannya dalam dua kardus. Sato kardus berisikan Rp. 800 juta dan US$ 100 ribu. Kardus lainnya berisi penuh US$ 300 ribu. Pono kemudian membawa uang itu. Di MA ter­nyata uang itu dibagi-bagikan kepada empat orang lainnya. Bahkan Pono sem­pat membawa uang itu kerumahnya.

Kemudian KPK datang menangkap mereka masing-masing. Sewaktu ditang­kap, Pono ternyata tak menampik. Sama seperti Harini. Berarti enam orang tersebut terbukti telah tertangkap tangan. Berda­sarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, maka KPK langsung bisa menangkap mereka tanpa surat perintah.

Kasus pun berkembang. Setelah mela­kukan penangkapan, KPK tentunya me­miliki bukti awal. Yakni berupa uang yang ditangan Pono dan Harini. Lalu ka­sus dikembangkan dengan meminta ke­terangan dari yang tertangkap. Dari si­nilah bisa dihubungkan siapa-siapa saja sebenarnya yang terlibat dalam tindak pidana itu.

Dari keterangan Pono, disebutkan bah­wa dirinya mengakui meminta uang ke­pada Probo. Permintaan itu, dalihnya tentu saja atas permintaan Bagir. Keterangan serupa juga keluar dari mu­lut Harini. Pengacara itulah yang mem­bawa Pono menemui Probo. Dia melaku­kannya. karena Pono mengucapkan bah­wa Bagir ada meminta uang senilai Rp. 6 miliar.

Lalu dilihat pula dari keterangan Pro­bosutedjo. Hasilnya didapati bahwa Pro­bo memang memberi uang kepada Pono. Tapi Probo sempat menanyakan kepada Pono, apakah laki-laki itu memang su­ruhan Bagir. Namun, walaupun belum seratus persen percaya, Probo tetap saja memberikan uang itu. Padahal jumlah­nya sangat besar.

Dari basil keterangan itu, maka bisa diambil kesimpulan tentang status Bagir. Karena Bagir dianggap sebagai saksi, maka dirinya mesti memenuhi unsur yang termaktub dalam KUHAP Nah, da­lam Pasal 1 ayat (12) disebutkan “saksi adalah orang yang dapat memberikan ke­terangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengan sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

Berarti unsurnya ada tiga hal. Mendengar, me­lihat, dan mengalami. Lalu dari serangkaian peristiwa itu, di­manakan posisi Bagir? Apakah ia tergo­long orang yang mendengar, melihat, dan mengalami adanya praktek suap me­nyuap itu. Marilah kita tarik garis secara langsung. Tentunya berdasarkan dari bukti awal dan keterangan dari yang ter­tangkap serta keterangan Probo.

Sejak Pono menerima uang dari Probo, dirinya mengaku ti­dak pernah menemui Bagir. Begitu juga keterangan dari empat orang lainnya. Belum satu pun yang rnerasa pernah bertemu dengan Ketua MA itu.

Setali tiga uang dengan Ha­rini. Pengacara ini hanya ber­hasil ketemu Bagir ketika pa­mitan untuk meninggalkan du­nia hakim. Tapi semenjak me­nerima uang Probo, dirinya ju­ga tak lagi bertemu. dengan Ba­gir.
Lalu berdasarkan keterangan Probo. Adik tiri mantan Presiders Soeharto ini juga tak pernah mengaku berhubungan dengan Bagir. Sama sekali belum pernah atau melakukan hubungan dengan telepon. Nah, kejadian tersebut membuktikan bahwa belum satu pun yang berhasil menemui Bagir. Belum sa­tu pun yang pernah memberikan Bagir sesuatu. Dan ditambah keterangan Bagir bahwa dirinya sama sekali belum mener­ima sesuatu apapun.
Berarti dalam serangkaian peristiwa tersebut, Bagir sama sekali tidak meng­ambil peran. Dirinya tak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung. De­ngan posisi seperti itu, berarti Bagir bu­kan tergolong orang yang mendengar, melihat, dan mengalami kejadian itu. Sa­ma sekali tidak tergolong sebagai saksi. Lalu. kok KPK tetap ngotot untuk mela­kukan pemeriksaan terhadap Bagir? Yang jelas pemeriksaan yang dilakukan di ruangan kerjanya itu tegas telah men­dudukkan Bagir sebagai saksi.

Harifin A Tumpa, Direktur Hukum Pi­dana MA menegaskan, KPK mencoba mencari keterangan kepada Ba­gir tentang kehadiran Harini waktu menemuinya. Termasuk meneliti prosedur penerimaan tamudi MA. Itulah yang jadi target KPK.

Namun, fakta itu menegas­kan bahwa lembaga ini tak mengindahkan aturan hukum formal. Hal itu ditegaskan Ma­yasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. "Kalau Bagir dipe­riksa sebagai saksi, apa landa­san hukumnya," ujarnya me­ngomentari.
Protes senada juga datang dari Indra Sahnun Lubis. Ketua umum Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) itu tidak mengerti dengan kinerja KPK yang memeriksa Bagir. "Ini semakin menunjukkan bahwa KPK adalah lembaga yang tidak profesional," ujarnya kepada FORUM. Pasalnya, sam­bung Sahnun, tidak ada satupun fakta hukum yang membuktikan Bagir terlibat dalam peristiwa ini. "KPK telah merun­tuhkan martabat Mah-kamah Agung," katanya tegas.

Namun Otto Hasibuan berkomentar berbeda. Ketua umum Perhimpunan Ad­vokat Indonesia (PERADI) itu justru bisa memaklumi dilakukannya pemeriksaan terhadap Bagir. "Hanya saja tidak perlu diumumkan ke publik," tandasnya kepa­da FORUM. Hal itu, katanya lagi, demi pengungkapan tindak pidana korupsi yang telah terjadi di lembaga tinggi nega­ra itu. Namun Otto mengharapkan agar KPK juga turut menjaga wibawa lemba­ga peradilan. "Tentunya demi menegak­kan supremasi hukum di negeri ini agar tidak semakin runtuh," katanya.

Yang jelas, menguaknya peristiwa ini hanya disebabkan nyanyian dari Probo­sutedjo. Bulan lalu. laki-laki itu telah memberikan gambaran akan praktek pe­merasan yang dialaminya selaku terdak­wa. Dirinya berupaya bisa bebas dari hu­kuman. Termasuk melakukan upaya praktek penyuapan. Berarti secara hu­kum Probo telah berkehendak untuk me­lakukan tindak pidana (onmagh). Sa­yangnya, hingga kini tokoh Orde Baru itu tetap anteng di rumahnya. Belum ada sa­tupun lembaga yang menyatakan dirinya sebagai pelaku tindak pidana. Termasuk KPK..

No comments: