Monday, May 21, 2007

Pengadilan Tingkat Lima

Komisi Yudisial menjelma menjadi pengadilan tingkat lima. Banyak masyarakat yang melapor, tapi tak dibatasi. Tatanan hokum bisa rusak.

Raut wajah Robert Sudjasmin ter­lihat gembira. Terlebih setelah dia baru saja keluar dari ruang­an pengaduan Komisi Yudisial. Dokter itu seolah memiliki harapan lagi. Tentu seputar kasus yang pernah disengketa­kannya.

Medio Februari 2006 lalu, dia baru saja melaporkan seorang hakim. agung. Mari­anna Sutadi namanya. Jabatannya bu­kan kecil. Wakil Ketua Mahkamah A­gung. Tapi Robert tetap yakin melapor­kan Marianna itu. Hanya saja, Marianna dilaporkan bukan dalam kapasitas sebagai hakim agung. Melainkan ketika menjadi hakim anggota di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Waktu itu, cerita Robert, Mari­anna-lah yang memegang perkara ban­dingnya pada tahun 1993. "Saya baru se­karang ini melaporkan mereka ke KY ka­rena baru menemukan novum (bukti ba­ru-red) yang menguatkan adanya kejang­galan dalam putusan kedua hakim tersebut," ujar Robert. Namun, Robert tidak bersedia novum yang dimilikinya itu. Cuma Robert yakin. "Sudan saya sampai­kan kepada pihak KY. Bukti itu menun­jukkan ada penerimaan suap oleh kedua hakim yang saya laporkan itu," jelasnya.

Kasusnya memang telah usang. Mula­nya laki-laki itu memenangkan lelang tanah seluas 8.320 meter persegi senilai Rp 629,4 juta pada 5 Maret 1990 yang diselenggarakan oleh kantor lelang ne­gara. Namun saat ia mengajukan Surat Ijin Permohonan Penggunaan Tanah (SIPPT) ke Sudin Tata Kota Jakarta Uta­ra, tanah yang berlokasi di Pegangsaan Dua itu dikatakan masih terletak dalam SIPPT milik PT Summarecon Agung. PT Summarecon Agung mendalihkan lokasi tanah itu telah dibebaskan dengan bukti Girik C No. 868 atas nama Saimun bin Nawir.
Tetapi surat keterangan yang dikeluar­kan Kantor Pelayanan Pajak PBB Jakar­ta Utara menyatakan girik atas nama Saimun itu bukan berlokasi di Pegang­saan Dua, namun di daerah Petukangan, Jakarta Selatan.

Sedangkan tanah di daerah Pegang­saan Dua, Jakarta Utara, yang dimenan­gi Robert melalui kantor lelang negara yang juga diklaim sebagai milik PT Sum­marecon Agung tercatat atas nama Ab­dullah Naman dan bemomor girik C No 1090. "Dari kedua data tersebut, jelas ke­dua girik yang dimiliki oleh saya dan PT Summarecon Agung adalah dua lokasi yang berbeda," ujar Robert.

Inilah yang membuat Robert menggu­gat ke pengadilan. Namun, dia kalah. Marianna yang dituduh sebagai biang ke­ladinya. Kini, walau sudah berlangsung 14 tahun, tiba-tiba saja Robert seolah mendapat cara baru. Komisi Yudisial jadi tujuannya.

Dia pun berharap lembaga itu mampu menolongnya. Hingga tanahnya bisa kembali kepangkuannya. Harapan seper­ti itu ternyata tak hanya ada di benak Ro­bert seorang. Ribuan orang melaporkan kasusnya ke Komisi Yudisial. Busyro Muqqodas, ketua KY berujar, laporan yang masuk ke KY sekitar 700-an. Yang tertangani bari sepertinya saja.

Busyro mengakui tak ada pembatasan setiap laporan yang diajukan. "Kita tetap menerima setiap laporan yang masuk," ujarnya beberapa waktu lalu kepada FORUM. Berarti tak satupun perkara bi­asa ditolak KY. Inilah yang membuat tum­pukan perkara mulai agak mengggunung.

Disisi lain, ternyata kekhawatiran mu­lai terjadi. Tepatnya di MA. Di sana ha­kim agung,sempat mengeluh terhadap si­kap KY itu. "Kok jadi seperti pengadilan tingkat lima saja," kata Djoko Sarwoko, juru bicara MA seperti yang pernah diu­tarakannya kepada FORUM. Maksud­nya, sambung Djoko lagi, banyak masya­rakat yang melaporkan hakimnya sete­lah mengalami kekalahan di tingkat per­tama, banding, kasasi dan PK. "Sayang­nya KY tidak memilah-milah setiap lapo­ran yang masuk, ini sama saja dengan pengadilan tingkat lima," ujarnya lagi.
Padahal, sambungnya, mestinya KY hanyalah sebatas lembaga pengawas ha­kim. Utamanya lagi adalah menjaga barkat dan martabat hakim. "Tapi kok se­perti itu," cerita Djoko lagi.
Hanya saja, hal itu dibantah oleh Tha­hir Saimima. Wakil Ketua KY itu tak se­pakat bila lembaganya itu disebutkan se­bagai pengadilan tingkat lima. Setup la­poran dari masyarakat yang masuk, ka­tanya, memang tetap diterima. "Tapi ke­mudian diseleksi untuk ditindaklanjuti," ujarnya. Jadi, Thahir lagi, pastinya tak seperti yang dituduhkan oleh koleganya di MA itu.
Memang sah-sah saja Thahir berkata demikian. Namur kegelisahan tetap saja melanda sejumlah hakim agung. Tepat­nya ketika peperangan dua lembaga itu memuncak. Salah seorang hakim agung, Prof. Rehngena Purba sempat menceri­takannya kepada FORUM. Dia mengata­kan banyak hakim agung jadi enggan memutus perkara yang tengah ditanga­ninya. "Karena nantinya bakalan dilaporkan ke Komisi Yudisial," ceritanya kepada FORUM. Hal itu, sambungnya lagi, karena lembaga itu tak membatasi setiap laporan yang diperbolehkan. Jadi, cerita Rehngena lagi, setiap pencari keadilan yang kalah langsung mela­porkan hakimnya ke KY. "Ya jadi tak beda dengan pengadilan tingkat lima," ujarnya lagi.

Keluhan hakim agung itu memang bisa dimengerti. Pasalnya hanya hakim­lah yang memiliki kewenangan untuk menemukan perkara. Tak ada lembaga lain termasuk KY sekalipun. Hanya saja, langkah KY dalam menyikapi laporan yang masuk ternyata memang tak beda ketika seseorang ingin mendaftarkan gu­gatan di pengadilan. Ini bisa dilihat dari syarat-syarat pengajuan laporan yang di­keluarkan lembaga itu. Bagi si pelapor, KY menentukan banyak persyaratan. Antara lain, menyebutkan ke­salahan/penyimpangan hakim, mengu­raikan data-data pendukung yang meru­pakan lampiran yaitu putusan-putusan pengadilan, Surat-Surat bukti, saksi dan lainnya. Pokoknya, tak beda dengan tata cara pengaduan gugatan di pengadilan.
Kejadian inilah yang sempat diprotes berbagai kalangan. Gayus Lumbuun mis­alnya. Anggota Komisi III DPR ini sem­pat menanyakan langkah KY seperti itu. Dia sama sekali tak setuju bila KY ber­peran laiknya pengadilan tingkat lima itu. "Harusnya mereka menjaga harkat dan martabat hakim saja," katanya ber­api-api. Pendapat senada datang dari Mayasjak Johan. Dia ini juga anggota DPR di Komisi III. Menurut laki-laki yang juga berprofesi sebagai pengacara ini, mestinva kekisruhan antara dua lem­baga penegak hukum itu tak perlu terja­di. “Bila aturan main yang sudah ada dijalankan secara benar," ungkapnya.

Lalu siapa sebenarnya yang salah? Me­mang sangat sulit menjawabnya. Pasal­nya kedua lembaga hukum itu juga tak ada yang mau mengaku bersalah. MA merasa dirinya memiliki pengawasan in­ternal. Jadi pengawasan eksternal seper­ti IKY dianggap sebatas penjaga saja. KY sendiri sering bekerja rnelampaui "kewe­nangannya". Hal yang paling aneh ketika lembaga ini memeriksa lima orang ha­kim pengadilan tindak pidana korupsi yang menangani perkara Harini Wijoso. Kala itu, KY memberikan hukuman ke­pada dua hakim karier, Kresna Menon dari Setiyono. Tiga hakim ad hoc yang meninggalkan ruangan persidangan, I Made Hendra Kusumah, Dudu Duswara dan Acmad Linoch sama sekali tak dibe­rikan sanksi apa-apa. Inilah yang mem­buat banyak pakar hukum bertanya-ta­nya. Pasalnya tindakan walk out ala tiga hakim ad hoc itu dianggap sebagai ulah yang melecehkan pengadilan. "Mereka kami nilai membuat terobosan hukum," jelas Thahir tentang hal itu. Disitulah sa­lah satu bukti anehnya lembaga itu.

No comments: