Monday, May 21, 2007

Wawancara Marianna Sutadi, wakil Ketua Mahkamah Agung

Marianna Sutadi, wakil Ketua MA :
“Pengadilan Dibenci, tapi di rindu”


Belakangan, Mahkamah Agung te­rus menjadi sorotan. Terlebih sete­lah adanya usulan Komisi Yudisial tentang kocok ulang hakim agung de­ngan alasan lembaga tertinggi yudikatif ini dianggap sudah darurat. Bila itu terja­di, peluang pergantian kepemimpinan ju­ga makin terbuka. Apalagi periode kepe­mimpinan Bagir Manan sebagai Ketua MA bakal segera berakhir.

Edisi lalu, FORUM memperkenalkan sejumlah hakim agung yang berpeluang menggantikan Bagir Manan. Di antara nama-nama yang muncul, ada seorang wanita. Dialah Marianna Sutadi yang ki­ni menjabat sebagai Wakil Ketua MA. Namun, diajukan sebagai calon penggan­ti Bagir, Marianna justru menolak. Pe­rempuan berdarah Batak ini mengaju­kan alasan, tak berambisi menjadi Ketua MA.

Sebagai salah satu penguasa yudikatif, Marianna tentu saja mengerti keberatan­nya itu bisa saja dilampiaskannya lewat jalur pidana maupun perdata. Tapi, ter­nyata dia lebih mengikuti mekanisme yang tertuang dalam UU no. 40 tahun 1999 tentang Pers. Wakil Ketua MA itu memilih menggunakan hak jawab. Fakta ini tentu menggembirakan. Pasalnya pu­cuk pimpinan MA saja sudah meles­tarikan penggunaan hak jawab dalam menyelesaikan sengketa pemberitaan pers. Semoga ini bisa menjadi ‘juris­prudensi' bagi penyelesaian sengketa pers kedepannya.

Ternyata, sumbangan Marianna tak hanya itu saja. Marianna juga menceri­takan "dapurnya" selama mengabdi di MA. Termasuk perkembangan terakhir yang terjadi di lembaga benteng terakhir keadilan itu. Rabu pekan lalu, keberatan itu disampaikan dalam wawancara den­gan Irawan Santoso dari FORUM. Berikut petikan wawancaranya:

Anda keberatan dengan poin ma­na?

Tentang tulisan (FORUM edisi No.38 hal.13) ".....sudah siap dana dan dukun­gan dari para hakim agung lain untuk menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung". Terus terang, saya tidak pernah bertemu siapa pun yang menunjukkan saya berambisi menjadi Ketua MA. Untuk duduk menjabat posisi wakil Ketua MA saja, sejak Indonesia merdeka, baru sayalah yang pertama. Mungkin orang lain tidak tahu. Orang melihat bahwa jabatan itu banyak. Tapi MA seba­gai badan peradilan, dia agak konvensio­nal. Mengapa? Lihat saja pengadilan di Inggris. Negaranya sudah maju, tapi hakimnya tetap pakai wig. Buat apa itu? Karena memang pengadilan itu konven­sional. Di Amerika juga hakimnya tetap pakai toga. Bahkan untuk badan peradi­lan, Amerika sendiri belum pernah ada pimpinannya yang perempuan. Sempat memang mereka memiliki satu orang ha­kim agung perempuan. Tapi kini telah mengundurkan diri. Karena ini memang jabatan yang sulit.

Jabatan Ketua MA adalah jabatan pri­mes interpares. Dituakan karena semua lama. Mengapa dituakan? Karena ke­mampuannya, integritasnya, perilakun­ya. Kalau seorang Ketua MA tidak me­menuhi persyaratan itu, pasti dia tidak akan dihormati anggotanya. Termasuk jabatan Wakil Ketua MA ini. Karena itu, untuk saya, kata-kata 'dengan menyiap­kan dana' itu sangat menyinggung sekali.

Dengan jabatan seperti ini, bagai­mana sebenarnya keseharian Anda?
Menduduki posisi Wakil Ketua MA, sa­ya sangat mensyukuri ini dari Allah SWT. Saya tinggal di JI. Denpasar Raya, Jakarta Itu rumah jabatan kompleks menteri. Mobil yang saya pakai,Toyota Camry. Itu setara dengan mobil jabatan yang dipakai menteri. Saya mau apa la­gi? Saya tidak punya pikiran lain-lain la­gi kecuali bekerja. Saya hanya memikir­kan agar bisa selamat, bisa menyelesai­kan tugas saya yang saya impi-impikan ini, sampai ke akhir masa jabatan. Hanya itu saja.

Sebenarnya mimpi-mimpi saya banyak. Tentu saya ingin agar hakim-ha­kim kita itu betul-betul dapat menjadi hakim yang dihormati karena putusan­nya. Kita lihat di negara lain misalnya. Dalam kasus OJ Simpson di Amerika. Orang kulit hitam yang didakwa membunuh mantan istrinya dan pacar mantan istrinya. Keduanya itu orang kulit putih. Oleh pengadilan di sana dibebaskan. Ka­rena putusan itu, terjadi keributan an­tara orang kulit hitam dan kulit putih. Tapi presiden mereka berkata, kita harus tunduk pada putusan pengadilan. Seper­ti itulah yang jadi mimpi saya. Nah, kon­disi itu bisa dicapai di sini. Kuncinya, pro­fesionalitas ditingkatkan.

Kabarnya Anda sering berpergian ke luar negeri, apa saja yangAnda la­kukan?
Saya memang sempat pergi ke Jepang. Waktu itu sebenarnya tidak pantaslah pimpinan MA untuk ikut. Kenapa? Kare­na membicarakan mediasi. Yaitu antara Wakai dan Chotei. Nah, kasus ini yang ingin saya ambil. Tujuannya untuk diba­has guna dibuat sebuah peraturan MA. Sekarang sudah ada PERMA (Peraturan MA, red) yang mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mengutamakan mediasi. Tujuannya untuk mendamaikan pihak yang berperkara di pengadilan. Konsep itu memang banyak juga yang menolak. Tapi memang itu belum berja­Ian. Untuk itu pula, hari Minggu lalu sa­ya pergi ke Semarang. Hari libur saya itu sengaja saya pakai. Di sana melakukan sosialisasi terhadap sistem mediasi itu. Bukan hanya untuk hakim, tapi juga akademisi, advokat, LSM, LBH dan lain­nya. Untuk merangkul agar kita punya pandangan sama, betapa pentingnya me­diasi itu.

Menyelesaikan perkara dengan sing­kat, tidak usah banding atau kasasi. Se­cara tidak langsung akan membatasi per­kara-perkara kasasi. Jadi secara alamiah akan menurun. Para pihak juga pasti se­nang. Karena kesepakatan mediasi itu kan dibuat para pihak. Kalau para pihak sudah setuju, lalu dibuat putusan perda­maian, tidak akan ada yang bilang itu pu­tusan direkayasa, uang bermain dan lain­nya. Makelar perkara juga bisa dihindari. ­Itulah terobosan yang saya inginkan sekarang ini. Jadi, jangan dikira kalau saya ke luar negeri itu untuk berjalan-ja­lan belaka. Nah, ini yang penting agar publik tahu. Karena saya memang mena­ngani bidang yudisial, maka saya khusus menjadikan putusan hakim agar benar­-benar memenuhi rasa keadilan. Itu bu­kan pekerjaan gampang.

Anda mengorbankan hari libur un­tuk bekerja?
Nah, apakah orang yang sampai hari liburnya dikorbankan, masih diragukan juga integritasnya? Masa sih masih cari dana. Bahkan Sabtu pekan ini saya be­rangkat ke Kalimantan. Di sana bertemu dengan seluruh hakim se-Kalimantan. Itu kan berarti menggunakan waktu ke­luarga. Hari libur, bayangkan! Mengapa saya bisa begitu, wong suami saya sudah pensiun kok. Anak-anak saya sudah ber­diri sendiri. Jadi tak ada lagi yang perlu diurus.

Apa agenda Anda pergi ke sana?
Karena di sana ada masalah. Pengadi­lan Negeri (PN)-nya dirusak orang. Sebe­tulnya sasaran utamanya bukan penga­dilan, tapi kantor polisi. Kebetulan mas­sa yang sambil berjalan itu melewati PN. Nah, di PN itu lagi disimpan truk-truk illegal logging. Maka mereka berteriak­teriak meminta agar truk-truk itu dikem­balikan dan terdakwa dibebaskan. Kare­na tidak bisa, maka kaca-kaca pengadi­lannya dipecahkan. Karena itulah saya ke sana. Saya ingin sampaikan, kalau seandainya gedung pengadilan kita kecil, mengapa barang bukti seperti itu mesti kita yang simpan. Tidak barus. Bisa diti­tipkan di kejaksaan atau di polisi. Karena di sana kan ada penjagaan. pengadilan tidak bisa melakukan itu. Karena me­mang risikonya besar. Padahal waktu itu, ketika petugas pengadilan sedang meng­ambil kunci, ternyata massa masuk keru­angan pengadilan. Ketika masuk, mere­ka mengambil barang bukti kasus lain. Jadi hilanglah. Memang tidak gampang kan jadi hakim?

Ada yang mengatakan, Anda tidak mengakar di kalangan hakim agung MA, benarkah begitu?
Tidak mengakar? Seyogianya terhadap penilaian seperti itu, saya tidak wajar berkomentar. Orang bisa mengatakan sa­ya cantik, buruk juga bisa. Itu sah-sah sa­ja. Hanya, saya agak bingung. Padahal kalau di tulisan itu (FORUM edisi No. 38 hal. 14-red) di atasnya dikatakan, "Saya sebelumnya didaulat oleh para hakim agung untuk jadi wakil Ketua MA". Lalu di bawahnya dicantumkan bahwa saya ti­dak mengakar. Ini kan kontradiksi. Peni­laiannya dari mana? Ha ... ha ... ha...

Waktu MA diserang terus-menerus, Anda terkesan sama sekali tidak me­lakukan pembelaan, memberikan penjelasan pada pers misalnya?
Banyak wartawan yang datang kepada saya, bagaimana komentarnya tentang pemeriksaan Ketua MA? Selalu saya menjawab, "Saya tidak berkomentar". Karena sudah terlalu banyak orang ber­komentar. Hasilnya juga bukan malah meluruskan keadaan. Makin mericuhkan keadaan. Jadi untuk apa? Wong yang di­minta komentar kok. Kalau saya dibilang cenderung menghindar, memang meng­hindar. Tapi bukan karena saya ingin me­nyelamatkan orang lain, hanya untuk meluruskan keadaan.

Terhadap kondisi hukum kita se­karang, banyak yang malah tidak percaya lagi terhadap pengadilan, apa tanggapan Anda terhadap hal ini?
Saya senang sekali menjawabnya. Ke­marin saya ke Semarang. Ada diskusi pa­nel. Pembicaranya dari beberapa kalang­an. Saya katakan, kalau saya tarik ke­simpulan dari penanya-penanya itu, inti­nya satu, bahwa kepercayaan kepada pe­ngadilan menurun jumlahnya. Tapi mari kita lihat. Jumlah perkara yang masuk ke PN senantiasa meningkat. Fenomena apa ini. Sebelumnya Anda mengatakan, kepercayaan terhadap pengadilan menurun. Tapi kok jumlah perkara naik. Mes­tinya kan turun. Jadi kondisi ini mirip, de­ngan lagu, judulnya benci tapi rindu. Tidak ada yang bisa memutus suatu sengketa selain pengadilan. Jadi semua orang me­merlukan penga­dilan. Marilah ki­ta sama-sama memperbaiki ke­kurangan. Tapi bukan dibakar pe­ngadilan itu. Itu kan seperti udara (Marianna menghirup udara dalam-dalam). Semua manusia perlu udara. Pada waktu normal, tidak ada manusia yang menghargai udara. Begitu ada polusi, baru orang-orang re­pot. Semua orang berduyun-duyun bagai­mana mengatasi pencemaran itu. Nah, kalau itu yang kita rasakan sekarang, mengapa bukan sama-sama kita mem­perbaikinya. Bukan dengan menghujat atau membakarnya.

Beberapa pekan lalu. hakim PN Ja­karta Selatan, Herman Allositondi, ditangkap Kejaksaan, tapi MA malah membiarkannya?

Sebenarnya saya yang memerintahkan agar dilakukannya pemeriksaan itu. Sa­ya usulkan kepada Ketua MA, lalu perin­tah dikeluarkan. Karena memang kalau ada kejadian begini, kami tidak meng­umumkannya. Lho, Ketua PN Semarang yang sudah ditindak itu, saya yang me­merintahkan, kok. Tapi masalah lain kita memang tidak umumkan. Hanya masalah itu saja.

Namun kondisi sekarang sudah ber­ubah. Kalau kita tidak bertindak, nanti dikira orang tidak bekerja. Maka, waktu kejadian di PN Jaksel, saya langsung me­nelepon Ketua PN Jaksel (Seodarto, red). Saya minta dia supaya sore itu agar da­tang untuk melaporkan. Waktu itu kebe­tulan kita sedang rapat pimpinan. Sete­lah mendengar penjelasan dia, saya usul­kan kepada Pak Ketua MA, saya bilang ini tidak bisa tidak, majelis harus diganti semuanya. Karena kita juga menghorma­ti azas praduga tidak bersalah. Yang baru tertangkap tangan kan paniteranya. Ha­kimnya belum ada cerita. Tapi, dari kete­rangan KPN, ini (hakimnya) pasti terka­it. Malam itu juga perintah Ketua MA ke­pada Ketua PN Jaksel adalah tarik se­mua perkara dari hakim tersebut, ganti majelis hakimnya. Lalu, KPN berkata, apa tidak ketuanya saja, hakim anggotanya kita jadikan ketua. Sa­ya bilang, tidak. Harus semuanya diganti. Karena ki­ta perlu public trust. Karena itu konsekwensinya luas.

Esoknya Jaksa Agung menelepon Ketua MA. Hasil reka­man jelas petunjuknya (Herman terli­bat). Karena itu Jaksa Agung mohon agar petunjuk Ketua MA untuk memeriksa Herman. Lalu Pak Ketua memanggil saya. Karena dia akan segera berangkat meninjau PN di Lampung. Kemudian Jaksa Agung menelepon saya lagi siangnya. Saya bilang, saya setuju. Saya juga bilang, tolong buat surat pe­nangkapannya segera. Setelah itu saya langsung press conference. Kan cepat pro­sesnya. Nah, sebenarnya itu proses stan­dar saja. Cuma selama ini tidak kita la­kukan terbuka seperti itu.

Berarti MA perlu public trust juga dong?
Memang butuh.

Kalau begitu, kenapa hakim-ha­kim selalu sulit untuk berbicara, ter­utama di depan wartawan. Apakah masih relevan tentang adagium bah­wa hakim itu hanya ’berbicara' lewat putusannya?
Tetap seperti itu. Perkara yang sedang berjaan, tidak boleh dikomentari oleh siapa pun juga. Jadi bila ketika menanga­ni putusan, ada dugaan-dugaan terhadap hakimnya bermain. Nah, di sinilah diper­lukan kemahiran seseorang menarik be­nang kusut itu, tapi (diusahakan) tidak menumpahkan tepungnya. Bagaimana caranya. Yang jelas tidak boleh meng­ganggu kemandirian hakim, tapi hakim itu harus diperiksa. Contoh waktu perka­ra Akbar Tandjung. Sebenarnya bukan perkara Akbar Tandjung-nya, tapi per­kara Rahardi Ramelan. Ada surat kabar memberitakan, Rahardi minta penahan­an luar, tapi tidak diizinkan karena tidak mau membayar sejumlah uang. Rahardi bilang, "Masa sih saya harus membayar seperti Akbar Tandjung". Itu kata koran. Melihat itu, kita langsung bentuk tim (pemeriksa). Waktu itu saya masih Ketua Muda Bidang Pengawasan MA. Kita me­meriksa hakim perkara Rahardi Rame­lan itu. Nah, itu publik tidak boleh tahu. Karena bisa mengganggu kepercayaan publik. Tapi kalau terbukti, kita akan berhentikan langsung seperti Herman kemarin. Tapi setelah diperiksa, kelima majelis hakim itu ternyata tidak terbuk­ti. Jadi perkara tetap dipegangnya. Saya justru ingin bertanya, bisakah lembaga lain melakukan proses semacam itu? La­in memang. Karena itu, hal semacam ini tidak mungkin bakal bisa dilakukan oleh Komisi Yudisial. Nah, yang seperti ini kan memang tidak perlu diumumkan. Hanya saja orang mengira MA itu seolah tidak melakukan apa-apa, tidak tersen­tuh reformasilah.

Soal public trust. Sewaktu terung­kap kasus suap menyuap di MA yang melibatkan Pono cs, ternyata ada perbedaan antara fakta dan berita pers. Terutama tentang keterkaitan Ketua MA Bagir Manan terhadap su­ap-menyuap itu. Apa yang bisa di la­kukan MA agar public trust itu terja­ga?

Inilah yang sedang kita upayakan. Hingga kini kita tengah mencari juru bicara MA. Ini yang belum ada. Karena dari jaman dulu, di mana pun di muka bumi ini, MA itu tidak perlu juru bicara. Tapi kondisi di negeri ini sekarang berbe­da.

No comments: