Monday, May 21, 2007

MA dan KY Perang,MK yang Menang

Uji materi terhadap Undang­-undang Komisi Yudisial diputus. Perang Mahkamah agung vs Komisi Yudisial jalan terns. Hakim konstitusi aman.

Tak ada wajah sumringah di Mah­kamah Konstitusi. Hari itu, Rabu pekan lalu, padahal diputus per­kara yang cukup penting. Uji materil un­dang-undang no. 22 tahun 2004 tentang komisi Yudisial. Beleid itulah yang se­belumnya dimohonkan untuk dihapus­kan oleh 31 hakim agung.

Memang tak semua pasal yang dimohonkan. Hanya sebagian saja. Khususnya yang ada kata "hakim" didalamnya. Para hakim agung itu meminta agar hakim yang di beleid itu mesti dinyatakan bertentangan den­gan UTD 1945. Khususnya Pasal 24B.
Nah, di hari itu, sembilan hakim MK membacakan putusannya. Sejumlah pa­kar hukum pun berdatangan. Banyak yang menantikan. Wajar memang. Kare­na perkara ini sudah bergulir hampir lima bulan di MK. Sepanjang sejarah, per­kara inilah yang paling lama diselesai­kan hakim MK.

Di pihak MA, sejumlah hakim agung pun menunjukkan batang hidungnya. Ada Harifin A Tumpa. Dia ini sebagai ke­tua muda bidang perdata di MA. Ada juga Prof Rehngena Purba. Dia salah seo­rang hakim agung wanita. Lalu hakim agung Abdurrahman juga tak mau ketinggalan. Mereka itulah yang mewakili pihak pemohon.

Ternyata para hakim agung itu tak sen­dirian. Mereka juga membawa serta se­jumlah pengacara. Ada Denny Kailimang, OC Kaligis dan Indryanto Seno Adji.

Di pihak KY, tak mau. kalah. Memang tak semua anggota KY yang nadir. Cuma ada Soekotjo Suparto saja. Tapi pengaca­ra yang mendampinginya juga tak kalah kaliber. Bambang Widjojanto dan Amir Syamsuddin ada dibelakangriya. Mereka pun tegun menyaksikan sembilan hakim MK bergantian membacakan putusan.

Sepanjang putusan dibacakan, terlihat ketegangan melanda orang-orang itu. Pa­salnya putusan ini diharapkan bisa mem­beri jalan keluar. Hanya saja, tak satu orang pun mengetahui pihak yang bakal dimenangkan MK.

Hingga ketika Jimly Ashidiqie menge­luarkan suara. Laki-laki inilah yang jadi ketua majelis hakimnya. Jimly pun me­ngeluarkan sejumlah titah. Dia memba­cakan kesimpulan dari putusan itu. Ha­silnya ternyata mencengangkan. Tak ha­nya kalangan hakim agung semata. Tapi juga dipihak KY.

Pasalnya putusan yang dikeluarkan, tak mereka sangka-sangka. Di luar duga­an. Tak percaya? Simak saja isi putusan yang dibacakan Jimly itu.

Pertama, permohonan 31 hakim agung Sepanjang yang menyangkut perluasan pe­ngertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim kons­titusi, terbukti bertentangan dengan UUD 1945. Sehingga permohonan pemo­hon harus dikabulkan, tegas Jimly. Ber­arti, sambung Jimly lagi, untuk selanjut­nya hakim konstitusi tidak lagi termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY.

Alasannya, pengawasan oleh hakim konstitusi dilakukan oleh majelis kehor­matan tersendiri. Dasarnya adalah Pasal 23 UU MK. Beleid itu, Jimly lagi, sebagai pelaksanaan Pasal 24C ayat (6) UUD 1945 itu. "Untuk selanjutnya, kedudukan MK sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan lembaga negara yang ke­wenangannya diberikan oleh UUD, ter­masuk sengketa yang melibatkan MA dan KY, tidak lagi terganggu akibat di­perluasnya pengertian hakim yang me­liputi hakim konstitusi tersebut," Jimly menerangkan.

Justru permohonan yang menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) LTTD 1945 yang meliputi hakim agung, dianggap tidak cukup beralasan. Jimly pun menguraikan alasannya. Me­nurutnya, sama sekali tidak dapat dite­mukan dasar-dasar konstitusional yang meyakinkan. "Pembentuk undang-un­dang dapat saja menentukan bahwa un­tuk kepentingan pembinaan bertahap dan kepentingan jangka panjang berda­sarkan pertimbangan teleologis bahwa di masa depan apabila seluruh hakim agung sudah merupakan produk rekrut­men oleh KY, maka untuk pengawasan cukuplah bagi KY mengurusi perilaku etik hakim dibawah hakim agung," te­rangnya. Nah, sambung Jimly lagi, hal itu tidaklah dianggap bertentangan de­ngan UUD 1945.

Namun sebaliknya. Jika UU menen­tukan, Jimly menguraikan lagi, bahwa hakim agung termasuk kedalam pengert­ian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY, maka MK berpendapat hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945. Apalagi para hakim agung yang seka­rang juga tidak direkrut berdasarkan ketentuan baru yang melibatkan peran KY sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945, kata Jimly. Pilihan kebijakan hu­kum yang demikian, menurut MK, juga tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Bukan itu saja. MK juga memberikan titahnya perihal prosedur pengawasan yang selama ini dijalankan oleh KY. Me­nurutnya, perumusan Pasal 13 huruf b juncto Pasal 20 UU KY mengenai wewe­nang lain sebagai penjabaran dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menggunakan ru­musan kalimat yang berbeda. Sehingga menimbulkan masalah dalam penorma­annya dalam UU KY yang menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzeker­heid), urai Jimly. Beleid itu berbunyi
"Dalam melaksanakan wewenang seba­gaimana dimaksud dalam Pasal 13 hu­ruf b Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap peri­laku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat ser­ta menjaga perilaku hakim". Perumusan aturan inilah yang dianggap tidak tegas oleh MK.

Selain itu, UU KY juga dinilai terbukti tidak rinci mengatur mengenai prosedur pengawasan. “Tidak jelas dan tegas me­nentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diawasi, instrumen apa yang digunakan, serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan," tegas Jimly. Hal itu, sambungnya lagi, menga­kibatkan semua ketentuan KY mengenai pengawasan menjadi kabur (obscuur) dan menimbulkan ketidakpastian hu­kum dalam pelaksanaannya..

Selain itu, masih menurut Jimly, kon­sepsi pengawasan yang terkandung da­lam UU KY didasarkan atas paradigma yang tidak tepat. "Seolah-olah hubungan antara MA dan KY berada dalam pola hu­bungan checks and balances antar cabang kekuasaan (separation of power) sehingga menimbulkan penafsiran yang tidak te­pat terutama dalam pelaksanaannya," ujarnya. Jika hal ini dibiarkan tanpa pe­nyelesaian, katanya lagi, ketegangan dan kekisruhan dalam pola hubungan antara MA dan KY akan terus berlangsung dan kebingungan dalam masyarakat pencari keadilan akan terus meningkat. "Yang ada pad gilirannya juga dapat mendele­gitimasi kekuasaan kehakiman yang akan dapat menjadikannya semakin ti­dak dipercaya."jelasnya.
Pastinva. MK menyalahkan sepenuh­nya UU KY yang dianggap masih banyak kerancuan. “Harus dilakukan proses per­ubahan undang-undang sebagaimana mestinva.” kata Jimly dalam putusan itu. Khususnya, sambungnya lagi, yang ber­kaitan dengan ketentuan mengenai peng­awasan perilaku hakim Alasan inilah yang membuat MK kemudian mereko­mendasikan kepada DPR dan Presiden untuk mengambil langkah-langkah demi penyempurnaan UU KY.
Nah, putusan inilah yang memang tak disangka-sangka itu. Kedua pihak pun terperangah.

Untung saja, dipihak KY le­gowo atas putusan MK tersebut. "Kita akan mematuhi putusan ini," kata Soek­otjo kepada FORUM. Begitu juga di pi­hak MA. Harifin menjelaskan pihaknya juga akan tetap menerima putusan tersebut. "Karena putusan itukan berlaku mengikat, jadi tetap kita patuhi," ujarnya kepada FORUM.

Menariknya, dengan keluarnya putusan MK ini berarti KY tidak lagi bisa mengawasi para hakim agung. Itu sepan­jang belum ada perubahan terhadap UU KY tersebut. Inilah yang membuat se­jumlah pihak menafsirkan MK sedikit "membela" MA. Namun yang lebih diun­tungkan adalah pihak MK sendiri. Kare­na hakim konstitusi secara terang dinyatakan tidak lagi termasuk dalam objek pengawasan KY. Fakta ini tentu tak men­jamin perseteruan antara MA dan KY mereda.

Namun pandangan berbeda datang dari Mayasjak Johan, anggota Komisi III DPR RI. Dia menilai, memang saat ini ada kecenderungan yang berbeda dalam praktik hukum kita. "Seringkali huku­man secara internal diproses melebihi ke­tentuan yang berlaku," katanya kepada FORUM. Hal seperti itu, sambungnya, bisa merusak tatanan logika hukum yang sudah dibangun secara sistematis. "Jadi antara MA dan KY ini perlu dilihat seca­ra konstitusi, bukan dengan organisato­ris semata," ujarnya lagi. Bila kedua lem­baga itu melihat dengan kacamata seper­ti itu, urainya lagi, niscaya perselisihan yang selama ini terbangun bisa dinafik­kan. Hanya saja, hal itulah yang selama ini menjadi persoalan. Pasalnya tak se­dikit pula yang menilai sebagian pihak justru bekerja demi sebuah popularitas. Bukan melakukan fungsinya sebagai pengawas. Alhasil, perang berkepanjang­an pun tak bisa terselesaikan hingga kini.

No comments: