Monday, May 21, 2007

Hakim kok WO

Tiga orang hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi walk out waktu sidang berlangsung. Ter­masuk contempt of court?

Rabu, 4 Mei 2006. Pagi itu Gedung Uppindo terlihat masih sepi. Pada hari biasa, gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu me­mang tak banyak yang mengunjungi. Dari seluruh gedung, hanya lantai satu saja yang berisi. Itu pun tak terlalu banyak orang.
Pagi itu, suasananya tak beda. Hanya ada beberapa orang yang lalu lalang. Ta­pi di lantai itu, suasana khusuk begitu te­rasa. Hering. Padahal jarum jam menun­juk angka sepuluh siang.
Dinginnya air conditioner semakin membuat suasana senyap. Namun sepi itu mendadak hilang terjadi ketika persi­dangan dibuka. Majelis hakim berjumlah lima orang memasuki ruangan. Di samp­ing kanan, penuntut umum sudah me­nanti. Di depannya, pengacara sudah berjejer dari tadi. Di tengah ruangan, seo­rang perempuan berusia 68 tahun, mantan hakim tinggi Pengadilan Tinggi Yog­yakarta, duduk sebagai terdakwa. Dialah Harini Wijoso. Dia dituduh melakukan tindak pidana korupsi karena menyuap pegawai negara sewaktu menjadi peng­acara Probosutedjo.

Pagi itu memang persidangan Harini lanjutan. Agendanya masih pemeriksaan saksi. Begitu dibuka hakim, jaksa Kahi­dir Ramly langsung berceloteh. Dia izin berbicara kepada hakim ketua, Kresna Menon. Ramly berkata agak panjang. Se­perti menyampaikan prolog. Intinya, dia bilang bahwa perlunya dihadirkan Bagir Manan sebagai saksi dalam persidangan ini. Di mata Ramly, Ketua Mahkamah Agung itu dianggap, sangat penting dide­ngar kesaksiannya untuk membuktikan kesalahan Harini.

Permintaan Ramly itu ternyata ditam­pik Menon. "Wakil Tuhan" itu tak setuju bila Bagir dihadirkan sebagai saksi. Menon juga beralasan lain. Jadwal sidang di hari itu, katanya, adalah pemeriksaan terdakwa, Harini. Bukan lagi pemerik­saan saksi.
Tak hanya itu. Menurut Menon, sete­lah membaca proses persidangan dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Harini, keterangan Bagir dianggap tidak mem­punyai kekuatan pembuktian. Menon pun menyodorkan dasar hukumnya. Yaitu Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP. Isinya, "Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang membe­ratkan terdakwa yang tercantum dalam Surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama ber­langsungnya sidang atau sebelum dija­tuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengarkan saksi tersebut". Nah, Menon menilai kesaksian Bagir tak akan memberatkan atau meringankan Harini. "Jadi tidak perlu," katanya.

Ternyata Ramly tak menerima argu­mentasi Menon. Dia keberatan. "Bagai­mana kami bisa membuktikan dakwaan kami bila Bagir Manan tidak pernah di­hadirkan dalam persidangan," cetusnya. Menon juga demikian. Dia juga tak te­rima Rarnly berkomentar demikian. Tapi sebelum membalas celetukan Ramly itu, mendadak suara datang dari sebelah kiri Menon. Datangnya dari salah seorang anggota majelis hakim. Namanya Ach­mad Linoch. Laki-laki ini tiba-tiba ber­suara. "Interupsi ketua," katanya. Tapi Menon masih tak meladeni. Linoch ber­suara lagi. "Interupsi ketua," katanya.

Menon pun bingung. Dia diserang dua orang. Ramly dan anggotanya sendiri. Spontan dia menjawab. "Sebentar-seben­tar," ujarnya. Begitu ada kesempatan, Linoch pun berkata, "Interupsi Ketua, oleh karena ada pengajuan untuk kedua kalinya dari penuntut umum, sebaiknya kita musyawarah," tandasnya.

"Tidak ada musyawarah lagi," tegas Menon. "Kalau tidak ada musyawarah, maka saya akan mengundurkan diri," ka­ta Linoch. Benar saja. Laki-laki itu lang­sung mematikan pengeras suara dide­pannya. Dia bangkit, beranjak dan ber­jalan kebelakang. Meninggalkan ruang sidang.
Beberapa detik kemudian, hakim ang­gota lain ternyata bersikap lama. Mereka adalah Dudu Duswara dan I Made Kama. Alhasil, meja hakim hanya menyisakan dua orang. Tinggal Menon dan Sutiyono.

Harini yang duduk dikursi terdakwa cuma bengong melihat kej adian yang ber­langsung didepan matanya.

Menon pun bereaksi cepat. Dia lang­sung mengetuk palu dua kali. "sidang di­skors lima menit," katanya. Lalu Menon dan Sutiyono pergi ke belakang.

Lima menit kemudian mereka keluar lagi. Kembali ke ruangan sidang. Begitu masuk, Menon langsung mengeluarkan pernyataan. Dia bermaksud menunda si­dang sepekan kemudian. Tapi pengacara Harini, Effendi sempat berkata-kata. Dia meminta penjelasan tentang ulah diri tiga orang hakim itu. Maksud laki-laki itu, apakah pengunduran diri itu tersebut hanya untuk persidangan hari ini atau­kah mundur dari perkara. Tapi Menon tak menjawab. Tangannya langsung dige­rakkan untuk mengetuk palu tiga kali. Dia langsung menutup sidang dan meny­atakan sidang ditunda sampai minggu depan.

Esoknya, komentar pun berdatangan. Aksi tiga hakim yang walk out (WO) itu pun dikecam. "Itu sudah contemp of court", kata Ketua MA, Bagir Manan kepada FORUM (Lihat Wawancara). Komentar lebih pedas datang dari Indra Sahnun Lubis. "Itu jaksanya goblok, hakim ad hoc-nya bodong," tegas wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) itu.
Memang ketiga hakim yang WO itu berasal dari non karir Istilah­nya hakim ad hoc. Sedangkan Menon dan Sutiyono hakim karier. Sasaran Sahnun tentu saja ditu­jukan pada ketiga hakim yang WO itu.

Tapi lain hal di mata Thahir Saimima, wakil ketua Komisi Yu­disial (KY). Dia justru menilai tin­dakan itu belum tentu tergolong contemp of court. "Kita akan lihat dulu latar belakang masalahnya," tandasnya kepada FORUM. Me­nurut Thahir, KY bakal mela­kukan pemeriksaan terhadap keli­ma hakim itu. "Tapi yang ditekan­kan kepada yang dua (hakim non karier) itu," katanya lagi.

Memang sikap KY seperti itu bisa ditebak. Pasalnya selama ini lembaga itu memang perang pan­jang dengan MA. Salah satunya soal kapasitas lembaga itu untuk memeriksa hakim.Satu hal, merunut komentar Thahrir, berarti bagi hakim-hakim yang ingin WO ketika sidang dige­lar, bukan sebuah pelecehan per­adilan. Benar demikian?


I Made Hendra Kusumah, anggota majelis Hakim Tipikor :
“Kita Bukan Ingin Cari sensasi”

Hakim keluar sewaktu memimpin sidang baru pertama kali terjadi di negeri ini. Tapi Rabu pekan lalu hal itu dipertontonkan oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korup­si (Tipikor). Pelakunya ada tiga orang. Mere­ka adalah Dudu Duswara, Achmad Linoh dan I Made Karna. Para "wakil Tuhan" ini se­ngaja memboikot sidang karena tak sepen­dapat dengan Ketua Majelis hakim, Kresna Menon. Tapi, tindakan itu bukan tanpa alas-an. I Made Karna pun menjelaskannya. Kepada irawan Santoso dari FORUM, hakim nonkarier itu memberi argumen tindakannya itu. Berikut petikannya.

Apa alasan Anda sehingga Walk Out (WO)?
Kita minta musyawarah tapi tidak diako­modasi oleh ketua majelis. Kan ada per­mohonan dari para pihak. Dalam hal ini ada permohonan dari penuntut umum. Karena ada permohonan ini maka majelis hakim harus bersikap. Nah, yang bersikap adalah majelis bukan ketua majelis saja. Lima orang anggota majelis ini harus berunding tentang permohonan itu.
Dalam penetapan yang pertama, majelis hakim menyetujui bahwa Bagir tidak perlu dihadirkan sebagai saksi. Mengapa kini Anda menampiknya?
Yang pertama memang kami musya­warah. Kalau sudah dimusyawarahkan se­perti yang pertama itu, ya kami setuju. Tapi karena ada permohonan lagi, dan ber­dasarkan Pasal KUHAP 160 ayat 1 c, se­belum putusan dijatuhkan, balk penuntut umum maupun terdakwa, atau penasehat hukum berhak untuk rnengajukan saksi ataupun ahli. Dan hakim wajib untuk men­dengarkannya. Apalagi penuntut umum kala itu memberikan prolog bahwa alasan yang pertama itu keliru. Nah, tentu kita ingin musyawarahkan lagi permohonan yang kedua kalinya ini.

Apakah Anda mundur sebagai anggota majelis hakim dalam perkara itu?
Tidak.Kita kan ha­nya meng­inginkan agar per­mohonan itu dirun­dingkan.Kalau nanti kita diajak berunding, ya kita akan berun­ding.

Jadi Anda menilai Bagir Manan wajib menjadi saksi?
Kita belum sampai ke person. Tapi hu­kum acaranya. Jadi siapapun orangnya, menurut KUHAP itu hakim wajib mende­ngarkan. Sebelum dijatuhkannya putusan, pemeriksaan sudah selesai pun, bila be­sok diambil putusan, sekarang pun saksi masih boleh dihadirkan.
Apakah Bagir tergolong sebagai saksi yang berkualitas?
Kalau dilihat dari surat dakwaan, ada na­ma Bagir. Lalu dari cerita surat dakwaan, disebutkan Pak bagir itu tujuan dari penyu­apan itu sendiri. Kemudian dalam BAP sak­si, ada BAP-nya Pak Bagir. Di tingkat penyi­dikan saja, Pak bagir mau diperiksa. Apala­gi di tingkat pengadilan. Selain itu, kalau kita lihat dalam UUD 1945, setiap orang bersamaan kedudukannya dalam hukum. Termasuk juga dalam UU Kekuasaan kehakiman. Equality before the law.
Tindakan itu, apakah Anda tidak takut dituduh melanggar contempt of court? Kita hanya memikirkan untuk menegak­kan prinsip kebenaran dalam hukum, apa­pun risikonya. Jadi kalau besok-besok ba­kal diperiksa, apapun risikonya kita hanya menegakkan prinsip penegakan hukum. Begitu kita melihat ada prinsip kebenaran hukum yang dilanggar, maka harus ada
Jadi apakah akan tetap walk out bila Bagir tetap tidak dijadikan saksi? Masalahnya bukan di Pak Bagir. Kita ha­nya menginginkan agar musyawarah itu di­rundingkan kembali.
Tapi alasan dari Kresna Menon (Ketua majelis hakim-red) menganggap bahwa kehadiran Bagir sebagai saksi sama sekali tidak ada relevansinya?

Nah, makanya kita kan belum bisa meni­Jai, apakah saksi itu bernilai pembuktian atau tidak. Wong belum di dengarkan kok. Tapi dalam surat dakwaan, nama Bagir kan termaktub. Dan dia sebagai sasaran yang mau dituju dalam tindak pidana yang didakwakan.

Dari keterangan saksi-saksi dan ter­dakwa yang sudah diperiksa, apakah re­levansi itu sudah bisa diketahui?
Untuk masalah itu sudah masuk ke wilayah mated perkara. Saya tidak boleh berkomentar dulu tentang perkara. Hakim hanya berbicara dalam putusannya.
Tragedi hakim walk out ini kan baru per­tama kali, komentar Anda?
Kita bukan untuk membuat sensasi. Semata-mata hanya untuk menegakkan prinsip hukum saja.

No comments: